A. Perlindungan Saksi dan Korban di Beberapa Negara
1. Inggris
Kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana di Inggris dapat dilihat dari perlakuan saksi dalam sistem peradilan pidana Inggris. ketentuan mengenai saksi, hak dan kewajibannya di depan pengadilan pidana diatur di dalam Witness
Charter. Witness charter telah dikembangkan untuk memberitahu saksi bagaimana mereka dapat mengharapkan untuk diperlakukan oleh penegak hukum
(polisi) jika mereka adalah berkapasitas sebagai saksi kejahatan atau saksi fakta. Dalam charter ini juga diatur saksi perlakuan terhadap saksi oleh badan-badan peradilan pidana dan pengacara jika saksi diminta untuk memberikan bukti untuk
penuntutan atau pertahanan di pengadilan pidana.
Charter itu memberikan pedoman yang membantu dan mendukung setiap saksi mengetahui haknya pada setiap tahap proses dari semua lembaga peradilan pidana. Kepada setiap saksi dijelaskan terlebih dahulu layanan apa yang dapat diberikan serta yang dapat mereka minta ketika menjadi saksi. Penegak
hukum juga diwajibakan untuk menjelaskan apa yang diperlukan kepada saksi dan karenanya ia akan memberikan perlakuan tertentu. Ketentuan ini diharapkan
Pelayanan saksi yang ditetapkan dalam witness charter berlaku untuk semua saksi, baik saksi fakta terlepas dari apakah mereka juga menjadi korban kejahatan. Jika saksi juga korban, dalam kapasitas sebagai korban mereka memiliki hak yang diatur dalam Kode Perlindungan terhadap korban kejahatan. Penting untuk diingat bahwa tidak seperti kode, sifat witness charter tidak wajib, karena itu tidak diatur dalam hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam pengantar dengan witness charter menyatakan bahwa mungkin ada kendala yang mempengaruhi kemampuan dari berbagai instansi untuk menyediakan layanan sebagaimana diatur dalam charter tersebut. Sehingga layanan yang diberikan kepada saksi tergantung pada kesiapan dan kemampuan lembaga penegak hukum dan pengacara, tetapi tetap diyakini bahwa mereka akan berusaha untuk mematuhi saksi, dan sejauh ini praktis dilakukan dan aturan profesional mereka memungkinkan.
Pelayanan dan perlindungan bagi saksi dilakukan oleh witness care unit (WCU) Perlindungan saksi yang diberikan kepada saksi sesuai witness charter tersebut yaitu:40
a. Perlakuan yang adil.
Saksi akan diperlakukan secara adil dan dengan hormat, sesuai dengan kebutuhan saksi, terlepas dari ras, agama, latar belakang, gender, seksualitas usia, atau cacat apapun.
b. Kemudahan pelaporan kejahatan.
Saksi diberi kemudahan untuk melaporkan kejahatan dan kecepatan menindaklanjuti.
40
c. Pelaporan
Atas laporan yang disampaikan telah dapat diidentifikasi apakah seorang saksi yang rentan atau terintimidasi dan bertanya apakah saksi memerlukan
perlindungan khusus. Dan mengestimasi kebutuhan perlindungan dan mempertanyakan perlindungan apa yang diperlukan. Jika saksi memerlukan
memberikan keterangan dalam waktu tertentu dapat menentukan, dan selanjutnya akan diberitahukan perkembangan kasusnya.
d. Penyelidikan.
Jika laporan saksi dianggap sebagai dugaan tindak pidana, maka diharapkan pelapor selanjutnya bersedia untuk memberikan keterangan di pengadilan, dan
selama proses penyidikan pelapor akan diberitahukan perkembangan kasusnya setiap bulan. Jika pelapor merasa terintimidasi apapun, maka dipertimbangkan tambahan perlindungan dan akan berusaha untuk menyediakannya.
e. Mempersiapkan diri di depan pengadilan;
Lembaga perlindungan akan mengatur kehadiran saksi sesuai kebutuhan
pribadi saksi termasuk untuk dilindungi oleh organisasi tertentu. Menjadwal ketersediaan waktu saksi untuk dimintai keterangan di pengadilan. Percepatan penanganan kasus yang melibatkan saksi yang terintimidasi terlebih dahulu.
f. Pemenuhan kebutuhan khusus saksi;
Setiap saksi akan diberikan layanan sesuai kebutuhan khusus saksi agar dapat
memberikan kesaksian di muka peradilan. Termasuk jika saksi yang: 1) Adalah saksi di bawah usia 17;
3) Memiliki kebutuhan komunikasi; atau 4) Adalah korban pelanggaran seksual.
