• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Padi (Oryza sativa L.)

Bagian tanaman padi meliputi daun, batang, akar, anakan, bunga, malai dan gabah. Daun tanaman padi berselang-seling, satu daun pada setiap buku. Tiap daun terdiri atas helai daun, pelepah daun yang membungkus ruas, telinga daun (auricle), lidah daun (ligule). Helaian daun terletak pada batang padi, bentuknya memanjang seperti pita. Panjang dan lebar helaian daun tergantung pada jenis varietas. Pelepah daun (upih) merupakan bagian daun yang menyelubungi batang. Lidah daun terletak berbatasan antara helaian daun dengan upih. Panjang lidah daun berbeda-beda tergantung pada varietas. Fungsi lidah daun untuk mencegah masuknya air hujan di antara batang dan upih (Hanum 2008). Adanya telinga dan lidah daun pada padi dapat digunakan untuk membedakan dengan rumput- rumputan pada stadia bibit (seedling) karena daun rumput-rumputan hanya memiliki lidah daun atau tidak ada sama sekali (Makarim dan Ikhwani 2008).

Daun teratas disebut dengan daun bendera. Satu daun pada awal fase pertumbuhan memerlukan waktu 4-5 hari untuk tumbuh secara penuh, sedangkan pada fase tumbuh selanjutnya diperlukan waktu yang lebih lama 8-9 hari. Jumlah daun pada setiap tiap tanaman tergantung varietas. Varietas-varietas baru di daerah tropika memiliki 14-18 daun pada batang utama (Yoshida 1981). Bertambahnya luas daun pada komunitas tanaman disebabkan oleh 2 faktor yaitu meningkatnya jumlah anakan dan meningkatnya luas daun. Peningkatan luas daun bagi varietas beranak banyak didominasi oleh faktor yang pertama sedangkan dalam varietas beranak sedikit disebabkan faktor kedua yang lebih dominan (Murata dan Matsushima 1978).

Makarim dan Ikhwani (2008) menyatakan tanaman padi memilki pola anakan berganda (anak-beranak). Dari batang utama akan tumbuh anakan primer yang sifatnya heterotropik sampai anakan tersebut memiliki 6 daun. Kapasitas anakan merupakan salah satu sifat utama yang penting pada varietas-varietas unggul. Tanaman bertipe anakan banyak cocok untuk berbagai keragaman jarak

tanam, karena dengan anakan yang banyak mampu menggantikan rumpun- rumpun yang mati dan mencapai luas daun dengan cepat (Yoshida 1981).

Batang tanaman padi yang rebah menyebabkan pembuluh-pembuluh xylem

dan phloem menjadi rusak sehingga menghambat pengangkutan hara mineral dan fotosintat. Selain itu susunan daun menjadi tidak beraturan dan saling menaungi sehingga menghasilkan gabah hampa. Tingginya hasil pada padi varietas unggul baru terutama disebabkan oleh ketahanannya terhadap kerebahan (Yoshida 1981).

Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai dinamakan spikelet. Tiap unit bunga pada malai terletak pada cabang-cabang yang terdiri atas cabang primer dan sekunder (Siregar 1981). Malai terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang sekunder. Tangkai butir padi (pedicel) tumbuh dari buku- buku cabang primer maupun cabang sekunder (Yoshida 1981).

Butir padi yang terbungkus kulit luar (sekam) disebut gabah. Bobot gabah beragam dari 12-44 mg, sedangkan bobot kulit luar rata-rata adalah 20% bobot gabah. Faktor konversi dari gabah ke beras adalah 0.6 dan dari beras pecah kulit ke gabah adalah 1.25, dan faktor konversi tersebut tergantung varietas (Yoshida 1981).

