BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan
melindungi segenap komponen masyarakat. Dalam konsideran Undang-Undang
Republik Indonesia No. 8 tahun 1981 pada butir C tentang hukum acara pidana,
disebutkan bahwa pembangunan nasional di bidang hukum acara pidana
dimaksudkan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya serta untuk
meningkatkan pembinaan sikap para penegak hukum terhadap kepastian
berjalannya hukum dengan benar dan dirasakan berkeadilan serta perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia guna terselenggaranya negara hukum sesuai
Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam ilmu pengetahuan ketatanegaraan, istilah Negara Hukum
(Rechtstaat) dinilai sudah tidak asing lagi. Negara hukum merupakan cita-cita dan
tujuan kehidupan bernegara modern. Konsep Negara Hukum Indonesia menurut
Prof. M. Yamin sudah ada beribu-ribu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan
RI 1945, yang menjadi sumber hukum secara tertulis dalam Republik Indonesia.
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen secara eksplisit tidak dirumuskan, konsep
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan
(machtstaat).1
Setelah perubahan atau amandemen ketiga UUD 1945, negara hukum
dicantukan secara jelas pada Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari
kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtstaat yaitu, adanya perlindungan hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan
negara untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias
Politica, pemerintahan berdasarkan peraturan, adanya peradilan administrasi dalam perselisihan. Sebagai negara hukum maka untuk menjalankan suatu negara
dan perlindungan hak asasi harus berdasarkan hukum. Kondisi ini menyebabkan
peraturan perundang-undangan memegang peranan yang sangat strategis sebagai
landasan dan strategi negara untuk mencapai tujuan sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam Alinea ke IV UUD NKRI Tahun 1945. 2
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum bukan berarti hanya sebagai
negara yang mempunyai seperangkat hukum formal, melainkan negara yang
mendasarkan setiap tindakan baik pemerintah dan rakyatnya berdasarkan pada
hukum. Sebagai negara hukum, maka negara Indonesia mempunyai kewajiban
untuk melindungi seluruh warga negaranya menurut tata kehidupan masyarakat
beradab yang menjunjung tinggi norma-norma hukum. Kewajiban negara ini
dijalankan oleh pemerintah dalam arti luas (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
1
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1992, hal. 72
2
Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara
demokrasi (domocracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum
(nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Bila dilihat secara seksama uraian tentang negara hukum tersebut diatas,
terlihat adanya keterkaitan antara hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi perhatian lebih bagi negara
dalam melindungi rakyatnya.
Pasal 27 (1):
Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28 D (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
dan Pasal 28 G (1):
setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Berdasarkan uraian pasal-pasal tersebut diatas terlihat bahwa tidak ada
pengecualian bagi rakyat Indonesia di hadapan hukum, setiap orang adalah sama
untuk memperoleh keadilan dimata hukum tanpa adanya perlakuan istimewa
ataupun membeda-bedakan. Jaminan hak asasi dalam UUD 1945 berarti
memberikan landasan hukum tertinggi di negara Indonesia bagi pengakuan
perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi setiap manusia. Oleh karena itu,
sebuah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hak asasi
yang tercantum dalam konstitusi. Konstitusi juga harus dilihat sebagai hasil
mediasi berbagai kekuatan dan kepentingan atau gagasan dasar agar kita terbebas
manusia dalam konstitusi disatu sisi adalah sebagai upaya untuk melindungi
manusia dari potensi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Di sisi lain
membatasi kekuasaan negara, sehingga tidak menjadi negara kekuasaan.
Salah satu hak yang paling mendasar bagi manusia adalah hak atas rasa
aman dari bahaya yang mengancam keselamatan dirinya. Hak tersebut merupakan
hak yang paling asasi yang harus dijamin dan dilindungi oleh Undang-undang.
