• Tidak ada hasil yang ditemukan

The agronomical performance of new plant type rice on conventional planting system, system of rice intensification and integrated crop management system

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The agronomical performance of new plant type rice on conventional planting system, system of rice intensification and integrated crop management system"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

BUDIDAYA KONVENSIONAL, SRI (

SYSTEM OF RICE

INTENSIFICATION

) DAN PENGELOLAAN

TANAMAN TERPADU

DIDI DARMADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Keragaan Agronomi Padi Tipe Baru pada Sistem Budidaya Konvensional, SRI (System of Rice Intensification) dan Pengelolaan Tanaman Terpadu” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

ABSTRACT

DIDI DARMADI. The Agronomical Performance of New Plant Type Rice on Conventional Planting System, System of Rice Intensification and Integrated Crop Management System. Under supervision of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman, AHMAD JUNAEDI and ISWARI SARASWATI DEWI as members of the advisory committee.

IPB and BB Biogen has developed rice lines with new plant type (NPT) characters. The most appropriate cultivation technology for NPT genotypes need to be examined. The objective of the research was to determine the agromorphological response of NPT genotypes in different planting systems. The experiment was arranged in split plot design, consisted of 2 factors. The first factor (main plot) consisted of 3 planting system (conventional planting systems (CPS), system of rice intensification (SRI), integrated crop management systems (IMS)). The second factor (sub-plot) consisted genotypes (Fatmawati, Ciherang, IPB 97F-15-1-1 and A219-3-1-1). There were 12 combinations of treatments with 3 replications. The experiment showed that there was interaction between planting system and genotype in growth component (plant height, heading date, harvest time), yield component and yield.. Ciherang showed to be more suitable in IMS and SRI. Fatmawati showed to be more suitable in CPS, IPB 97F-15-1-1 line showed to be more suitable in CPS and SRI. A219-3-1-1 line yielded lower than other genotypes in the 3 planting systems. In general NPT genotypes were more suitable in CPS.

(4)

RINGKASAN

DIDI DARMADI. Keragaan Agronomi Padi Tipe Baru pada Sistem Budidaya Konvensional, SRI (System of Rice Intensificaion) dan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO, AHMAD JUNAEDI dan ISWARI SARASWATI DEWI.

Peningkatan produksi beras dapat dilakukan melalui penerapan inovasi teknologi. Salah satu inovasi teknologi tanaman padi adalah varietas unggul. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menghasilkan galur padi tipe baru (PTB). Ada tiga sistem budidaya yang saat ini digunakan pada penanaman padi sawah yaitu sistem budidaya konvensional, SRI (system of rice intensification) dan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Galur-galur tersebut perlu diuji pada ketiga sistem budidaya. Percobaan bertujuan menguji kesesuaian genotipe harapan PTB pada sistem budidaya konvensional, SRI dan PTT.

Percobaan ini mengunakan rancangan petak terbagi (split plot design), terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama/petak induk (main plot) yaitu 3 sistem budidaya (konvensional, SRI dan PTT). Faktor kedua/anak petak (sub plot) adalah genotipe (Fatmawati, Ciherang, galur A219-3-1-1 dan galur IPB 97F-15-1-1). Dengan demikian terdapat 12 kombinasi perlakuan, yang diulang 3 kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan adalah petak berukuran 5 m x 3 m.

Hasil analisis tanah memperlihatkan tingkat kesuburan yang relatif baik dengan kandungan bahan organik (C-organik) kategori sedang (2.2%). Tanah memiliki kemasaman yang agak tinggi dengan pH 5.6 kategori agak masam. Nilai tukar kation Ca-dd (me/100 g) kategori sedang (6.5), K-dd (me/100 g) kategori sedang, Na-dd (me/100 g) kategori sedang dan nilai tukar kation Mg tergolong sangat rendah. Kandungan N total kategori rendah (0.2%), P-tersedia (Bray-1) kategori sangat rendah (9.1 ppm).

Perbedaan pada masing-masing sistem budidaya yaitu pada pemberian pupuk organik dan anorganik, Sistem budidaya konvensional tanpa pemberian pupuk organik sedangkan SRI dan PTT menggunakan pupuk organik. Selanjutnya umur bibit pada sistem budidaya konvensional 24 hari setelah semai (HSS), SRI 10 HSS dan PTT 17 HSS. Jumlah bibit pada sistem budidaya konvensional 3 bibit per titik tanam, SRI dan PTT 1 bibit per titik tanam. Jarak tanam pada sistem budidaya konvensional 20 cm x 20 cm, SRI (30 cm x 30 cm) dan PTT (legowo 20 cm x 20 cm dan 40 cm). Dosis pemberian pupuk organik pada SRI dan PTT didasarkan pada analisis kandungan bahan organik tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah diatas 2.0% sehingga pemberian pupuk organik dilakukan hanya untuk menambahkan bahan organik ke dalam petakan. Dosis pupuk organik pada SRI 17.5 kg/petakan (1.2 ton/ha) dan untuk dosis pupuk organik pada budidaya PTT 7.5 kg/petakan (0.5 ton/ha).

(5)

genotipe terhadap peubah tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah gabah total per malai, dan hasil gabah dalam ton per hektar. Varietas Ciherang sesuai pada sistem budidaya PTT atau SRI, varietas Fatmawati lebih sesuai pada sistem budidaya konvensional, galur IPB 97F-15-1-1 sesuai pada sistem budidaya konvensional atau SRI. Galur A219-3-1-1 memberikan hasil terendah pada ketiga sistem budidaya dibanding genotipe lainnya dan memberikan hasil yang sama di ketiga sistem budidaya. Secara umum genotipe PTB lebih sesuai ditanam pada sistem budidaya konvensional.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

(7)

KERAGAAN AGRONOMI PADI TIPE BARU PADA SISTEM

BUDIDAYA KONVENSIONAL, SRI (

SYSTEM OF RICE

INTENSIFICATION

) DAN PENGELOLAAN

TANAMAN TERPADU

DIDI DARMADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Keragaan Agronomi Padi Tipe Baru pada Sistem Budidaya Konvensional, SRI (System of Rice Intensification) dan Pengelolaan Tanaman Terpadu

Nama : Didi Darmadi

NRP : A252080131

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si. Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sembahkan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala karena atas segala karunia dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan tesis dengan baik. Penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk menguji kesesuaian galur-galur padi tipe baru (IPB 97 F-15-1-1 dan A219-3-1-1) terhadap sistem budidaya yang berbeda yaitu sistem budidaya konvensional, SRI dan PTT sehingga galur tersebut dapat optimal potensi produksinya.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc., Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si. dan Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi sebagai komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dan menyediakan biaya penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. selaku koordinator Mayor

Agronomi dan Hortikultura yang telah memberi arahan dan saran dan Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Ungkapan

terima kasih disampaikan kepada Bapak Iman, Yeni dan Bapak Kholil yang telah membantu pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga buat rekan-rekan AGH 2008, rekan FORSCA terutama Leo Mualim, rekan FORKUB, rekan-rekan IKAMAPA dan rekan-rekan-rekan-rekan IMPACS atas semangat dan dukungannya.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Bapak Akmal Ibrahim, S.H., Bapak Ir. Syamsul Rizal, M.Si., Bapak Letkol. Purnomo Lubis, dan Bapak Edi Darmawan S.Sos. Dalam penyelesaian studi S2 ini penulis juga menyampaikan rasa hormat, rindu, terima kasih dan penghargaan kepada almarhum Bapak, almarhumah Mama dan Ibu yang telah menanamkan dasar pendidikan yang baik dan sangat berguna bagi penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kak Siti, kak Nining, kak Elis, Sri, Neni, abang-abang ipar juga adik-adik ipar. Kepada istri tercinta Andriani Lubis dan buah hati kami Afifah Adzkiyah Darmadi, umak dan ayah disampaikan terima kasih atas dukungan dan kesabarannya. Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, pada tanggal 12 Mei 1981 sebagai anak keempat dari pasangan almarhum Karmidi bin Kariomejo dan almarhumah Siti Djarmah binti Djar’an. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas dan lulus pada tahun 2004. Penulis bekerja sebagai staf di Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura tahun 2006, dan terakhir bertugas sebagai staf lapangan Kantor Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Aceh Barat Daya sejak tahun 2008 sampai saat ini.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi (Oryza sativa L.) ... 5

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi ... 7

Padi Tipe Baru (PTB) ... 7

Sistem Budidaya Konvensional ... 8

Sistem Budidaya SRI (System of Rice Intensification) ... 9

Sistem Budidaya Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) ... 10

Kriteria Agroekologi untuk Padi Tipe Baru ... 12

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 13

Bahan ... 13

Metode Penelitian ... 13

Pelaksanaan Penelitian... 14

Peubah dan Analisis Data ... 16

Pengamatan Penelitian ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Agroekologi di Lokasi Penelitian ... 19

