• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Tinjauan Makanan Tradisional

1. Definisi Makanan Tradisional

Makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan (seperti penganan, lauk-pauk, kue). Makanan merupakan segala bahan yang kita makan atau masuk ke dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh.

Makanan adalah hasil dari proses pengolahan suatu bahan pangan yang dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto, 1993). Makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh. Terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel tubuh (Irianto, 2004).

Sedangkan tradisional yaitu sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun, menurut tradisi (adat).

commit to user

Maka dapat disimpulkan makanan tradisional adalah makanan yang bahannya berasal dari lingkungan kita sendiri. Memiliki dua fungsi, yaitu sebagai ketahanan pangan dan sebagai budaya. Untuk masalah kuliner, memang cenderung terkait dengan manufaktur, yaitu terkait dengan bagaimana menghasilkan bentuk yang sama, dalam jumlah banyak dan secara cepat. Di luar manufaktur, ada banyak mulut yang harus menikmati hasil-hasil kuliner. Ilmu pangan dalam bidang kuliner memang belum banyak. Makanan tradisional adalah kajian dari kulinologi sehingga sekarang berkembang apa yang disebut dengan kuliner. Kajian ini meliputi masalah cita rasa, aroma, tekstur, dan seni memasak (Murdijati Gardjito, 2010).

Secara harfiah, pengertian makanan tradisional adalah makanan, minuman, dan bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah. Biasanya makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat lokal dengan bahan-bahan yang juga diperoleh dari sumber lokal. Serta memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat (Harjoko Sangganagara, 2010).

Makanan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat, aneka pangan tradisional, seperti tempe, tahu, bawang putih, madu, temulawak, gado-gado, kacang hijau, ikan laut, ikan darat dll. Karena disamping khasiat, makanan tradisional Indonesia juga mengandung segi positif yang lain seperti: bahan-bahan yang alami, bergizi tinggi, sehat dan

commit to user

aman, murah dan mudah didapat, sesuai dengan selera masyarakat sehingga diyakini punya potensi yang baik sebagai makanan.

Makanan tradisional Indonesia adalah segala jenis makanan olahan asli Indonesia, khas daerah setempat, mulai dari makanan lengkap, selingan dan minuman, yang cukup kandungan gizi, serta biasa dikonsumsi oleh masyarakat daerah tersebut dengan beragam dan bervariasinya bahan dasar, maka dapat dihasilkan bermacam-macam jenis makanan tradisional yang sedemikian rupa sehingga menjadi makanan yang lezat dan gizi seimbang. Demikian juga cara pengolahannya dilakukan dengan beragam dan bervariasi seperti : dengan membakar/memanggang, pengasapan, pemepesan, pengukusan, menggoreng dan menumis.

Makanan tradisional Indonesia dipengaruhi oleh kebiasaan makan masyarakat dan menyatu di dalam sistim social budaya berbagai golongan etnik di daerah-daerah. Makanan tersebut disukai , karena rasa, tekstur dan aromanya sesuai dengan seleranya. Demikian juga dengan kebiasaan makan khas daerah umumnya tidak mudah berubah, walaupun anggota etnik bersangkutan pindah ke daerah lain.

2. Perkembangan Makanan Tradisional di Dunia

Negara Meksiko juga memiliki makanan tradisional yang disebut tortila. Setiap harinya penduduk di daerah pedalaman negera ini menyiapkan tortila, tak ubahnya dengan memasak nasi bagi masyrakat di Indonesia. Tortila dibuat dengan memanfaatkan salah satu kekayaan alam Meksiko yaitu jagung. Catatan sejarah menunjukkan bahwa dari negara inilah asal muasal jagung yang kini tersebar ke seluruh penjuru dunia. Yang menarik, tortila yang

commit to user

dulunya merupakan makanan tradisional di daerah pedesaan, kini juga dikonsumsi oleh penduduk di perkotaan bahkan menembus ke sejumlah negara lainya seperti Amerika Serikat. Teknologi dan pengelolaan yang lebih

baik merubah citra tortila dari makanan ”orang kampung” menjadi ”makanan

modern”.

