• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pengkajian tehadap penelitian terdahulu penting dilakukan untuk mendalami pemahaman terhadap metode analisis yang akan digunakan dan komoditi yang akan diteliti. Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan usaha jamur tiram. Berikut merupakan hasil dari pengkajian beberapa penelitian terdahulu tentang komoditi jamur tiram putih.

Nugraha (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat. Saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor melibatkan enam lembaga pemasaran, yaitu produsen,

pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pedagang pengecer dan supplier. Terdapat delapan saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor. Saluran pemasaran terpendek adalah antara produsen dan konsumen merupakan saluran dengan tingkat efisiensi tertinggi dengan farmer’s share mencapai 100 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 63,73 persen dari harga beli konsumen. Saluran terpanjang terdiri dari produsen – pengumpul - pedagang besar - pedagang menengah - pedagang pengecer – konsumen, merupakan saluran pemasaran dengan tingkat efisiensi terendah dengan nilai farmer’s share sebesar 52,38 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 65,87 persen dari harga beli konsumen.

Ruillah (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung. Ruillah membagi petani sampel ke dalam tiga skala usaha, yaitu Skala I adalah petani yang memiliki luas kumbung kurang dari 76,5 m2. Skala II adalah petani dengan luas kumbung antara 76,5-135,5 m2. Skala III adalah petani dengan luas kumbung lebih dari 135,5 m2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai petani skala I paling besar dibanding skala II dan skala III, maka usahatani yang paling menguntungkan adalah usahatani skala I. Namun, usahatani skala III ternyata memiliki nilai R/C rasio paling besar yaitu sebesar 3,75 maka usahatani jamur tiram putih skala III adalah yang paling efisien. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi jamur tiram putih adalah tenaga kerja, bibit, serbuk kayu, kapur, bekatul dan gips. Usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi berada pada kondisi increasing return to scale atau berada pada tahap kenaikan hasil yang meningkat.

Sari (2008), melakukan penelitian tentang Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor). Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jamur tiram putih pada skala usaha rata-rata 2.000 log pada kelompok tani Kaliwung Kalimuncar. Diketahui bahwa faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon. Nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,70 dan nilai R/C

rasio atas biaya total sebesar 1,06. Saluran pemasaran di lokasi penelitian melibatkan petani-bandar/tengkulak-pasar-konsumen.

Noviana (2011), melakukan penelitian tentang Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Pola pemasaran jamur tiram putih terdiri dari dua buah saluran tataniaga. Saluran tataniaga I terdiri dari Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar/Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir. Saluran tataniaga II hanya terdiri dari Petani – Konsumen Akhir. Volume penjualan jamur tiram putih sebanyak 430 kg per harinya. Pasar tujuan akhir pemasaran adalah Pasar Induk Tangerang. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh kedua saluran tataniaga ini di masing-masing pelaku tataniaga dilakukan dengan sistem tunai. Penentuan harga beli di tingkat petani oleh pedagang pengumpul desa ditentukan oleh pedagang besar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul desa sesuai dengan mekanisme pasar yang terjadi atau berdasarkan pada harga yang berlaku di pasar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengecer mengikuti mekanisme harga pasar yang berlaku saat itu. Untuk penentuan harga di saluran II, yaitu antara petani langsung dengan konsumen akhir, dilakukan dengan cara tawar-menawar hingga tercapai kesepakatan harga antara kedua belah pihak.

Menurut Noviana, struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang pengumpul desa cenderung mengarah pada pasar monopsoni karena jumlah petani lebih banyak daripada jumlah pedagang pengumpul desa dan harga ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar cenderung bersifat pasar monopsoni. Namun menurut penulis, struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul desa dan pedagang besar dari sisi pembeli adalah struktur pasar oligopsoni murni, karena pedagang pengumpul desa dan pedagang besar masing-masing berjumlah lebih dari satu lembaga, walaupun tidak banyak. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang besar dengan pedagang pengecer cenderung mengarah pada pasar persaingan murni. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengecer dengan konsumen akhir cenderung pada pasar persaingan murni. Rasio keuntungan tertinggi diraih oleh pedagang pengecer.