Rekapitulasi Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Hasil ... 22

Peubah Pertumbuhan ... 22

Peubah Komponen Hasil ... 27

Peubah Hasil ... 29

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 35

Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Deskripsi masing-masing sistem budidaya (konvensional, SRI

dan PTT) pada beberapa genotipe harapan PTB... ... 15

2 Dosis urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada

penggunaan BWD berdasarkan waktu yang telah ditetapkan.. ... 16

3 Hama dan penyakit padi di lokasi penelitian ... 21

4 Rekapitulasi sidik ragam sistem budidaya dan genotipe terhadap

komponen pertumbuhan dan hasil ... 22

5 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap tinggi

tanaman...… ...……….. 23

6 Pengaruh sistem budidaya dan genotipe terhadap komponen

pertumbuhan.. ... 25

7 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap umur

berbunga.. ... 26

8 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap umur

panen. ... 26

9 Pengaruh sistem budidaya dan genotipe terhadap komponen hasil

padi. ... 28

10 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap jumlah

gabah total per malai. ... 29

11 Pengaruh sistem budidaya dan genotipe terhadap bobot gabah. ... 29

12 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap hasil

gabah (t/ha) ... 31

13 Analisis usahatani tiga sistem budidaya (konvensional, SRI dan

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Keragaan petakan penelitian pada masing-masing perlakuan

sistem budidaya ... 20

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil analisis tanah di Laboratorium Lapangan Riset Padi IPB,

Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Bogor 2010.. ... 41

2 Curah hujan, suhu udara, jumlah hari hujan dan kelembaban (RH)

di lokasi penelitian... ... 42

3 Hasil analisis pupuk pupuk organik merk Godang Tua Jaya (GTJ)

dan hasil analisis pupuk anorganik (urea, KCl, dan SP 18)... ... 43

4 Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah berdasarkan

CSR-FAO.. ... 44

5 Penghitungan analisis usahatani padi tipe baru pada tiga sistem

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan utama penduduk Indonesia. Kebutuhan beras setiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga diperkirakan kebutuhan beras mencapai 34 juta ton pa1da tahun 2015 dan 36 juta ton pada tahun 2020 (Deptan 2009). Peningkatan kebutuhan beras yang besar tidak mungkin dapat dicapai tanpa penerapan teknologi produktif. Program dalam peningkatan produktivitas padi saat ini dengan mengandalkan penerapan inovasi teknologi. Salah satu inovasi teknologi tanaman padi adalah varietas unggul (Badan Litbang Pertanian 2010).

Perakitan padi tipe baru (PTB) diinisiasi oleh IRRI sejak tahun 1989. Perakitan PTB di Indonesia menggunakan materi genetik varietas introduksi, varietas lokal Indonesia dan padi liar (Las et al. 2003). PTB yang cocok untuk kondisi Indonesia yang beriklim tropis adalah padi dengan jumlah anakan sedang tetapi semua produktif (12-18 batang), jumlah gabah per malai 150-250 butir, persentase gabah isi 85-95%, bobot 1.000 gabah isi 25-26 g, batang kokoh dan pendek (80-90 cm), umur genjah (110-120 hari), daun berwarna hijau sampai hijau tua, 2-3 daun terakhir tidak cepat luruh, akar banyak dan menyebar dalam, tahan hama dan penyakit utama, serta mutu beras dan nasi baik. Dengan sifat-sifat tersebut, varietas PTB diharapkan mampu berproduksi 9-13 ton gabah kering giling (GKG)/ha (Abdullah et al. 2008). PTB yang ada saat ini baru satu varietas yaitu Fatmawati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menghasilkan galur PTB yang perlu diuji dalam sistem budidaya yang berbeda.

(17)

pengendalian gulma 1-2 kali, dan pemupukan sesuai dosis anjuran Dinas Pertanian setempat (Sato dan Uphoff 2007).

Budidaya konvensional dimulai dari bimbingan masyarakat (Bimas) pada dekade 1960-1970an kemudian Inmas, Insus hingga Supra Insus (SI) pada dekade 1980-1990an yang disertai dengan introduksi varietas unggul. Laju pertumbuhan produksi padi periode 1970-1995, meningkat rata-rata 3.85% per tahun (Badan Litbang Pertanian 2008). Budidaya konvensional setelah periode tahun 1995 cenderung memusatkan pada sistem input luar yang tinggi dan tidak memperhitungkan keberlanjutan, disebabkan beberapa hal yaitu : a) fokus pada komoditas tunggal b) orientasi terutama pada pasar dan eksploitasi unsur hara c) pengabaian dampak lingkungan, dimana dampak jangka panjang adalah pada kesuburan tanah, kemampuan regenerasi vegetasi dan fauna alami dan kesehatan manusia (Reijntjes et al. 2008).

Teknologi System of Rice Intensification (SRI) dimulai di Madagaskar pertama kali tahun 1983 oleh Fr. Henri de Laulani pada musim kemarau, percobaan awal dengan menanam bibit padi yang sangat muda berumur 15 hari (Anas dan Uphoff 2009; Uphoff 2009). Komponen teknologi dasar pada SRI antara lain persemaian kering, pindah tanam bibit muda umur 8-15 hari dengan menjaga perakaran tidak terganggu saat pindah tanam dan menanam dangkal berkisar 1-2 cm, tanam tunggal, jarak tanam lebar 25 cm x 25 cm atau lebih lebar pada tanah yang subur, pengendalian gulma sejak dini dan teratur, manajemen pengaturan air dengan menjaga kondisi tanah tetap lembab bukan pengairan yang terus menerus, dan aplikasi pengunaan bahan organik/pupuk organik (Sato dan Uphoff 2007; Anas dan Uphoff 2009; Uphoff 2009). SRI tidak mempermasalahkan penggunaan varietas unggul atau lokal. Hasil panen padi budidaya SRI 52% (50-100%) lebih tinggi dibanding sistem budidaya konvensional, efisiensi penggunaan air mencapai 44% (25-50%) dibandingkan metode pengairan terus menerus (konvensional) (Sato dan Uphoff 2007; Uphoff 2009).

(18)

3

terbaik (MBT), SRI dan cara budidaya petani (sistem budidaya konvensional). Produktivitas masing-masing ialah MBT 6.9 t/ha, SRI 5.9 t/ha dan petani 5.0 t/ha. SRI tidak meningkatkan hasil dibandingkan PTT. MBT di Indonesia dikenal dengan pengelolaan tanaman terpadu. Selanjutnya McDonald et al. (2008) menyatakan bahwa di luar Madagaskar, 24 dari 35 set data, produktivitas SRI lebih rendah dibandingkan PTT. Sinclair (2004) secara tegas menyatakan hasil panen padi SRI yang sangat tinggi mencapai 15-20 t/ha (peningkatan 100%) sulit diterima secara ilmiah oleh berbagai ahli pertanian.

Pendekatan sistem budidaya untuk varietas unggul di Indonesia saat ini menggunakan sistem budidaya pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Komponen teknologi dasar PTT adalah varietas unggul baru inbrida atau hibrida, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik dalam bentuk pupuk organik atau pupuk kandang, pengaturan populasi, pemupukan berdasarkan status hara tanah, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan pengendalian hama terpadu (PHT) (Badan Litbang Pertanian 2010). Demonstrasi PTT di 28 lokasi percobaan dengan menggunakan varietas unggul hibrida (Rokan dan Maro) dan varietas PTB (Fatmawati) menunjukkan bahwa rata-rata hasil t/ha non PTT (konvensional) varietas Fatmawati 6.8 t/ha, Rokan 7.9 t/ha dan Maro 7.8 t/ha, sedangkan pada PTT varietas Fatmawati 8.3 t/ha, Rokan 9.0 t/ha dan Maro 8.9 t/ha (Satoto dan Suprihatno 2008).

Setiap genotipe memberikan respon yang berbeda terhadap suatu sistem budidaya yang diterapkan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui respon genotipe PTB pada 3 sistem budidaya yang berbeda yaitu sistem budidaya konvensional, sistem budidaya PTT, dan sistem budidaya SRI. Teknologi tersebut diharapkan akan meningkatkan adopsi masyarakat terhadap salah satu sistem budidaya pilihan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani serta penggunaan varietas unggul PTB yang dapat meningkatkan produksi padi nasional.

(19)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kesesuaian genotipe PTB pada sistem budidaya konvensional, sistem budidaya PTT, dan sistem budidaya SRI.

Hipotesis

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi (Oryza sativa L.)

