PENGARUH NORMA SUBYEKTIF, PERSEPSI KONTROL PERILAKU, DAN SIKAP WIRAUSAHATERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA
SISWA SMK
(Survey di SMK Muhammadiyah I Kadungora dan SMKN 12 Garut)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi sebagian dari Syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Ekonomi
Oleh:
RIJAL ASSIDIQ MULYANA 1102610
SEKOLAH PASCASARJANA
PENGARUH NORMA SUBYEKTIF, PERSEPSI
KONTROL PERILAKU, DAN SIKAP WIRAUSAHA
TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA SISWA SMK
(SURVEY DI SMK MUHAMMADIYAH I
KADUNGORA DAN SMKN 12 GARUT)
Oleh
Rijal Assidiq Mulyana, SEI
UPI Bandung
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana
© Rijal Assidiq Mulyana 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
September 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
ABSTRAK
Rijal Assidiq Mulyana (2013). Pengaruh Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku, dan Sikap Wirausaha Terhadap Minat Berwirausaha (Survey di SMK Muhammadiyah I Kadungora dan SMKN 12 Garut).
ABSTRACT
Rijal Assidiq Mulyana (2013). Effect of Subjective Norms, Perceived Behavioral Control, and Attitudes Toward the Entrepreneurial Behavior Toward Entrepreneurial Intentions (Survey In SMK Muhammadiyah I Kadungora and SMKN 12 Garut)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 11
1.3 Tujuan Penelitian... 13
1.4 Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 13
1.5 Struktur Organisasi Laporan Penelitian ... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ... 16
2.1.1 Konsep Kewirausahaan ... 16
2.1.2 Teori Planned Behavior ... 22
2.1.3 Model Minat Berwirausaha (Entrepreneurial Intention Model) ... 26
2.1.4 Penelitian Terdahulu ... 59
2.2 Kerangka Pemikiran ... 62
2.3 Hipotesis Penelitian ... 63
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Objek Penelitian ... 64
3.3 Definisi Operasional ... 66
3.4 Instrumen Penelitian ... 69
3.5 Proses Pengembangan Instrumen ... 70
3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 72
3.7 Analisis Data ... 73
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Hasil Penelitian ... 87
4.2 Aplikasi Penggunaan Sumber Data Empiris ... 98
4.3 Uji Asumsi Statistik ... 98
4.3.1 Uji Evaluasi Asumsi Normalitas Data ... 99
4.3.2 Uji Evaluasi Asumsi Multivariate Outliers ... 99
4.3.3 Uji Asumsi Multikolinieritas ... 99
4.4 Uji Model Pengukuran ... 100
4.4.1 Model Minat Berwirausaha SMKM I Kadungora... 100
4.4.2 Model Minat Berwirausaha SMKN 12 Garut ... 113
4.5 Penyimpangan Asumsi Statistik dan Aplikasi Bootstrapping ... 125
4.6 Pembahasan Hasil Penelitian ... 126
4.6.1 Pengaruh Norma Subyektif Terhadap Persepsi Kontrol Perilaku . 129 4.6.2 Pengaruh Norma Subyektif Terhadap Sikap Wirausaha ... 132
4.6.3 Pengaruh Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku, dan Sikap Wirausaha Terhadap Minat Berwirausaha ... 134
4.7 Implikasi Teoritis Hasil Penelitian ... 140
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 141
5.2 Saran ... 144
DAFTAR PUSTAKA ... 147
DAFTAR TABEL
Tabel
1.1 Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia ... 2
1.2 Kondisi Ketenagakerjaan Propinsi Jawa Barat ... 3
2.1 Tingkatan Pembelajaran Kewirausahaan dan Tujuannya ... 43
3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel-Variabel ... 66
3.2 Laporan Hasil Uji Validitas... 71
3.3 Laporan Hasil Uji Reliabilitas ... 72
3.4 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Norma Subyektif... 74
3.5 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Persepsi Kontrol Perilaku ... 74
3.6 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Sikap Wirausaha ... 74
3.7 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Minat Berwirausaha ... 74
3.8 Kriteria dan Batas Penilaian Goodness of Fit Test ... 79
3.9 Model Persamaan Struktural ... 82
3.10 Rancangan Pengujian Hipotesis Penelitian ... 84
4.1 Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 88
4.2 Komposisi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua ... 89
4.3 Distribusi Frekuensi Variabel Norma Subyektif SMKM I Kadungora ... 90
4.4 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Norma Subyektif SMKM I Kadungora ... 91
4.5 Distribusi Frekuensi Variabel Norma Subyektif SMKN 12 Garut ... 91
4.6 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Norma Subyektif SMKN 12 Garut ... 92
4.7 Distribusi Frekuensi Variabel Persepsi Kontrol Perilaku SMKM I Kadungora ... 92
4.8 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Persepsi Kontrol Perilaku SMKM I Kadungora ... 93
4.10 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Persepsi Kontrol Perilaku
SMKN 12 Garut ... 94
4.11 Distribusi Frekuensi Variabel Sikap Wirausaha Siswa SMKM I
Kadungora ... 94
4.12 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Sikap Wirausaha SMKM I
Kadungora ... 95
4.13 Distribusi Frekuensi Variabel Sikap Wirausaha SMKN 12 Garut 95
4.14 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Sikap Wirausaha SMKN 12 Garut 96
4.15 Distribusi Frekuensi Variabel Minat Berwirausaha SMKM I
I Kadungora ... 96
4.16 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Minat Berwirausaha SMKM I
Kadungora ... 97
4.17 Distribusi Frekuensi Variabel Minat Berwirausaha SMKN 12
Garut ... 97
4.18 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Minat Berwirausaha SMKN 12
Garut ... 97
4.19 Ringkasan Hasil Estimasi Pengukuran Model SMKM I Kadungora 103
4.20 Dekomposisi Pengaruh Antar Variabel Minat Berwirausaha
SMKM I Kadungora ... 113
4.21 Ringkasan Hasil Estimasi Pengukuran Model SMKN 12 Garut.. 115
4.22 Dekomposisi Pengaruh Antar Variabel Minat Berwirausaha
SMKN 12 Garut ... 124
DAFTAR GAMBAR
Gambar
2.1 Teori Planned Behavior ... 24
2.2 Pola Dasar Pembelajaran Kewirausahaan ... 41
2.3 Sumber Informasi Efikasi Diri ... 46
2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 63
3.1 Diagram Jalur Lengkap Hipotesis Penelitian ... 81
4.1 Model Minat Berwirausaha SMKM I Kadungora... 100
4.2 Reestimasi Model Minat Berwirausaha SMKM I Kadungora ... 101
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Saat ini penelitian mengenai minat berwirausaha tengah berkembang.
Berbagai variabel dimasukkan untuk memprediksi minat berwirausaha. begitupun,
metodologi yang digunakan untuk mempelajari wirausahawan telah berubah
sepanjang beberapa tahun (Linan dan Chen: 2006). Berbagai model juga
dikembangkan dalam penelitian minat berwirausaha, tercatat dari tahun 1980an
hingga tahun 2000an berkembang beberapa model antara lain Entrepreneurial
Event Model, Davidsons Model, Entrepreneurial Attitude Orientation Model,
Entrepreneurial Potential Model, Theory of Planned Behaviour (Wijaya: 2008).
Hal ini menyiratkan pentingnya penelitian mengenai minat berwirausaha.
