• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN KONTRAK SECARA SEPIHAK OLEH PT LAZADA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBATALAN KONTRAK SECARA SEPIHAK OLEH PT LAZADA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

REZA GHOVIN ANKASA NIM : 11160480000073

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

PEMBATALAN KONTRAK SECARA SEPIHAK OLEH PT LAZADA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

REZA GHOVIN ANKASA NIM : 11160480000073

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

PEMBATALAN KONTRAK SECARA SEPIHAK OLEH PT LAZADA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

REZA GHOVIN ANKASA NIM : 11160480000073

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Nurhasanah, M.Ag. Ahmad Chairul Hadi, M.A. NIP. 19740817 200212 2 013 NIP. 19720531 200710 1 002

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

iii

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. NIP. 19760807 200312 1 001

Dekan,

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PEMBATALAN KONTRAK SECARA SEPIHAK

OLEH PT LAZADA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE” telah diujikan

dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 April 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) Pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 10 Mei 2021 Mengesahkan

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

NIP. 19670203 201411 1 001 ( )

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.

NIP. 19650908 199503 1 001 ( )

Pembimbing I : Dr. Nurhasanah, M. Ag.

NIP. 19740817 200212 2 013 ( )

Pembimbing II: Ahmad Chairul Hadi, M.A.

NIP. 19720531 200710 1 002 ( )

Penguji I : Feni Arifiani, S. Ag., M.H.

NIP. 19760708 200212 1 009 ( )

Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Nama : Reza Ghovin Ankasa NIM : 11160480000073 Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Kubis IV No. 139 RW 005 RT 005, Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan

No. Kontak : 089525491854

Email : [email protected]

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.

Jakarta, 9 April 2021

(6)

v

ABSTRAK

Reza Ghovin Ankasa, NIM 11160480000073 “PEMBATALAN KONTRAK

SECARA SEPIHAK OLEH PT LAZADA DALAM TRANSAKSI

E-COMMERCE”. Peminatan Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H / 2021 M.

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai banyaknya pembatalan sepihak yang dilakukan platform marketplace Lazada yang dampaknya menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pembatalan yang dilakukan oleh Lazada bukan tanpa alasan namun memiliki faktor-faktor yang melatarbelakangi sehingga terjadi pembatalan sepihak tersebut. Lazada kemudian memberikan ganti rugi berupa voucher kepada konsumen namun hanya dapat digunakan di platform Lazada sehingga konsumen memiliki keterbatasan menggunakan haknya tersebut. Pembatalan sepihak oleh Lazada dalam penelitian ini ditinjau dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini bertujuan agar konsumen dapat memahami adanya faktor yang menyebabkan suatu pesanan dibatalkan dan mendapatkan pertanggungjawaban dari Lazada yang sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian normatif dengan tipe penelitian library research (studi kepustakaan) dengan metode penelitian yuridis normatif. Untuk referensi utama yang digunakan dalam studi adalah Perundang-Undangan, wawancara dengan konsumen Lazada, serta perjanjian baku Lazada.

Hasil dari penelitian ini terdapat faktor-faktor dalam pembatalan sepihak yang dilakukan yaitu isi dari perjanjian baku, ketersediaan produk, pengiriman, dan perilaku konsumen. Pembatalan sepihak ini dinilai melanggar hak konsumen dan kewajiban Lazada sebagai pelaku usaha jika ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Akibat hukum yang terjadi atas pembatalan sepihak tersebut, Lazada memberikan ganti rugi berupa voucher kepada konsumen namun hanya dapat digunakan di platform Lazada.

Kata Kunci : Perjanjian Baku, Perlindungan Konsumen, Pembatalan, Lazada.

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Nurhasanah, M.Ag. 2. A. Chaerul Hadi, M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1984 sampai Tahun 2021

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.wr.wb.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhinggga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi Wassallam, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir pada perkuliahan dalam bentuk skripsi dengan judul “Pembatalan Kontrak Secara Sepihak Oleh PT Lazada Dalam Transaksi E-Commerce”. Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Nurhasanah, M.Ag. dan A. Chaerul Hadi, M.A. Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan, menyediakan waktu, memberikan bimbingan dan kesabaran dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi.. Serta Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Dosen Pembimbing Akademik.

4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.

(8)

vii

5. Kedua orang tua, Eni Susilowati dan Ahmad Musbikhin, dan adik Reza Ghiovani Dwi Ankasa yang selalu mencurahkan kasih sayang, kesabaran, dan segala usahanya dalam memberikan yang terbaik untuk keluarga.

6. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satupersatu. Hanya doa serta ucapan terimakasih yang dapat peneliti sampaikan, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan kalian.

Besar harapan peneliti agar skripsi ini dapat memberikan manfaat yang berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang hukum tata negara. Kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan dari para pembaca sehingga dapat menyempurnakan penelitian ini.

Jakarta, 9 April 2021

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II HUKUM KONTRAK DALAM KONTEKS JUAL-BELI ONLINE ... 17

A. Tinjauan Umum Perjanjian ... 17

1. Pengertian Perjanjian ... 17

2. Syarat Sah Perjanjian ... 19

3. Batalnya Perjanjian ... 22

B. Tinjauan Umum Kontrak Baku ... 25

1. Pengertian Kontrak Baku ... 25

2. Ciri-Ciri Kontrak Baku ... 29

3. Keabsahan Kontrak Baku ... 30

C. Kontrak Elektronik ... 33

1. Pengertian Kontrak Elektronik ... 33

2. Syarat Sah dan Ciri-Ciri Kontrak Elektronik ... 34

3. Jenis dan Bentuk Kontrak Elektronik Lazada ... 35

(10)

ix

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM DALAM KONTEKS TRANSAKSI

E-COMMERCE ... 39

A. Perlindungan Hukum ... 39

B. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen ... 42

1. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 42

2. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 46

3. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen ... 48

C. Tinjauan Umum Mengenai E-Commerce ... 49

1. Pengertian E-Commerce ... 50

2. Jenis-Jenis Transaksi E-Commerce ... 51

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Transaksi E-commerce ... 52

BAB IV PEMBATALAN SEPIHAK DAN PERTANGGUNGJAWABAN LAZADA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE... 55

A. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pembatalan Perjanjian dalam Transaksi E-Commerce Lazada ... 55