Bagian tanaman padi meliputi daun, batang, akar, anakan, bunga, malai dan gabah. Daun tanaman padi berselang-seling, satu daun pada setiap buku. Tiap daun terdiri atas helai daun, pelepah daun yang membungkus ruas, telinga daun (auricle), lidah daun (ligule). Helaian daun terletak pada batang padi, bentuknya memanjang seperti pita. Panjang dan lebar helaian daun tergantung pada jenis varietas. Pelepah daun (upih) merupakan bagian daun yang menyelubungi batang. Lidah daun terletak berbatasan antara helaian daun dengan upih. Panjang lidah daun berbeda-beda tergantung pada varietas. Fungsi lidah daun untuk mencegah masuknya air hujan di antara batang dan upih (Hanum 2008). Adanya telinga dan lidah daun pada padi dapat digunakan untuk membedakan dengan rumput-rumputan pada stadia bibit (seedling) karena daun rumput-rumputan hanya memiliki lidah daun atau tidak ada sama sekali (Makarim dan Ikhwani 2008).

Daun teratas disebut dengan daun bendera. Satu daun pada awal fase pertumbuhan memerlukan waktu 4-5 hari untuk tumbuh secara penuh, sedangkan pada fase tumbuh selanjutnya diperlukan waktu yang lebih lama 8-9 hari. Jumlah daun pada setiap tiap tanaman tergantung varietas. Varietas-varietas baru di daerah tropika memiliki 14-18 daun pada batang utama (Yoshida 1981). Bertambahnya luas daun pada komunitas tanaman disebabkan oleh 2 faktor yaitu meningkatnya jumlah anakan dan meningkatnya luas daun. Peningkatan luas daun bagi varietas beranak banyak didominasi oleh faktor yang pertama sedangkan dalam varietas beranak sedikit disebabkan faktor kedua yang lebih dominan (Murata dan Matsushima 1978).

(21)

tanam, karena dengan anakan yang banyak mampu menggantikan rumpun-rumpun yang mati dan mencapai luas daun dengan cepat (Yoshida 1981).

Batang tanaman padi yang rebah menyebabkan pembuluh-pembuluh xylem

dan phloem menjadi rusak sehingga menghambat pengangkutan hara mineral dan fotosintat. Selain itu susunan daun menjadi tidak beraturan dan saling menaungi sehingga menghasilkan gabah hampa. Tingginya hasil pada padi varietas unggul baru terutama disebabkan oleh ketahanannya terhadap kerebahan (Yoshida 1981).

Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai dinamakan spikelet. Tiap unit bunga pada malai terletak pada cabang-cabang yang terdiri atas cabang primer dan sekunder (Siregar 1981). Malai terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang sekunder. Tangkai butir padi (pedicel) tumbuh dari buku-buku cabang primer maupun cabang sekunder (Yoshida 1981).

Butir padi yang terbungkus kulit luar (sekam) disebut gabah. Bobot gabah beragam dari 12-44 mg, sedangkan bobot kulit luar rata-rata adalah 20% bobot gabah. Faktor konversi dari gabah ke beras adalah 0.6 dan dari beras pecah kulit ke gabah adalah 1.25, dan faktor konversi tersebut tergantung varietas (Yoshida 1981).

(22)

7

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dikelompokkan menjadi tiga fase: i) fase vegetatif (vegetative stage), dimulai dari masa kecambah (germination) hingga inisiasi malai (panicle initiation), ii) fase reproduktif (reproductive stage), dimulai dari pembungaan hingga masak penuh, iii) fase pemasakan/pematangan (ripening stage), dimulai dari periode pembungaan hingga masak penuh (De Datta 1981).

IRRI (1996) secara rinci membagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi menjadi sembilan stadia: perkecambahan, bibit, anakan, pemanjangan batang, bunting, pembungaan, fase matang susu, fase pengisian dan pematangan. IRRI (1996) dan Hanum (2008) menyatakan stadia perkecambahan mulai dari berkecambah sampai muncul daun pertama. Stadia bibit mulai dari munculnya daun pertama hingga terbentuknya anakan pertama, lamanya sekitar 21-24 hari. Stadia anakan mulai dari anakan yang bertambah sampai anakan maksimum, lamanya sekitar 40 hari. Stadia pemanjangan batang mulai saat terbentuknya bulir, lamanya sekitar 10 hari setelah inisiasi malai. Stadia bunting mulai dari perkembangan butir sampai butir tumbuh sempurna, lamanya sekitar 14 hari setelah stadia bunting.

Stadia pembungaan mulai muncul bunga, polinasi dan fertilisasi, lamanya sekitar 10 hari setelah fase pembungaan. Fase matang susu dimulai dari biji berisi cairan menyerupai susu, butir kelihatan berwarna hijau, lamanya sekitar 14 hari setelah pembungaan. Fase pengisian dimulai butir yang lembek mulai mengeras dan berwarna kuning sehingga seluruh pertanaman kelihatan kekuning-kuningan, lamanya sekitar 14 hari setelah fase matang susu. Fase pematangan mulai dari butir padi berukuran sempurna, keras dan berwarna kuning, malai padi mulai merunduk disebabkan butir-butir padi yang sudah berisi penuh, lama fase ini sekitar 14 hari (IRRI 1996; Hanum 2008).

Padi Tipe Baru (PTB)

(23)

produksinya lebih unggul karena dirakit dengan mengkombinasikan sifat khusus yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi benih (Peng et al.

2008). Sifat-sifat penting yang dimiliki PTB diantaranya: anakan produktif sedang (10-15), malai lebat (>200 butir gabah per malai), 80% gabah bernas, tinggi tanaman sedang (80-100 cm), umur sedang (105-120 hari), daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua dan harus mampu mempertahankan kehijauannya atau lambat menua (delayed senescence), perakaran dalam, dan tahan terhadap hama dan penyakit utama (BB Padi 2004; Abdullah et al. 2008; Peng et al. 2008). Penelitian ke arah perakitan PTB di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1995. Varietas PTB yang sudah dilepas yaitu varietas perdana Fatmawati dilepas tahun 2003, sebelum pelepasan PTB sudah dilepas tiga varietas semi PTB yaitu Cimelati (2001), Ciapus (2002) dan Gilirang (awal 2003) (Abdullah et al. 2008).

Karakter yang mendukung fotosintesis, metabolisme karbon dan pertumbuhan varietas unggul padi tipe baru yaitu: daun tegak berfungsi dalam intersepsi cahaya matahari tinggi; daun tebal dan berwarna hijau tua untuk kemampuan fotosintesis tinggi; batang pendek, kuat dan tahan rebah walaupun tanaman dipupuk berat dan malai berisi padat; akar dalam berfungsi mengambil unsur hara dan air dalam lapisan tanah dalam (sub-soil); jumlah gabah berisi > 250 butir/malai, ukuran sink untuk menampung fotosintat besar (BB Padi 2004). Kelemahan PTB Fatmawati diantaranya persentase gabah hampa yang tinggi >25%, kerontokan gabah yang sulit dan tidak tahan terhadap penyakit blas dan hawar daun bakteri. Permasalahan pada PTB adalah keseimbangan sink dan

source yang belum stabil sehingga tanaman tidak dapat mendukung sink yang besar (> 250 butir per malai). Jumlah gabah hampa yang tinggi merupakan sifat utama yang menyebabkan daya hasil PTB tidak seperti yang diharapkan. Kehampaan dapat disebabkan faktor genetik maupun non genetik. Faktor genetik dapat diperbaiki melalui pemuliaan, sedangkan faktor non genetik dengan perbaikan lingkungan dan atau sistem budidaya (Abdullah et al. 2008).

Sistem Budidaya Konvensional

(24)

9

telah meningkatkan produksi beras sejalan dengan penggunaan pupuk anorganik yang terus meningkat (Adiningsih et al. 2000). Teknologi budidaya saat itu dikenal dengan teknologi “Revolusi Hijau”, merupakan perubahan dalam teknologi budidaya pertanian yang ditujukan agar sumber daya lahan dapat berproduksi sebanyak-banyaknya dengan jalan mengoptimalkan ketersediaan hara dan air dalam tanah, menanam varietas tanaman yang mempunyai potensi produksi tinggi, serta melindungi tanaman dari gangguan hama dan penyakit (Sumarno 2007). Sistem budidaya konvensional yang dilakukan oleh petani antara lain pengolahan tanah dengan membajak, kedalaman olah tanah berkisar 15-20 cm, kebutuhan benih 30 kg/ha, bibit dipindahtanamkan umur 21-30 HSS, bibit di tanam 3-5 bibit per lubang tanam, dilakukan pengenangan air dalam petakan antara 5-10 cm, penyiangan gulma 1-2 kali dengan menggunakan herbisida, dan pemupukan sesuai dosis anjuran departemen pertanian setempat (Sato dan Uphoff 2007).

Sistem Budidaya SRI (System of Rice Intensification)

Sistem intensifikasi padi (SRI) dimulai di Madagaskar pertama kali tahun 1983 oleh Fr. Henri de Laulani pada musim kemarau. Percobaan awal dengan menanam bibit padi yang sangat muda berumur 15 hari. Percobaan ini mengurangi penggunaan air irigasi, dan tidak ada penggunaan pupuk anorganik atau pupuk kimia lainnya. Unsur utama pada metode SRI antara lain persemaian kering, transplanting bibit muda umur 8-12 hari, tanam bibit tunggal, jarak tanam lebar, pengendalian gulma sejak dini dan teratur, pengaturan air dan menjaga air tetap lembab, dan aplikasi penggunaan bahan organik/pupuk organik (Stoop et al.

