BAB II HUKUM KONTRAK DALAM KONTEKS JUAL-BELI ONLINE
B. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen
8 Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta : Amarta Buku, 1984), h. 90.
9 Andi Sri Rezky Wulandari dan Nurdiyana Tadjuddin, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2018), h. 41.
43
Aktifitas perdagangan yang berpotensi dapat merugikan konsumen menyebabkan konsumen perlu mendapatkan perlindungan. Perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen agar terwujudnya tujuan perlindungan konsumen di Indonesia. Konsumen yang dirugikan dalam mengkonsumsi atau menggunakan hasil produksi, berhak mendapatkan ganti rugi sebagai wujud tanggung jawab produsen atau pelaku usaha.10 Tanggung jawab berupa ganti rugi ini sesuai dengan apa yang termuat dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatakan bahwa : ”tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Undang-Undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah instrumen hukum yang dirancang untuk memberi jaminan kepastian perlindungan hukum bukan hanya bagi konsumen namun juga pelaku usaha yang didalamnya termuat mengenai hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki para pihak dalam konteks ini yaitu konsumen dan pelaku usaha.Obyek dari perlindungan konsumen adalah konsumen. Yang dimaksud dengan konsumen adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan atau jasa, baik untuk diri sendiri maupun keluarga (non komersial) dan makhluk lain.11 Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa :
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
10Andi Sri Rezky Wulandari dan Nurdiyana Tadjuddin, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2018), h. 4.
11 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: YLKI dan USAID, 2001), Cet.1, h. 1
Dengan demikian hukum perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut AZ. Nasution, perlindungan konsumen memiliki makna yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.12 Dengan demikian Hukum Perlindungan Konsumen digunakan apabila antara konsumen dengan pelaku usaha yang mengadakan suatu hubungan hukum, kemudian terjadi permasalahan yang dipicu oleh kedudukan yang tidak seimbang tersebut.
Perlindungan konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya untuk melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai akses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan atau jasa kebutuhannya. Di samping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan perkara sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta-bendanya, kesehatan/keselamatan tubuh atau keamanan/kehilangan jiwa konsumen dalam pemakaian, penggunaan dan
12 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2006), h. 4.
45
atau pemanfaatan produk konsumen.13 Walapun Undang-Undang ini disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepentingan pelaku usaha pun turut mendapat perhatian, terlebih karena perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.14 Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur bagaimana pelaku usaha dapat mengklaim hak-haknya jika mendapati konsumen yang tidak beritikad baik.
Perlindungan konsumen merupakan bagian dari perlindungan hukum. Perbedaan yang tampak dari perlindungan konsumen dengan perlindungan hukum yaitu subyeknya. Dalam perlindungan hukum, subyek hukumnya adalah orang (persoon) yang membawa hak dimulai dari saat dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal. Selain orang (persoon) yang termasuk dalam subyek perlindungan hukum adalah badan hukum (rectpersoon) yang mana badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Sedangkan subyek hukum dalam hukum perlindungam konsumen adalah konsumen. Yang dimaksud konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dipertegas yakni hanya konsumen akhir.15 Jadi hukum perlindungan konsumen lebih khusus mengatur dan melindungi konsumen dalam kaitannya pemakaian barang dan/atau jasa yang ada dalam masyarakat.
13 Az. Nasution, “Perlindungan Konsumen; Tinjauan Singkat UU No. 8/1999 - L.N. 1999 NO. 42”, Hukum dan Pembangunan, No. 2 (April-Juni 2002), h. 115, diakses pada 20 Juni 2020 dari http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/1329/1251
14 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 1.
15Andi Sri Rezky Wulandari dan Nurdiyana Tadjuddin, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2018), h. 27.
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak merupakan segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang sejak atau bahkan sebelum lahir, namun untuk mendapatkan hak harus berjalan beriringan dengan melakukan kewajiban. Dalam hal perlindungan konsumen, hak konsumen dapat dikatakan sebagai kewajiban pelaku usaha. Perlindungan konsumen merupakan bagian dari perlindungan hukum sehingga mengandung aspek hukum. Hal yang dilindungi bukan hanya sekedar fisik, namun juga hak-hak konsumen. Secara umum hak konsumen sangat beragam, secara garis besar hak-hak konsumen dapat dibagi tiga yaitu:16
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan
c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Dengan memerhatikan hak-hak yang disebutkan diatas, maka secara keseluruhan pada dasarnya akan diperoleh sepuluh macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut :17
a. Hak atas keamanan dan keselamatan; b. Hak untuk memperoleh informasi; c. Hak untuk memilih;
d. Hak untuk didengar;
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; f. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
16 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 25. 17 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2017), h. 40.
47
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;
j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
Terkait dengan perlindungan konsumen transaksi elektronik dalam hal ini yaitu pembatalan sepihak yang dilakukan oleh PT. Lazada selaku penyedia layanan transaksi elektronik dan sebagai penjual, terdapat beberapa hal yang dilanggar sehubungan dengan hak-hak konsumen dalam transaksi elektronik yaitu diantaranya hak untuk memperoleh informasi, hak atas informasi ini dinilai penting karena, jika informasi yang diberikan kepada konsumen tidak memadai merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai.18 Yang mana dalam pemabatalan akad sepihak, konsumen sebagai pengguna layanan transaksi elektronik tidak diberikan alasan yang jelas mengenai sebuah pemabatalan yang dilakukan oleh PT. Lazada. Selain hak untuk memperoleh informasi, hak lain yang dilanggar yaitu hak untuk memilih, dimana di dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Konsumen tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya konsumen tersebut membeli, konsumen bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.19 Sehubungan dengan pembatalan sepihak yang dilakukan PT. Lazada membatasi konsumen dalam memilih untuk menerima atau tidak menerima pembatalan yang dilakukan oleh PT. Lazada, selain itu, membatasi pula metode pengembalian dana yang diakibatkan oleh pembatalan sepihak sehingga konsumen hanya memiliki pilihan pengembalian dana berupa kredit di Lazada dan bukan uang tunai. Selain kedua hak tersebut, hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut juga dirasa telah dilanggar, hak ini
18Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2017), h. 41.
19Andi Sri Rezky Wulandari dan Nurdiyana Tadjuddin, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2018), h. 31.
dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.20 Hak untuk mendapatkan ganti rugi harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha untuk membuat klausul eksenorasi secara sepihak.21 Konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang dipandang merugikan.
Untuk menyeimbangkan antara hak konsumen di atas maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 5 menjelaskan tentang kewajiban konsumen adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen
Seperti diketahui bahwa Undang-undang perlindungan konsumen menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan atau jasa tersebut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen
20.Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2017), h. 46.
21Andi Sri Rezky Wulandari dan Nurdiyana Tadjuddin, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2018), h. 33.
49
menentukan berbagai larangan bagi pelaku usaha yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17.22
Dalam Pasal 8 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yaitu pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan yang diiklankan, tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label, tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat, dan tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Selain itu dalam pasal 18 pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ketentuan dalam Pasal 16 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Larangan dalam ketentuan ini menjadikan perbuatan pelaku usaha yaitu perbuatan tidak menepati pesanan sesuai yang dijanjikan, termasuk tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi, sehingga dapat dituntut lebih dari wanprestasi yaitu dituntut atas dasar perbuatan melawan hukum.