B. Pembatalan Kontrak Secara Sepihak Yang Dilakukan PT Lazada Ditinjau Dari Aspek Perlindungan Konsumen ... 65

BAB V PENUTUP ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Rekomendasi ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 85

PEDOMAN WAWANCARA KONSUMEN ONLINE SHOP ... 86

HASIL WAWANCARA ... 87

HASIL WAWANCARA ... 89

(11)

x

KONTRAK BAKU ELEKTRONIK LAZADA ... 92

(12)

1

BAB I P ENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi di zaman modern ini berkembang sangat pesat dan terjadi di setiap aspek kehidupan mulai dari informasi, sosial dan budaya, pembelajaran, perbankan, hingga perdagangan bisa kita lakukan melalui fasilitas teknologi yang ada. Dengan adanya kemajuan ini tidak dapat terbantahkan bahwa manusia tidak dapat lepas dari teknologi yang ada terkait dengan efektifitas dan efisiensi kegiatan yang dilakukan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan adanya dunia yang tanpa batas (bordeless) dan menyebabkan perubahan sosial yang signifikan. Teknologi informasi ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.1

Perkembangan teknologi pun telah sampai memasuki dunia usaha dan bisnis. Di era industri modern yang memasuki tahap 4.0 ini penggunaan tekonologi dan informasi sangat dibutuhkan guna menjalankan kegiatan usaha baik oleh pemilik usaha maupun konsumen sebagai penikmat barang ataupun jasa. Kemudahan dalam berinteraksi dan transaksi tanpa harus bertatap muka atau datang ketempat penjualan menjadi salah satu faktor digandrunginya transaksi menggunakan internet sebagai sarananya.

Perdagangan yang dilakukan tanpa harus bertatap muka atau hanya dengan online dan menggunanakan media internet ini disebut dengan istilah electronic commerce (e-commerce). E-commerce merupakan proses pembelian dan penjualan barang atau jasa dan informasi melalui jaringan komputer termasuk internet. Dalam kegiatannya E-commerce juga melibatkan aktivitas yang berhubungan dengan proses transaksi elektronik seperti

1 Ahmad M. Ramli, CYBER LAW dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), h. 1.

(13)

transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem pengolahan data inventori yang dilakukan dengan sistem komputer ataupun jaringan komputer dan lain sebagainya.2E-commerce terbagi atas tiga segmen yaitu perdagangan antar pelaku usaha (business to business e-commerce), perdagangan antara pelaku usaha dengan konsumen (business to costumer e-commerce), dan perdagangan antara konsumen ke konsumen (costumer to costumer e-commerce).3E-commerce atau transaksi elektronik sebagaimana diatur dalam Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa “Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”.E-commerce merupakan model bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign(tidak memakai tanda tangan asli).4

Praktik transaksi e-commerce banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan yang cenderung merugikan konsumen dan menimbulkan berbagai permasalahan hukum dalam melakukan transaksi e-commerce.5 Permasalahan hukum yang paling umum terjadi dalam transaksi e-commerce adalah mengenai kepastian hukum atau legal certainty contohnya adalah keabsahan transaksi perdagangan dari aspek hukum perdata dimana transaksi e-commerce adalah suatu perbuatan hukum yang di dalam kegiatannya mengharuskan adanya perikatan antara pihak penjual dan pembeli melalui klausula elektronik (e-contract) sehingga harus dipastikan keabsahannya baik dari aspek perdata maupun dari unsur-unsur perjanjian elektronik. Selain itu, masalah lain yang timbul misalnya, berkenaan dengan keaslian data, kerahasiaan dokumen, kewajiban sehubungan dengan pajak, perlindungan

2http://www.patartambunan.com/pengertian- e-commerce-manfaat-serta-keuntungan-e- commerce/ diakses pada tanggal 23 Desember 2019

3 Panggih P. Dwi Atmojo, Internet Untuk Bisnis I, (Yogyakarta: Dirkomnet Training, 2002), h. 6.

4 Niniek Suparni, Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi

Pengaturannya, (Jakarta: Fortun Mandiri Karya, 2001), h. 33.

5 Abdul Halim Barkatullah, Perlindungan Hukum bagi konsumen dalam Transaksi

(14)

3

konsumen, hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran perjanjian atau kontrak, masalah yuridiksi hukum dan juga masalah hukum yang harus diterapkan apabila terjadi sengketa.6

Terkait dengan transaksi elektronik, kontrak yang terdapat dalam transaksi e-commerce berbeda dengan kontrak konvensional yang umum dibuat di atas kertas dan disepakati oleh para pihak secara langsung atau bertatap muka, sedangkan perjanjian elektronik (e-contract) dibuat oleh para pihak melalui media internet dan perangkat elektronik sehingga para pihak tidak perlu untuk bertatap muka dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. E-contract adalah kontrak nya dibuat melalui sistem elektronik. “sistem elektronik” adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.7

Namun dalam pelaksanaannya penggunaan e-contract dalam transaksi e-commerce seringkali berbentuk perjanjian standar atau perjanjian baku dimana perjanjian ini dibuat oleh pelaku usaha tanpa memberikan kesempatan kepada konsumen untuk bernegosiasi mengenai perihal yang ada dalam perjanjian tersebut. Perjanjian baku menurut Kelik wardiono adalah suatu perjanjian isinya telah ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lebih kuat, yang diperuntukkan bagi setiap orang yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis itu, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara orang yang satu dengan yang lainnya.8 Perjanjian baku dalam transaksi perdagangan sendiri telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam peraturan ini perjanjian baku diatur batasan-batasan suatu

6 Marcella Elwina, Aspek Hukum Transaksi (Perdagangan) Melaui Media Elektronik

(E-commerce) di Era Global : Suatu Kajian Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen, diakses pada 23 Desember 2019 dari http://ejurnal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/278/291.

7 Cita Yustisia Serfiani dkk., Buku Pintar Bisnis Online dan Transaksi Elektronik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2013), h. 99.

8 Kelik Wardiono, Perjanjian Baku, Klausula Eksonerasi dan Konsumen : Sebuah

Deskripsi tentang Landasan Normatif, Doktrin dan Praktiknya, (Surakarta : UMS Press, 2005), h. 7.