Kecenderungan tersebut dikarenakan kewirausahaan diyakini sebagai syaraf
pusat perekenomian atau the backbone of economy dan pengendali perekonomian
suatu bangsa atau tailbone of economy (Suryana, 2009: 14). Keyakinan lainnya
bahwa kewirausahaan merupakan kunci untuk sejumlah hasil sosial yang
diinginkan. Seperti, pertumbuhan ekonomi, pengangguran yang lebih rendah,
peningkatan lapangan pekerjaan, stabilisasi ekonomi dan modernisasi teknologi
(Baumol, et al: 2007, United Nations Conference On Trade and
Development,2005: 4).
Keyakinan pemerintah untuk mengembangkan kewirausahaan dan
meningkatkan jumlah wirausahawan di Indonesia dianggap pilihan tepat
mengingat fakta yang amat memprihatinkan mengenai tingginya jumlah
pengangguran di Indonesia, data terakhir yang dilansir BPS menyebutkan bahwa
angkatan kerja pada tahun bulan Agustus 2012 mencapai 118 juta orang, dengan
tingkat pengangguran terbuka mencapai 7.245.200 orang (6,14%). Sedangkan
tingkat pengangguran terbuka berdasarkan pendidikan adalah sebagaimana
dijelaskan dalam Tabel 1.1 (Berita Resmi Statistik No.75/11/Th.XV, 5 Nopember
Tabel 1.1 Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia
Berdasarkan data tersebut diatas, pengangguran terdidik lulusan Diploma
I/II/III adalah sebesar 6,21% dan Universitas sebesar 5,91. Jika dijumlahkan
pengangguran terdidik (lulusan diploma dan universitas) adalah sebesar 12,12%.
Angka yang begitu besar dan memunculkan keprihatinan yang begitu besar bagi
kita sebagai putera bangsa mengingat mereka yang menganggur adalah mereka
yang terdidik dan memiliki pendidikan yang relatif tinggi. Peringkat kedua
ditempati oleh mereka yang merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan
9,87% kemudian diikuti oleh mereka yang merupakan lulusan Sekolah Menengah
Atas 9,60%, Sekolah Menengah Pertama 7,76% dan SD ke bawah 3,64%.
Di Propinsi Jawa Barat sendiri, sebagaimana dilansir oleh BPS Propinsi
Jawa Barat jumlah angkatan kerja pada bulan Pebruari 2012 adalah sebesar
20.138.658 orang, dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 9,78% atau
1.969.006 orang. Jumlah pengangguran yang merupakan lulusan dari Diploma
I/II/III sebesar 11,94%. Sementara jumlah pengangguran yang merupakan lulusan
universitas adalah sebesar 9,81%. Jika dijumlahkan, maka, jumlah pengangguran
terdidik di Propinsi Jawa Barat adalah sebesar 21,75%. Jumlah tersebut lebih
besar jika dibandingkan dengan jumlah pengangguran secara agregat/nasional.
Kemudian diikuti oleh penganggur yang nerupakan lulusan SMK, SMA, SMP,
mereka yang dikatakan sebagai penganggur terdidik di Propinsi Jawa Barat
menimbulkan keprihatinan yang teramat dalam bagi penulis secara pribadi dan
masyarakat Jawa Barat pada umumnya. Melihat angka tersebut. Maka, wajar saja
jika kemudian pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Propinsi Jawa Barat
pada khususnya dipertanyakan. Apakah sudah tepat pendidikan dikatakan sebagai
sebuah investasi jika kita konfrontasikan dengan fakta getir tentang pengangguran
terdidik kita. Walaupun disisi lain pendidikan tidak bisa dijadikan kambing hitam,
satu-satunya institusi yang disalahkan atas problem kebangsaan ini karena tentu
saja kita mafhum bersama, bahwa banyak paramater lainnya yang memiliki
kontribusi dalam keberhasilan sebuah bangsa. Namun setidaknya menyadarkan
kita tentang pentingnya membangun sebuah pendidikan yang memberikan
jaminan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat sejahtera.
Karena walaupun menjadi satu diantara berbagai parameter keberhasilan sebuah
bangsa, pendidikan atau institusi pendidikan mesti bertanggung jawab dan
berperan atas problema kebangsaan ini. Selain pendidikan, data pengangguran di
Propinsi Jawa Barat memberikan gambaran sekaligus membuktikan pada kita
akan terbatasnya lapangan pekerjaan di Jawa Barat. Sehingga pemerintah sebagai
stake holders segera membuat aksi untuk memcahkan problem ini. Adapun
kondisi ketenagakerjaan di Propinsi Jawa Barat selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 1.2 (No. 23/05/32/Th.XIV, 7 Mei 2012).
Selain alasan yang dikemukakan penulis, Ciputra (2007) memberikan
alasan lain mengenai jumlah pengangguran yang relatif tinggi di Indonesia adalah
karena. Pertama, selama 350 tahun sebagian besar rakyat Indonesia tidak
mendapatkan pendidikan yang seharusnya dan peluang untuk berwirausaha.
Kedua, pendidikan kita memiliki orientasi membentuk sumber daya manusia
pencari kerja bukan pencipta kerja. Kemudian, hasil penelitian Wijaya (2007)
memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia cenderung memilih
pekerjaan sebagai pegawai swasta atau pegawai negeri. Secara tidak langsung,
pendidikan formal maupun non formal di Indonesia masih belum berorientasi
pada kewirausahaan. Hal ini sangat dimungkinkan karena wirausaha belum
mejadi alternatif pilihan negara dalam memecahkan krisis multidimensional yang
melanda. Dalam keluarga sebagian besar orang tua akan lebih bahagia dan merasa
berhasil dalam mendidik anak-anaknya, apabila anak dapat menjadi pegawai
pemerintah maupun karyawan swasta yang jumlah penghasilannya jelas dan
kontinyu setiap bulannya. Pendidikan di Indonesia juga membentuk peserta didik
menjadi karyawan atau bekerja di perusahaan. Masyarakat di Indonesia cenderung
lebih percaya diri bekerja pada orang lain daripada memulai usaha. Selain itu
kecenderungan untuk mengindari risiko gagal dan penghasilan yang tidak tetap.
Dari kedua tabel yang penulis paparkan dari hasil data BPS dan BPS
Propinsi Jawa Barat. Menunjukkan bahwa secara individu lulusan SMK
merupakan pengangguran yang paling tinggi. Dalam hal ini Wijaya (2007)
memberikan alasan mengapa penganggur yang berasal dari lulusan SMK begitu
tinggi. Wijaya menyebutkan bahwa pada kenyataannya siswa lulusan SMK lebih
senang menjadi pegawai atau buruh dan bahkan tidak bekerja sama sekali. Ada
beberapa hal mengapa siswa SMK tidak tertarik berwirausaha setelah lulus SMK
adalah karena tidak mau mengambil risiko, takut gagal, tidak memiliki modal dan
lebih menyukai bekerja pada orang lain. Alasan tersebut bertentangan dengan
tujuan individu masuk SMK yang ingin cepat bekerja dan ingin membuka usaha
sendiri. Lebih lanjut dari hasil Penelitian Wijaya (2007) disebutkan siswa tidak
semangat serta keinginan untuk berusaha sendiri. Akibatnya individu berfikir
bahwa berwirausaha merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan lebih
senang untuk bekerja pada orang lain.