Karakter padi bervariasi, salah satu karakter yang bervariasi adalah karakter umur. Tanaman padi memiliki umur bervariasi yaitu antara kurang dari 90 sampai lebih dari 160 hari. Faktor dominan yang menentukan umur padi adalah genetik tanaman, disamping faktor lain misalnya panjang hari, cekaman kekeringan, dan lainnya. Berdasarkan umur, secara umum tanaman padi dikategorikan: umur genjah (sekitar 110 hari) dan dalam (lebih dari 120 hari). Padi varietas lokal pada umumnya berumur dalam, sedangkan padi varietas unggul berumur genjah. Secara lebih rinci, umur tanaman padi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Dalam (> 151 hari setelah semai (HSS)), Sedang (125 - 150 HSS), Genjah (105 - 124 HSS), Sangat Genjah (90 - 104 HSS), Ultra Genjah (< 90 HSS) (BB Padi 2004).

7

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dikelompokkan menjadi tiga fase: i) fase vegetatif (vegetative stage), dimulai dari masa kecambah (germination) hingga inisiasi malai (panicle initiation), ii) fase reproduktif (reproductive stage), dimulai dari pembungaan hingga masak penuh, iii) fase pemasakan/pematangan (ripening stage), dimulai dari periode pembungaan hingga masak penuh (De Datta 1981).

IRRI (1996) secara rinci membagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi menjadi sembilan stadia: perkecambahan, bibit, anakan, pemanjangan batang, bunting, pembungaan, fase matang susu, fase pengisian dan pematangan. IRRI (1996) dan Hanum (2008) menyatakan stadia perkecambahan mulai dari berkecambah sampai muncul daun pertama. Stadia bibit mulai dari munculnya daun pertama hingga terbentuknya anakan pertama, lamanya sekitar 21-24 hari. Stadia anakan mulai dari anakan yang bertambah sampai anakan maksimum, lamanya sekitar 40 hari. Stadia pemanjangan batang mulai saat terbentuknya bulir, lamanya sekitar 10 hari setelah inisiasi malai. Stadia bunting mulai dari perkembangan butir sampai butir tumbuh sempurna, lamanya sekitar 14 hari setelah stadia bunting.

Stadia pembungaan mulai muncul bunga, polinasi dan fertilisasi, lamanya sekitar 10 hari setelah fase pembungaan. Fase matang susu dimulai dari biji berisi cairan menyerupai susu, butir kelihatan berwarna hijau, lamanya sekitar 14 hari setelah pembungaan. Fase pengisian dimulai butir yang lembek mulai mengeras dan berwarna kuning sehingga seluruh pertanaman kelihatan kekuning-kuningan, lamanya sekitar 14 hari setelah fase matang susu. Fase pematangan mulai dari butir padi berukuran sempurna, keras dan berwarna kuning, malai padi mulai merunduk disebabkan butir-butir padi yang sudah berisi penuh, lama fase ini sekitar 14 hari (IRRI 1996; Hanum 2008).

Padi Tipe Baru (PTB)

International Rice Research Institute (IRRI) telah merumuskan idiotipe tanaman PTB atau new plant type (NPT) untuk meningkatkan potensi hasil padi. Pemuliaan PTB dimulai tahun 1989 di IRRI. Secara genetik, sifat PTB tidak berbeda dengan varietas inbrida yang sudah biasa ditanam petani, tetapi potensi

produksinya lebih unggul karena dirakit dengan mengkombinasikan sifat khusus yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi benih (Peng et al.

2008). Sifat-sifat penting yang dimiliki PTB diantaranya: anakan produktif sedang (10-15), malai lebat (>200 butir gabah per malai), 80% gabah bernas, tinggi tanaman sedang (80-100 cm), umur sedang (105-120 hari), daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua dan harus mampu mempertahankan kehijauannya atau lambat menua (delayed senescence), perakaran dalam, dan tahan terhadap hama dan penyakit utama (BB Padi 2004; Abdullah et al. 2008; Peng et al. 2008). Penelitian ke arah perakitan PTB di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1995. Varietas PTB yang sudah dilepas yaitu varietas perdana Fatmawati dilepas tahun 2003, sebelum pelepasan PTB sudah dilepas tiga varietas semi PTB yaitu Cimelati (2001), Ciapus (2002) dan Gilirang (awal 2003) (Abdullah et al. 2008).