(15)

perjanjian baku secara ketat guna melindungi hak-hak konsumen terhadap perjanjian baku dimana dalam perjanjia baku yang dibuat oleh para pelaku usaha, konsumen memiliki kedudukan yang lemah.

Salah satu dari sekian banyak website penyedia barang atau marketplace yang cukup terkenal di Indonesia adalah Lazada. Banyak konsumen Indonesia yang saat ini menggemari untuk berbelanja di Lazada karena Lazada sendiri memberikan kemudahan bagi para konsumennya. Dalam websitenya Lazada menggunakan perjanjian baku sebagai syarat dan ketentuan yang telah ditentukan pelaku usaha untuk konsumennya. Hal ini menjadi kelemahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen karena ketidaktelitian konsumen dalam membaca dan memahami isi e-contract tersebut atau bahkan sama sekali tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku pada suatu marketplace. Hal ini terlihat sekali dari perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.9

Kasus yang terjadi pada saat kegiatan promosi tahunan berupa pemberian diskon oleh berbagai marketplace yang ada di Indonesia dalam rangka merayakan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) termasuk diantara marketplace tersebut Lazada. Kasus pertama, yaitu Lazada pada saat Harbolnas telah melakukan bentuk kecurangan yakni melakukan pembatalan secara sepihak transaksi dikarenakan banyaknya item yang akan dipromosikan selama Harbolnas berlangsung, sehingga menimbulkan kesalahan dalam pencatuman nominal harga oleh pihak toko online tersebut. Atas kejadian tersebut pihak Lazada memberikan ganti rugi pengembalian dana berupa voucher senilai transaksi tersebut yang hanya dapat dibelanjakan di Lazada.10 Kasus kedua, masih dengan situs belanja yang sama, Lazada melakukan pembatalan sepihak dikarenakan domisili konsumen berada di

9 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Yogyakarta: Visi Media, 2008), h. 29.

10 Ridho Syukro, “Batalkan Transaksi, Lazada Langgar UU Perlindungan Konsumen”, diakses pada 23/12/2019 dari http://www.beritasatu.com/iptek/337594-batalkan-transaksi-lazada-langgar-uu-perlindungan-konsumen.html.

(16)

5

luar jangkauan pengiriman.11 Selain kedua kasus tersebut, masih banyak pengaduan dari pengguna Marketplace Lazada sehubungan dengan pembatalan sepihak oleh PT. Lazada.12 Pengaduan-pengaduan tersebut menyayangkan tindakan Lazada yang secara sepihak membatalkan pesanan mereka tanpa adanya alasan yang kuat, selain itu konsumen juga dipersulit dalam persoalan pengembalian dana dimana konsumen harus berulang kali menghubungi costumer service Lazada yang kemudian kembali diberikan formulir pengajuan pengembalian dana padahal dalam klausula syarat dan ketentuan sudah tertera mekanisme pengembalian dana. Setelah konsumen mengisi formulir, proses pengembalian dana tidak langsung selesai, konsumen kembali harus dibuat menunggu yang waktunya tidak sebentar, bahkan ada yang sampai tiga bulan dananya baru dikembalikan ke rekening.

Lippian Delen,13 menceritakan kronologi pembatalan sepihak yang dilakukan pihak Lazada kepadanya. Lippian Delen mengikuti Flash Sale Lazada pada 25 April 2019 pukul 10.00 dan berhasil mendapatkan 1 unit Handphone Xiaomi Note 7 dengan Nomor Order Pesanan #263512967695971 dan diberikan batas waktu pembayaran 1x24 jam. Kemudian beliau melakukan pembayaran pada 25 April 2019 pukul 15.48 dan berhasil diterima Lazada pada 25 April 2019 pukul 15.49. Namun kemudian pihak Lazada membatalkan pesanan tersebut secara sepihak dengan alasan stock habis dan dana yang telah dibayarkan akan dikembalikan dalam bentuk Voucher Belanja sebesar dana yang dibayarkan. Lippian Delen yang tidak puas karena merasa tidak mendapatkan haknya mencoba menghubungi costumer service Lazada untuk komplain namun pihak Lazada bersikeras untuk mengembalikan dana dan meminta nomor rekening Lippian Delen.14

11Agung Fauzan, “Pengalaman Belanja Online”, diakses pada 23/12/2019, dari http://www.pikiranrakyat.com/suratpembaca/2016/11/26/pengalamanbelanja.html

12 Pada rentang waktu dari 2019 sampai 2020 ini, dalam situs pengaduan konsumen yaitu

www.mediakonsumen.com dapat ditemukan sekitar 24 pengaduan dari konsumen kepada pihak Lazada.

13 Salah satu konsumen yang pengaduannya dimuat dalam www.mediakonsumen.com, 14Media Konsumen, diakses pada 05/10/2020, dari

(17)

Dari kasus diatas dampak yang ditimbulkan dari adanya pembatalan sepihak oleh Lazada selain barang atau jasa yang diinnginkan oleh konsumen tidak didapatkan, konsumen juga harus menghadapi rumitnya mekanisme persoalan pengembalian dana yang tidak transparan. Apalagi pengembalian dana ini tidak selalu berupa uang atau langsung masuk ke rekening konsumen, namun dapat berbentuk voucher belanja yang hanya dapat dibelanjakan di marketplace tersebut dalam hal ini khususnya Lazada. Voucher belanja ini diniliai membatasi kebebasan konsumen karena hanya dapat dipergunakan di marketplace yang ditentukan.

Dari penjelasan latar belakang tersebut didapati bahwa dengan adanya kemajuan di bidang teknologi ikut mempengaruhi dalam kegiatan transaksi jual-beli sekarang ini yang dapat menimbulkan beberapa masalah hukum. Permasalahan hukum ini akan berbeda dengan sebelum adanya komputer dan internet yang berkembang saat ini sehingga hal ini memicu perubahan, baik perubahan baik yaitu mempermudah kehidupan dan di sisi lain menimbulkan perubahan buruk seperti kemunculan sistem kejahatan baru yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi yaitu kejahatan dunia maya atau cyber crime.15 Latar belakang permasalahan menjelaskan mengenai

kegiatan transaksi jual-beli secara elektronik yang telah peneliti paparkan, terdapat beberapa permasalahan yang menjadi titik dasar penulisan karya tulis ini, yaitu sengketa yang timbul antar subjek hukum dalam sebuah transaksi jual-beli secara elektronik dan jaminan perlindungan hukum bagi konsumen dalam sebuah perjanjian baku yang digunakan dalam transaksi jual-beli secara elektronik serta pertanggung jawaban pelaku usaha dalam sengketa yang timbul tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan mengkaji lebih dalam terkait persoalan yang dihadapai oleh konsumen e-commerce yang akan dituangkan dalam skripsi dengan judul :

15 Assafa endeshaw, Hukum E-commerce dan Internet dengan fokus di asia pasifik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 33.