Dipihak lain upaya pemerintah senantiasa digalakkan untuk mendorong
penciptaan wirausahawan. Pada tataran kebijakan pemerintah mengeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 04 Tahun 1995 Tentang Gerakan Nasional
Memasyarakatkan dan Membudidayakan Kewirausahaan (GN-MMK). Namun,
kenyataannya gerakan ini gagal karena memiliki kelemahan konsep yang
mendasar, tidak menjangkau akar masalah dan dukungan dari pemerintah pusat
yang rendah (Syamsuri dalam Iskandar: 2012), terkesan sporadis (Suherman,
2010: 1). Pada tingkat perguruan tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah mengembangkan berbagai
kebijakan dan program dalam upaya untuk merangsang dan menumbuhkan minat
kewirausahaan mahasiswa. Program yang termasuk dalam kurikulum seperti Mata
Kuliah Kewirausahaan (KWU). Namun ada juga program yang didesain sebagai
proram ekstrakurikuler seperti Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja
Usaha (KKU), Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK), Wira
Usaha Baru (WUB), Inkubator Wira Usaha Baru (INWUB), Konsultasi Bisnis dan
Penempatan Kerja, Wira Usaha Mandiri dan Program Hibah Kompetensi (PHK)
dalam bentuk pemberian modal awal bagi mahasiswa untuk belajar memulai
usaha baru (Iskandar: 2012). Selain itu dibawah Direktorat Jenderal Pendidikan
Menengah digalakkan SMK, yang disinyalir memiliki hubungan positif dalam
pembentukan karakter kewirausahaan siswa. Kebijakan lainnya adalah dengan
memasukkan mata pelajaran kewirausahaan pada sekolah tingkat menengah.
Yang paling mutakhir adalah MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia), dengan MP3EI pemerintah tengah mendorong
dan menumbuh-kembangkan sumber daya manusia yang produktif. Hal ini jelas
nampak jika kita baca salah satu uraian dari MP3EI (2011:40) Didalamnya
disebutkan bahwa pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan
pergesaran paradigma ekonomi menuju ekonomi yang berbasis pengetahuan.
Dalam konteks menciptakan atau mendorong sumber daya produktif penulis
melihat bukan hanya pada aspek penciptaan tenaga kerja produktif yang unggul
dan mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi tapi juga proses
penciptaan wirausahawan.Dalam perspektif MP3EI pemerintah tengah
bersungguh-sungguh mendorong sumber daya manusia yang mampu
meningkatkan nilai tambah kegiatan ekonomi. oleh karenanya pemerintah
mendorong “Model Berbagi dan Integrasi Pendidikan Tinggi dan Menengah”.
Pada perguruan tinggi pemerintah membuka program pendidikan akademik,
program pendidikan vokasi dan program pendidikan profesi. Sedangkan pada
jenjang sekolah menengah dengan menyebarkan program SMK BISA!!! secara
masif. Berbagai program pendidikan tersebut diarahkan pada potensi
pengembangan ekonomi di setiap koridor ekonomi. Upaya tersebut tentu saja kita
pahami sebagai sinyalemen bahwa kewirausahaan menjadi sangat penting untuk
mendorong percepatan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia.
Perhatian pemerintah untuk mendorong lahirnya wirausahawan patut kita
apresiasi bersama, mengingat adanya kesenjangan angka jumlah wirausahawan
kita dibanding jumlah warga yang bukan wirausahawan. Data terakhir jumlah
wirausahawan disebutkan oleh Wakil Presiden Boediono sebesar 1,56% tertinggal
jauh dari Malaysia sebesar 4%, Thailand sebesar 4,1% dan Singapura 7,2%. (
dilihat pada tanggal 11 Nopember 2012 tersedia di
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/11/12/11145724/Wapres.Jumlah.Pe
ngusaha.Indonesia.Tertinggal.dari.Malaysia). Menurut Mc Clelland untuk
mendorong kemakmuran suatu negara setidaknya dibutuhkan minimal 2% jumlah
wirausahawan dari total jumlah penduduk (Wijaya, 2008). Artinya bahwa butuh
0,44% untuk menambal kekurangan jumlah wirausahawan kita. Boediono
memaparkan enam hal yang menghambat pertumbuhan kewirausahaan di
Indonesia. Keenam hambatan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, penegakan
hukum merupakan hambatan terbesar bagi penciptaan kewirausahaan di
Indonesia, di antaranya yang sangat perlu ditertibkan ialah gangguan keamanan
relatif tidak bermasalah karena ekonomi Indonesia sedang stabil. Peran BI sangat
penting dalam hal ini. Ketiga, belum meratanya pembangunan infrastrukutur di
Indonesia. Keempat, banyaknya regulasi/peraturan yang tidak relevan serta
tumpang tindihnya peraturan usaha di pusat dan daerah sehingga menghambat
pembangunan ekonomi baik di tingkat nasional maupun daerah.Kelima,
tersedianya pelayanan finansial/akses kredit bagi bisnis baik bagi yang besar
maupun yang gurem, ini sangat mempengaruhi bagi perkembangan usaha
selanjutnya. Sehingga akses kredit/pendanaan perlu diperluas sehingga usaha bisa
berkembang. Keenam, kualitas sumber daya manusia kita yang masih rendah.
Sehingga di tahun-tahun ke depan perlu ditingkatkan (dilihat pada 12 Nopember
2012 tersediapada
http://ekbis.sindonews.com/read/2012/11/12/34/687579/6-hambatan-kewirausahaan-versi-boediono).
Pendidikan sebagai anteseden dari minat berwirausaha sebenarnya telah
banyak dipertimbangkan dalam berbagai penelitian. Oleh karenanya tidak salah
jika kemudian pemerintah menempatkan pendidikan sebagai salah satu faktor
pembentuk minat berwirausaha. Munculnya beragam iklan yang mempromosikan
SMK atau dengan jargon SMK BISA!!! adalah salah satu cara atau strategi
pemerintah untuk menjaring banyak calon siswa yang pada akhirnya akan
memiliki kemampuan/bekal berwirausaha. Apalagi kemudian diintegrasikan
dengan perguruan tinggi dalam upaya pengembangan potensi ekonomi di berbagai
koridor ekonomi di Indonesia.
Program pemerintah yang diarahkan pada proses pembentukan
wirausahawan, menurut hemat penulis adalah langkah yang tepat. Kehadiran
wirausahawan tentu saja akan berdampak pada menurunnya angka pengangguran
karena setiap orang berlomba untuk menjadi wirausahawan. Kemudian
meningkatnya ketersediaan lapangan pekerjaan, dapat menekan angka
pengangguran. Jadi, wirausahawan memiliki efek berganda pada kedua sisi, sisi
pertama dari dirinya sendiri, telah berkontribusi untuk tidak menyumbangkan
angka pengangguran dengan menjadi wirausahawan. Sisi berikutnya, turut andil
lapangan pekerjaan. Hal ini menyiratkan bahwa penelitian mengenai minat
berwirausaha sangat relevan dilakukan di Indonesia atau khususnya di Propinsi
Jawa Barat.
Namun tentu saja, pendidikan kewirausahaan bukan satu-satunya prediktor
yang mampu memberikan gambaran utuh mengenai keinginan berwirausaha. Pada
prinsipnya penelitian terkait minat berwirausaha dilakukan untuk mengidentifikasi
variabel-variabel yang diindikasikan mampu menjadi prediktor minat
berwirausaha seseorang. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa factor
kepribadian, kesiapan instrument, factor demografis seperti usia, jenis kelamin,
latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja (Indarti, et al, 2010, Misradan
Kumar, 2000), kompetensi dosen/guru, faktor-faktor psikologis, pembelajaran
yang dirasakan, pengetahuan kewirausahaan, sikap terhadap kewirausahaan,
persepsi tentang norma sosial yang dirasakan, efikasi diri (Iskandar, 2012),
kemampuan mengelola risiko, keinovatifan, determinasi diri, pengalaman bekerja,
kemandirian, pendapatan keluarga setiap tahun (Wang, et al, 2011), faktor
kebutuhan, nilai, keinginan, kebiasaan dan keyakinan (Lee dan Wong, 2004),
sikap pribadi terhadap prilaku, persepsi terhadap norma sosial dan persepsi
terhadap perilaku atau Ajzen menyebutnya sebagai faktor pendahulu (Ajzen,
1991, Wijaya, 2008) latar belakang bisnis keluarga (Tong, et al, 2011) menjadi
anteseden dari keinginan berwirausaha.