(25)

Penelitian SRI yang dilakukan oleh Tao et al. (2002) menunjukkan bahwa sistem budidaya SRI menghasilkan perakaran 10-15 cm lebih dalam dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional disebabkan karena penanaman bibit diawal yaitu tanam dangkal. Bobot kering akar per tanaman pada varietas padi Xieyou

9308 adalah 13.2 g pada sistem budidaya SRI dan 8.2 g dengan sistem budidaya konvensional sedangkan bobot kering akar varietas padi Liangyou-peijiiu 9.8 g pada metoda SRI dan 7.6 g dengan metoda konvensional. Persemaian SRI dilakukan dengan cara kering/lembab sehingga dapat dilakukan pada besek atau kotak, hal ini memudahkan untuk melakukan pengamatan yang terus menerus. Kebutuhan kotak untuk persemaian berukuran 15 cm x 15 cm. Persemaian dapat disimpan di halaman rumah.

Sistem Budidaya Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

Berbeda dengan SRI yang menganjurkan penerapan paket teknologi di semua ekosistem, Badan Litbang Pertanian menggunakan pendekatan PTT yang bersifat spesifik lokasi. PTT menganjurkan petani menerapkan teknologi yang cocok untuk lokasi setempat sesuai pilihan dan kemampuan mereka (Syam 2006).

Integrated Crop Management Systems atau lebih dikenal PTT pada padi sawah merupakan salah satu model atau pendekatan pengelolaan usaha tani padi, dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis (Pramono et al. 2005).

(26)

11

Pendekatan model PTT pada padi sawah dengan menerapkan komponen-komponen teknologi budidaya sinergis mampu meningkatkan produktivitas usahatani berupa peningkatan hasil panen gabah kering giling (GKG) yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan pola petani. Peningkatan hasil mencapai 10% atau sekitar 0.68 t/ha GKG pada masa percobaan I (MPI) dan 0.59 t/ha GKG pada MP II di Kabupaten Sragen, sedangkan untuk Kabupaten Grobogan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5.3% atau 0.33 t/ha GKG pada MP I (Pramono et al.

2005). Penerapan PTT di tingkat petani telah teruji mampu meningkatkan rata-rata hasil sekitar 16 –27% (rata-rata 0.3 – 2.3 ton GKP/ha). Efisiensi penggunaan benih dan menanam bibit muda, tanam bibit kurang dari 3 bibit/lubang, efisiensi pupuk urea (penggunaan bagan warna daun) dan penghematan air irigasi berselang 135 mm/ha/musim. Penggunaan bibit muda maksimal kurang dari 21 hari setelah semai (HSS) adalah bertujuan untuk mengurangi stres tanaman dan bibit lebih cepat kembali sehat (recovery) sehingga pembentukan anakan lebih banyak (Badan Litbang Pertanian 2008).

Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Kondisi seperti ini ditujukan antara lain untuk: menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi menjadi lebih luas, memberi kesempatan kepada akar tanaman untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mengurangi kerebahan, memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah, memudahkan pengendalian hama keong mas dan lainnya (Badan Litbang Pertanian 2008). Teknik pengairan berselang, air di areal pertanaman diatur pada kondisi tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu. Saat tanaman dalam fase berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2-3 cm (Badan Litbang Pertanian 2010).

(27)

padi sawah, khususnya padi sawah irigasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi. Adopsi sistem budidaya PTT diharapkan selain produktivitas naik, biaya produksi optimal dan lingkungan terpelihara (Fagi 2008).

Kriteria Agroekologi untuk Padi Tipe Baru

PTB mempunyai kapasitas sink yang besar (jumlah gabah lebih dari 250 butir gabah per malai) maka lingkungan tumbuh harus mampu menunjang proses fotosintesis yang optimal dan translokasi fotosintat dari daun ke malai yang lancar. Dengan pengaturan lingkungan tumbuh yang ideal diharapkan jumlah gabah isi bertambah atau kehampaan gabah berkurang. Padi tipe baru dikaitkan dengan potensi hasilnya yang tinggi melalui fotosintesis dan metabolisme karbon. Fotosintesis PTB akan maksimal pada intensitas cahaya tinggi (BB Padi 2004).

(28)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2010. Percobaan dilakukan di Laboratorium Lapangan Riset Padi IPB, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Proses pasca panen dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi yang terdiri atas: galur harapan PTB hasil pengembangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (A219-3-1-1), galur harapan PTB hasil pengembangan Institut Pertanian Bogor (IPB 97F-15-1-1), genotipe Fatmawati dan genotipe Ciherang.

Metode Penelitian

Penelitian mengunakan rancangan petak terbagi (split plot design), terdiri atas 2 faktor dengan 3 ulangan.

Faktor pertama (main plot) adalah sistem budidaya, terdiri atas S1 = sistem budidaya konvensional

S2 = SRI (system of rice intensification) S3 = pengelolaan tanaman terpadu (PTT) Faktor kedua adalah genotipe, terdiri atas V1 = varietas Ciherang

V2 = varietas Fatmawati V3 = galur IPB 97 F-15-1-1 V4 = galur A219-3-1-1

Terdapat 12 kombinasi perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan menggunakan petakan lahan berukuran 5 m x 3 m. Adapun model linear rancangan petak terbagi (Mattjik & Sumertajaya 2002) adalah:

(29)

Dimana:

i : Ulangan/kelompok (1, 2, 3) j : Sistem budidaya (1, 2, 3) k : Genotipe (1, 2, 3, 4)

Yijk : Hasil pengamatan pengaruh sistem budidaya ke-j, genotipe ke-k dan

ulangan ke-i µ : Nilai tengah

i : Pengaruh ulangan/kelompok ke-i

αj : Pengaruh sistem budidaya ke-j

ij : Pengaruh galat sistem budidaya ke-j dan ulangan/kelompok ke-i

βk : Pengaruh genotipe ke-k

(αβ)jk : Pengaruh interaksi antara sistem budidaya ke-j dan genotipe ke-k

Єijk : Pengaruh galat ulangan ke-i sistem budidaya ke-j dan genotipe ke-k

Pelaksanaan Penelitian

(30)
[image:30.595.95.511.105.713.2]

15

Tabel 1 Deskripsi masing-masing sistem budidaya (konvensional, SRI dan PTT) pada beberapa genotipe harapan PTB.

Sistem Budidaya

Konvensional SRI PTT

Pengolahan tanah Menggunakan

cangkul dan bajak singkal

kedalaman olah 15 - 20 cm.

Menggunakan

cangkul dan bajak singkal

kedalaman olah 15 -20 cm

Menggunakan cangkul dan bajak singkal

kedalaman olah 15 – 20 cm

Pupuk dasar Tanpa pemberian pupuk organik

Pemberian pupuk organik atau pupuk organik (dilakukan analisis tanah). Hasil analisis tanah, kandungan bahan organik tanah = 2.23%. Dosis pupuk pupuk organik 17.5 kg/petak atau 1.2 t/ha.

Pemberian pupuk organik atau pupuk organik (dilakukan analisis tanah). Hasil analisis tanah, kandungan bahan organik tanah = 2.23%. Dosis pupuk pupuk organik 7.5 kg/petak atau 0.5 t/ha.

Umur bibit 24 Hari setelah semai (HSS)

10 HSS 17 HSS

Jumlah bibit 3 bibit per titik tanam 1 bibit per titik tanam 1 bibit per titik tanam Jarak tanam 20 cm x 20 cm. 30 cm x 30 cm 20 cm x 20 cm x 40

cm Pupuk susulan Pupuk diberikan

dengan dosis 300 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP18 dan 150 kg/ha KCl (Badan Litbang Pertanian 2008).

Pupuk diberikan dengan dosis 150 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP18 dan 75 kg KCl/ ha (Uphoff 2009).

Pupuk diberikan dengan dosis 180 kg/ha urea, 100 kg/ha SP18 dan 100 kg/ha KCl (Berdasarkan analisis tanah)(Badan Litbang Pertanian 2008).

Pengelolaan air Cara yang biasa dilakukan petani.

Pengairan berselang (kondisi tanah macak-macak).

Pengairan berselang (intermittent irrigation).

Pengendalian gulma Menggunakan herbisida Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian gulma alat gasrok. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian gulma alat gasrok.