Dengan demikian, mereka merasa aman melaksanakan kewajiban tanpa diliputi
rasa takut. Apabila hak tersebut telah diperoleh maka masyarakat kan merasa
harkat dan martabatnya sebagai manusia dihormati. Dengan demikian mereka
akan lebih leluasa melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara terutama
demi tegaknya hukum. Keberhasilan penegakan hukum dalam suatu negara akan
ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, dalam arti masyarakat
secara sukarela mematuhi hukum.3
Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna
kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan
dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang
sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai Negara Hukum.4
3
Tim Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta, Mewujudkan Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, LPSK.Gedung Perintis Kemerdekaan, Jakarta, 2011, hal 2
4
HAM sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat pada
sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat
sebagai manusia dan karena itu pula dikatakan bahwa hak-hak tersebut adalah
tidak dapat dicabut dan tidak dapat dilanggar. Dalam mukaddimah UDHR
terdapat kata equal yang menunjukkan tidak boleh adanya diskriminasi dalam
perlindungan Negara atau jaminan Negara atas hak-hak individu tersebut.5
Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kekhawatiran akan adanya
kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum dalam menjalankan
kewenangan yang dimilikinya. Hal yang tadinya hanya merupakan kekhawatiran
ini kemudian terbukti dengan tidak sedikitnya berita tentang praktik-praktik
penyiksaan oleh aparat dalam rangka memperoleh pengakuan dari
tersangka/terdakwa. Kenyataan tersebut akan menimbulkan simpati pada pihak
yang lemah ini dalam bentuk diberikannya seperangkat hak pada Peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan
kepentingan pelaku tindak pidana. Padahal peradilan pidana sebagai institusi yang
berwenang menjatuhkan sanksi pidana pada orang yang melanggar hukum pidana
sering sekali menjadi tolok ukur penilaian terhadap watak penguasa dan atau
masyarakatnya. Negara sebagai wakil publik, melalui peradilan pidana mendapat
sorotan tajam, yaitu bagaimana melaksanakan proses hukum terhadap
tersangka/terdakwa, yang juga merupakan bagian dari anggota masyarakat.
5
tersangka/terdakwa untuk membela dirinya melalui proses hukum yang adil (due
process of law).6
Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana (selanjutnya disebut
SPP) saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan.
Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tiadanya
perlindungan hukum bagi korban dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi
rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat luas. Tiadanya
perlindungan hukum sebagai implikasi atas belum ditempatkannya secara adil
korban dalam SPP, dapat ditelaah melalui perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang hukum pidana melaui hukum materil, hukum formal serta
hukum pelaksanaan (pidana). Demikian pula melalui empirik dalam praktik Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana
juga sangat penting dalam rangka penegakan hak asasi manusia (HAM), adanya
perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi
tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap HAM sebagai ciri yang penting suatu
Negara Hukum yang demokratis. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya
tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut
sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.
6
penegakan hukum dalam lembaga sub-sub SPP, korban juga belum tampak
memperoleh perlindungan hukum.7
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas kamanan
pribadinya dari ancama fisik maupun psikologis dari orang lain, berkenaan dengan
kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu tindak pidana. Di
samping itu, sejumlah hak diberikan kepada saksi dan korban, antara lain berupa
hak untuk memilih dan menetukan bentuk perlindungan dan keamanan, hak untuk
mendapatkan nasihat hukum, hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan,
hak untuk mendapatkan identitas dan tempat kediaman baru, serta hak untuk
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan.8
Masalah perlindungan saksi dan korban di dalam proses peradilan pidana
merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional.
Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan
dalam Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention ofCrime and The Upaya penegakan hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami
kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan /atau korban disebabkan
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Oleh karena itu,
perlu dilakukan perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban yang sangat
penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana guna memudahkan hakim
dalam membuat keputusan yang adil dan bermanfaat.
7
Humphrey R. Djemat, Lindungi Saksi Atau Pelapor Korupsi, Sinar Harapan, 3 Maret 2005, hal 2
8
Treatment of Offenders” di Milan, Italia :Disebutkan “Victims right should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem
peradilan pidana).9
Pengalaman empirik di Indonesia menjelaskan bahwa masalah
perlindungan Saksi dan korban menjadi masalah yang sangat krusial. Persoalan
yang utama adalah banyaknya Saksi yang tidak bersedia menjadi Saksi ataupun
tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya
jaminan yang memadai, terutama jaminan atas hak-hak tertentu ataupun Dalam Kongres PBB ini diajukan rancangan Resolusi tentang
Perlindungan Korban ke Majelis Umum PBB. Rancangan Resolusi ini kemudian
menjadi Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985
tentang “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse
of Power.” Saksi juga merupakan faktor utama di dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan.