Saluran tataniaga yang lebih menguntungkan petani adalah saluran tataniaga II, yaitu petani langsung memasarkan produknya ke konsumen akhir.

Risiko produksi yang teridentifikasi pada usaha jamur tiram putih adalah akibat serangan hama sebesar 20,90 persen, akibat perubahan cuaca sebesar 17,90 persen, akibat teknologi sterilisasi sebesar 9,30 persen, akibat kurangnya keterampilan tenaga kerja sebesar 4,60 persen dan akibat teknologi inkubasi yang kurang tepat sebesar 7,10 persen. Serangan hama adalah faktor kegagalan terbesar pada usaha jamur tiram putih. Penelitian tentang risiko produksi tersebut dilakukan oleh Sumpena (2011) melalui penelitian berjudul Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV Mushroom Production House Kota Bogor, Jawa Barat.

Dari hasil peninjauan terhadap penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa secara umum (melalui perhitungan kuantitatif), pengusahaan jamur tiram di daerah Bogor, Cianjur dan Bandung sama-sama memberikan keuntungan terhadap petani pengusahanya. Peninjauan penelitian sebelumnya juga memberikan masukan dan informasi mengenai metode penelitian yang penulis gunakan. Pada dua penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih, yaitu penelitian Nugraha (2006) dan Noviana (2011) dapat terlihat bahwa saluran tataniaga komoditas jamur tiram putih rata-rata melibatkan lebih dari dua lembaga tataniaga, artinya saluran tataniaga jamur tiram putih cukup panjang hingga akhirnya sampai ke tangan konsumen akhir.

Tabel 8. Hasil Penelitian Terdahulu

No. Nama Tahun Judul Alat Analisis Hasil

1. Nugraha 2006

Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat Analisis lembaga pemasaran, saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar, marjin pemasaran, farmer’s share, R/C rasio. Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi 2. Ruillah 2006 Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Analisis pendapatan, analisis fungsi produksi (Cobb- Douglas), R/C rasio. Petani jamur tiram dengan skala usaha besar (> 135,5 m2) adalah yang paling efisien bila dilihat dari Nilai R/C rasio 3. Sari 2008 Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor) Analisis fungsi produksi (Cobb- Douglas) dan R/C rasio. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon 4. Noviana 2011 Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) Analisis saluran tataniaga, fungsi- fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share, serta R/C rasio Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi 5. Sumpena 2011 Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV Mushroom Production House Bogor, Jawa Barat

Analisis metode nilai standar (Z- score) dan Value at Risk (VaR). Risiko produksi tertinggi pada usahatani jamur tiram putih disebabkan oleh serangan hama.

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai sistem tataniaga dan pendekatan-pendekatan analisis tataniaga seperti pendekatan komoditi, pendekatan lembaga dan saluran tataniaga, pendekatan fungsi tataniaga, pendekatan sistem dan struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi tataniaga, marjin tataniaga, rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, dan farmer’s share.

3.1.1. Konsep Tataniaga Pertanian

Istilah tataniaga saat ini lebih dikenal dengan istilah pemasaran atau marketing. Definisi dari tataniaga pertanian adalah proses aliran pemasaran suatu komoditi pertanian dari tangan produsen ke pihak konsumen yang disertai dengan perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dengan melakukan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga, oleh karena itu tataniaga merupakan suatu kegiatan yang produktif (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002).

Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dari tataniaga, yaitu menyampaikan suatu produk dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir, perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan tataniaga yang dibangun berdasarkan arus barang yang meliputi proses pengumpulan (konsentrasi), proses pengembangan (equalisasi) dan proses penyebaran (dispersi). Proses konsentrasi merupakan tahap awal dari pergerakan arus tataniaga suatu barang. Barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah kecil dikumpulkan menjadi jumlah yang lebih besar agar dapat disalurkan ke pasar- pasar eceran secara lebih efisien. Kemudian dilanjutkan dengan proses equalisasi, yaitu berupa tindakan penyesuaian permintaan dan penawaran berdasarkan tempat, waktu, jumlah, dan kualitas. Tahap terakhir adalah proses dispersi dimana

barang-barang yang telah terkumpul disebarkan ke arah konsumen atau pihak yang menggunakannya.

Tataniaga hasil pertanian memiliki perbedaan dengan tataniaga produk non pertanian. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada ciri dan sifat khusus yang dimiliki oleh produk pertanian. Soekartawi (1989) menyebutkan ciri produk pertanian yang membedakan dengan produk non pertanian, yaitu:

1) Produk pertanian adalah musiman. Artinya, produk pertanian tidak mungkin tersedia setiap saat bila tanpa diikuti dengan manajemen stok yang baik. 2) Produk pertanian bersifat segar dan mudah rusak. Artinya, produk pertanian

diperoleh dalam keadaan segar sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Jika diinginkan penyimpanan dalam waktu yang relatif lama, maka diperlukan perlakuan tambahan.

3) Produk pertanian bersifat bulky. Artinya, volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil, akibatnya dalam proses pengelolaannya diperlukan tempat yang luas.

4) Produk pertanian lebih mudah terserang hama dan penyakit. 5) Produk pertanian tidak selalu mudah didistribusikan ke tempat lain.

6) Produk pertanian bersifat lokal atau kondisional. Artinya, tidak semua produk pertanian dapat dihasilkan dari satu lokasi, melainkan dari berbagai tempat.

7) Produk pertanian mempunyai kegunaan yang beragam dari satu bahan baku yang sama.

8) Produk pertanian kadang memerlukan keterampilan khusus yang tenaga ahlinya sulit disediakan.

9) Produk pertanian dapat digunakan sebagai bahan baku produk lain, disamping juga dapat dikonsumsi langsung.

10) Produk pertanian tertentu dapat berfungsi sebagai “produk sosial”, seperti beras di Indonesia.

Untuk menganalisis sistem tataniaga suatu komoditas pertanian dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan sudut pandang yang dikenal dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Terdapat lima pendekatan pada pendekatan S-C-P yang sering dilakukan, yaitu pendekatan barang/komoditi

(commodity approach), pendekatan fungsi (functional approach), pendekatan lembaga (institusional approach), pendekatan sistem (system approach), dan pendekatan permintaan-penawaran/pendekatan teori ilmu ekonomi (economics theoritical approach) (Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).

3.1.2. Pendekatan Komoditi Tataniaga

Sudiyono (2002) mengemukakan bahwa pendekatan komoditi (commodity approach) dilakukan dengan cara menetapkan komoditi apa yang akan diteliti dan kemudian mengikuti aliran komoditi tersebut dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir serta menekankan dengan penggambaran mengenai apa yang dilakukan terhadap komoditi pertanian dan bagaimana suatu komoditi pertanian dipasarkan secara efisien. Dengan pendekatan ini, secara deskriptif mampu menggambarkan apa yang terjadi pada proses pemasaran suatu komoditi pertanian yang mengalir dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir. Masalah-masalah pemasaran komoditi pertanian seperti kerusakan karena lama proses pemasaran, kesalahan penanganan, kontrol kualitas yang rendah, penanganan pascapanen berlebihan yang semestinya tidak penting dilakukan, dapat diteliti secara seksama dengan mengikuti saluran-saluran pemasaran komoditi pertanian ini.

3.1.3. Pendekatan Lembaga Tataniaga

Aliran barang dalam suatu sistem tataniaga dapat terjadi karena peranan perantara (middlemen) yang disebut lembaga tataniaga. Dalam tataniaga komoditi pertanian terdapat pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga.