Penduduk di negara-negara maju kini lebih hati-hati untuk menentukan jenis makanan apa yang akan dikonsumsinya. Selain cita rasa, mereka juga mulai mempertimbangkan efek dari makanan tersebut untuk kesehatan dalam jangka panjang, serta dampak dari proses produksi makanan tersebut terhadap kelestarian lingkungan. Secara berangsur-angsur mereka mulai meninggalkan makanan konvensional seperti fast food dan berusaha untuk kembali ke makanan tradisional. Sebagian memilih untuk menjadi vegetarian dengan pertimbangan sumberdaya yang diperlukan untuk memproduksi bahan pangan hewani jauh lebih besar daripada bahan pangan nabati. Down to Earth, salah satu lembaga pendukung gaya hidup vegetarian, menyebutkan bahwa untuk menghasilkan satu kalori daging sapi membutuhkan 78 kali lipat energi yang diperlukan untuk memproduksi satu kalori kedelai.

Berbeda dengan kecendrungan yang terjadi di negara maju, berbagai jenis makanan fast food, terutama international fast food, kini tumbuh dan berkembang, membanjiri kota-kota besar di Indonesia dan bersaing dengan makanan-makanan tradisional. Bagi sebagian masyarakat, fast food semacam ini masih menjadi konsumsi golongan menengah ke atas. Oleh karena itu menyantap makanan di restoran fast food tidak hanya sekedar untuk

commit to user

memenuhi kebutuhan perut, tetapi juga merupakan suatu prestise. Apalagi restoran semacam ini biasanya dilengkapi dengan beberapa fasilitas lainya seperti arena permainan anak-anak serta penataan ruangan yang lebih menarik, sehingga mengundang masyarakat untuk lebih sering mendatangi restoran seperti ini. Tidak salah bila anak-anak sekarang pun lebih terbiasa dengan

makanan “introduksi” seperti donat, pizza, dan fried chicken, dibandingkan dengan makanan lokal seperti kaledo dan pepeda di atas. Bila kecendrungan ini terus berlanjut, tidak dapat dipungkiri pada saatnya nanti makanan lokal akan menjadi asing di negerinya sendiri.

3. Perkembangan Makanan Tradisional di Indonesia

Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia menyimpan kekayaan flora dan fauna yang melimpah, sebagian diantaranya berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan pangan. Disamping itu, berbagai kelompok masyarakat (kelompok etnik) yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara juga memiliki beraneka-ragam makanan tradisional, terutama yang bahan dasarnya non-beras. Akan tetapi, sebagian besar dari makanan tradisional tersebut hanya dikenal dan dikonsumsi secara lokal.

Misalnya saja kaledo, sop tulang kaki sapi khas Sulawesi Tengah ini biasanya disajikan panas-panas dan dimakan dengan ubi kayu yang direbus. Lain lagi dengan Papua, masyarakat di daerah ini memiliki papeda. Makanan yang bahan dasarnya sagu ini bisanya dimakan dengan kuah ikan (Bambang Hariyadi, 2007).

Dengan sentuhan teknologi dan pengelolaan yang lebih baik, makanan tradisional seperti kaledo ataupun papeda dapat dikembangkan

commit to user

lebih lanjut, selain untuk memperbaiki kandungan gizinya, juga untuk menjangkau pasar yang lebih luas di luar konsumen tradisionalnya. Sehingga makanan tradisional seperti kaledo dan pepeda juga tersedia di daerah-daerah

yang lain. “Pengayaan” makanan tradisional seperti kaledo tidak hanya

mempromosikan makanan asli Indonesia, yang lebih penting lagi adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan cara mengurangi ketergantungan terhadap beras (Bambang Hariyadi, 2007).

Dokumen terkait