Pemupukan nitrogen (N) susulan dilakukan pengamatan warna daun menggunakan bagan warna daun (BWD) hanya pada sistem budidaya PTT. Penggunaan BWD berdasarkan waktu yang telah ditetapkan: a) memberikan

(31)

pupuk dasar 30 kg/ha pada petakan PTT atau pemupukan N pertama sebelum tanaman berumur 14 hari setelah tanam (HST). Pada saat ini BWD belum digunakan. b) Pemupukan kedua dan ketiga, dengan cara membandingkan warna daun dengan skala BWD, dilakukan pada saat tanaman padi berumur 21 HST (pemupukan N kedua) dosis 75 kg/ha dan umur 42 HST (pemupukan N ketiga) dosis 75 kg/ha. Nilai BWD pada saat pengamatan warna daun menunjukkan pada skor > 4 yaitu skor 5 dan 6 dan respon tanaman PTB terhadap pupuk N pada kolom sangat tinggi, maka dosis pupuk N (urea) untuk nilai BWD > 4 adalah 75 kg/ha. Penggunaan pupuk N yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang telah ditetapkan Tabel 2.

Tabel 2 Dosis urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang telah ditetapkan.

Pembacaan BWD

Respon terhadap pupuk N

rendah sedang tinggi sangat tinggi target hasil (t/ha (GKG)

< 5.0 = 6.0 = 7.0 > 8

takaran urea yang digunakan (kg/ha) BWD < 3

BWD = 3.5 BWD > 4

75 50 0

100 75 0 - 50

125 100 50

150 125 75

Sumber : Badan Litbang Pertanian 2009.

Peubah dan Analisis Data

(32)

17

Pengamatan Penelitian

Pengamatan yang dilakukan meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil:

Komponen Pertumbuhan

- Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung batang.

- Jumlah anakan total, dihitung jumlah anakan total yang tumbuh pada masa vegetatif hingga menjelang masa inisiasi malai.

- Jumlah anakan produktif, dihitung dari jumlah anakan yang menghasilkan malai.

- Umur berbunga, dihitung dari saat semai benih sampai 50% malai (bunga) dalam satu rumpun keluar.

- Umur panen, dihitung dari saat semai sampai 85%-95% malai telah matang.

- Panjang daun bendera, diukur dari pangkal helai daun sampai ujung helai daun pada daun bendera.

Komponen Hasil

- Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai.

- Jumlah gabah isi per malai, dihitung dari jumlah gabah yang berisi penuh pada tiap malai.

- Jumlah gabah hampa per malai, dihitung dari jumlah gabah yang hampa (tidak berisi) tiap malai.

- Persentase gabah isi per malai, dihitung dari persentase jumlah gabah yang berisi penuh pada tiap malai.

- Jumlah gabah total per malai, dihitung dari jumlah gabah total (gabah berisi + gabah hampa) tiap malai.

(33)

Hasil

- Bobot gabah per rumpun, dihitung dari bobot gabah kering pada kadar air 14% gabah berisi yang berasal dari satu rumpun.

- Bobot gabah per petak, dihitung dari bobot gabah kering pada kadar air 14% gabah berisi yang berasal dari satu petakan.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum dan Agroekologi di Lokasi Penelitian

Hasil analisis tanah memperlihatkan tingkat kesuburan yang relatif baik dengan kandungan bahan organik (C-organik) kategori sedang (2.2%). Tanah memiliki kemasaman yang agak tinggi dengan pH 5.6 kategori agak masam. Nilai tukar kation Ca-dd (me/100 g) kategori sedang (6.5), K-dd (me/100 g) kategori sedang, Na-dd (me/100 g) kategori sedang dan nilai tukar kation Mg tergolong sangat rendah. Kandungan N total kategori rendah (0.2%), P-tersedia (Bray-1) kategori sangat rendah (9.1 ppm). Hasil analisis tanah di lokasi penelitian dicantumkan pada Lampiran 1.

Masa penelitian selama empat bulan dilaksanakan awal April sampai dengan akhir Juli 2010. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dramaga, Bogor menunjukkan selama penelitian rata-rata curah hujan per bulan adalah 236.9 mm, curah hujan terendah pada bulan April 42.9 mm. Lokasi penelitian didukung saluran irigasi teknis yang baik sehingga keadaan kekeringan diantisipasi dengan baik. Rata-rata suhu udara maksimum 32.30 C dan rata-rata temperatur minimum selama penelitian 23.20C. Curah hujan, suhu udara, jumlah hari hujan dan kelembaban (RH) selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Lampiran 2.

(35)

Keterangan: a = budidaya konvensional, b = SRI, c = PTT.

Gambar 1 Keragaan petakan penelitian pada masing-masing perlakuan sistem budidaya.

Dosis pemberian pupuk organik (pupuk organik) pada SRI dan PTT didasarkan pada analisis kandungan bahan organik tanah. Hasil analisis (Lampiran 1) menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah diatas 2.0% sehingga pemberian pupuk organik dilakukan hanya untuk menambahkan bahan organik ke dalam petakan. Dosis pupuk organik pada SRI 17.5 kg/petakan (1.2 t/ha) dan untuk dosis pupuk organik pada budidaya PTT 7.5/petakan (0.5 t/ha).

Dosis pemberian pupuk anorganik (urea, SP18 dan KCl) seperti tercantum pada Tabel 1. Pupuk urea diberikan bertahap yaitu tiga kali pemberian, sedangkan SP18 dan KCl dilakukan satu kali pemberian. Sebelum pupuk anorganik tersebut diberikan ke tanaman dilakukan analisis kandungan hara masing-masing pupuk. Hasil analisis pupuk anorganik dapat dilihat pada Lampiran 3.

Serangan keong mas cukup tinggi pada awal pertumbuhan sehingga dilakukan penyulaman. Setelah itu, pertanaman terserang penggerek batang padi dan penyakit tungro. Demikian juga saat fase generatif, pertanaman menunjukkan gejala beluk dan terserang hama walang sangit. Tiga minggu menjelang panen

a

[image:35.595.93.458.78.587.2]
(36)

21

[image:36.595.70.462.187.810.2]

pertanaman terserang penyakit hawar daun bakteri (HDB) sehingga menyebabkan gabah hampa terutama varietas Fatmawati dan galur A219-3-1-1 menunjukkan gejala rentan (tidak tahan) terhadap serangan patogen HDB. Hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi di lokasi penelitian dan pengendaliannya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hama dan penyakit padi di lokasi penelitian.

Hama dan penyakit Fase pertumbuhan Bagian tanaman yang

diserang

Pengendalian

Hama

a) keong mas

b) pengerek batang

padi

c) walang sanggit

d) burung

a) vegetatif b) vegetatif

c) generatif d) generatif

a) daun muda

b)batang muda dan

batang tua c) gabah yang berisi d)gabah yang berisi

a)secara mekanik b)secara kimiawi

c)secara kimiawi.

d)memasang

jarring (net).

Penyakit 1) tungro

2) blas

3)hawar daun bakteri

1)vegetatif dan

generatif.

2)vegetatif dan

generatif

3)vegetatif dan

generatif

1)daun

2)daun, malai dan

butir padi

3)daun, malai dan

butir padi

1)secara kimiawi

dan eradikasi

2)secara kimiawi

3)secara kimawi

Pengendalian burung dilakukan dengan memasang jaring-jaring di atas tanaman padi. Pemasangan jaring-jaring pada petakan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan: a = jaring-jaring, b = bambu penyanggah.

Gambar 2 Pemasangan jaring-jaring untuk mengatasi gangguan burung.

a

(37)

Rekapitulasi Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Hasil

Rekapitulasi sidik ragam peubah komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil uji F menunjukkan interaksi antara sistem budidaya dan genotipe berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen dan jumlah gabah total per malai dan hasil gabah dalam ton per hektar.

Tabel 4 Rekapitulasi sidik ragam sistem budidaya dan genotipe terhadap komponen pertumbuhan dan hasil.

Peubah Kuadrat tengah Galat * KK (%) Sistem budidaya (S)

Genotipe (G)) S x G

Peubah pertumbuhan

Tinggi tanaman Jumlah anakan total Jumlah anakan produktif Panjang daun bendera Umur berbunga Umur panen

Peubah komponen hasil

Panjang malai Jumlah gabah isi Jumlah gabah hampa Jumlah gabah total Bobot seribu butir

Peubah hasil

Bobot gabah per rumpun Hasil gabah (t/ha)

4.9 tn

18.4 * 2.5 tn 2.7 tn 517.9 ** 240.2 **

0.7 tn 433.7 tn 4079.3 tn 5446.8 tn 6.2 tn

73.4 tn 0.3 tn

1388.2** 105.4** 54.2** 368.7** 156.7** 25.0** 524.8** 6864.8* 6286.6* 25345.3** 11.2* 282.9* 3.6 ** 25.0 **

1.0 tn 0.9 tn 0.4 tn 8.9 ** 6.2 **

1.6 tn 1008.6 tn 329.8 tn 2001.2 * 2.1 tn

31.7 tn 0.6 *

2.4 1.9 0.8 3.9 0.0 0.0 3.1 794.6 492.0 713.3 1.5 40.6 0.2 1.3 8.7 7.1 4.9 0.2 0.0 4.8 14.2 19.8 8.6 4.8 21.3 15.7 Keterangan: **sangat nyata, *nyata pada uji F taraf 5%. KK = koefisien keragaman.