g. Menentukan waktu sesuai ketersediaan waktu saksi
Dalam menetapkan tanggal persidangan, WCU atau pengacara akan meminta pengadilan untuk mencari waktu sesuai ketersediaan waktu saksi. Ini akan
mencakup berusaha untuk memastikan bahwa saksi tidak diharuskan untuk hadir di pengadilan pada tanggal di mana saksi memiliki komitmen penting (misalnya janji rumah sakit, pra-dipesan libur), kecuali ada yang luar biasa
keadaan. Saksi diharapkan memberitahukan terlebih dahulu ketersediaan waktunya untuk dipertimbangkan pengambilan keterangannya di sidang
pengadilan.
h. Memberikan prioritas pada kasus-kasus yang melibatkan saksi rentan, termasuk saksi anak;
Jika saksi yang rentan terhadap intimidasi, juga saksi anak, penuntutan atau pengacara pembela akan meminta pengadilan untuk memberikan prioritas
pemeriksaan. Yang berhak meminta prioritas adalah pihak penuntut atau pengacara yang mengajukan saksi yang rentan tersebut. Pemberitahuan tanggal persidangan dan meminimalkan kehadiran yang tidak perlu.
Pemberitahuan sebelum tanggal persidangan dan memastikan kehadiran saksi pada jadwal yang tepat untuk dimintai keterangan. memberikan informasi
menawarkan saksi kesempatan untuk mengunjungi gedung pengadilan di depan sidang. Saksi tidak akan diminta untuk hadir di pengadilan untuk mendengar setiap sidang. Saksi hanya diminta kehadirannya pada waktu saksi
dimintai keterangannya di sidang.
2. Amerika Serikat
Proses pemberian perlindungan terhadap saksi dalam unit khusus perlindungan saksi di Amerika dapat dipelajari melalui buku petunjuk bagi para jaksa dari Departemen Kehakiman (Department of Justice) AS mengenai
Undang-Undang tentang Reformasi Keamanan Saksi tahun 198441
Peraturan-peraturan ini memberikan informasi umum dan penting mengenai Program Keamanan Saksi (disebut juga dengan Program) dan
menetapkan langkah-langkah maupun cara bagaimana jaksa pemerintah bisa mendapatkan layanan dari Program tersebut untuk melindungi seorang saksi dari
bahaya yang mungkin ada terkait dengan kesaksian yang diberikannya. Di samping itu peraturan tersebut juga memiliki informasi tentang orang-orang yang
, bagian F, Bab XII dari Undang-Undang tentang Kontrol yang Komprehensif atas Kejahatan (Pub. L. No.
98-473).
41
berada di bawah perlindungan Kantor United States Marshals Serviceat, Biro Tahanan (Bureau of Prison) atau yang ada di bawah pengawasan Biro Tahanan dapat dilibatkan dalam investigasi (menjadi orang yang diinvestigasi).
Prosedur (langkah-langkah) yang akan dijelaskan dalam tulisan berikut ini berlaku bagi semua organisasi yang bernaung dibawah Departemen Kehakiman
dan semua organisasi yang memanfaatkan Program Keamanan Saksi atau berkepentingan dengan orang-orang yang berada di bawah perlindungan Kantor US Marshals Service atau Bureau of Prison. Divisi Kriminal dari Kantor Operasi Penegakan bertugas mengawasi program-program ini.
3. Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Saksi Tahun 1998, Jawatan Perlindungan Saksi berada di bawah naungan Departemen Kehakiman yang dipimpin dengan nama lembaga yakni: Jawatan Perlindungan
Saksi.42
42
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net, diakses tanggal 16 Mei 2917 pukul 16.00 wib.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, jawatan perlindungan saksi ini memiliki hubungan Khusus dengan institusi lainnya yakni: Komisi Khusus, Direktorat
Pengaduan Independen, Penuntut umum, Departemen Lembaga Pemasyarakatan, organisasi publik lainnya dan pejabat-pejabat keamanan (dalam hal ini adalah: Sekretaris bidang pertahanan, Komisioner Nasional Kepolisian Afrika Selatan,
Badan intelijen Nasional, Badan Rahasia Afrika Selatan, Komisioner Pelayanan Masyarakat) Undang-Undang Perlindungan Saksi 1998 ini mengatur hubungan
unit perlindungan saksi dengan mengintegrasikannya dengan tugas dan fungsi institusi lainnya yang telah ada.
Jawatan perlindungan saksi di Afrika ini selain berkantor pusat di ibukota
negara, dapat juga mendirikan sebuah kantor jawatan di daerah manapun dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Perlindungan Saksi. Selain itu Jawatan
juga berhak untuk menutup kantor atau menggabungkan suatu kantor cabang dengan kantor cabang lainnya dan sekaligus penataan adminsitratif sejauh dianggapnya perlu.