(18)

7

“PEMBATALAN KONTRAK SECARA SEPIHAK OLEH PT.

LAZADA DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE”. B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang tersebut didapati pembahasan masalah ini memiliki cakupan yang sangat luas sehingga peneliti melakukan identifikasi masalah pada pembahasan ini agar tidak melebar dari cakupannya. Identifikasi masalah tersebut antara lain :

a. Hilangnya perlindungan hukum yang diakibatkan transaksi elektronik dalam platform jual-beli.

b. Penyebab sebuah platform marketplace jual-beli dapat membatalkan secara sepihak perjanjian dengan konsumen.

c. Terkait pembatalan sepihak serta pengembalian dana (refund) yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

d. Perlindungan hukum terhadap konsumen yang tidak mendapatkan haknya dalam sebuah transaksi jual-beli secara elektronik.

e. Pertanggung-jawaban pihak pelaku usaha terkait pembatalan sepihak serta pengembalian dana (refund) terhadap konsumen.

2. Pembatasan Masalah

Peneliti akan membahas mengenai PT Lazada yang membatalkan kontrak atau pesanan konsumennya secara sepihak tanpa memberikan pilihan pada konsumen. Penelitian mengenai pembatalan sepihak yang dilakukan PT Lazada ini cakupannya dibatasi pada kontrak baku Lazada ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta pengembalian dana dalam bentuk voucher belanja sebagai pertanggung-jawaban PT Lazada yang dinilai dapat membatasi kebebasan konsumen.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah peneliti jelaskan diatas, maka pada penelitian skiripsi ini rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti adalah sebagain berikut :

(19)

Perlindungan hukum konsumen terhadap pembatalan sepihak dan pengembalian dana (refund) dalam bentuk voucher yang dilakukan oleh pelaku usaha. Untuk mempertegas mengenai permasalahan penelitian yang peneliti bahas, selanjutnya peneliti rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

a. Apa yang melatarbelakangi PT. Lazada mudah membatalkan kontrak dengan konsumen secara sepihak?

b. Bagaimana perbuatan hukum PT Lazada tersebut bila ditinjau dari aspek perlindungan konsumen?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan pembatasan dan perumusan masalah yang telah peneliti kemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

a. Untuk memahami sebab-sebab dan faktor apa saja yang membuat PT. Lazada dapat dengan mudah membatalkan kontrak secara sepihak.

b. Untuk memahami pandangan hukum mengenai perbuatan hukum PT. Lazada yang membatalkan kontrak secara sepihak ditinjau dari aspek perlindungan konsumen.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya bagi perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi jual beli elektronik.

b. Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu bagi peneliti untuk lebih mengetahui mengenai aspek-aspek hukum transaksi elektronik. Penelitian ini juga diharapkan dapat

(20)

9

memberikan masukan tehadap pemerintah ataupun pihak-pihak terkait terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha kepada konsumen dalam transaksi elektronik dan menjadi evaluasi terhadap aturan hukum yang mengatur mengenai perlindungan konsumen di Indonesia. Serta tidak lupa penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat yang masih kurang mengerti akan hak-hak yang dimiliki dalam transaksi jual beli elektronik (e-commerce).

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian normatif dengan tipe penelitian library research (studi kepustakaan) dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.16 Berdasarkan sifat dari jenis penelitian yang dipilih, Penulis melakukan studi kepustakaan dalam memperoleh data. Yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah metode pengumpulan bahan-bahan pustaka sebagai sumber utama dalam sebuah penulisan. Jenis referensi utama yang digunakan dalam studi ini adalah Peraturan Perundang-Undangan dan wawancara dengan para konsumen Lazada yang pesanannya dibatalkan secara sepihak. Oleh karena itu, data yang diambil secara keseluruhan merupakan data primer, yakni data yang bersifat publik.

2. Objek Penelitian

a. Gambaran Umum Lazada Indonesia 1) Profil Lazada Group

16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

(21)

Lazada adalah perusahaan e-commerce swasta Singapura yang didirikan oleh Rocket Internet pada tahun 2011. Website e-commerce Lazada telah launching pada bulan Maret tahun 2012 di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Situs Lazada Grup, beroperasi di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, dan telah mengangkat sekitar US $ 647.000.000 selama beberapa putaran investasi dari investor seperti Tesco, Temasek Holdings, Summit Partners, JPMorgan Chase, investasi AB Kinnevik dan Internet Rocket. Pada Maret 2016 Lazada mengklaim itu mencatat total senilai $ 1,36 miliar tahunan di enam pasar di Asia, menjadikannya pemain e-commerceterbesar.

Lazada adalah pusat belanja online yang menawarkan berbagai macam jenis produk mulai dari Elektronik, Fashion Wanita, Fashion Pria, Peralatan Rumah Tangga, Kesehatan & Kecantikan, Bayi & Mainan Anak, Olahraga & Travel, Groceries (Grosir), Otomotif & Media.17 Selain lewat alamat web Lazada juga dapat diakses melalui aplikasi mobile di smartphone seperti android dan IOS.