Peubah Pertumbuhan

Tinggi Tanaman

Interaksi sistem budidaya dan genotipe (varietas/galur) terhadap tinggi tanaman memberi pengaruh sangat nyata (Tabel 4). Tinggi tanaman Ciherang sama pada ketiga sistem budidaya sedangkan tinggi tanaman genotipe lainnya berbeda antar sistem budidaya (Tabel 5). IPB 97F-15-1-1 dan sistem PTT mencapai tinggi tanaman tertinggi. Standar tinggi untuk PTB sawah paling rendah 100 cm (IRRI 1996), sedangkan tanaman padi tipe ideal menurut Ma et al.

[image:37.595.83.482.238.510.2]
(38)

23

Pertumbuhan tinggi tanaman genotipe PTB lebih baik dibandingkan varietas unggul baru (VUB) yaitu varietas Ciherang (Tabel 5) karena didukung dari karakteristik perakaran genotipe PTB dengan perakaran banyak dan mampu menyebar dalam pada tanah dengan tingkat kesesuaian tanah pada tingkat S1 atau S2 (BB Padi 2004). Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah dicantumkan pada Lampiran 4.

Tabel 5 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap tinggi tanaman.

Perlakuan Genotipe

Ciherang Fatmawati IPB97F-15-1-1 A219-3-1-1

Sistem budidaya ---cm---

Konvensional 106.9 e 128.4 cd 131.8 b 127.5 cd

SRI 105.8 e 129.8 bc 132.1 b 130.4 bc

PTT 106.2 e 127.4 cd 139.8 a 126.3 d

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan DMRT.

Jumlah Anakan Total

Jumlah anakan total sistem budidaya konvensional dan PTT lebih banyak dibandingkan jumlah anakan total SRI. Jumlah anakan total terbanyak pada sistem budidaya konvensional dan PTT (17.1 dan 16.5 batang/rumpun), selanjutnya jumlah anakan terendah pada SRI. Jumlah anakan total yang rendah pada SRI diduga kebutuhan hara N yang tidak terpenuhi pada fase pertumbuhan yaitu fase pembentukan anakan. Kekurangan kadar hara N merupakan hara yang dapat memberi pengaruh terhadap komponen pertumbuhan. Hardjowigeno (2007) menyatakan fungsi hara N adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N berwarna lebih hijau. Muhammad dan Indrayati (2009) menambahkan bahwa tanaman padi sangat memerlukan N pada fase pertunasan dan fase primordia bunga. Ketersediaan hara dalam tanah menyebabkan jumlah hara yang diserap tanaman akan semakin baik, akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik ditandai dengan meningkatnya tinggi tanaman dan jumlah anakan.

(39)

lokasi penelitian berdasarkan analisis tanah 2.0%. Kebutuhan N pada SRI disubsitusi dengan pemberian pupuk organik (17.5 kg/petakan atau 1.2 t/ha) akan tetapi kebutuhan PTB yang responsif terhadap pemupukan pada budidaya SRI belum terpenuhi secara optimal sehingga diduga kekurangan N menyebabkan pembentukan anakan total pada budidaya SRI tidak optimal. Latif et al. (2005) melaporkan bahwa aplikasi substitusi urea dengan pupuk organik tidak mampu menambah kebutuhan hara tanaman yang responsif terhadap pemupukan.

Varietas dan galur yang diuji menghasilkan anakan total yang berkisar 13.7 – 21.2 batang/rumpun (Tabel 6). Varietas Ciherang menunjukkan jumlah anakan terbanyak baik pada jumlah anakan total maupun pada jumlah anakan produktif, begitu juga pada genotipe PTB jika jumlah anakan total yang terbentuk banyak maka jumlah anakan produktif yang terbentuk juga banyak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lestari dan Nugraha (2007), bahwa jumlah anakan total berkorelasi positif dengan jumlah anakan produktif.

Jumlah Anakan Produktif

Uji statistika menunjukkan perlakuan sistem budidaya tidak memberi pengaruh nyata pada jumlah anakan produktif (Tabel 6). Jumlah anakan produktif varietas Ciherang 1.4 kali lebih banyak dibanding anakan produktif varietas Fatmawati dan kedua galur (IPB 97F-15-1-1 dan A219-3-1-1). Hal ini disebabkan kriteria VUB memiliki lebih banyak anakan produktif (> 11 batang/rumpun) dibandingkan PTB yang berkisar 8 - 11 anakan produktif (Abdullah et al. 2008). Jumlah anakan produktif yang ideal untuk PTB yaitu 10 - 15 batang (Peng et al.

2008). Jumlah anakan produktif galur-galur yang diuji berkisar 11.5 – 11.7 batang/rumpun (Tabel 6).

Panjang Daun Bendera

(40)

25

Tabel 6 Pengaruh sistem budidaya dan genotipe terhadap komponen pertumbuhan

Perlakuan Jumlah anakan

total

Jumlah anakan produktif

Panjang daun bendera (cm)

Sistem budidaya ---batang per rumpun--- Konvensional SRI PTT 17.1 a 14.7 b 16.5 a 13.2 12.3 13.5 40.8 39.9 40.1 Genotipe Ciherang Fatmawati IPB 97F-15 A219-3-1-1 21.2 a 15.0 b 14.6 b 13.7 b 16.9 a 11.9 b 11.7 b 11.5 b 30.6 b 43.2 a 43.3 a 43.8 a

Interaksi tn tn tn

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan DMRT. tn = tidak nyata.

Umur Berbunga

Pengaruh interaksi sistem budidaya PTT dengan varietas Fatmawati memberi pengaruh umur berbunga paling cepat yaitu 77.0 HSS (Tabel 7). Menurut deskripsi varietas Fatmawati memiliki umur berbunga yang berkisar 75 hari setelah semai (HSS) sampai 85 HSS (BB Padi 2009). Umur berbunga yang cepat ini didukung oleh perlakuan sistem budidaya (lingkungan) sesuai yang dibutuhkan varietas Fatmawati.

[image:40.595.52.486.12.817.2]
(41)

Tabel 7 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap umur berbunga

Perlakuan Genotipe

Ciherang Fatmawati IPB97F-15-1-1 A219-3-1-1

Sistem budidaya ---Hari setelah semai (HSS)---

Konvensional 96.0 a 91.0 c 92.0 b 92.0 b

SRI 88.0 e 78.0 i 79.3 g 79.0 h

PTT 90.0 d 77.0 j 80.0 f 80.0 f

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan DMRT.

Umur Panen

Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap umur panen memberikan respon umur panen paling cepat yaitu sistem budidaya SRI dan PTT pada galur IPB 97F-15-1-1, galur A219-3-1-1 dan varietas Fatmawati (110.0 HSS) (Tabel 8). Umur panen terlama yaitu sistem budidaya konvensional pada semua genotipe yang diuji. Fatmawati memiliki umur panen 95 HSS – 110 HSS (BB Padi 2009). Interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap umur panen diduga juga disebabkan perbedaan umur bibit. Tabel 8 menunjukkan bahwa menanam bibit yang lebih muda, genotipe PTB dapat memberi umur panen yang lebih cepat. Makarim dan Ikhwani(2008) melaporkan umur bibit lebih muda akan lebih cepat berkembang untuk menghasilkan anakan dan semakin cepat panen.

[image:41.595.52.488.53.812.2]

Umur panen yang sama pada sistem budidaya SRI dan PTT diduga disebabkan penentuan umur panen dengan kriteria masak fisiologis 85% - 90% yang diamati secara visual memberi kesimpulan penentuan umur panen yang sama pada sistem budidaya SRI dan PTT.

Tabel 8 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap umur panen.

Perlakuan Genotipe

Ciherang Fatmawati IPB97F-15-1-1 A219-3-1-1

Sistem budidaya ---(HSS)---

Konvensional 119.0 a 119.0 a 119.0 a 119.0 a

SRI 115.0 b 110.0 c 110.0 c 110.0 c

PTT 115.0 b 110.0 c 110.0 c 110.0 c

(42)

27

Peubah Komponen Hasil

Panjang Malai

Panjang malai Fatmawati (40.2 cm) lebih pendek dibanding galur A219-3-1-1 (41.3 cm) (Tabel 9). Panjang malai terpendek terdapat pada varietas Ciherang (25.1 cm). Herawati et al. (2009) melaporkan panjang malai berhubungan dengan jumlah gabah per malai. Galur yang mempunyai panjang malai lebih dari 30 cm, memiliki jumlah gabah per malai yang banyak (lebih dari 200 butir per malai).