4. Jerman
Perlindungan Saksi merupakan masalah yang menjadi perhatian di seluruh
dunia, oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Untuk mencapai keadilan tersebut, pelaku tindak pidana harus diadili. Namun bukan rahasia umum lagi, bahwa keadilan seringkali tidak tercapai. Pelaku tindak pidana harus
dibebaskan karena dalam proses persidangan tidak terdapat cukup alat bukti dalam proses pembuktian dipersidangan untuk menyeret pelaku ke penjara. Salah
satu kontribusi ketidakcukupan alat bukti tersebut adalah tidak bersedianya saksi untuk memberikan kesaksiaannya di muka pengadilan. Ketidakbersediaannya itu pada umumnya memiliki alasan yang sama di negara manapun, yaitu tidak adanya
jaminan perlindungan baik yang dituangkan melalui instrumen hukum maupun tindakan yang dapat diberikan oleh negara untuk keselamatan mereka apabila
mereka bersedia untuk bersaksi.
negara Jerman. Tulisan berikut ini menguraikan pengaturan Perlindungan Saksi di Jerman berdasarkan Undang-undang mereka.
Masalah Perlindungan Saksi di Jerman diatur dalam dua Undang-undang, yaitu dalam KUHAP Jerman (Strafprozessordnung/StPO), yang pada tahun 1998 diadakan perubahan khusus untuk masalah perlindungan Saksi melalui UU Perlindungan Saksi Dalam Proses Pemeriksaan Pidana dan Perlindungan Terhadap Korban (Zeugenschutzgesetz/ZschG).43
Selain itu, pelaksanaan pemberian perlindungan saksi tunduk pada wewenang masing-masing negara bagian Jerman. Tentunya setiap negara bagian memiliki kebjiakan yang berbeda. Perbedaan itu dirasakan akan merepotkan apabila saksi berdasarkan suatu peraturan Negara bagian dapat dilindungi, namun ketika dia harus pergi ke negara bagian lain besar kemungkinan dia tidak bisa dilindungi. Oleh karena itu perlu diterbitkan suatu peraturan yang merupakan harmonisasi dari masing-masing perundang-undangan perlindungan saksi dari setiap Negara Bagian Jerman. Sehubungan dengan itu pada tahun 2001 pemerintah Jerman mengesahkan UU Harmonisasi Perlindungan Saksi Dalam Bahaya (Zeugenschutzharmonisierungsgesetz/ZshG).
Undang-undang ini menekankan pada Hak-hak dalam proses pemeriksaan. Namun ZschG ini kurang mengakomodir hak-hak saksi secara khusus, seperti halnya Hak-hak Saksi dalam Ancarnan, yang seringkali merupakan saksi kunci atas Tindak Pidana Berat.
44
43
Naskah asli Undang-undang Perlindungan Saksi Zeugenschutzgesetz tahun 1998 dapat dilihat di http://www.datenschutz-berlin.de/recht/de/ggebung/zeugen.htm. diakses tanggal 16 Mei 2917 pukul 16.00 wib
44Naskah asli Undang-undang Harmonisasi Perlindungan Saksi
Zeugenschutzharmonisierungsgesetz tahun 1998 dapat dilihat di http://www.lrz-muenchen.de/ - rgerling/gesetze/zshg.html. diakses tanggal 16 Mei 2917 pukul 16.00 wib.
perlindungan terhadap Saksi. UU ini hanya mengatur Perlindungan Saksi secara umum. Dalam Undang-undang ini tidak dibedakan antara Saksi dengan Saksi Korban. Selanjutnya UU ini tidak mengatur tentang perlindungan saksi yang merupakan Saksi Pelapor (whistle blower).
UU federal ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2002. UU harmonisasi ini
ada, karena Jerman itu negara federalis dan setiap negara bagian (ada 16 negara bagian) mempunyai aparat kepolisian sendiri yang terpisah satu sama lainnya dari
setiap negara bagian. Perlindungan saksi itu langsung dilakukan oleh aparat polisi sendiri atau otoritas lain.