Karakter yang mendukung fotosintesis, metabolisme karbon dan pertumbuhan varietas unggul padi tipe baru yaitu: daun tegak berfungsi dalam intersepsi cahaya matahari tinggi; daun tebal dan berwarna hijau tua untuk kemampuan fotosintesis tinggi; batang pendek, kuat dan tahan rebah walaupun tanaman dipupuk berat dan malai berisi padat; akar dalam berfungsi mengambil unsur hara dan air dalam lapisan tanah dalam (sub-soil); jumlah gabah berisi > 250 butir/malai, ukuran sink untuk menampung fotosintat besar (BB Padi 2004). Kelemahan PTB Fatmawati diantaranya persentase gabah hampa yang tinggi >25%, kerontokan gabah yang sulit dan tidak tahan terhadap penyakit blas dan hawar daun bakteri. Permasalahan pada PTB adalah keseimbangan sink dan

source yang belum stabil sehingga tanaman tidak dapat mendukung sink yang besar (> 250 butir per malai). Jumlah gabah hampa yang tinggi merupakan sifat utama yang menyebabkan daya hasil PTB tidak seperti yang diharapkan. Kehampaan dapat disebabkan faktor genetik maupun non genetik. Faktor genetik dapat diperbaiki melalui pemuliaan, sedangkan faktor non genetik dengan perbaikan lingkungan dan atau sistem budidaya (Abdullah et al. 2008).

Sistem Budidaya Konvensional

Sebagian besar petani di Indonesia masih menggunakan sistem budidaya konvensional. Budidaya konvensional adalah sistem usaha tani yang sejak awal Pelita I sampai dengan 1982 melalui program bimbingan masyarakat (Bimas)

9

telah meningkatkan produksi beras sejalan dengan penggunaan pupuk anorganik yang terus meningkat (Adiningsih et al. 2000). Teknologi budidaya saat itu dikenal dengan teknologi “Revolusi Hijau”, merupakan perubahan dalam teknologi budidaya pertanian yang ditujukan agar sumber daya lahan dapat berproduksi sebanyak-banyaknya dengan jalan mengoptimalkan ketersediaan hara dan air dalam tanah, menanam varietas tanaman yang mempunyai potensi produksi tinggi, serta melindungi tanaman dari gangguan hama dan penyakit (Sumarno 2007). Sistem budidaya konvensional yang dilakukan oleh petani antara lain pengolahan tanah dengan membajak, kedalaman olah tanah berkisar 15-20 cm, kebutuhan benih 30 kg/ha, bibit dipindahtanamkan umur 21-30 HSS, bibit di tanam 3-5 bibit per lubang tanam, dilakukan pengenangan air dalam petakan antara 5-10 cm, penyiangan gulma 1-2 kali dengan menggunakan herbisida, dan pemupukan sesuai dosis anjuran departemen pertanian setempat (Sato dan Uphoff 2007).

Sistem Budidaya SRI (System of Rice Intensification)

Sistem intensifikasi padi (SRI) dimulai di Madagaskar pertama kali tahun 1983 oleh Fr. Henri de Laulani pada musim kemarau. Percobaan awal dengan menanam bibit padi yang sangat muda berumur 15 hari. Percobaan ini mengurangi penggunaan air irigasi, dan tidak ada penggunaan pupuk anorganik atau pupuk kimia lainnya. Unsur utama pada metode SRI antara lain persemaian kering, transplanting bibit muda umur 8-12 hari, tanam bibit tunggal, jarak tanam lebar, pengendalian gulma sejak dini dan teratur, pengaturan air dan menjaga air tetap lembab, dan aplikasi penggunaan bahan organik/pupuk organik (Stoop et al.