Hal ini tergambar jelas dalam Pasal 184-185 KUHAP yang menempatkan
keterangan Saksi di urutan pertama di atas alat bukti lainnya. Urutan ini merujuk
pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di
persidangan. Mengingat kedudukan Saksi sangat penting dalam proses peradilan,
tidak hanya dalam proses peradilan pidana, namun juga proses peradilan yang
lainnya, dan tidak adanya pengaturan mengenai hal ini, maka dibutuhkan suatu
perangkat hukum khusus yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi.
9
mekanisme tertentu untuk bersaksi.10
Tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban diatur dalam
pasal 28-32 UU No. 13 Tahun 2006 yang mencakup berbagai prosedur dan Selain itu, hak-hak Korban atas
perkara-perkara tertentu juga tidak diberikan. Ketidakmauan saksi untuk memberikan
keterangan di persidangan tidak hanya terjadi di dalam kasus HAM, tetapi juga
terjadi di dalam kasus-kasus seperti kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terorisme, korupsi, pencucian uang dan
anak.
Hal-hal demikian menjadi suatu titik lemah dalam pemecahan berbagai
kasus yang ditangani oleh kepolisian, sampai akhirnya pada tahap pengadilan juga
terjadi hal yang sama, di mana jaksa penuntut umum telah membuat tuntutan dan
hakim sebagai wakil Tuhan menjadi sosok penentu nilai keadilan yang akan
diterima terdakwa dan korban dalam perkara yang dibawa di peradilan pidana.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dibentuk untuk memberikan rasa aman terhadap setiap saksi dan/atau
korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
Perlindungan dalam UU No. 13 Tahun 2006 diartikan sebagai segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada
saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Melihat pentingnya peranan saksi
dan/atau korban dalam membuat terang suatu perkara pidana maka penting juga
pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut.
10
persayaratan yang harus dipenuhi oleh saksi dan/atau korban untuk bisa
mendapatkan perlindungan dari LPSK yang terkadang sulit dilakukan oleh saksi
dan/atau korban tersebut. Kinerja LPSK dalam menjalankan tugasnya pun
dipandang kurang efektif. Hal ini disebabkan karena Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban yang masih memiliki kelemahan disana-sini.
Saksi dan/atau korban haruslah mengajukan permohonan kepada LPSK
agar mereka bisa mendapatkan perlindungan dari LPSK, disamping mereka juga
harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh LPSK. Namun dari
persyaratan tersebut terdapat beberapa ketentuan yang dipandang sulit untuk
dilakukan oleh saksi dan/atau korban. Kelemahan UU Perlindungan Saksi dan
Korban menjadi salah satu penyebab menurunnya kinerja LPSK dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap
tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi
dan Korban diatur dengan undang-undang sendiri.
Lembaga ini dipandang penting, karena masyarakat luas memandang
bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem
peradilan. Peranan saksi dan korban dalam setiap persidangan perkara pidana
sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan
terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan itu
kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi mencapai keadilan.11
Kehadiran LPSK masih dinilai belum maksimal, karna banyak hal yang
belum diatur secara spesifik dalam UU No. 13 Tahun 2006 yang menjadi kendala
LPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya setelah diimplementasikan
dalam ruang sistem peradilan pidana. Undang-undang Perlindungan Saksi dan
Korban hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK, keanggotaan dan
proses seleksi LPSK, dan pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak
mengatur secara spesifik mengenai organisasi dan dukungan kelembagaan,
administrasi, SDM, pengawasan, serta tranparansi dan akuntabilitas dari LPSK.12
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah di tinjau diatas memunculkan niatan
pemikiran oleh penulis untuk mengkaji kembali hal-hal yang dapat dipergunakan
untuk menguatkan kewenangan dan tugas-tugas LPSK dalam konteks sistem
peradilan pidana berkaitan dengan implementasinya melalui penulisan skripsi
dengan judul “ Penguatan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dalam Sistem Peradilan Pidana”.
Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan
apa kenyataannya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara
harapan dengan capaian atau singkatnya antara das sollen dengan das
11
Rahmat, Kesaksian, Majalah Kesaksian Edisi II, 2012, hal. 3.
12
sein.13Permasalahan hukum yang dimaksud pada bagian penelitian ini adalah uraian mengenai persoalan-persoalan atau pertanyaan-pertanyaan dari kasus yang
akan dijawab secara berurutan dan sistematis.14
1. Peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan kewenangan lembaga
perlindungan saksi dan korban (LPSK)?