Undang-undang ZshG ini dibuat dengan salah satu tujuan agar saksi yang
menjadi kunci penting dari suatu tindak pidana yang bersifat ekstrim seperti Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime), Terrorisme bersedia untuk
memberikan kesaksiaannya, mengingat apabila jaminan keselamatan tidak diberikan, maka Saksi akan enggan untuk memberikan kesaksiannya. Meskipun demikian, saksi dari tindak pidana yang lain juga tidak tertutup kemungkinan
untuk dimasukkan dalam program perlindungan saksi yang diatur secara khusus dalam UU tersebut. Untuk itu, para saksi dan orang-orang terdekatnya harus
diberikan perlindungan yang efektif dan memadai. Pemberian perlindungan itu tidak saja hanya pada saat pemberian kesaksian di pengadilan, namun juga mengikutsertakan Saksi dan Orang-orang terdekatnya pada Program perlindungan
Saksi pada kasus-kasus yang bersifat ekstrim, yang dapat berlangsung selama dan setelah proses persidangan usai.
kerja sementara ditempat baru tersebut, pemberian tunjangan hidup, dan lain-lain. Agar Saksi dapat diikutkan dalam program perlindungan saksi ini, persyaratan utamanya adalah bahwa tindak pidana yang dilakukan termasuk tindak pidana
berat, yang mana tanpa adanya perlindungan bagi saksi terkait, sulit mengadili perkara tersebut.
B. Implementasi Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia
Hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka atau terdakwa pelaku kejahatan diantaranya yaitu, hak untuk segera diperiksa, hak untuk didampingi penasihat hukum, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan dokter, agamawan, penasihat huumnya, hak untuk diberitahukan sangkaan atau dakwaan yang dituduhkan kepadanya dan lain-lain.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.45 Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “degree of evidence”, keterangan saksi agar keterangan saksi atau kesaksian memiliki nilai serta kekuatan pembuktian.46
Berlakunya undang-undang RI No. 13 Tahun 2006 tentunya diprediksikan
akan mengalami hambatan-hambatan secara normatif dalam hal pemberlakuan konsep protection of cooperating person maupun asas atau prinsip immunitas
45 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hal. 265
46
(kekebalan) yakni untuk tidak dituntut secara pidana dan perdata bagi para pengungap fakta (whistleblower).
Criminal Justice System sebagai suatu sistem dan masyarakat dalam proses menentukan konsep sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara sub sistem polisi, pengadilan dan lembaga
(penjara).47 Sedangkan Muladi, mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat fisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural synchronization), dapat pula bersifat substansial
(substancial synchronization), dan dapat pula bersifat cultural (cultural synchronization). Dalam hal sinkronisasi substansial, maka hal ini mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, sedangkan sinkronisasi cultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang
secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.48
Setelah diuraikan mengenai peranan korban diatas, selanjutnya pihak lain
yang juga berpengaruh terhadap lahirnya si korban dan si pembuat korban adalah pihak yang menyaksikan akan timbulnya suatu deviasi, lahirnya si orban dan si pembuat korban, ialah si saksi, si penonton/pengamat (by stander). 49
Berikut beberapa diantaranya permasalahan saksi di Indonesia. Pertama, masalah kesediaan untuk masuk program perlindungan. Ketika seseorang
menyatakan diri masuk program perlindungan, ia harus menyepakati beberapa
47
R. Abdussalam, DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, PTIK Press, Jakarta, 2005, hal.60
48
Muladi, Op.Cit, hal.13-14
49
persyaratan standar yang telah ditetapkan undang-undang. Salah satunya adalah bersedia untuk memutuskan hubungan dengan setiap orang yang dikenal jika keadaan mengkehendaki. Hal yang sama dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c UU No.
13 Tahun 2006 diartikan juga bahwa saksi/korban yang berada dalam program perlindungan akan dipindahkan ke tempat persembunyian yang benar-benar
memutus hubungan dengan siapapun dan tidak ada orang yang mengenalnya, meski keluarga inti (suami/istri dan anak) dimungkinkan untu diikutsertakan dalam persembunyian.
Pemutusan hubungan dengan orang lain ini termasuk kemungkinan untuk memberi saksi/orban beserta keluarga intinya kehidupan baru dengan mengubah
identitas dan tempat tinggal baru setelah bersaksi di depan sidang pengadilan agar pelaku kehilangan jejak dan tidak dapat melacak dan mencelakai saksi/korban setelah ia bebas dari hukumannya.
Konsekuensi ini sangat besar dampaknya. Begitu seorang saksi/orban menyatakan bersedia masuk program perlindungan, mengingat besarnya
konsekuensi yang diterima jika bersedia memberikan kesaksian, meskipun masuk program perlindungan, belum tentu setiap saksi/korban bersedia untuk mengorbankan kehidupannya sebesar itu.
Masalah lain yang akan dihadapai LPSK adalah tekanan psikologis yang dirasakan saksi/orban dalam program perlindungan, terutama saksi/korban yang
rasa kehilangan pasti tetap akan besar pada diri saksi/korban, begitupun pada keluarga intinya.
Berbeda dengan masyarakat Amerika, hubungan kekeluargaan yang akrab
dan kuat hanya ada pada keluarga inti. Sehingga, ketika keluarga inti saksi/korban diikutsertakan dalam program perlindungan, tidak ada masalah berarti secara
psikologis.