Jumlah Gabah Isi per Malai

Sistem budidaya secara statistik tidak memberi pengaruh nyata, namun genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah isi per malai. Jumlah gabah isi dua galur yang diuji tidak berbeda nyata dengan Fatmawati, tetapi berbeda nyata dengan Ciherang (Tabel 9). Hal ini diduga dipengaruhi oleh panjang malai genotipe PTB yang lebih panjang dibandingkan Ciherang. Malai yang panjang umumnya mempunyai jumlah bulir yang banyak (diatas 250 butir gabah per malai) (BB Padi 2004; Herawati et al. 2009) tetapi belum tentu memberikan hasil yang lebih tinggi karena hal ini dipengaruhi oleh tingkat kehampaan gabah (Silitonga et al. 1993).

Jumlah Gabah Hampa per Malai

Perlakuan sistem budidaya tidak memberi pengaruh nyata terhadap jumlah gabah hampa. Jumlah gabah hampa dua galur yang diuji tidak berbeda nyata dengan Fatmawati, tetapi berbeda nyata dengan Ciherang (Tabel 9).

Persentase Gabah Isi per Malai

(43)
[image:43.595.50.484.55.792.2]

Tabel 9 Pengaruh sistem budidaya dan genotipe terhadap komponen hasil.

Perlakuan Panjang

malai Jumlah gabah isi Jumlah gabah hampa Persentase gabah isi

Sistem budidaya ---butir--- Konvensional SRI PTT 36.8 36.3 36.4 198.5 203.8 191.8 92.9 129.6 114.2 69.3 61.5 62.8 Genotipe Ciherang Fatmawati IPB 97F-15 A219-3-1-1 25.1 c 40.2 b 39.4 b 41.3 a 159.2 b 224.0 a 200.9 a 207.9 a 73.1 b 124.0 a 120.6 a 131.1 a 69.2 a 64.6 ab 63.0 ab 61.2 b

Interaksi tn tn tn tn

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan DMRT. tn = tidak nyata.

Jumlah Gabah Total per Malai

Interaksi kedua faktor perlakuan (sistem budidaya dan genotipe) berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah total per malai. Varietas Fatmawati yang ditanam dengan sistem budidaya PTT dan SRI memiliki jumlah gabah total per malai yang tertinggi (Tabel 10). Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe PTB terhadap jumlah gabah total per malai diduga terjadi karena perbedaan jarak tanam. Jumlah gabah total per malai lebih banyak pada sistem budidaya PTT dan SRI dibandingkan pada sistem budidaya konvensional. Hal ini sesuai dengan penelitian Makarim dan Ikhwani (2008) bahwa semakin rapat populasi maka jumlah gabah total per rumpun menurun.

Populasi tanaman pada sistem budidaya diatur berdasarkan penggunaan jarak tanam. PTT menggunakan jarak tanam legowo 20 cm x 20 cm x 40 cm (legowo 4:1) walaupun jarak tanam antar baris dan dalam baris sama dengan budidaya konvensional (20 cm x 20 cm) akan tetapi masih terdapat ruang setelah 4 baris tanaman yaitu jarak selebar 40 cm yang memanjang antar baris. SRI dan PTT menggunakan jarak tanam lebih lebar sehingga populasi tanaman lebih sedikit dibandingkan sistem budidaya konvensional. Hal ini menyebabkan berkurangnya kompetisi terhadap cahaya matahari, penyerapan unsur hara, air di dalam tanah, udara dan oksigen antar tanaman di dalam baris atau antar baris.

(44)

29

Tabel 10 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap jumlah gabah total per malai.

Perlakuan Genotipe

Ciherang Fatmawati IPB97F-15-1-1 A219-3-1-1

Sistem budidaya ---Butir--- Konvensional 221.9 e 306.2 bcd 283.6 cd 354.1 ab SRI 264.7 ed 367.6 a 352.3 ab 349.0 ab PTT 210.6 e 370.3 a 328.7 abc 314.3 abcd Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

5% dengan DMRT.

Bobot Seribu Butir

Bobot 1000 butir hanya dipengaruhi perlakuan tunggal genotipe (genotipe), namun tidak dipengaruhi oleh sistem budidaya (Tabel 11). Padi tipe baru dengan malai yang lebat mempunyai bobot 1000 butir antara 28 - 30 gram (Ma et al. 2006). Bobot 1000 butir galur IPB 97F-15-1-1 lebih tinggi dibandingkan Fatmawati, Ciherang dan galur A219-3-1-1 (Tabel 11). Bobot 1000 butir gabah dapat menunjukkan ukuran gabah dan tingkat berisinya biji (Safitri 2010).

Tabel 11. Pengaruh sistem budidaya dan genotipe terhadap bobot gabah.

Perlakuan Bobot 1000 butir (g) Bobot gabah/rumpun (g)

Sistem budidaya Konvensional SRI PTT 25.0 25.9 26.4 27.9 32.7 29.1 Genotipe Ciherang Fatmawati IPB 97F-15-1-1 A219-3-1-1 25.1 b 25.2 b 27.4 a 25.4 b 32.4 a 30.8 a 34.7 a 21.9 b

Interaksi tn tn

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan DMRT. tn = tidak nyata.

Peubah Hasil

Bobot Gabah per Rumpun

[image:44.595.54.483.0.842.2]
(45)

rumpun 1.5 kali lebih tinggi dari galur A219-3-1-1 (Tabel 11). Bobot gabah per rumpun galur A219-3-1-1 lebih rendah diduga disebabkan galur tersebut rentan terhadap serangan patogen Xanthomonas oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri.

Hasil Gabah

Penelitian ini menunjukkan bahwa varietas Ciherang pada sistem budidaya PTT dan SRI dan galur IPB 97 F-15-1-1 pada sistem budidaya konvensional dan SRI mencapai hasil gabah tertinggi (Tabel 12), hal ini diduga disebabkan kemampuan adaptasi genotipe terhadap sistem budidaya tersebut.

Hasil gabah kurang dari 4 ton per hektar semua perlakuan termasuk kategori rendah. Hal ini disebabkan di areal percobaan pertanaman padi terserang hama dan penyakit sehingga menyebabkan terjadinya kehampaan pada gabah. Kehampaan gabah dapat disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik (Abdullah et al. 2008). Kehampaan gabah pada penelitian ini lebih disebabkan oleh faktor non genetik, yaitu terjadinya serangan hama walang sangit pada seluruh pertanaman. Walang sangit mengisap cairan gabah pada keadaan matang susu akibatnya gabah menjadi hampa atau perkembangannya kurang baik (Pracaya 2006). Serangan patogen Xanthomonas oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri pada fase pengisian biji hingga panen mengakibatkan terjadinya kehampaan pada butir-butir gabah per malai sehingga nilai bobot gabah per rumpun juga rendah (Tabel 11).

Secara rata-rata hasil keseluruhan perlakuan pada sistem budidaya konvensional lebih tinggi. Hal ini diduga karena jumlah rumpun yang dipanen pada luasan yang sama lebih banyak pada budidaya konvensional dibandingkan perlakuan sistem budidaya SRI dan PTT, selain itu jumlah pupuk juga lebih banyak pada perlakuan budidaya konvensional dibandingkan budidaya SRI dan PTT.

(46)

31

yang dilaporkan Sheehy et al. (2004) bahwa hasil gabah pada budidaya SRI tidak lebih tinggi dibandingkan cara budidaya konvensional. Latif et al. (2005) juga mendapatkan bahwa di Bangladesh SRI tidak meningkatkan hasil dibandingkan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), dan cara budidaya petani (budidaya konvensional). Produktivitas padi dengan PTT 6.9 t/ha, SRI 5.9 t/ha dan konvensional 5.0 t/ha di Bangladesh.

Tabel 12 Pengaruh interaksi sistem budidaya dan genotipe terhadap hasil gabah (t/ha).

Perlakuan Genotipe

Ciherang Fatmawati IPB97F-15-1-1 A219-3-1-1

Sistem Budidaya ---ton per hektar--- Konvensional 2.9 abc 2.8 abc 3.4 a 2.3 cde

SRI 3.1 ab 2.2 cde 3.4 a 1.7 e

PTT 3.5 a 1.9 e 2.6 bcd 2.2 cde Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

5% dengan DMRT.

Penelitian yang kontinyu pada beberapa musim dan lokasi berbeda perlu dilakukan sehingga dapat direkomendasi sistem budidaya yang lebih sesuai. Hasil yang memuaskan dari SRI dilaporkan Syam (2006) pada penelitian yang dilakukan di dua lokasi (Kabupaten Garut dan Ciamis). Penerapan pola SRI di kedua lokasi tersebut menyebabkan penurunan hasil gabah terutama pada daerah yang tingkat kesuburannya rendah, namun dengan pemberian pupuk organik yang kontinyu maka produktivitas pada musim tanam berikutnya secara perlahan meningkat.