Berbagai penelitian tersebut diatas umumnya dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kognitif. Pentingnya variabel kognitif ini telah
ditegaskan oleh Baron (2004). Fokus kognitif semacam ini memberikan wawasan
tambahan dalam proses kewirausahaan yang kompleks (Linan dan Chen 2006).
Akan tetapi, masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami faktor
apa yang mempengaruhi persepsi-persepsi kewirausahaan yang pada akhirnya
mempengaruhi keinginan berwirausaha.
Kewirausahaan atau sikap berwirausaha adalah perilaku yang terencana
minat berwirausaha seseorang. Maka, tidak akan mampu membentuk seseorang
menjadi wirausahawan masa depan. Oleh karena itu dalam penelitian mengenai
intense kewirausahaan, secara umum diungkapkan oleh dua model. Yaitu teori
perilaku terencana (theory planned behavior) yang digagas oleh Ajzen (1991).
Ajzen menyatakan bahwa ada 3 faktor yang mendahului niat yaitu; 1) attitude
toward the behavior, tingkah laku spesifik yang diarahkan pada minat berprilaku.
2) subjective norm, keyakinan seseorang akan aturan yang mengikat dirinya.
3) perceived behavioral control, kontrol prilaku yang dipersepsikan seseorang.
Model lainnya yang telah mapan adalah Model Shapero Entrepreneurial Event
yang digagas oleh Shapero. Menurut Shapero ada dua persepsi yang mendahului
niat berperilaku seseorang yaitu, 1) Perceived Desirability, persepsi seseorang
atas perilaku yang menarik dan diinginkan. 2) Perceived Feasibilty, persepsi
seseorang akan kemampuan dirinya untuk melakukan perilaku yang diinginkan.
Krueger kemudian memasukkan prediktor ketiga sebagai determinan langsung
atau tidak langsung terhadap intensi berwirausaha yaitu Prospencity To Act,
menunjukkan dorongan dalam diri seseorang untuk bertingkah laku dan
intensitasnya sangat bervariasi bagi tiap individu sehingga kemudian dikenal
Shapero-Krueger Model (Krueger, et al, 2000).
Model terakhir yang muncul untuk mengidentifikasi minat berwirausaha
adalah sebuah model yang digagas Linan dan Chen (2006) yaitu Entrepreneurial
Intention Model. Model ini digunakan untuk mengembangkan Entrepreneurial
Intention Questionare (EIQ). Entrepreneurial Intention Model tidak bisa
dilepaskan dari atribut model intensi yang telah mapan yang digagas oleh Ajzen
dan Shapero. sehingga model minat berwirausaha tersebut menjadi model yang
menyempurnakan model sebelumnya. Menurut Linan dan Chen (2009) ada 3
faktor yang mendahului keinginan berwirausaha seseorang yaitu, 1) Attitude
Toward Start Up/Personal Attitude. Yaitu sejauh mana individu memegang
penilaian pribadi yang positif atau negatif tentang menjadi seorang wirausahawan
dengan berbagai pertimbangan afektif dan evaluatif. 2) Subjective Norm. akan
melaksanakan - perilaku kewirausahaan. Secara khusus, hal ini akan mengacu
pada persepsi dari "orang yang dipercaya" yang menyetujui atau tidak menyetujui
keputusan untuk menjadi seorang wirausahawan. 3) perceived behavioral control
didefinisikan sebagai persepsi kemudahan atau kesulitan dalam pemenuhan
perilaku yang diinginkan (dalam kasus ini keinginan menjadi seorang
wirausahawan). Oleh karena itu, konsep ini cukup mirip dengan konsep penilaian
diri Self-efficacy dari Bandura (1993).
Entrepreneurial Intention Model dibangun untuk memahami/
mengidentifikasi sejumlah prediktor yang mempengaruhi persepsi kewirausahaan.
Selain itu, Entrepreneurial Intention Model menjawab keterbatasan penelitian
minat kewirausahaan dengan menggunakan pendekatan kognitif, yang tidak
mampu menggambarkan berbagai efek dari berbagai budaya yang berbeda dan
nilai-nilai keinginan berwirausaha. sehingga, instrumen yang dikembangkan
mestilah memadai, dapat diandalkan, valid dan mesti dibuat standar untuk
menganalisa persepsi dan keinginan berwirausaha lintas budaya dan sosial (Linan
dan Chen, 2006. Linan dan Chen, 2009). Untuk menguji kelayakan model
keinginan berwirausaha tersebut Linan dan Chen mengambil sampil di dua negara
dengan struktur budaya dan sosial yang sangat berbeda yaitu Taiwan dan Spanyol.
Kewirausahaan sebagai perilaku yang dipengaruhi minat dan minat
sebagai faktor yang dipengaruhi sikap adalah tema umum yang dilakukan peneliti
dalam menjelaskan minat berwirausaha. Berdasarkan pemahaman ini, minat
berwirausaha merupakan prediktor terbaik dalam mempengaruhi perilaku
berwirausaha (Krueger, et al, 2000, Fayolle dan Gailly, 2004). Dalam pengertian
ini minat berwirausaha akan menjadi langkah pertama dalam proses yang
berkembang dan kadang dalam proses jangka panjang bagi penciptaan sebuah
usaha (Lee dan Wong, 2004). Dengan beragam prediktor yang mempengaruhi
keinginan berwirausaha. maka, elemen kewirausahaan saat ini tidak hanya masuk
di ruang-ruang kelas yang diarahkan pada program vokasional ataupun program
non vokasional (karena, mata pelajaran kewirausahaan pun diajarkan di SMA dan
diarahkan pada pembentukan sikap wirausaha siswa.Tidak terkecuali SMK, SMA
dan Aliyah di Kabupaten Garut.
Kabupaten Garut adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang
memiliki potensi wirausaha, banyak hasil wirausaha daerah yang dikenal, seperti
dodol garut, domba garut, jeruk keprok Garut, jaket kulit garut terutama di
wilayah Sukaregang yang saat ini menjadi komplek pertokoan kerajinan
masyarakat garut dari kulit, juga beragam wisata kuliner seperti Asep Strawberry,
Nasi Liwet Cibiuk dan lain sebagainya, yang sedang trend saat ini adalah
Chocodot, sebuah usaha kuliner khas Garut yang dikembangkan oleh seorang
wirausahawan muda dan tentu saja banyak potensi wirausaha di Garut lainnya
yang belum tergali. Sehingga jika dikaitkan dengan program wirausahawan yang
tengah digalakkan pemerintah pada jenjang pendidikan menengah dengan potensi
wirausaha di Kabupaten Garut, maka, nampak irisan diantara keduanya. Idealnya,
para siswa lulusan SMK didorong untuk menjadi wirausahawan muda mandiri.