Berdasarkan uraian di atas maka
perlu dilakukan kajian terhadap masalah “Penguatan Kewenangan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Indonesia”. Adapun
rumusan masalah yang akan dikaji yaitu:
2. Bagaimana penguatan kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban
(LPSK) ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang sudah ada
sebelumnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulidan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kebijakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam kaitan perlindungan saksi dan korban.
2. Untuk mengetahui kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam sistem peradilan pidana.
D. Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai
berikut:
13 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, hal 105
14
1. Manfaat Teoritis
Penulisan skripsi ini bisa dijadikan sebagai bahan kajian untuk memberikan
informasi-informasi pengetahuan tentang hukum pada umumnya dan hukum
pidana pada khususnya. Lebih khususnya lagi agar bermanfaat dalam
menambah dan memperkaya literatur-literatur yang berkaitan dengan
penguatan kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban(LPSK) dalam
sistem peradilan pidana.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi dan bahan masukan serta kontribusi pemikiran bagi
LPSK, aparat penegak hukum, pengacara, dan juga kepada masyarakat umum
mengenai penguatan kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban
dalam sistem peradilan pidana
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum. Penulis dalam
membuat dan memilih judul skripsi ini berdasarkan penelitian sendiri. Seperti kita
ketahui di dalam sebuah persidangan peran dari saksi dan korban sangat
diperlukan guna mencari kebenaran materiil dan keadilan yang murni dari sebuah
perkara. Hal ini adalah salah satu landasan yang membuat saya ingin mengupas
lebih dalam mengenai perlindungan saksi dan korban serta peran lembaga
perlindungan saksi dan korban (LPSK) sampai pada tata pelaksanaan
Penulisan skripsi mengenai lembaga perlindungan saksi dan korban
(LPSK) pada Fakultas Hukum USU sudah terlebih dahulu ada sebelumnya, yaitu
mengenai “ Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi” yang ditulis oleh
James Antro Yosua Panjaitan. Namun, secara khusus yang membahas
“Penguatan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dalam
Sistem Peradilan Pidana” belum ada. Hal ini didukung dengan persetujuan dari
perpustakaan untuk mengangkat judul skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
menjamin keaslian penulisan skripsi berdasarkan penelitian dan pengamatan
penulis sendiri.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Saksi dan Korban
Didalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa, saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan
sendiri, ia melihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.
Pengertian Saksi dapat dilihat di dalam Pasal 1 angka 36 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Menurut KUHAP,
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
Perlindungan atau pemberian hak-hak khusus kepada saksi dan korban
mutlak harus dilakukan. KUHAP, yang menjadi landasan beracara di dalam
peradilan pidana tidak mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi secara
spesifik. Hanya terdapat beberapa ketentuan di KUHAP yang mengatur mengenai
hak-hak seorang saksi. Hal tersebut dikarenakan perspektif yang dipakai oleh
KUHAP lebih “mementingkan” perlindungan terhadap pelaku.15
KUHAP tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan terhadap
Saksi. Namun, terdapat beberapa ketentuan di dalam KUHAP yang mengatur
mengenai hak-hak dan kewajiban seorang Saksi dalam suatu proses peradilan
pidana. Di dalam memberikan keterangannya kepada penyidik, Saksi harus bebas
dari segala tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.16 Apabila
menurut pendapat hakim seorang Saksi merasa tertekan atau tidak bebas di dalam
memberikan keterangan apabila terdakwa hadir di persidangan, maka hakim dapat
menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara dari persidangan selama hakim
mengajukan pertanyaan kepada Saksi.17
15 Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari pasal
50 hingga pasal 68. Selain itu, masih ada hak-hak yang lain, seperti di bidang penahanan, penggeledahan, dan lain-lain.
16
Pasal 117 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.
17
Pasal 173 KUHAP menyatakan bahwa hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa
Selanjutnya di dalam pasal 1 angka 2 UU PSK (Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban) dikatakan, korban adalahseseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan / atau kerugian ekonomi yang
Dengan demikian apabila dicermati bahwa UU PSK pada dasarnya
menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami
penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa
juga kombinasi di antara ketiganya.