2002; Uphoff 2004; Anas dan Uphoff 2009). SRI membentuk anakan tanaman lebih banyak. Jarak tanam yang lebar menyebabkan kanopi daun pada SRI lebih baik dibandingkan pola konvensional. Kerapatan tanaman dengan jarak tanam lebar minimal 27 cm x 27 cm, sampai 50 cm x 50 cm berpengaruh pada populasi per areal tanam. Jumlah populasi yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan akar, persaingan dalam pengunaan nutrisi di dalam tanah, juga pada bagian atas tanaman yaitu luas permukaan daun (leaf area index) untuk penerimaan dan distribusi cahaya (Tao et al. 2002).

Penelitian SRI yang dilakukan oleh Tao et al. (2002) menunjukkan bahwa sistem budidaya SRI menghasilkan perakaran 10-15 cm lebih dalam dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional disebabkan karena penanaman bibit diawal yaitu tanam dangkal. Bobot kering akar per tanaman pada varietas padi Xieyou

9308 adalah 13.2 g pada sistem budidaya SRI dan 8.2 g dengan sistem budidaya konvensional sedangkan bobot kering akar varietas padi Liangyou-peijiiu 9.8 g pada metoda SRI dan 7.6 g dengan metoda konvensional. Persemaian SRI dilakukan dengan cara kering/lembab sehingga dapat dilakukan pada besek atau kotak, hal ini memudahkan untuk melakukan pengamatan yang terus menerus. Kebutuhan kotak untuk persemaian berukuran 15 cm x 15 cm. Persemaian dapat disimpan di halaman rumah.

Sistem Budidaya Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

Berbeda dengan SRI yang menganjurkan penerapan paket teknologi di semua ekosistem, Badan Litbang Pertanian menggunakan pendekatan PTT yang bersifat spesifik lokasi. PTT menganjurkan petani menerapkan teknologi yang cocok untuk lokasi setempat sesuai pilihan dan kemampuan mereka (Syam 2006).

Integrated Crop Management Systems atau lebih dikenal PTT pada padi sawah merupakan salah satu model atau pendekatan pengelolaan usaha tani padi, dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis (Pramono et al. 2005).

Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT dikelompokkan ke dalam teknologi dasar dan pilihan. Komponen teknologi dasar sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi padi sawah. Penerapan komponen pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat (Badan Litbang Pertanian 2008). Komponen teknologi dasar yang diimplementasikan pada unit hamparan pengkajian PTT meliputi; (a) penggunaan varietas unggul adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) tanam tunggal bibit muda, (d) penggunaan bahan organik (pupuk organik), (e) pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD), (f) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (g) pengairan berselang (intermittent irrigation), (h) pengendalian gulma dengan landak/gosrok), dan (i) pengendalian hama secara PHT (Badan Litbang Pertanian 2010).

11

Pendekatan model PTT pada padi sawah dengan menerapkan komponen- komponen teknologi budidaya sinergis mampu meningkatkan produktivitas usahatani berupa peningkatan hasil panen gabah kering giling (GKG) yang rata- rata lebih tinggi dibandingkan pola petani. Peningkatan hasil mencapai 10% atau sekitar 0.68 t/ha GKG pada masa percobaan I (MPI) dan 0.59 t/ha GKG pada MP II di Kabupaten Sragen, sedangkan untuk Kabupaten Grobogan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5.3% atau 0.33 t/ha GKG pada MP I (Pramono et al.

2005). Penerapan PTT di tingkat petani telah teruji mampu meningkatkan rata-rata hasil sekitar 16 –27% (rata-rata 0.3 – 2.3 ton GKP/ha). Efisiensi penggunaan benih dan menanam bibit muda, tanam bibit kurang dari 3 bibit/lubang, efisiensi pupuk urea (penggunaan bagan warna daun) dan penghematan air irigasi berselang 135 mm/ha/musim. Penggunaan bibit muda maksimal kurang dari 21 hari setelah semai (HSS) adalah bertujuan untuk mengurangi stres tanaman dan bibit lebih cepat kembali sehat (recovery) sehingga pembentukan anakan lebih banyak (Badan Litbang Pertanian 2008).

Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Kondisi seperti ini ditujukan antara lain untuk: menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi menjadi lebih luas, memberi kesempatan kepada akar tanaman untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mengurangi kerebahan, memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah, memudahkan pengendalian hama keong mas dan lainnya (Badan Litbang Pertanian 2008). Teknik pengairan berselang, air di areal pertanaman diatur pada kondisi tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu. Saat tanaman dalam fase berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2-3 cm (Badan Litbang Pertanian 2010).

Komponen budidaya yang juga harus diperhatikan adalah pemberian bahan organik. Bahan organik berupa sisa tanaman, kotoran hewan, pupuk hijau dan pupuk organik (humus) merupakan unsur utama pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair. Bahan organik bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah (Badan Litbang Pertanian 2010). PTT merupakan suatu pendekatan yang ditempuh untuk meningkatkan produktivitas

padi sawah, khususnya padi sawah irigasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi. Adopsi sistem budidaya PTT diharapkan selain produktivitas naik, biaya produksi optimal dan lingkungan terpelihara (Fagi 2008).

Kriteria Agroekologi untuk Padi Tipe Baru

PTB mempunyai kapasitas sink yang besar (jumlah gabah lebih dari 250 butir gabah per malai) maka lingkungan tumbuh harus mampu menunjang proses fotosintesis yang optimal dan translokasi fotosintat dari daun ke malai yang lancar. Dengan pengaturan lingkungan tumbuh yang ideal diharapkan jumlah gabah isi bertambah atau kehampaan gabah berkurang. Padi tipe baru dikaitkan dengan potensi hasilnya yang tinggi melalui fotosintesis dan metabolisme karbon. Fotosintesis PTB akan maksimal pada intensitas cahaya tinggi (BB Padi 2004).

Metabolisme karbon pada proses respirasi menghasilkan energi bagi perbanyakan sel-sel dan pembentukan jaringan. Respirasi ditentukan oleh suhu udara tertentu pada berbagai stadia. Kalau stadia tumbuh tertentu suhu ideal terlampaui maka fenomena kebocoran fotosintesis (photosynthetic leakage) dapat terjadi. Hal ini akan mengakibatkan pengisian gabah terhambat. Intensitas cahaya matahari harus optimum pada 30-40 hari sebelum panen yaitu pada periode pengisian biji. Berdasarkan kriteria kesesuaian padi sawah menurut CSR-FAO 1983, PTB paling tepat ditanam di lokasi dengan dengan lingkungan sesuai (S1), diikuti kesesuaian sedang (S2). Jumlah curah hujan tahunan diatas 1500 mm berarti curah hujan bulanan diatas 142 mm. Curah hujan bulanan ideal berada pada kisaran 200-400 mm agar intensitas cahaya matahari masih tinggi tetapi suhu tidak terlalu panas. pH tanah pada keadaan kering 6.0-7.0, kandungan bahan organik 2% (tetapi bukan tanah histosol), drainase tanah baik (air irigasi terjamin) (BB Padi 2004).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2010. Percobaan dilakukan di Laboratorium Lapangan Riset Padi IPB, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Proses pasca panen dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi yang terdiri atas: galur harapan PTB hasil pengembangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (A219-3-1-1), galur harapan PTB hasil pengembangan Institut Pertanian Bogor (IPB 97F-15-1- 1), genotipe Fatmawati dan genotipe Ciherang.

Metode Penelitian

Penelitian mengunakan rancangan petak terbagi (split plot design), terdiri atas 2 faktor dengan 3 ulangan.