Masalah ketiga yang berpotensi mempersulit proses perlindungan saksi/korban adalah ketersediaan biaya pelaksanaan. Dalam undang-undang
perlindungan saksi dan korban disebutkan bahwa anggaran LPSK dibebankan pada APBN. Secara normatif sebenarnya tidak ada masalah. LPSK telah punya
sumber pendanaan tetap dalam melaksanakan tugasnya. Namun, secara praktis jika kita belajar dari pengalaman lembaga-lembaga penegak hukum saat ini, dana yang dianggarkan pemerintah untu LPSK bukan tidak mungkin juga masuk dalam
hitungan taraf minim. Apalagi, proses perlindungan saksi/korban yang akan dijalankan LPSK menharuskan banyak kebutuhan untuk dipenuhi, terutama jika
ternyata keadaan mengkehendaki saksi.50
C. Penguatan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
1. Hak Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Beberapa pokok penting mekanisme menurut Pasal 2 PP No. 44 Tahun
2008, yaitu :
(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh Kompensasi.
(2) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus.
(3) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
Pasal 3: Pengajuan permohonan Kompensasi dapat dilakukan pada saat dilakukan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau sebelum
dibacakan tuntutan oleh penuntut umum. Pasal 5:
(2) LPSK memeriksa kelengkapan permohonan Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan Kompensasi diterima.
(3) Dalam hal terdapat kekuranglengkapan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPSK memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk
melengkapi permohonan.
(4) Pemohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pemohon menerima pemberitahuan dari LPSK, wajib melengkapi berkas
permohonan.
Pasal 6: Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif. Pasal 7: Untuk keperluan pemeriksaan permohonan Kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, LPSK dapat meminta keterangan dari Korban, Keluarga, atau kuasanya dan pihak lain yang terkait.
Pasal 9 ayat (1): Hasil pemeriksaan permohonan Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai dengan pertimbangannya; ayat (2): Dalam pertimbangan LPSK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Kompensasi.
Pasal 10:
(1) LPSK menyampaikan permohonan Kompensasi beserta keputusan dan pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada pengadilan hak asasi manusia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi
permohonan Kompensasi yang dilakukan setelah putusan pengadilan hak asasi manusia yang berat telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Dalam hal LPSK berpendapat bahwa pemeriksaan permohonan Kompensasi perlu dilakukan bersama-sama dengan pokok perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(4) Salinan surat pengantar penyampaian berkas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) disampaikan kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dan kepada instansi pemerintah terkait.
Pasal 11:
(1) Dalam hal LPSK mengajukan permohonan Kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), pengadilan hak asasi manusia memeriksa dan menetapkan permohonan Kompensasi dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(2) Penetapan pengadilan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.
(3) LPSK menyampaikan salinan penetapan pengadilan hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan.
Pasal 15:
(2) Instansi pemerintah terkait melaksanakan pemberian Kompensasi dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima.
(3) Dalam hal Kompensasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara, pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan setelah
berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait lainnya. Pasal 16:
(1) Pelaksanaan pemberian Kompensasi, dilaporkan oleh instansi pemerintah terkait dan/atau Departemen Keuangan kepada ketua pengadilan hak asasi manusia yang menetapkan permohonan Kompensasi.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian Kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya, dengan tembusan kepada LPSK dan penuntut umum.
(3) Pengadilan hak asasi manusia setelah menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut mengumumkan pelaksanaan pemberian Kompensasi pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pengadilan yang dimaksud dalam pemberian kompensasi adalah pengadilan hak asasi manusia. Oleh karena hak atas kompensasi hanya dalam
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. LPSK dalam menyampaikan permohonan kompensasi beserta keputusan dan pertimbanga nnya diajukan kepada pengadilan hak asasi manusia untuk mendapatkan penetapan. Ketentuan
hukum tetap. Dalam hal LPSK berpendapat bahwa pemeriksaan permohonan kompensasi perlu dilakukan bersama-sama dengan pokok perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat permohonan dimaksud disampaikan kepada Jaksa
Agung. Kemudian penuntut umum pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam tuntutannya mencantumkan permohonan kompensasi beserta keputusan dan
pertimbangan LPSK untuk mendapatkan putusan pengadilan hak asasi manusia. Pengaturan mengenai pemberian restitusi dilakukan dengan mengajukan permohonan oleh korban, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan melalui
LPSK. Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana yang bersangkutan. Dalam hal
permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan
pertimbangannya kepada pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan. Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK
menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya
untuk mendapatkan putusan pengadilan.