Beranjak dari pemikiran diatas maka rasanya sangat relevan jika kemudian
diadakan penelitian mengenai minat berwirausaha antar SMK di Kabupaten Garut
yang notabene dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Garut dengan SMK
yang relatif jauh dari pusat pemerintahan. Mengingat minimnya penelitian yang
mengomparasikan minat berwirausaha seperti demikian. Tentu saja, penelitian
dilakukan dengan jalan mengomparasikan berbagai prediktor minat berwirausaha
siswa-siswa SMK di Kabupaten Garut. Maka, Entrepreneurial Intention Model
yang dikembangkan oleh Linan dan Chen (2009) sangat relevan untuk dijadikan
model penelitian dalam rangka menganalisis dan mengidentifikasi variabel apa
saja yang berpengaruh terhadap minat/keinginan wirausaha antar siswa SMK
tersebut. Dalam konteks inilah penelitian ini dilakukan.
1.2Identifikasi dan Rumusan Masalah
Penelitian diarahkan pada upaya mengkaji berbagai variabel yang diduga
memiliki hubungan positif dengan minat berwirausaha antar siswa SMK.
yang siap terjun menjadi wirausaha. Namun, fakta mengejutkan datang dari hasil
penelitian Wijaya (2007) yang menyebutkan bahwa siswa SMK lebih senang
menjadi pegawai atau buruh pabrik dan bahkan tidak bekerja sama sekali.
Rendahnya minat berwirausaha pada lulusan sekolah menengah terutama SMK
karena mereka ragu dan takut gagal sehingga mereka tidak siap menghadapi
berbagai rintangan, hambatan yang ada.
Beragam upaya yang digalakkan pemerintah untuk meningkatkan sumber
daya produktif terutama setelah hadirnya MP3EI patut kita apresiasi bersama.
Mengingat beragam masalah sosial yang terus menggerogoti bangsa ini terutama
kemiskinan dan pengangguran. Dengan beragam kebijakan yang digelontorkan
pemerintah tersebut diharapkan masalah-masalah sosial sedikit demi sedikit dapat
teratasi.
Pemerintah menempatkan pendidikan sebagai ujung tombak dalam upaya
membentuk minat berwirausaha siswa SMK dan pendidikan setingkat lainnya.
Sehingga tidak salah jika kemudian kita banyak melihat berbagai tayangan iklan
di televisi yang menampilkan banyak keterampilan yang dihasilkan siswa SMK.
Merujuk Teori Perilaku Terencana, maka minat/keinginan siswa SMK
menjadi prediktor terbaik dalam menggambarkan perilaku berwirausaha (Ajzen,
1991, Krueger, et al, 2000, Fayolle & Gailly, 2004). Sedangkan minat
berwirausaha didahului oleh variabel 1) Attitude Toward Start Up/Personal
Attitude/sikap berwirausaha. Yaitu sejauh mana individu memegang penilaian
pribadi yang positif atau negatif tentang menjadi seorang wirausahawan dengan
berbagai pertimbangan afektif dan evaluatif. 2) Subjective Norm/Norma
Subyektif. akan mengukur tekanan sosial yang dirasakan untuk melaksanakan
-atau untuk tidak melaksanakan - perilaku kewirausahaan. Secara khusus, hal ini
akan mengacu pada persepsi dari "orang yang dipercaya" yang menyetujui atau
tidak menyetujui keputusan untuk menjadi seorang wirausahawan.3) perceived
behavioral control/Persepsi Kontrol Perilaku. didefinisikan sebagai persepsi
kemudahan atau kesulitan dalam pemenuhan perilaku wirausaha yang diinginkan
Untuk mengukur beragam variabel yang mendahului minat berwirausaha
dan minat berwirausaha antar siswa SMK. Penulis menggunakan model yang
digagas oleh Linan dan Chen (2009) sebagai acuan dalam penelitian dengan
beberapa variabel yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi dan
lingkungan SMK Kabupaten Garut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka masalah penelitian akan
dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh norma subyektif terhadap persepsi kontrol
perilaku siswa SMK?
2. Bagaimana pengaruh norma subyektif terhadap sikap wirausaha siswa
SMK?
3. Bagaimana pengaruh norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan
sikap wirausaha terhadap minat berwirausaha siswa SMK?
1.3Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian penulis adalah untuk menguji teori
perilaku terencana yang digagas oleh Ajzen (1991) yang kemudian dikembangkan
oleh Linan dan Chen (2009) sebagai model minat berwirausaha (Entrepreneurial
Intention Model).
Adapun secara khusus tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis
adalah untuk memperoleh gambaran dan membuktikan:
1. Pengaruh norma subyektif terhadap persepsi kontrol perilaku siswa
SMK.
2. Pengaruh norma subyektif terhadap sikap wirausaha siswa SMK.
3. Pengaruh norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan sikap
wirausaha terhadap minat berwirausaha siswa SMK.
1.4Manfaat/Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada bahasan teoritis
mengenai minat berwirausaha pada beragam jenis pendidikan menengah. Selain
bagi pemerintah selaku pemegang kebijakan dalam memformulasikan kebijakan
dalam mendorong penciptaan wirausahawan dan juga bagi akademisi yang
bergelut dalam pengembangan kewirausahaan sebagai bahan rujukan yang
memadai.
Teridentifikasinya variabel-variabel yang berkontribusi pada minat
berwirausaha dapat mengarahkan siswa-siswa SMK tersebut pada aktifitas yang
spesifik terkait dengan variabel-variabel yang berperan signifikan tersebut.
Tentunya didukung juga dengan pengelolaan kelas yang mampu mendorong ke
arah pembentukan wirausahawan ataupun bisa dilakukan melalui kegiatan
ekstrakurikuler lainnya yang disesuaikan guna tercapainya harapan sekolah untuk
membentuk siswa memiliki minat berwirausaha yang tinggi.
1.5Struktur Organisasi Laporan Penelitian
Laporan penelitian dalam bentuk tesis ini disusun dalam 5 bab. Bab I
Pendahuluan, berisikan: 1) Latar belakang penelitian, yang menguraikan masalah
pokok penelitian, bukti-bukti empirik yang mendukung masalah penelitian,
pentingnya masalah itu diteliti, dan pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut;
2) Identifikasi dan perumusan masalah, yang menguraikan telusuran
variabel-variabel penelitian beserta definisi operasionalnya dan keterkaitannya satu sama
lain yang kemudian dirumuskan dalam bentuk masalah penelitian; 3) Tujuan
penelitian, yang menyajikanhasil yang ingin dicapai dalam penelitian yang
dirumuskan secara operasional; 4) Manfaat/signifikansi penelitian, yang
menjelaskan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian, baik secara teoritis
untuk memperkaya teori-teori yang sudah ada maupun secara praktis dalam
bentuk masukan bagi institusi pendidikan khususnya dan pemerintah; dan 5)
Organisasi pelaporan, yang menguraikan bagaimana pelaporan hasil
penelitiandiorganisasikan.
Bab II Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran, dan Hipotesis, berisikan: 1)
Kajian teori yang merupakan telusuran teori-teori yang berkenaan dengan variabel
penelitian, dari mulai grand theory, midle theory , sampai hasil-hasil penelitian
sebagai landasan perumusan hipotesis penelitian dan penetapan
indikator-indikator dari variabel penelitian; 2) Kerangka pemikiran yang menguraikan
posisi-posisi setiap variabel penelitian dan keterkaitan antar variabel dalam
bangunan teori yang dirujuk sehingga melahirkan model penelitian yang ingin
dibuktikan; dan 3) Hipotesis penelitian sebagai jawaban tentatif terhadap masalah
enelitian yang berasal dari teori.