Sesuai dengan tagline Effortless Shopping, Lazada Indonesia menyedikan website berbelanja online yaitu www.lazada.co.id. Lazada menjamin kenyamanan konsumen ketika konsumen browsing produk yang sedang dicari dan juga menjamin opsi pembayaran yang aman. Pilihan pembayaran Lazada termasuk kartu kredit, cash on delivery, Bank transfer, Mobile banking dan bahkan melalui layanan pembayaran online seperti halnya HelloPay. Bahkan, pada aplikasinya Lazada

17 Tim Lazada, “Terms of Use” dikutip dari www.lazada.co.id diakses pada 14 Juni 2020, h. 1.

(22)

11

memiliki promo sendiri yang berbeda dari Lazada versi desktop.18

b. Konsumen PT. Lazada

Dalam skripsi ini peneliti mengetahui dalam sebuah situs pengaduan konsumen yaitu www.mediakonsumen.com terdapat setidaknya 24 pengaduan yang dilakukan oleh konsumen yang merasa haknya telah dirugikan oleh PT. Lazada karena PT. Lazada telah membatalkan secara sepihak pesana yang telah dibayarkan oleh konsumen dan hanya memberikan pertanggung-jawaban berupa pengembalian dana berupa voucher yang hanya dapat dibelanjakan di situs milik Lazada. Perlakuan PT. Lazada terhadap para konsumennya ini dinilai telah melukai hak-hak konsumen, namun sayangnya kebanyakan konsumen tidak menyampaikan perkara ini ke pengadilan dengan alasan biaya yang dikeluarkan akan lebih mahal dari barang tersebut, oleh karena itu para konsumen hanya dapat menyampaikan keluhannya melalui kolom komentar di situs Lazada dan media pengaduan konsumen tidak berbayar lainnya seperti contohnya mediakonsumen.com.

Dari 24 (dua puluh empat) pengaduan konsumen tersebut, peneliti mengambil dua konsumen yang memiliki masalah dengan PT. Lazada sebagai sampel penelitian ini. Sampel ini kemudian akan dilakukan wawancara untuk mengetahui lebih lanjut mengenai permasalahan dengan PT. Lazada dan penyelesaian permasalahan tersebut. Konsumen tersebut yaitu Lippian Dellen, konsumen ini mengalami kasus yaitu pesanannya yang telah dibayarkan melalui transfer bank dibatalkan secara sepihak oleh PT. Lazada dan pertanggung-jawabannya hanya voucher belanja senilai barang tersebut.

3. Pendekatan Penelitian

(23)

Sehubungan dengan penelitian normatif yang peneliti gunakan, maka pendekatan yang digunakan oleh peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).19 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Selain itu, peneliti juga menggunakan pendekatan kasus (case approach) yaitu dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

4. Sumber Data

Sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder yang meliputi :

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini, data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara yang dilakukan terhadap sumber informasi yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan pedoman wawancara, sehingga wawancara yang dilakukan merupakan wawancara yang terfokus. Peneliti akan melakukan wawancara dengan konsumen yang merasa dirugikan akibat pembatalan sepihak yang dilakukan PT. Lazada. Jika dimungkinkan peneliti juga akan melakukan wawancara dengan pihak dari PT Lazada untuk memberikan klarifikasi atas tindakan pembatalan sepihak tersebut. Selain itu, data primer lain yang digunakan adalah kontrak yang tercantum dalam website resmi Lazada yaitu di bagian syarat dan ketentuan.

b. Data Sekunder

19 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.16.

(24)

13

Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh penulis secara tidak langsung melalui media perantara dan melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, kamus, dan literatur lain yang berkenaan dengan permasalaahn yang akan dibahas. Dalam penelitian ini penulis menggunakan 3 bahan hukum sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif atau yang berarti memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tagun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. 2) Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan hukum yang terdiri dari buku-buku hukum, termasuk didalamnya skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa referensi yang terkait dengan transaksi elektronik dan perlindungan konsumen.

3) Bahan Hukum Tersier

Berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang sumber bahan hukum primer dan sekunder seperti ensiklopedia, kamus bahasa, dan artikel dalam internet.

(25)

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari data-data yang diperlukan sebagai referensi dalam penelitian ini melalui berbagai literatur, antara lain buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, disertasi, peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan di berbagai perpustakaan umum dan universitas. Sedangkan wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemnukan permasalahan yang harus diteliti tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Pada penelitian ini wawancara dilakukan dengan konsumen yang pesanannya dibatalkan secara sepihak oleh Lazada.

6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang telah terkumpul, baik bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier akan diklasifikasikan sesuai isu hukum yang peneliti bahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Bahan hukum teresebut kemudian dikorelasikan dan dianalisis guna menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan dalam penelitian. Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret.

7. Metode Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini, mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017.

(26)

15

Skripsi ini penulis buat mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, yang terbagi menjadi 5 (lima) bab. Pada setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti dari permasalahan yang diteliti sebagai langkah sistemasi guna mempermudah penelitian dalam mengkaji dan menelaah penelitian ini. Berikut adalah urutan dan tata letak masing-masing bab serta sub bab dalam penelitian ini :

Bab Pertama pendahuluan yang menjabarkan latar belakang

permasalahan penulisan skripsi ini yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah rumusan penelitian yang layak dengan menjelaskan metode penelitian, serta kajian studi terdahulu yang membahas e-commerce dan terakhir dijabarkan sistematika penulisan. Bab ini merupakan gambaran umum dari isi skripsi untuk memudahkan pembaca dalam mempelajari dan memahami isi skripsi ini.

Bab Kedua menyajikan kajian pustaka yang terbagi dalam beberapa

sub bab, yang di dalamnya menguraikan kerangka konseptual yang terkait dengan penelitian ini, serta teori-teori hukum yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini sehingga memudahkan dalam pembahasan yang akan dijelaskan dalam Bab IV.

Bab Ketiga menjelaskan data yang menguraikan lebih rinci mengenai

transaksi e-commerce di Indonesia serta mekanisme penyelesaian perkara transaksi e-commerce.

Bab Keempat memuat tentang hasil penelitian dan pembahasan. Dalam

bab ini menguraikan faktor pembatalan sepihak serta bagaimana pembatalan sepihak yang dilakukan oleh PT. Lazada ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pengembalian dana berupa voucher belanja sebagai bentuk pertanggung-jawaban PT. Lazada.

Bab Kelima berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi. Bab ini

(27)

beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu peneliti memberikan beberapa rekomendasi yang dianggap perlu.