Beberapa pokok penting mekanisme pemberian restitusi, Pasal 21:
Pasal 24: Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif. Pasal 25, ayat (1): Untuk keperluan pemeriksaan permohonan Restitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, LPSK dapat memanggil Korban, Keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk member keterangan;
ayat (2) Dalam hal pembayaran Restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut.
Pasal 27 ayat (1): Hasil pemeriksaan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan dengan keputusan LPSK,
disertai dengan pertimbangannya; ayat (2): Dalam pertimbangan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Pasal 28:
(1) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
kepada pengadilan yang berwenang.
(2) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK
(3) Penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
(4) Salinan surat pengantar penyampaian berkas permohonan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada
Korban, Keluarga atau kuasanya, dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga.
Pasal 29:
(1) Dalam hal LPSK mengajukan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan
Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(2) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.
(3) LPSK menyampaikan salinan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan. Pasal 30:
(2) LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan. Pasal 31:
(1) Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
salinan penetapan pengadilan diterima.
(2) Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi
kepada pengadilan dan LPSK.
(3) LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pengadilan mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman pengadilan.
Pasal 32 ayat (1): Dalam hal pelaksanaan pemberian Restitusi kepada Korban melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Korban, Keluarga, atau kuasanya melaporkan hal tersebut kepada
Pengadilan yang menetapkan permohonan Restitusi dan LPSK; ayat (2): Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera memerintahkan kepada
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 juga mengatur mengenai tata cara pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban. Bantuan tersebut dapat berupa bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pemberian Bantuan
dilakukan dengan mengajukan permohonan oleh Korban, Keluarga atau kuasanya kepada LPSK untuk mendapatkan penetapan mengenai kelayakan, jangka waktu
serta besaran biaya yang diperlukan dalam pemberian Bantuan. Pemberian Bantuan oleh LPSK ditetapkan dengan keputusan LPSK. Pemberian bantuan tersebut diberikan berdasarkan keterangan dokter, psikiater, psikolog, rumah sakit,
dan/atau pusat kesehatan/rehabilitasi. Jangka waktu pemberian bBantuan tersebut oleh LPSK dapat diperpanjang atau dihentikan setelah mendengar keterangan
dokter, psikiater, atau psikolog. Pemberhentian jangka waktu pemberian bantuan tersebut juga dapat dilakukan atas permintaan korban.
2. Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah.
Permohonan perlindungan bagi saksi dan korban dari seluruh daerah di Indonesia kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meningkat
signifikan empat tahun sejak lahirnya LPSK. Karenanya, pembentukan perwakilan LPSK di daerah menjadi kebutuhan mendesakdan perlu direalisasikan.51
Permohonan perlindungan dari tahun ke tahun melonjak pesat. Sejak 2012, tercatat lebih dari 1000 permohonan dari seluruh propinsi masuk ke LPSK. Pada
51
Abdul Haris Semendawai
Perlindungan dari Daerah Meningkat, Pembentukan LPSK Daerah Mendesak, diakses tanggal 16
Agustus 2012-September 2013, LPSK menerima 84 permohonan dan 154 permohonan pada 2014. Pada 2015, LPSK menerima 340 permohonan dan 616 permohonan per 2016. Hingga Maret 2017, LPSK telah menerima 210
permohonan.52
Bila tren ini berlanjut sementara penguatan kelembagaan dan daya dukung
SDM dan prasarana terhambat, kemampuan LPSK untuk melayani pemohon dan layanan akan melambat. Sehingga, salah satu langkah akomodatif adalah pembentuan LPSK daerah.53
Ada dua hal yang menjadi alasan pembentukan perwakilan LPSK daerah. Pertama, wilayah Indonesia yang luas dan permohonan yang sebagian
besar dari daerah sehingga LPSK daerah akan memberi akses yang cepat, mudah dan murah bagi saksi, pelapor dan korban. Perwakilan LPSK di daerah juga memudahkan koordinasi dengan penegak hukum dan pemerintah daerah.54
Kalaupun sudah ada pembentukan perwakilan LPSK di daerah, prioritasnya di tujuh daerah yang memiliki pengadilan tipikor. Sedangkan perlindungan LPSK
diprioritaskan pada saksi dan korban dalam tindak pidana tertentu, yaitu korupsi, pelanggaran HAM berat.55
Alasan kedua, UU 13 Tahun 2006 secara visioner membayangkan LPSK
tidak hanya di ibukota negara melainkan juga dibentuk di daerah. Hal ini sesuai Pasal 11 ayat 3, yang berbunyi LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai
dengan keperluan. Selain kebutuhan yang mendesak, momentum revisi UU 13
Tahun 2006 yang masuk prolegnas 2013 dapat dijadikan peluang pembentukan perwakilan LPSK di daerah.