Menurut Arief Gosita bahwa korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.18
Menurut Muladi, korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik dan
mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang
fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di
masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.19
18Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal.40 19
Muladi, HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal.108
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban diatas, dapat dilihat
bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang
secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan
kerugian dan/atau penderitaan bagi diri atau kelompoknya, bahkan lebih luas lagi
termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan
orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
2. Latar Belakang Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) serta Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK)
Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan
korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai
mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini
kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang
perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian
menghasilkan RUU perlindungan saksi.
Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk
segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU
Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari
berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun
2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara
peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli
dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat
dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi
(RAN PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU
Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005. Februari 2005 Rapat Paripurna ke
13 DPR RI Peridoe 2004-2009, telah menyetujui Program Legislasi Nasional.
Perlindungan Saksi. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU
Perlindungan Saksi memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan
memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi.
Akhirnya Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan
dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu, tanggal
30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas
RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum
dan HAM mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Januari 2006
pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM menyerahkan Daftar
Inventarisasi Masalah, tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR
RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri
dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan
Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan
Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di
DPR RI mendukung keberadaan UU tersebut. 11 Agustus 2006 Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah
satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah
pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk
paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008.
Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah
pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada
saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup
perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan
undang-undang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.20
3. Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
alami sendiri.21
Dari perngertian saksi tersebut di atas nampak jelas bahwa peran saksi
dalam proses pembuktian suatu peristiwa pidana sangatlah penting. Tanpa
kehadiran saksi di semua tingkat pemeriksaan, akan sangat sulit membuktikan
bahwa suatu peristiwa pidana telah terjadi.22
Untuk itu jangan sampai orang enggan dan takut menjadi saksi.
Keengganan dan ketakutan, bukan tidak beralasan sebab hal-hal yang tidak
mengenakkan, menakutkan bahkan menyakitkan kerap dialami oleh saksi, kita
bisa lihat kejadian-kejadian yang sudah terjadi di beberapa daerah.
tanggal 16 Mei 2017 pukul 15.00 WIB
21 Pasal 1 butir 1 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 22
Sesungguhnya apabila kita cermati dalam kenyataan, kondisi saksi tidak
jauh berbeda dengan tersangka/terdakwa, mereka sama-sama memerlukan
perlindungan, karena:23
a. Bagi saksi (apalagi yang awan hukum), Memberikan keterangan buanlah
suatu hal yang mudah,
b. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana
baginya karena dianggap bersumpah palsu,
c. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat
ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang merasa dirugikan atas
kesaksiannya,
d. Memberikan keterangan adalah membuang waktu dan biaya,
e. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang
tersangka/terdakwa.
Menurut I Ketut Sudiharsa, banyak masyarakat yang datang padanya dan
mengatakan jika mereka harus keluar uang ketika diperiksa. Bukan hal aneh, jika
seseorang diperiksa menjadi saksi justru berubah status menjadi tersangka.24
Dalam pengamatan Prof. Harkristuti, saat ini masih banyak saksi sulit atau
takut ke pengadilan karena adanya tekanan atau teror yang akan diterimanya
akibat lemahnya perlindungan terhadap mereka. Sebenarnya perlindungan itu
tidak cukup hanya sebatas rasa aman, namun sesuai semangat konvensi PBB yaitu
meliputi kesejahteraan, HAM, ekonomi, hingga psikologis mereka. Kita sepakat
bahwa perlindungan saksi dan korban merupakan pilar penegakan hukum dan
23 Teguh Samudera, Laporan Akhir Tim Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Tentang
Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, BPHN, Jakarta, 2001,hal.33-34.
24
HAM terlebih untuk kejahatan canggih dan sistematis seperti terorisme dan
narkoba.25
Adalah tugas negara untuk hadir dan memberikan perlindungan kepada
saksi, ini merupakan prinsip dasar sekaligus prinsip global yang telah diterapkan.