(28)

17

BAB II

HUKUM KONTRAK DALAM KONTEKS JUAL-BELI ONLINE A. Tinjauan Umum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita tidak dapat terlepas dari perjanjian, terlebih lagi dalam hal melakukan kegiatan bisnis, perjanjian menjadi salah satu bagian yang penting yang dapat menentukan keberlanjutan sebuah negosiasi usaha. Setiap orang mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum seperti melakukan sebuah perjanjian, sebuah perkawinan dan lain-lain. Setiap orang berhak dan bebas melaksanakan atau mengadakan sebuah perjanjian dan menentukan syarat-syarat atau ketentuan dari perjanjian yang dibuatnya baik itu dengan bentuk lisan maupun tulisan Namun sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai perjanjian, kita terlebih dahulu harus memahami perikatan. Pada dasarnya pejanjian merupakan bagian dari perikatan atau dapat dikatakan perjanjian adalah salah satu sumber perikatan selain Undang-Undang.

Menurut KUH Perdata, pengertian perikatan tidak dinyatakan secara tegas, tetapi hanya termuat ruang lingkup seperti terdapat dalam Pasal 1233 yang berbunyi “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan/perjanjian maupun karena undang-undang”. Sedang menurut Subekti, suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.1 Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berpiutang. Perhubungan antara dua pihak tersebut adalah perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau

(29)

undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.2

Untuk mengetahui hubungan antara perikatan dengan perjanjian, perlu diketahui juga mengenai perjanjian. Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan : “Perjanjian adalah suatu perbuatan ketika satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa manakala seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.3 Menurut Wirjono Prodjodikoro, pengertian perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.4Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.5

Jadi, berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menimbulkan perikatan. Perjanjian dapat juga disebut sebagai persetujuan karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Menurut bentuknya, perjanjian dapat berbentuk lisan maupun berbentuk tulisan. Perjanjian yang bentuknya tertulis biasanya

2 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), cet. 18, h. 1. 3 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), cet. 18, h. 1.

4 R. Wiryono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar Maju, 2000), h. 4.

(30)

19

disebut dengan kontrak. Jadi, kontrak mempunyai cakupan yang lebih sempit dari perjanjian.

2. Syarat Sah Perjanjian

Sebagaimana kita ketahui dalam perjanjian menganut asas sistem terbuka atau kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian, yang perjanjian tersebut hak dan kewajibannya bebas ditentukan para pihak selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. Meskipun menganut sistem kebebasan berkontrak, perjanjian memiliki beberapa syarat agar perjanjian tersebut dikatakan sah secara hukum. Syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang merupakan pedoman bagaimana suatu perjanjian dapat lahir secara sah menurut hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata terdapat empat syarat agar sebuah perjanjian dikatakan sah, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.6 Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain, jadi apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan ataupun penipuan

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum sedang perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa baik menurut undang-undang ataupun dewasa

(31)

akilbaliq, dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Cakap disini menurut hukum, yaitu seseorang yang mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau untuk melakukan perbuatan hukum, baik untuk kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang diwakili misalnya mewakili badan hukum.7Dalam membuat suatu perjanjian, orang yanng membuat serta semua pihak yang terlibat dalam pembuatan kesepakatan harus cakap menurut hukum.

Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu :

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang berada dibawah pengampuan;

3) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena Pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

c. Mengenai suatu hal tertentu (adanya objek perjanjian);

Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Adanya suatu hal tertentu yaitu menyangkut objek dari suatu perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Maka dalam setiap perjanjian, baik perjanjian yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu, ataupun perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, harus terlebih dahulu ditentukan yang menjadi objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi ini dapat berupa :

7 Machdi dan Sri Soesilowati, Hukum Perdata Suatu Pengantar, ( Jakarta : Ginatama Jaya, 2005), h. 142

(32)

21

1) Memberikan sesuatu (barang) 2) Berbuat sesuatu (jasa)

3) Tidak berbuat sesuatu

d. Suatu sebab yang halal;

Yang dimaksudkan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang halal mempunyai arti bahwa isi yang menjadi perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan.8 Dalam hal ini, undang-undang tidak memperhatikan apa yang menjadi alasan bagi seseorang untuk membuat sebuah perjanjian, melainkan yang diperhatikan oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Menurut Pasal 1335 KUH Pedata, suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.9 Maksud dari sebab yang palsu yaitu apabila seseorang membuat perjanjian dengan pura-pura yang bertujuan untuk menyembunyikan sebab yang sebenarnya, yang tidak diperbolehkan menurut undang-undang dan kesusilaan.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.10 Dalam hal syarat objektif, jika syarat tersebut tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula batal dan tidak menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Jika perjanjian tersebut batal demi hukum maka sebenarnya dari semula perjanjian

8Martha Eri Safira, Hukum Ekonomi di Indonesia, (Ponorogo: Nata Karya, 2016), h. 88. 9P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), h. 288.

(33)

tersebut tidak pernah dilahirkan atau perikatan itu tidak pernah ada sehingga para pihak dalam perjanjian tersebut tidak memiliki hak untuk mengajukan tuntutan melalui pengadilan karena tidak memiliki dasar hukum. Sedang apabila syarat subyektif dilanggar, baik salah satu atau keduanya, perjanjiannya bukan batal demi hukum, melainkan salah satu pihak memiliki hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Perjanjian tersebut tetap mengikat selama salah satu pihak tidak meminta pembatalan perjanjian melalui pengadilan.

3. Batalnya Perjanjian

Sebelumnya telah dijelaskan dalam syarat sahnya perjanjian, apabila suatu syarat objektif yaitu suatu hal tertentu ataupun suatu sebab yang halal dalam perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjiannya menurut hukum adalah batal demi hukum, atau jika meminjam perbendaharaan bahasa inggris yaitu null and void. Dengan demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.11 Maksudnya, sejak awal pembuatan, perjanjian tersebut sebenarnya sudah tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada tujuan yang mengikat para pihak. Dengan batal demi hukum, pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak lain atas perjanjian tersebut di dalam pengadilan karena perjanjiannya tidak memiliki kekuatan hukum sehingga hakim karena jabatannya wajib menyatakan tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.