3. Mempertegas Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dalam Sistem Peradilan Pidana.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban dalam ketentuan umumnya pasal 1,saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan/atau ia alami sendiri.UU perlindungan saksi dan korban ini masih tetap menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang
diatur oleh KUHAP.Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa status saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban sudah dimulai di tahap penyelidikan,sedangkan dalam KUHAP status
saksi dimulai dari tahap penyidikan. Pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban memang lebih
maju,krena berupaya mencoba memasukkan atau (memperluas) perlindungan terhadap orang-orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang berstatus pelapor atau pengadu.
Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan inipun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang
berstatus pelapor atau pengadu.Karena dalam banyak kasus ada orang yang berstatus pelapor ini kadangkala bukanlah orang yang mendengar,melihat,atau mengalami sendiri perkara tersebut. Oleh karena itu pula maka Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban sulit diterapkan untuk bisa melindungi orang-orang berstatuswhistlebower.56
Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan, tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada
saat dan setelah memberikan kesaksian.Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan
Selain itu dalam
konteks “definisi saksi” yang terbatas tersebut, undang-undang ini juga (tidak ada ditemukan/diatur) melupakan orang-orang yang memberikan bantuan kepada aparat penegak hukum untuk keterangan dan membantu proses pemeriksaan
pidana yang berstatus ahli (orang yang memiliki keahlian khusus).
Perlu ditambahkan, undang-undang ini tidak jelas mengatur “status saksi”
berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi.Apakah saksi yang membantu pihak tersangka atau terdakwa (a charge) ataukah saksi dari pihak yang membantu aparat penegak hukum (a de charge). Tidak
dicantumkannya secara tegas hal ini nantinya akan menimbulkan masalah dan membebani lembaga perlindungan saksi dan korban dalam pelaksanaannya.
Seharusnya undang-undang ini menegaskan bahwa saksi yang dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban adalah saksi yang berstatus aparat penegak hukum.
56
hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan dengan pengertian saksi itu sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban mengatur beberapa hak yang diberikan kepada
saksi dan korban,yang meliputi:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta bendanya,serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan,sedang,atau telah diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih&menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan 4. Mendapat penerjemah
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. Mendapatkan identitas baru
10. Mendapatkan tempat kediaman baru
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. Mendapat nasihat hukum
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam
kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban (LPSK).
Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, tidak setiap saksi atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan
pidana,secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam undang-undang ini.
Keberadaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi dan korban tindak pidana,tetapi yang menjadi persoalan adalah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
yang memberikan tugas dan kewenangan mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban adalah kepala lembaga perlindungan saksi dan korban,padahal yang
melakukan penyidikan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan bukan lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga perlindungan saksi ini berada di luar lembaga penegak hukum,seperti kepolisian,kejaksaan,dan pengadilan. Sehingga
dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan saksi dan korban akan mengalami kendala dan hambatan.57
Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan, di mana
57
keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak pidana, sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam
mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP, padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak
pidana,tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa yang tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada
kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh yang telah memberatkannya dalam proses penanganan perkara,hal ini tentunya
dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan hal tersebut,maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus,karena mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam
keselamatan dirinya sebagai seorang saksi.58
58
Ibid, hal.60
Tanpa adanya pengaturan yang tegas dan jaminan keamanan bagi seorang saksi,maka seseorang akan merasa takut
untuk menjadi seorang saksi. Kedepannya diharapkan supaya diberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi seorang saksi,agar masyarakat dapat berperan penting dalam mengungkap sebuah tindak pidana,seperti menjadi seorang
saksi,karena tanpa adanya jaminan keamanan dan keselamatan yang diberikan kepada seorang saksi,maka masyarakat enggan atau bahkan tidak mau menjadi
Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan khususnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia internasional. Hal ini tercermin dalam Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia
(International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia) danInternational Criminal Tribunal For Rwanda yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut pada statute dan aturan teknis prosedur pengadilan.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Pidana Internasional ad hoctersebut,maka perlindungan terhadap saksi dan korban dimuat dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang permanen atau Rome Statute of International Criminal Court (International Crime Court) yang diratifikasi oleh lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih baik kepada saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan, maka
dalam Statuta Roma diatur 3 hal penting, yaitu:59 a. Victim participation in the proceedings;
The statue mengakui bahwa korban dapat memberikan kontribusi dalam proses persidangan dan yang terpenting bahwa saksi bukan ditempatkan pada posisi yang pasif, akan tetapi bisa aktif terlibat dan memberikan keterangan
sebanyak mungkin yang bisa dijadikan bukti di dalam persidangan. b. Protection of victim and witnesses;
c. Statuta Roma International Crime Court ini mengakui adanya jaminan perlindungan keamanan terhadap saksi amupun korban baik perlindungan
59
secara fisik dan mental juga perlindungan terhadap martabat dan privasi para saksi dan korban. Adanya jaminan perlindungan saksi dan korban ini dimaksudkan juga untuk memberikan kredibilitas dan dasar hukum
padaInternational Crime Court, sehingga mendapatkan dukungan yang baik dari semua pihak termasuk saksi dan korban.
d. And the right to reparations.