Analisis Usahatani

(47)
[image:47.595.86.481.153.765.2]

produksi berupa penggunaan bahan organik pupuk organik sebagai subsitusi pupuk urea pada SRI dan sebagai pembenah tanah pada PTT (Tabel 13).

Tabel 13 Analisis usahatani tiga sistem budidaya (konvensional, SRI dan PTT).

Konvensional SRI PTT

No Uraian Nilai

(Rp)

Nilai (Rp)

Nilai (Rp)

Fisik 000 Fisik 000 Fisik 000

1 Benih 15 kg/ha 90 5 kg/ha 30 5 kg/ha 30

2 Pupuk

- urea 300 kg/ha 510 150 kg/ha 255 180 kg/ha 306

- SP18 200 kg/ha 440 100 kg/ha 220 100 kg/ha 200

- KCl 150 kg/ha 285 75 kg/ha 165 100 kg/ha 220

- Pupuk organik - - 1.2 t/ha 300 0.5 t/ha 125

3 Pestisida

- Insektisida 500 500 500

- Herbisida 150 -

-- Fungisida 100 100 100

4 Tenaga Kerja

- Pengolahan tanah

10 HOK 350 10 HOK 350 10 HOK 350

-Penanaman 10 HOK 350 20 HOK 700 20 HOK 700

-Penyulaman 10 HOK 350 25 HOK 875 10 HOK 350

- Penyiangan - - 20 HOK 700 20 HOK 700

- Pemupukan 10 HOK 350 15 HOK 525 15 HOK 525

- Penyemprotan 3 HOK 105 3 HOK 105 3 HOK 105

- Pemanenan 4 HOK 140 4 HOK 140 4 HOK 140

- Pasca panen 10 HOK 350 10 HOK 350 10 HOK 350

Total Biaya Penghasilan Laba (Penghasilan-Biaya) R/C ratio B/C ratio 4070 10200 6130 2.5 1.5 5315 10200 4885 1.9 0.9 4701 7800 3099 1.7 0.7 Keterangan:

a. Harga GKP = Rp. 3000/kg,-

b. Harga benih = Rp. 6000/kg,-

c. Harga urea = Rp. 1700/kg,-

d. Harga SP-18 = Rp. 2200/kg.

e. Harga pupuk KCl = Rp. 1900/kg

f. Harga pupuk organik = Rp. 250/kg

g. 1 HKP (hari kerja/orang) = Rp. 35.000

BEP (Break event point) titik dimana nilai jual gabah = biaya produksi.

(48)

33

(49)
(50)

35

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Varietas Ciherang sesuai pada sistem budidaya PTT atau SRI, varietas Fatmawati lebih sesuai pada sistem budidaya konvensional, galur IPB 97F-15-1-1 sesuai pada sistem budidaya konvensional atau SRI. Galur A219-3-1-1 memberikan hasil tereada ketiga sistem budidaya dibanding genotipe lainnya dan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata di ketiga sistem budidaya. Secara umum genotipe PTB lebih sesuai ditanam pada sistem budidaya konvensional.

Saran

(51)
(52)

37

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah B, Tjokrowidjojo S, Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 27-1: 1-9.

Anas I, Uphoff N. 2009. Prospects of the System of Rice Intensification in Asia. Presented at National Symposium on “Agriculture in the Paradigm of Intergenerational Equity” on the occasion of 5th

Annual Conference of CWSS at Mohanpur, West Bengal, India 22-23 May 2009.

Adiningsih JS, Sofyan A, Nursyamsi D. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2004. Padi Tipe Baru. Budidaya dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Sukamandi.

[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Klasifikasi Umur Padi.

http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/indek.php [12 November 2009].

[Badan Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Pedoman Umum Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Irigasi.

[Badan Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Pedoman Umum PTT Padi Sawah.

De Datta SK. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2009. Produksi Padi Menuju 2020.

Fagi AM. 2008. Alternatif teknologi peningkatan produksi beras nasional. Iptek Tanaman Pangan. 3(1): 9- 26.

Hanum C. 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan Nasional.

Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Herawati R, Purwoko BS, Dewi IS. 2009. Keragaman genetik dan karakter morfologi galur haploid ganda padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru hasil kultur antera. J. Agronomi Indonesia. 37 : 87–94.

[IRRI] International Rice Research Institute. 1996. Standard Evaluation System of Rice.

Las I, Abdullah B, Daradjat AA. 2003. Padi Tipe Baru dan Padi Hibrida Mendukung Ketahanan Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan.

(53)

Latif MA, Islama MR, Alia MY, Salequeb MA. 2005. Validation of the system of rice intensification (SRI) in Bangladesh. Field Crops Research. 93 : 281– 292.

Lestari AP, Nugraha Y. 2007. Keragaman genetik hasil dan komponen hasil galur-galur padi hasil kultur anter. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 25 (1): 8-13.

Ma J, Ma WB, Ming DF, Yang SM, Zhu QS. 2006. Characteristics of rice plant with heavy panicle. Agricultural Sciences in China 5 (12): 911-918.

Makarim AK, Ikhwani. 2008. Respon komponen hasil varietas padi terhadap perlakuan agronomis. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27:148-153.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor. IPB Press.

McDonald AJ, Hobbs PR, Riha SJ. 2008. Stubborn facts: Still no evidence that the System of Rice Intensification out-yields best management practices (BMPs) beyond Madagascar. Field Crops Research. 108: 188–191.

Muhammad, Indrayati L. 2009. Pemupukan dan ameliorasi padi pada lahan sawah rawa kawasan PLG sejuta hektar. Di dalam: Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008, editor Anischan Gani...[et al]. 1039-1044.

Murata Y, Matsushima S. 1978. “Rice”. In Evans, L.T.(Ed). Crop Physiology. Cambridge: University Press. Cambridge; University Press. Cambridge. p. 73-99.

Peng S, Khush GS, Virk P Tang Q, Zou Y. 2008. Progress in ideotype breeding to increase rice yield potential. Review. Field Crops Research. 108: 32-38.

Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. 428 hal.

Pramono J, Basuki S, Widarto. 2005. Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Sumberdaya Terpadu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.

Reijntjes C, Haverkort B, Bayer W. 2008. Pertanian Masa Depan. Kanisius.

Safitri H. 2010. Kultur antera dan evaluasi galur haploid ganda untuk mendapatkan padi gogo tipe baru. [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sato S, Uphoff N. 2007. A Review of on-Farm Evaluations of System of Rice Intensification Methods in Eastern Indonesia.

(54)

39

Satoto, Suprihatno B. 2008. Padi hibrida. Iptek Tanaman Pangan. 3-1: 27-41.

Sheehy JE, Peng S, Dobermann A, Mitchell PL, Ferrer A, Yang J, Zou Y, Zhong X, Huang J. 2004. Fantastic yields in the system of rice intensification: fact or fallacy ? Field Crops Research. 88 : 1–8.

Silitonga TS, Cholisoh ML, Warsono, Indarjo. 1993. Evaluasi daya gabung varietas padi bulu dan cere. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 13 (1): 6 – 11.

Sinclair T. 2004. Agronomic UFOs Waste Valuable Scientific Resources. Rice Today (IRRI) July-September, 43.

Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. P.T. Sastra Hudaya. Jakarta.

Stoop WA, Uphoff N, Kassam A. 2002. A review of agricultural research issues raised by the system of rice intensification (SRI) from Madagascar: opportunities for improving farming systems for resource-

Gambar

Tabel 1   Deskripsi masing-masing sistem budidaya (konvensional, SRI dan PTT) pada beberapa genotipe harapan PTB
Gambar 1  Keragaan petakan penelitian pada masing-masing perlakuan sistem
Tabel 3   Hama dan penyakit padi di lokasi penelitian.
Tabel 4 Rekapitulasi sidik ragam sistem budidaya dan genotipe terhadap
+7

Referensi

Dokumen terkait

ETSA merupakan anak perusahaan dengan 90% kepemilikan ELNUSA, yang bergerak di bidang jasa marine support yang secara spesifik memberikan jasa pendukung operasional bagi

Tabel 1 ' Hasil analisis tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat), jenis tanah dan indeks kemantapan agregat.. Spektrum infra red gugus fungsional utama eksopolisakarida

Penyelenggara Pelayanan Publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peran Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) didalam dunia global semakin meningkat di berbagai bidang, tidak terkecuali didalam dunia pendidikan

 Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai bidang tugasnya.  Bidang Bina Mutu, Usaha

Pengaruh Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku, dan Sikap Wirausaha Terhadap Minat Berwirausaha (Survey di SMK Muhammadiyah I Kadungora dan SMKN 12 Garut). Saat

The result of this research should to strengthen the awareness teachers’ interpersonal skill is important in teaching and learning process.. why the teachers should maintain

Dari hasil analisis tersebut dapat langsung terlihat bahwa displacement maksimum terjadi pada daerah yang berwarna hijau yaitu pada daerah komponen alat bantu