Faktor pertama (main plot) adalah sistem budidaya, terdiri atas S1 = sistem budidaya konvensional

S2 = SRI (system of rice intensification) S3 = pengelolaan tanaman terpadu (PTT) Faktor kedua adalah genotipe, terdiri atas V1 = varietas Ciherang

V2 = varietas Fatmawati V3 = galur IPB 97 F-15-1-1 V4 = galur A219-3-1-1

Terdapat 12 kombinasi perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan menggunakan petakan lahan berukuran 5 m x 3 m. Adapun model linear rancangan petak terbagi (Mattjik & Sumertajaya 2002) adalah:

Dimana:

i : Ulangan/kelompok (1, 2, 3) j : Sistem budidaya (1, 2, 3) k : Genotipe (1, 2, 3, 4)

Yijk : Hasil pengamatan pengaruh sistem budidaya ke-j, genotipe ke-k dan

ulangan ke-i µ : Nilai tengah

i : Pengaruh ulangan/kelompok ke-i

αj : Pengaruh sistem budidaya ke-j

ij : Pengaruh galat sistem budidaya ke-j dan ulangan/kelompok ke-i

βk : Pengaruh genotipe ke-k

(αβ)jk : Pengaruh interaksi antara sistem budidaya ke-j dan genotipe ke-k

Єijk : Pengaruh galat ulangan ke-i sistem budidaya ke-j dan genotipe ke-k

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian menggunakan 4 genotipe berbeda (genotipe Ciherang, genotipe Fatmawati, galur IPB 97 F-15-1-1 dan galur A219-3-1-1) yang ditanam pada 3 sistem budidaya yang berbeda (sistem budidaya konvensional, SRI dan PTT). Penyemaian budidaya konvensional dan PTT dilakukan di lapangan, sedangkan penyemaian budidaya SRI dilakukan pada tray (tempat pembibitan). Sebelum tanam dilakukan analisis tanah di lokasi penelitian (Lampiran 1), analisis pupuk organik (pupuk organik) dan analisis pupuk anorganik (urea, SP-18 dan KCl) dicantumkan pada Lampiran 2. Deskripsi masing-masing sistem budidaya (konvensional, SRI dan PTT) dapat dilihat pada Tabel 1.

15

Tabel 1 Deskripsi masing-masing sistem budidaya (konvensional, SRI dan PTT) pada beberapa genotipe harapan PTB.

Sistem Budidaya

Konvensional SRI PTT

Pengolahan tanah Menggunakan

cangkul dan bajak singkal

kedalaman olah 15 - 20 cm.

Menggunakan

cangkul dan bajak singkal

kedalaman olah 15 - 20 cm

Menggunakan cangkul dan bajak singkal

kedalaman olah 15 – 20 cm

Pupuk dasar Tanpa pemberian pupuk organik

Pemberian pupuk organik atau pupuk organik (dilakukan analisis tanah). Hasil analisis tanah, kandungan bahan organik tanah = 2.23%. Dosis pupuk pupuk organik 17.5 kg/petak atau 1.2 t/ha.

Pemberian pupuk organik atau pupuk organik (dilakukan analisis tanah). Hasil analisis tanah, kandungan bahan organik tanah = 2.23%. Dosis pupuk pupuk organik 7.5 kg/petak atau 0.5 t/ha. Umur bibit 24 Hari setelah semai

(HSS)

10 HSS 17 HSS

Jumlah bibit 3 bibit per titik tanam 1 bibit per titik tanam 1 bibit per titik tanam Jarak tanam 20 cm x 20 cm. 30 cm x 30 cm 20 cm x 20 cm x 40

cm Pupuk susulan Pupuk diberikan

dengan dosis 300 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP18 dan 150 kg/ha KCl (Badan Litbang Pertanian 2008).

Pupuk diberikan dengan dosis 150 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP18 dan 75 kg KCl/ ha (Uphoff 2009).