Keinginan agar mendapatkan reparations ini didasari pada rasa penderitaan baik fisik maupun mental yang diderita oleh korban, sehingga sudah
selayaknya mereka mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di kemudian hari.
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain, berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau lebih diberikannya atas suatu
tindak pidana. Disamping itu sejumlah hak diberikan kepada saksi dan korban antara lain berupa hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan, hak untuk mendapatkan nasihat hukum, hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, hak untuk mendapatkan identitas dan tempat kediaman baru, serta hak untuk memperoleh penggantian biaya
transportasi sesuai dengan kebutuhan.
Pembahasan mengenai penerapan asas aquality before the law dalam
pidana, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana harus mewujudkan asas aquality before the law.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban memberikan perlindungan dan bantuan terhadap saksi maupun korban. Perlindungan yang dimaksud adalah dalam bentuk perbuatan yang memberikan
tempat bernaung atau perlindungan bagi seseorang yang membutuhkan,sehingga merasa aman terhadap ancaman di sekitarnya.
Selanjutnya di kepolisian, penerapan perlindungan saksi terhadap
merupakan suatu kewajiban bagi pihak kepolisian dalam kedudukan sebagai aparatur pelindung masyarakat, hal ini diatur dalam Pasal 13 huruf c UU
kepolisian. Dalam proses penyidikan karena polisi jadi penyidik, maka perlindungan tersebut dilakukan hanya sebatas alamat rumah,kemudian memonitor rumah dan menempatkan petugas untuk berjaga di luar rumah dalam
batas tertentu.Hal inilah yang dianggap kepolisian sebagai bentuk perlindungan. Di Kejaksaan,perlindungan terhadap saksi bentuknya sangat sederhana
seperti mengantar saksi dari dan kepengadilan, meminta kepolisian menempatkan anggotanya di rumah saksi, melindungi saksi dengan cara perlindungan hukum. Seperti kompensasi tidak dijadikan tersangka.
Dalam KUHAP telah terdapat beberapa Pasal yang mengakomodir sedikitnya perlindungan terhadap saksi antara lain: Pasal 108 ayat (1) yang
Selanjutnya Pasal 117 ayat (1), selain itu dalam proses peradilan seorang saksi memiliki hak untuk memberikan keterangan kepada penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun,serta pada pembuktian dimuka siding
pengadilan kepada seorang saksi tidak boleh diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat yang terdapat pada Pasal 166 KUHAP.
Perlindungan lain juga diberikan kepada saksi atau korban dalam suatu proses peradilan pidana, meliputi:60
a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara
tersebut diperiksa,tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);
b. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya.
60
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2006, Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelayanan Permohonan Perlindungan Pada Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Sebelum LPSK memberikan perlindungannya, saksi dan/atau korban haruslah mengajukan permohonan
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh LPSK, yang terkadang dirasakan berat oleh saksi dan korban untuk melakukannya.
2. Penguatan kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) sangat penting, karena keterangan saksi sangat membantu mengungkap suatu kasus. Dengan diberikannya jaminan keamanan dan keselamatan bagi saksi
dan/atau korban, dapat membuat rasa aman dan nyaman bagi mereka sehingga mereka dapat bersaksi dan memberikan keterangan-keterangan yang dapat
mendapat bantuan medis dan psikologis serta dapat mengajukan restitusi (ganti rugi). Selain hak-hak di atas, para saksi dan/atau korban juga akan didampingi oleh LPSK disetiap pemeriksaan di Kepolisian maupun saat di
Pengadilan. Hal ini dilakukan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada saksi dan/atau korban. Sehingga mereka dapat bersaksi dengan
perasaan yang nyaman.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka disarankan :
1. Perbaikan akan UU Perlindungan Saksi dan Korban akan sangat membantu LPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Sosialisasi tentang
kehadiran LPKS inipun penting dilaksanakan agar masyarakat luas semakin mengetahui secara jelas tentang bagaimana kinerja dari LPSK.
2. Sebaiknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebegai lembaga
independen yang memberikan perlindungan bagi saksi dan korban dapat mewujudkan perannya secara optimal guna menegakkan sistem peradilan
pidana di Indonesia dan memiliki standar perlindungan berdasarkan level ancaman serta perlu adanya penguatan peran mengenai kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan hukum