Bab III Metode Penelitian, berisikan: 1) Lokasi dan subjek
populasi/sampel penelitian, cara pemilihan sampel serta justifikasi dari pemilihan
lokasi serta penggunaan sampel. 2) Jenis dan metode penelitian yang menguraikan
tentang jenis dan metode penelitian yang digunakan serta justifikasi penggunaan
metode tersebut. 3) Definisi operasional; yang dirumuskan dari setiap variabel
yang melahirkan indikator-indikator yang akan dijabarkan pada instrumen
penelitian. 4) Menjelaskan tentang instrumen penelitian yang digunakan dan
pengukurannya serta justifikasi penggunaannya. 5) Proses pengembangan
instrumen.6) Teknik pengumpulan data dan justifikasi penggunaannya.7) Analisis
data
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisikan laporan hasil
pengolahan dan analisis data, pengujian hipotesis, serta pembahasan hasil
penelitian. Pada babini diuraikan: 1) Deskripsi hasil penelitian yang menguraikan
deskripsi responden penelitian dan deskripsi variabel-variabel penelitian; 2) Uji
asumsi statistik yang disyaratkan; 3) Analisis verifikatif hasil penelitian dan
pengujian hipotesis, meliputi analisis faktor konfirmatori dan analisis jalur; dan 4)
Pembahasan hasil penelitian yang mendiskusikan temuan penelitian dengan
landasan teori yang digunakan dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Bab V Kesimpulan dan Saran, berisi: 1) Kesimpulan yang merupakan
penafsiran dan pemaknaan terhadap temuan penelitian dan merupakan jawaban
terhadap masalah penelitian; serta 2) saran atau rekomendasi bagi institusi
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1Lokasi dan subjek Populasi/Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Garut dengan lokasi yang diambil
adalah: 1) SMK Muhammadiyah Kadungora, dengan beberapa pertimbangan
yaitu, a) adalah SMK adalah sekolah menengah yang memfasilitasi siswa dengan
mata pelajaran kewirausahaan. b) mengakomodasi siswa yang berasal pelosok. c)
kebanyakan siswa berasal dari 1 kecamatan yang sama yaitu Kecamatan
Kadungora. d) letak sekolah jauh dari pusat pemerintahan. 2) Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 12 Garut. Dengan beberapa pertimbangan yaitu : a) SMK yang
memfasilitasi siswa dengan mata pelajaran kewirausahaan.b) letak sekolah dekat
dengan pusat pemerintahan kabupaten Garut. c) siswa berasal dari berbagai
daerah yang berada di Kabupaten Garut.
Populasi dalam penelitian penulis adalah siswa SMK. Menurut Sugiyono
(2009: 80) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa populasi merupakan obyek
atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu
yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti.
Adapun syarat-syarat tertentu dari populasi yang berkaitan dengan
masalah yang penulis teliti adalah mereka yang memiliki karakteristik
yaitu,mereka yang telah mengikuti mata pelajaran kewirausahaan.Langkah
berikutnya adalah pengambilan sampel dengan karakteristik yang penulis tetapkan
tersebut diatas.Pengambilan sampel dengan karakteristik yang penulis tetapkan
tersebut diatas senada dengan pendapat Sugiyono (2009: 81) mengenai pengertian
sampel, yaitu bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
orang sementara jumlah populasi yang berasal dari SMKN 12 Garut adalah 188
orang. Untuk tabulasi data sampel selengkapnya dapat dilihat pada lampiran I.
Adapun penentuan jumlah sampel didasarkan pada rumus Slovin dan
Sevillan (Kusnendi, 2008: 52). Dengan ditetapkan tingkat kesalahan yang bisa
ditolerir sebesar 0,05. Hal ini berarti menunjukkan tingkat kepercayaan 95%.
Adapun rumusnya sebagai berikut,
n =
n adalah ukuran sampel, N menunjukkan ukuran populasi, α adalah tingkat
kesalahan yang ditolerir. Adapun sampel SMK Muhammadiyah I Kadungora
berdasarkan rumus Slovin adalah sebagai berikut,
n =
n =
n = 147,46 dibulatkan menjadi 147
Sementara jumlah sampel SMKN 12 Garut berdasarkan rumus slovin
adalah sebagai berikut,
n =
n =
n = 127,89 dibulatkan menjadi 128
3.2Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis termasuk kedalam jenis penelitian non
eksperimen karena adanya telaah empirik sistematis dimana penulis tidak dapat
mengontrol secara langsung variabel bebasnya karena manifestasinya telah
muncul, dan karena sifat hakikat variabel yang yang menutup kemungkinan
langsung, berdasarkan variasi yang muncul seiring dalam variabel bebas dan
variabel terikatnya (Kerlinger, 2006:603).
Berdasarkan jenis penelitian sebagaimana diungkapkan diatas. Maka,
metode penelitian yang relevan dan akan digunakan penulis adalah metode
survey. Sehingga data dikumpulkan dari responden/sampel yang telah ditentukan
dan data variabel penelitian dijaring menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpul data utama.
3.3Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan proses pengukuran dengan memberikan
nilai atau ukuran terhadap variabel yang diteliti menurut indikator-indikator yang
dapat diobservasi (Kerlinger, 2006: 51). Lebih lanjut Kerlinger menyatakan
definisi operasional melekatkan arti pada suatu konstruk atau variabel dengan cara
menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur
konstruk atau variabel tersebut. Sementara variabel menurut Kerlinger (2006: 49)
adalah simbol/lambang yang padanya kita lekatkan bilangan atau nilai.Karena
dalam model persamaan regresi multipel/model analisis jalur variabel yang
dianalisis meliputi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung maka variabel
yang terdapat dalam model dibedakan menjadi eksogen dan endogen (Kusnendi,
2008: 5).
Menurut Kusnendi (2008: 5) variabel eksogen adalah variabel penyebab
yang tidak dijelaskan dalam model. Sedangkan variabel endogen adalah variabel
akibat yang dijelaskan dalam model. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya.
Dalam penelitian penulis ada empat variabel yang akan diteliti yaitu: sikap
wirausaha, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, dan minat berwirausaha.
berdasarkan variabel-variabel tersebut. Maka, dapat dirumuskan definisi
Tabel 3.1 Tabel Operasional Variabel Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku, Sikap Wirausaha, dan Minat Berwirausaha
Konstruk Definisi Operasional Sumber Data
sendiri
4. saya memiliki tekad untuk menciptakan sebuah usaha di masa depan.
5. saya sangat serius berpikir untuk memulai sebuah usaha.
6. saya mempunyai keinginan kuat untuk memulai sebuah usaha suatu hari nanti
Sumber instrumen tersebut diatas diadaptasi diatas dari Linan dan Chen (2009) dengan sedikit modifikasi dan tambahan.
3.4Instrumen Penelitian
Bertolak dari tujuan dan data yang diperlukan dalam penelitian penulis,
maka instrumen yang digunakan adalah Entrepreneurial Intention Questionare.
Instrumen tersebut dikembangkan oleh Linan dan Chen, pada tahun 2006 pertama
kali dicobakan pada mahasiswa di Spanyol dan Taiwan kemudian pada tahun
2009 disempurnakan. Berikut penjelasan dari Entrepreneurial Intention
Questionare.
3.4.1 Deskripsi Entrepreneurial Intention Questionare.
Entrepreneurial Intention Questionare adalah sebuah instrumen/alat ukur
yang dikembangkan dari model keinginan berwirausaha yang dikembangkan oleh
Linan dan Chen (2006) yang diadaptasi dari teori perilaku terencana (theory
planned behavior). Kuesioner Keinginan Berwirausaha (Entrepreneurial Intention
Questionnaire/ EIQ) yang baru dikembangkan telah digunakan untuk mengatasi
beberapa keterbatasan instrumen-instrumen yang telah ada sebelumnya.