Selain itu, apabila dalam pembuatan perjanjian memiliki kekurangan mengenai syarat subjektif, maka perjanjian tersebut bukan batal demi hukum, melainkan dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang merasa dirugikan dengan adanya perjanjian ini tentunya dengan diwajibkan melalui pembuktian bila perbuatan yang dilakukan salah satu pihak merugikan

(34)

23

pihak lainnya. Selanjutnya pihak lain yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan persetujuan dalam perjanjian tersebut namun dalam keadaan tidak bebas. Dalam hukum perjanjian, ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.

a. Actio Paulina

Yang dimaksud dengan actio paulina adalah hak seoranng kreditur untuk mengajukan pembatalan terhadap segala perbuatan debitur yang merugikan kreditur, hal ini termuat dalam Pasal 1341 KUH Perdata. Untuk mengajukan pembatalan perbuatan debitur yang dinilai merugikan kreditur tersebut, maka kreditur diwajibkan membuktikan bahwa dengan adanya perjanjian atau perbuatan yang dilakukan si debitur membawa akibat yang merugikan bagi kreditur. Untuk meminta pembatalan atau mengajukan pembatalan suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat :12

1) Yang meminta pembatalan adalah kreditur dari salah satu pihak.

2) Perjanjian itu merugikan baginya.

3) Perbuatan atau perjanjian itu tidak diwajibkan.

4) Debitur dan pihak lawan, kedua-duanya mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan kreditur.

b. Pembatalan perjanjian karena paksaan (dwang)

Dikatakan adanya paksaan, apabila seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman, sehingga dengan demikian, orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian tersebut. Yang dimaksud dengan paksaan dalam hal ini adalah paksaan

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), h. 27.

(35)

rohani atau paksaan jiwa, bukan paksaan badam (fisik).13 Ancaman yang dilakukan ini harus berupa suatu perbuatan yang terlarang seperti misalnya akan dianiaya jika tidak menyetujui perjanjian. Namun apabila sesuatu yang diancamkan itu adalah sesuatu yang memang diizinkan oleh undang-undang, seperti akan digugat di pengadilan, maka tidak dapat dikatakan sebuah paksaan. Menurut Pasal 1454 KUH Perdata hak meminta pembatalan perjanjian karena penipuan yaitu 5 tahun sejak paksaan itu berhenti.

c. Pembatalan perjanjian karena kekhilafan (dwaling)

Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf mengenai hal-hal pokok dari apa yang dijanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek sebuah perjanjian, ataupun mengenai orang yaitu dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut Pasal 1322 KUH Perdata, pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan hanya mungkin dalam dua hal, yaitu :14

1) Apabila kekhilafan terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.

2) Apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut.

d. Pembatalan perjanjian karena penipuan (bedrog)

Penipuan terjadi apabila salah satu pihak melakukan serangkaian kebohongan atau dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan untuk memberikan suatu persetujuan dalam perjanjian. Penipuan ini tidak dipersangkakan, namun harus melalui pembuktian dalam pengadilan. Menurut Pasal

13R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), cet. 18, h. 23.

14 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), h. 299.

(36)

25

1454 KUH Perdata hak meminta pembatalan perjanjian karena penipuan yaitu 5 tahun sejak diketahuinya penipuan itu.

Dalam Pasal 1266 KUH Perdata dapat disimpulkan, bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu :15

a. Perjanjian harus bersifat timbal balik. b. Pembatalan harus dilakukan di muka hakim. c. Harus ada wanprestasi.

Menurut Prof Subekti, perjanjian dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim dengan dua cara yaitu :

a. Dengan cara aktif, yaitu yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Menurut Pasal 1454 KUH Perdata, permintaan pembatalan perjanjian dibatasi sampai suatu batas tertentu, yaitu 5 tahun.

Dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian, dan baru mengajukan alasan mengenai kekurangan perjanjian itu, misalnya perjanjian itu disetujui ketika masih belum cakap, atau di bawah ancaman, atau karena khilaf, dan atau karena ditipu. Meminta pembatalan perjanjian secara pembelaan ini tidak dibatasi waktunya.

B. Tinjauan Umum Kontrak Baku 1. Pengertian Kontrak Baku

Secara terminologi, perjanjian baku dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah standaard woorwarden, standaard contract, dalam bahasa Jerman yaitu Allgemeine Geshafts Bedingen, Standaard Vertrag, standaard venditionen, lalu dalam bahasa Inggris dikenal dengan

15 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2015), h. 298.

(37)

standardized contract, standard fors of contract. Menurut Salim H.S, Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.16 Sedang menurut Ahmadi Miru, perjanjian standar adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak.17 Jadi, perjanjian standar atau kontrak baku adalah perjanjian yang sudah dirancang dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yang memiliki kewenangan, tanpa melibatkan pihak lawan sehingga pihak lawan hanya memiliki dua pilihan yaitu menyetujuinya atau tidak menerima perjanjian tersebut, dalam hal ini pihak lawan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi mengenai substansi dalam perjanjian tersebut.

Jika melihat dari sisi undang-undang, pengertian mengenai perjanjian baku termuat dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu : “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Dalam pasal tersebut tampak penekanan mengenai perjanjian baku lebih tertuju pada prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya. Namun, tidak dapat dihindari bahwa prosedur pembuatan perjanjian baku tersebut ikut mempengaruhi isi perjanjian.18Artinya, dalam perjanjian baku ini, isi sepenuhnya sudah ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, dan konsumen hanya dihadapkan dengan dua pilihan yaitu

16H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 146.

17Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 39.

18 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2017), h. 20.

(38)

27

menyetujui perjanjian yang diajukan padanya. Dalam hal ini Shidarta menyebutkan bahwa inilah yang menjadi penyebab perjanjian standar dikenal dengan nama take it or leave it contract.19 Dalam penggunaan perjanjian baku, kebebasan untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap perjanjian tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian.

Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini mengemukakan Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi. Pendapat ini mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.20

Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri dari perjanjian baku yaitu sebagai berikut :21

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)kuat;

b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menetukanisi perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjianitu;

d. Bentuk tertentu (tertulis);

e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

19Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT.Grasindo, 2006), h. 120.

20 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), cet. 18, h. 71.

21 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 146.

(39)

Perjanjian baku ini dinilai sangat berperan penting dalam membangun dunia usaha atau bisnis yaitu dalam aktifitas perdagangan barang atau jasa. Hal ini karena perjanjian baku lebih efektif dan efisien dilihat dari segi waktu, tenaga, serta biaya yang dikeluarkan. Pelaku usaha menentukan isi dari perjanjian tersebut secara sepihak yang dituangkan dalam bentuk formulir dalam jumlah massal sehingga dapat digunakan dalam melakukan aktifitas penawaran kepada konsumen luas. Dalam konteks perlindungan konsumen, kedudukan para pihak dalam perjanjian baku tidak seimbang karena pelaku usaha sebagai pihak yang ekonominya kuat memiliki kuasa untuk membuat aturan-aturan yang akan dituangkan dalam perjanjian baku, yang kadang kala hanya menguntungkan pelaku usaha dan dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen.