Pupuk diberikan dengan dosis 180 kg/ha urea, 100 kg/ha SP18 dan 100 kg/ha KCl (Berdasarkan analisis tanah)(Badan Litbang Pertanian 2008).

Pengelolaan air Cara yang biasa dilakukan petani.

Pengairan berselang (kondisi tanah macak- macak).

Pengairan berselang (intermittent irrigation). Pengendalian gulma Menggunakan

herbisida Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian gulma alat gasrok. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian gulma alat gasrok.

Pemupukan nitrogen (N) susulan dilakukan pengamatan warna daun menggunakan bagan warna daun (BWD) hanya pada sistem budidaya PTT. Penggunaan BWD berdasarkan waktu yang telah ditetapkan: a) memberikan

pupuk dasar 30 kg/ha pada petakan PTT atau pemupukan N pertama sebelum tanaman berumur 14 hari setelah tanam (HST). Pada saat ini BWD belum digunakan. b) Pemupukan kedua dan ketiga, dengan cara membandingkan warna daun dengan skala BWD, dilakukan pada saat tanaman padi berumur 21 HST (pemupukan N kedua) dosis 75 kg/ha dan umur 42 HST (pemupukan N ketiga) dosis 75 kg/ha. Nilai BWD pada saat pengamatan warna daun menunjukkan pada skor > 4 yaitu skor 5 dan 6 dan respon tanaman PTB terhadap pupuk N pada kolom sangat tinggi, maka dosis pupuk N (urea) untuk nilai BWD > 4 adalah 75 kg/ha. Penggunaan pupuk N yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang telah ditetapkan Tabel 2.

Tabel 2 Dosis urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang telah ditetapkan.

Pembacaan BWD

Respon terhadap pupuk N

rendah sedang tinggi sangat tinggi target hasil (t/ha (GKG)

< 5.0 = 6.0 = 7.0 > 8

takaran urea yang digunakan (kg/ha) BWD < 3 BWD = 3.5 BWD > 4 75 50 0 100 75 0 - 50 125 100 50 150 125 75

Sumber : Badan Litbang Pertanian 2009.

Peubah dan Analisis Data

Pengamatan meliputi peubah komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil. Peubah-peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, panjang daun bendera, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, persentase gabah isi per malai, jumlah gabah total per malai, bobot gabah per rumpun dan hasil gabah (t/ha). Hasil gabah dihitung dari data bobot gabah per petak dikonversikan ke t/ha. Data hasil pengamatan dianalisis statistik dengan uji F (sidik ragam) pada taraf 5% dengan menggunakan program SAS versi 9.0 dan jika uji F nyata dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Sebagai data pendukung dilakukan analisis tanah dan data kondisi iklim selama penelitian berlangsung.

17

Pengamatan Penelitian

Pengamatan yang dilakukan meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil:

Komponen Pertumbuhan

- Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung batang.

- Jumlah anakan total, dihitung jumlah anakan total yang tumbuh pada masa vegetatif hingga menjelang masa inisiasi malai.

- Jumlah anakan produktif, dihitung dari jumlah anakan yang menghasilkan malai.

- Umur berbunga, dihitung dari saat semai benih sampai 50% malai (bunga) dalam satu rumpun keluar.

- Umur panen, dihitung dari saat semai sampai 85%-95% malai telah matang.

- Panjang daun bendera, diukur dari pangkal helai daun sampai ujung helai daun pada daun bendera.

Komponen Hasil

- Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai.

- Jumlah gabah isi per malai, dihitung dari jumlah gabah yang berisi penuh pada tiap malai.

- Jumlah gabah hampa per malai, dihitung dari jumlah gabah yang hampa (tidak berisi) tiap malai.

- Persentase gabah isi per malai, dihitung dari persentase jumlah gabah yang berisi penuh pada tiap malai.

- Jumlah gabah total per malai, dihitung dari jumlah gabah total (gabah

Dokumen terkait