Keterbatasan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa penelitian mengenai minat
berwirausaha selama ini kurang memperhatikan setting budaya yang berbeda
kemudian metodologi yang digunakan sejauh ini untuk mempelajari minat
Linan dan Chen (2006) mengambil sampel dari dua negara berbeda:
satudari Spanyol dansatulagi Taiwan.Teknik persamaan struktural digunakan
dalam analisa empiris. Hasilnya secara keseluruhan memuaskan, menunjukkan
bahwa model keinginan berwirausaha yang dikembangkan Linan dan Chen cukup
memadai untuk mempelajari kewirausahaan. Dukungan untuk model ini
ditemukan tidak hanya dalam sampel gabungan, tetapi juga di masing-masing
negara yang menjadisampel.
Instrumen ini terdiri dari 20 butir pertanyaan yang terbagi kedalam empat
konstruk. Yaitu, sikap wirausaha, norma subyektif, persepsi kontrol perilaku dan
minat berwirausaha.
3.4.2 Prosedur Adaptasi Entrepreneurial Intention Questionare.
Adaptasi Entrepreneurial Intention Questionare dilakukan melalui
tahapan-tahapan berikut:
1) Menerjemahkan butir pertanyaan
Entrepreneurial Intention Questionare berbahasa Inggris dan terdiri dari
20 butir pertanyaan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
bantuan ahli. Penterjemahan dilakukan tanpa keluar dari konteks aslinya. Hal
tersebut dilakukan guna menjaga otentisitas setiap butir pertanyaan dalam bahasa
aslinya.
2) Menyederhanakan hasil terjemahan
Hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia, selanjutnya dengan bantuan
guru Sekolah Menengah Kejuruan dilakukan proses penyederhanaan dalam
susunan kalimatnya yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan sampel
penelitian.
3.5Proses Pengembangan Instrumen.
Uji instrumen dilakukan terhadap 112 orang siswa SMK Muhammadiyah I
Kadungora yang dilakukan dalam dua tahap yaitu uji validitas, dalam uji validitas
skor yang diperoleh dari masing-masing item edengan skor totalnya. Analisis item
ini diperlukan untuk mengetahui kualitas item-item kuesioner dan tes agar alat
ukur memenuhi kaidah secara teoritis dan secara empirik teruji kualitasnya. Untuk
kepentingan tersebut dilakukan uji korelasi dengan menggunakan rumus korelasi
Product moment- Pearson. Dengan rumus sebagai berikut,
ri =
Sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan korelasi item total, Azwar
(2010: 65) memberikan batasan ri ≥ 0,30. Semua item yang mencapai koefisien
korelasi minimal 0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan. Sehingga item
yang tidak mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 diinterpretasikan sebagai
item yang memiliki daya diskriminasi rendah. Dalam praktik penelitian item yang
tidak memenuhi persyaratan validitas tersebut dikeluarkan dari kuesioner
penelitian. Laporan hasil uji validitas dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Laporan Hasil Uji Validitas
Dari tabulasi data diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa seluruh item
dari seluruh variabel penelitian dinyatakan valid, karena angka dari
masing-masing item lebih besar dari angka minimal yang dipersyaratkan yaitu 0,30.
Untuk laporan hasil uji validitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2.
Tahapan berikutnya yaitu uji reliabilitas, umumnya para peneliti
menggunakan rumus koefisien alpha cronbach untuk menguji reliabilitas suatu
instrumen penelitian. Dengan rumus sebagai berikut,
C
Dimana k adalah jumlah item, adalah jumlah variansi setiap item dan
adalah variansi skor total.
Dilihat menurut statistik alpha cronbach, suatu instrumen penelitian
diindikasikan memiliki reliabilitas yang memadai jika koefisien alpha cronbach
lebih besar atau sama dengan 0,70 (Hair, Anderson, Tatham dan Black dalam
Kusnendi, 2008: 96). Atau nilai koefisien reliabilitas minimal 0,60 (Nunnaly,
1981). Adapun laporan hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Laporan Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Penelitian Koefisien Alpha Cronbachs
Norma Subyektif 0,631
Persepsi Kontrol Perilaku 0,703
Sikap Wirausaha 0,778
Minat Berwirausaha 0,876
Masing-masing faktor dalam penelitian penulis sebagaimana ditunjukkan
tabel diatas reliabel karena memiliki koefisien alpha cronbachs lebih besar dari
0,6. Adapun bentuk instrumen penelitian bisa dilihat pada lampiran 3.
3.6Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui kuesioner dikembangkan secara khusus oleh
Linan dan Chen (2009) untuk mengukur minat kewirausahaan yang dapat
Indikator dari variabel-variabel penelitian disusun menggunakan
penskalaan respons model likert (dengan 7 opsi pilihan). Penggunaan model likert
pada kuesioner didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1) relatif lebih
mudah membuatnya, 2) model ini memiliki reliabilitas lebih tinggi dibandingkan
model lain (Nazir, 1999: 398).
3.7Analisis Data
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, hasil
penelitian perlu diinterpretasikan secara kualitatif. Azwar (2010 : 105)
mengatakan
sekalipun skor pada skala psikologis yang ditentukan lewat prosedur penskalaan akan menghasilkan angka-angka pada level pengukuran inerval namun dalam interpretasinya hanya dapat dihasilkan kategori-kategori atau kelompok-kelompok skor yang berada pada level ordinal. Sebagai contoh, respons-respons “sangat setuju”, “setuju”, “netral”, “tidak setuju”,
dan “sangat tidak setuju” akan memperoleh skor interval bila ditetapkan lewat prosedur penskalaan summated ratings, namun makna skor pada keseluruhan skala yang dijawab dengan respons tersebut tidak dapat diletakkan pada kontinum interval melainkan berada pada kategori-kategori ordinal.
Hal ini berkaitan dengan deskripsi masing-masing variabel yang ada
dalam penelitian. untuk memudahkan interpretasi maka perlu dibuat
kategorisasi-kategorisasi. Menurut Azwar (2010, 106) salah satu cara kategorisasi subjek
secara normatif dengan memanfaatkan statistik deskripstif guna memberi
interpretasi terhadap skor skala yaitu berdasarkan model berdistribusi normal hal
ini didasari oleh suatu asumsi bahwa skor subjek dalam kelompoknya merupakan
estimasi terhadap skor subjek dalam populasinya terdistribusi secara normal.
Dengan demikian kita dapat membuat skor teoritis yang terdistribusi menurut
model normal.