Dari gejala-gejala perjanjian baku yang terdapat di masyarakat, perjanjian ini dibedakan dalam 4 jenis, yaitu:22

a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditor yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitor.

b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihakpihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

c. Perjanjian baku yang ditetapkan Pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, lihatlah misalnya akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

(40)

29

d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan Notaris atau Advokat yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model.

2. Ciri-Ciri Kontrak Baku

Selanjutnya Abdulkadir Muhammad mengemukakan ciri dari perjanjian baku yaitu:23

a. Bentuk perjanjian tertulis, kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat di dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka perjanjian itu menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang rapi, jika huruf yang dipakai kecil-kecil isinya terlihat sangat padat dan sulit dibaca dengan cepat sehingga merupakan kerugian bagi konsumen.

b. Format perjanjian dibakukan, meliputi model rumusan dan ukuran sehingga tidak dapat diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Rumusan syarat-syarat perjanjian dapat dibuat secara rinci dengan menggunakan nomor atau pasal-pasal, atau secara singkat berupa klausula-klausula tertentu yang isinya hanya dipahami pelaku usaha sedangkan konsumen sulit memahaminya dalam waktu singkat.

c. Syarat-syarat perjanjian hanya ditentukan oleh pelaku usaha, sehingga sifatnya cenderung lebih menguntungkan pelaku usaha dibandingkan konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pelaku usaha, tanggung jawab itu menjadi beban konsumen.

23 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), h. 6-7.

(41)

d. Konsumen hanya menerima atau menolak, jika konsumen menerima syarat-syarat yang diajukan kepadanya maka ditandatanganilah perjanjian itu dan menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya meskipun bukan merupakan kesalahannya.

e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau peradilan, dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula mengenai tempat dan cara penyelesaian sengketa, baik melalui musyawarah, arbitrase maupun peradilan umum.

f. Perjanjian baku menguntungkan pelaku usaha, karena perjanjian dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang dibakukan maka perjanjian yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha akan menguntungkan pelaku usaha berupa:

1) Efisiensi waktu, biaya, dan tenaga;

2) Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa blanko atau formulir yang siap diisi atau ditandatangani; 3) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan

atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya.

3. Keabsahan Kontrak Baku

Perjanjian baku merupakan salah satu bentuk perjanjian, yang membedakan perjanjian baku dengan perjanjian lain pada umumnya yaitu mengenai prosedur pembentukan klausul dalam perjanjian baku. Klausul dalam perjanjian baku ditentukan oleh salah satu pihak sehingga pihak lain hanya bisa menyetujui atau menolak perjanjian tersebut. Karena merupakan sebuah perjanjian, untuk mengetahui keabsahan perjanjian baku, perlu melihat kembali bagaimana syarat sebuah perjanjian dapat dikatakan sah. Adapun syarat sah sebuah perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; b. Cakap untuk membuat sebuah perjanjian ; c. Mengenai suatu hal tertentu;

(42)

31

d. Suatu sebab yang halal;

Keabsahan perjanjian baku sebenarnya hanya mengenai penggunaannya dalam dunia usaha. Perjanjian baku ada karena kebutuhan masyarakat yang membutuhkan efisiensi dalam melakukan kegiatan usaha. Dalam perjanjian baku, konsumen dapat menolak atau menerima dan menandatangani atau tidak menandatangni. Artinya jika konsumen menandatangani perjanjian tersebut maka secara tidak langsung ia terikat dengan pelaku usaha. Timbulah hak dan kewajiban antara para pelaku usaha dengan konsumen. Adanya ketentuan-ketentuan yang menjadi acauan agar perjanjian baku mengikat. Mulai dari ketentuan perundang-undangan dan yurisprudensi.24

Mengenai keabsahan perjanjian baku ini, beberapa ahli memberikan pendapat yang dikutip Salim H.S yaitu sebagai berikut :25

a. Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian baku, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio paticuliere wet-gever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang dan bukan perjanjian.

b. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditor). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu perjanjian tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 KUH Perdata Jo Pasal 1338 KUH Perdata. c. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat keabsahan berlakunya

perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan karena perjanjian baku

24M. Roesli, Sarbini, Bastianto Nugroho, Kedudukan Perjanjian Baku Dalam Kaitannya

Dengan Asas Kebebasan Berkontrak, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15, Nomor 1, Februari 2019 – Juli 2019, h. 7.

25H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 172-274.

Referensi

Dokumen terkait

Pada definisi model regresi nonlinier dengan kasus Berkson Measurement Error Model, fungsi regresinya tidak hanya nonlinier dalam parameter seperti dalam teori

Keuntungan pembuatan pakan komplit antara lain meningkatkan efisiensi dalam pemberian pakan dan menurunnya sisa pakan dalam palungan, hijauan yang palatabilitas rendah setelah

Pengaruh investasi pada subsektor industri makanan dan minuman terhadap penyerapan tenaga kerja di Jawa Timur dengan menggunakan metode pendekatan Sistem Dinamik...

Penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi tenaga listrik dilakukan secara bertahap berdasarkan tingkat kesiapan usaha penyediaan tenaga listrik antara lain cadangan daya yang

Proses ataupun cara pengangkatan ada tiga yaitu dengan bay’at, istikhlaf dan Istila’, dari ketiga itu terbagi menjadi dua, cara bay’at dan istikhlaf disebut

Pada bab ini, tiap bagian membahas salah satu komoditas utama, beserta penjelasan tahap rantai pasokan terkait dengan komoditas itu, sekumpulan gambar informasi, ilustrasi tentang

Dalam rangka mengimplementasikan program dan kegiatan Tahun Anggaran 2016 dalam kerangka pencapain kinerja program tahun 2015 - 2019, Direktorat Jenderal Peternakan dan

Ablasio retina dapat dihubungkan dengan malformasi congenital, sindrom metabolik, trauma mata (termasuk riwayat operasi mata), penyakit vaskuler, tumor  koroid,