Lembaga tataniaga adalah organisasi atau kelompok bisnis yang turut serta atau terkait dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian barang dari produsen sampai ke titik konsumen atau melakukan fungsi tataniaga (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002). Lembaga tataniaga berperan dalam melakukan proses pengambilan keputusan dalam proses tataniaga suatu komoditi. Pendekatan ini mempertimbangkan sifat dan karakter dari

pedagang perantara, hubungan agen dan susunan/perlengkapan organisasi (Asmarantaka 2009).

Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu:

1) Merchant middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak (menguasai dan memiliki) atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholesalers).

2) Agent middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah komisioner dan broker.

3) Speculative middlemen atau spekulator adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga. 4) Processors and manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk

mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang setengah jadi dan barang jadi.

5) Facilitative organization adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain yang membantu memperlancar aktivitas tataniaga (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).

3.1.4. Pendekatan Fungsi Tataniaga

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983), fungsi tataniaga adalah serangkaian kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang atau jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Fungsi tataniaga bekerja melalui lembaga tataniaga atau dengan kata lain, fungsi tataniaga ini harus ditampung dan dipecahkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga.

Pada prinsipnya terdapat tiga tipe fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran (exchange function), fungsi fisik (physical function), dan fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function).

1) Fungsi pertukaran (exchange function) dalam tataniaga produk pertanian meliputi kegiatan yang menyangkut pengalihan hal pemilikan dalam sistem pemasaran. Fungsi pertukaran ini terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Dalam melaksanakan fungsi penjualan, maka produsen atau lembaga pemasaran yang berada pada rantai pemasaran sebelumnya harus memperhatikan kualitas, kuantitas, bentuk, dan waktu, serta harga yang diinginkan konsumen atau lembaga pemasaran yang berada pada rantai pemasaran berikutnya. Sedangkan, fungsi pembelian diperlukan untuk memiliki komoditi-komoditi pertanian yang akan dikonsumsi ataupun digunakan dalam proses produksi berikutnya.

2) Fungsi fisik (physical function) meliputi kegiatan-kegiatan yang secara langsung diperlakukan terhadap komoditi pertanian, sehingga komoditi- komoditi pertanian tersebut mengalami tambahan guna tempat dan guna waktu. Fungsi fisik meliputi pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan meliputi perencanaan, pemilihan, dan pergerakan alat- alat transportasi dalam pemasaran produk pertanian. Fungsi penyimpanan diperlukan karena produksi komoditi pertanian bersifat musiman, sedangkan pola konsumsi bersifat relatif tetap dari waktu ke waktu. Penyimpanan ini bertujuan untuk mengurangi fluktuasi harga yang berlebihan dan menghindari serangan hama dan penyakit selama proses pemasaran berlangsung.

3) Fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function) adalah fungsi untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas merupakan usaha-usaha perbaikan sistem pemasaran untuk meningkatkan efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga. Fungsi penyediaan fasilitas ini meliputi standardisasi, pengurangan risiko, informasi harga, dan penyediaan dana. Standardisasi yaitu menetapkan grade/tingkatan kriteria kualitas suatu komoditi. Penetapan kualitas komoditi pertanian berdasarkan tingkatan tertentu berdasarkan salah satu atau beberapa sifat produk pertanian (misalnya ukuran, bentuk, warna, rasa, dan masakan) disebut grading. Selama pergerakan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, komoditi mungkin menghadapi kerusakan, kehilangan, dan risiko lain. Untuk mengurangi risiko

ini, lembaga tataniaga berhubungan dengan lembaga asuransi yang menanggungnya. Risiko ini pada prinsipnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu risiko fisik, seperti penyusutan berat dan volume komoditi pertanian, kehilangan dan kebakaran, dan risiko ekonomi, seperti fluktuasi harga dan kebijakan moneter. Fungsi lembaga penyediaan dana adalah untuk memperlancar fungsi pertukaran, terutama untuk proses pembelian. Lembaga penyedia dana bisa berupa bank atau lembaga perkreditan. Informasi pasar sangat penting mempertemukan potensial penawaran dan permintaan. Informasi pasar ini tidak hanya mencantumkan harga komoditi per satuan, tetapi juga menginformasikan persediaan dan kualitas komoditi di tingkat pasar pada tempat dan waktu tertentu.