Negara wajib menemukan orang-orang, menyediakan anggaran dan keperluan
lainnya untuk melakukan dan memberikan perlindungan pada saksi. Negara yang
berbicara tentang perlindungan saksi, tetapi tidak mengalokasikan anggaran dan
sumber daya yg cukup untuk tujuan itu, negara tersebut gagal dalam menjalankan
tugasnya. Tetapi persoalan utama dalam menyiapkan sebuah program
perlindungan saksi bukanlah terletak pada ketersediaan anggaran (uang) semata, Pada dasarnya kebutuhan untuk sebuah perlindungan terhadap saksi dan
korban merupakan sebuah hal yang harus diperjuangkan dengan cara yang
menyeluruh. Hal ini menyakinkan saksi dan korban bahwa mereka aan merasa
aman, jauh dari intimidasi, bahkan tekanan teror yang kapan saja dapat
mengancam nyawanya dan oarang-orang yang dekat dengannya, maka tak ada
keraguan baginya untuk memberikan kesaksian. Tidak terselenggaranya
perlindungan terhadap saksi sama artinya dengan tidak melawan impunitas. Tanpa
perlindungan saksi, impunitas tidak mungkin dapat diperangi. Tidak adanya
perlindungan saksi, maka korban pelanggaran HAM (berat) yang melaporkan
perkara atau memperkarakan kasusnya tentu harus menghadapi ancaman serius
yang dapat membahayakan jiwa mereka dan keluarganya.
25
pemberian perlindungan kepada saksi juga mencakup tempat perlindungan saksi
yang ada atau sudah ditetapkan lewat kebijakan negara.26
G. Metode Penelitian
Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencari sesuatu.
Sebagaimana tentang cara penulisan harus dilakukan, maka metode penelitian
hukum yang digunakan antara lain:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode
pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap
permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.27
2. Data dan Sumber Data
Data penyusunan skripsi ini menggunakan data sekunder yang meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang telah ada dan berhubungan
dengan skripsi ini, yakni berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan skripsi ini.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang diperoleh untuk mendukung dan
berkaitan dengan bahan hukum primer yang terdiri dari rancangan
undang-undang, putusan pengadilan, buku dan pendapat para sarjana.
26
Basil Fernando, Arti Penting Perlindungan Saksi, Buletin Kesaksian, LPSK, Jakarta, 2008, hal. 19
27
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap hukum primer dan sekunder seperti kamus
hukum, ensiklopedia dan lainnya.28
3. Metode Pengumpulan Data
Metode penumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan (library reseach). Dalam hal ini, penulis melakukan
penelitian terhadap putusan pengadilan, literatur-literatur, peraturan
perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan
dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
4. Analisi Data
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu
penulisan semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan
asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik
kesimpulan dari bahan tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tercakup
dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara
tersendiri namun masih dalam konteks yang berkaitan antara satu dengan yang
lainnya.
Secara sistematis gambaran skripsi ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
28
Bab ini menggambarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,
yang membahas pengertian saksi dan korban, latar belakang
lahirnya lembaga perlindungan saksi dan korban(LPSK), dan
kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana, serta
metode penelitian dan sitematika penulisan.
BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Kewenangan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban
Dalam bab ini penulis ingin menguraikan peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan skripsi yang akan dibahas yaitu peraturan
mengenai kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban.
Hal-hal yang ingin dikaji penulis yaitu mengenai UU No. 13 Tahun
2006 tentang perlindungan saksi dan korban, PP No. 44 Tahun
2008 tentang pemberian kompensasi, restitusidan bantuan kepada
saksi dan korban,SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi
pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama di dalam
tindak pidana tertentu, dan peraturan LPSK No. 1 Tahun 2011
tentang pedoman pelayanan permohonan perlindungan pada
lembaga perlindungan saksi dan korban.
BAB III Implementasi Perlindungan Saksi dan Korban Oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam bab ini penulis ingin mengkaji tata pelaksanaan
dan juga tata pelaksanaan perlindungan saksi di Indonesia oleh
Lembaga Perlindungan Saksidan Korban (LPSK) melalui berbagai
aspek dan ditutup dengan contoh kasus perlindungan saksi dan
korban di Indonesia yang langsung ditangani oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK).
BAB IV Penguatan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Indonesia
Dalam bab ini penulis akan mencoba memberikan dasar penguatan
kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban dilihat dari
beberapa hal yaitu pemberian hak restitusi, kompensasi dan
bantuan kepada saksi dan korban yang dinilai masih sangat perlu
diperhatikan, pembentukan lembaga perlindungan saksi dan
korban di daerah, dan mempertegas kedudukan lembaga
perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan hukum
pidana.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan dan saran yang