3.1.5. Pendekatan Sistem dan Struktur Pasar

Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan bahwa sistem adalah suatu kumpulan komponen yang bersama-sama dalam suatu kegiatan yang terorganisir. Pendekatan ini menekankan kepada keseluruhan sistem, efisiensi, dan proses yang kontinyu membentuk suatu sistem. Struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka 2009). Secara umum, seperti yang dikemukakan oleh Limbong dan Sitorus (1987), berdasarkan strukturnya pasar dapat digolongkan menjadi dua yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna.

Dalam Sudiyono (2002), disebutkan bahwa ada empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar, yaitu:

1) Jumlah dan besar penjual dan pembeli 2) Keadaan produk yang diperjualbelikan 3) Kemudahan masuk dan keluar pasar

4) Pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi

Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar. Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009), mengemukakan

lima jenis struktur pasar pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya yang tercantum pada Tabel 9.

Tabel 9. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

No.

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah

Perusahaan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli 1. Banyak Standardisasi Persaingan

Sempurna

Persaingan Sempurna 2. Banyak Diferensiasi Monopolistic

Competition

Monopsonistic Competition 3. Sedikit Standardisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4. Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni Diferensiasi

5. Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber: Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009).

3.1.6. Pendekatan Teori Ekonomi

Pendekatan tataniaga melalui teori ekonomi ditekankan kepada masalah- masalah permintaan dan penawaran, harga, keseimbangan pasar, kompetisi/persaingan, dan lain sebagainya antara petani dan konsumen pada komoditi yang diteliti (Limbong dan Sitorus 1987).

3.1.7. Efisiensi Tataniaga

Pemasaran/tataniaga sebagai kegiatan produktif mampu meningkatkan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu. Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu diperlukan biaya tataniaga. Biaya tataniaga diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga dari prodesen hingga sampai ke konsumen akhir. Pengukuran kinerja tataniaga ini memerlukan ukuran efisiensi tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen, lembaga-lembaga perantara, dan

konsumen akhir. Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta bila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut.

Sudiyono (2002) menyebutkan bahwa konsep efisiensi didekati dengan rasio output-input. Suatu proses tataniaga dikatakan efisien apabila:

1) Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit. 2) Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan.

3) Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat daripada laju input.

4) Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input.

Output pemasaran ini berupa kepuasan konsumen akibat penambahan utilitas terhadap output-output pertanian yang dikonsumsi konsumen tersebut. Tambahan utilitas terhadap output-output pertanian ditimbulkan karena adanya fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan sarana pemasaran. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran ini membutuhkan biaya pemasaran. Indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah: marjin pemasaran, harga ditingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan intensitas persaingan pasar. Soekartawi (1989) mengemukakan bahwa efisiensi pemasaran akan terjadi jika:

1) Biaya pemasaran bisa ditekan sehingga ada keuntungan. 2) Pemasaran dapat lebih ditingkatkan.

3) Persentase pembedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi.

4) Tersedianya fasilitas fisik pemasaran.

Menurut Kohl dan Uls (2002), efisiensi tataniaga pada produk pangan dan serat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu efisiensi operasional atau teknis dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitas- aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, dan aktivitas fisik dan fasilitas. Alat analisis yang sering

digunakan dalam menganalisis tingkat efisiensi operasional adalah analisis Marjin Tataniaga, analisis Farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan atas biaya. Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat merasa puas atau

Dokumen terkait