Berdasarkan acuan distribusi normal diatas. Maka, interpretasi skor
terhadap semua variabel dalam penelitian dikategorisasikan kedalam 3 level yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Adapun kategorisasi skor mengacu kepada pendapat
Azwar (2010: 109). Kategorisai tersebut penulis jadikan sebagai acuan dalam
Untuk variabel norma subyektif didapatkan kategorisasi yang dipaparkan
dalam Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Norma Subyektif
SMK Muhammadiyah I Kadungora SMKN 12 Garut
Skor Kategori Skor Kategori
14 - ≤ 18 Rendah 15 - ≤ 19 Rendah
19 - ≤ 23 Sedang 20 - ≤ 24 Sedang
24 - ≤ 27 Tinggi 25 - ≤ 28 Tinggi
Sementara, untuk variabel persepsi kontrol perilaku didapatkan
kategorisasi yang dipaparkan dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Persepsi Kontrol Perilaku
SMK Muhammadiyah I Kadungora SMKN 12 Garut
Skor Kategori Skor Kategori
14 - ≤ 22 Rendah 15 - ≤ 23 Rendah
23 - ≤ 31 Sedang 24 - ≤ 32 Sedang
32 - ≤ 41 Tinggi 33 - ≤ 40 Tinggi
Sementara, untuk variabel sikap wirausaha didapatkan kategorisasi yang
dipaparkan dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Sikap Wirausaha
SMK Muhammadiyah I Kadungora SMKN 12 Garut
Skor Kategori Skor Kategori
14 - ≤ 20 Rendah 19 - ≤ 24 Rendah
21 - ≤ 27 Sedang 25 - ≤ 30 Sedang
28 - ≤ 35 Tinggi 31 - ≤ 35 Tinggi
Sementara, untuk variabel minat berwirausaha didapatkan kategorisasi
yang dipaparkan dalam Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Skala Nilai Kategorisasi Variabel Minat Berwirausaha
SMK Muhammadiyah I Kadungora SMKN 12 Garut
Skor Kategori Skor Kategori
20 - ≤ 26 Rendah 12 - ≤ 21 Rendah
27 - ≤ 33 Sedang 22 - ≤ 31 Sedang
Masalah yang diuji dalam penelitian ini merupakan jaringan variabel yang
mempunyai hubungan antar variabel, maka untuk dapat mendeteksi hubungan
antar variabel tersebut digunakan analisis Model Persamaan Struktural (
Structural Equation Model/SEM ). Penggunaan analisis SEM dimaksudkan agar
dapat menganalisis bagaimana hubungan antar variabel indikator dengan variabel
latennya yang dikenal sebagai Persamaan Pengukuran ( Measurement Equation ),
serta hubungan antara variabel laten yang satu dengan variabel laten lainnya yang
disebut Persamaan Struktural (Structural Equation). Selain itu SEM juga dapat
menganalisis hubungan dua arah ( reciprocal ) yang sering terjadi pada ilmu-ilmu
sosial.
Dalam analisis model persamaan struktural ada asumsi-asumsi yang harus
dipenuhi dalam prosedur dan pengolahan datanya adapun asumsi tersebut menurut
Ferdinand (Kusnendi, 2008: 46) adalah sebagai berikut:
(1) Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam pemodelan adalah minimum berjumlah 100 dan selanjutnya menggunakan perbandingan lima observasi untuk setiap estimated parameter.(2) normalitas dan linieritas. Sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas dipenuhi sehingga data dapat diolah lebih lanjut untuk pemodelan SEM. (3)outliers yaitu observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariat. (4) multikolinieritas. Multikolinieritas dapat dideteksi dari determinan matriks kovarians yang sangat kecil memberikan indikasi adanya problem multikolinieritas atau singularitas.
Mengenai ukuran sampel dalam model persamaan struktural, Ghazali
(2004: 16) memberikan keterangan lebih detail. menurutnya besarnya ukuran
sampel memiliki peran penting dalam interpretasi hasil SEM. Ukuran sampel
memberikan dasar untuk mengestimasi sampling error. Dengan model estimasi
menggunakan Maximum Likelihood (ML) minimum diperlukan jumlah sampel
100. Ketika sampel dinaikkan di atas nilai 100, metode ML meningkat
sensitivitasnya untuk mendeteksi perbedaan antar data. Begitu sampel menjadi
besar (di atas 400 sampai 500), maka metode ML menjadi sangat sensitif dan
selalu menghasilkan perbedaan secara signifikan sehingga ukuran Goodness-of-fit
400 harus digunakan untuk metode estimasi ML. Adapun penjelasan dari
Goodness-of-fit adalah sebagai berikut:
1) Likelihood Ratio Chi Square Statistic.
Ukuran fundamental dari overall fit adalah Likelihood Ratio Chi Square
Statistic. Nilai chi square yang tinggi relatif terhadap degree of freedom
menunjukkan bahwa matriks kovarian atau korelasi yang diobservasi dengan yang
diprediksi berbeda secara nyata dan ini menghasilkan probabilitas lebih kecil dari
signifikansi. Sebaliknya nilai chi square yang kecil akan menghasilkan nilai
probabilitas yang lebih besar dari tingkat signifikansi dan ini menunjukkan bahwa
input matrik kovarian antara prediksi dengan observasi sesungguhnya tidak
berbeda secara signifikan (Ghazali, 2004: 19).
2) CMIN/DF
CMIN/DF adalah ukuran yang diperoleh dari nilai chi-square dibagi
dengan degree of freedom. nilai yang direkomendasikan untuk menerima
kesesuiansebuah model adalah nilai CMIN/DF yang lebih kecil atau sama dengan
2,00 atau CMIN/DF ≤ 2 mengindikasikan model fit dengan data artinya semakin
parsimoni model yang diususlkan dibandingkan dengan model alternatif (Ghazali,
2004: 19. Kusnendi, 2008: 30).
3) GFI
Digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam
matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang
terestimasikan. Indeks ini mencerminkan tingkat kesesuaian model secara
keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang yang diprediksi
dibandingkan dengan data yang sebenarnya. Nilai Goodness of Fit Index biasanya
dari 0 sampai 1. Nilai yang lebih baik mendekati 1 mengindikasikan model yang
diuji memiliki kesesuaian yang baik nilai GFI dikatakan baik adalah ≥ 0,90
(Ghozali & Fuad, 2005).
4) RMSEA
Root mean square error of approximation (RMSEA) merupakan ukuran
yang mencoba memperbaiki kecenderungan statistik chi square menolak model
merupakan ukuran yang dapat diterima atau RMSEA < 0,08 berarti model fit
dengan data (Ghazali, 2004: 19. Kusnendi, 2008: 29).
5) AGFI
AGFI merupakan pengembangan dari GFI yang disesuaikan dengan
degree of freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model. Tingkat
penerimaan yang direkomendasikan adalah bila mempunyai nilai sama atau lebih
besar dari 0,9 (Ghazali, 2004: 20).
6) TLI
TLI adalah sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan
sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang
direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah lebih
besar atau sama dengan 0,9 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good
fit. TLI merupakan index fit yang kurang dipengaruhi oleh ukuran sampel
(Ghozali, 2004: 20).
7) CFI
Ukuran kesesuaian model berbasis komparatif dengan model null. CFI
nilainya berkisar antara 0,0 sampai 1,0. CFI > 0,90 mdel fit dengan data.
Setelah masalah penelitian diuji dengan menguji asumsi-asumsi statistik
yang dipersyaratkan yaitu ukuran sampel, uji normalitas untuk mengetahui pola
distribusi skor data hasil penelitian, uji multikolinieritas untuk mengetahui
kemungkinan terdapatnya multikolinieritas sempurna antar variabel penelitian,
dan berkenaan dengan identifikasi kasus multivariate outliers.Adapun pengujian
asumsi dengan menggunakan komputasi statistik melalui aplikasi program AMOS
20.
Analisa data yang digunakan oleh penulis berbasis data empiris. Hal ini
konsisten dengan asumsi analisa model persamaan struktural yang mensyaratkan
data sekurang-kurangnya berskala interval. Sementara data yang terkumpul dalam
penelitian ini jika diklasifikasi dalam skala psikologi termasuk kedalam jenis data
ordinal. Transformasi data ordinal kedalam data interval penulis lakukan dengan
menggunakan alat bantu succesive interval yang tersedia dalam fungsi microsoft
Setelah data berskala interval. Maka penulis memfokuskan untuk
menjawab masalah penelitian yang telah dirumuskan atau analisa data. Untuk
maksud tersebut, analisis data menggunakan: 1) Analisis Faktor Konfirmatori (
Confirmatory Factor Analysis/CFA ) untuk mengkonfirmasikan serangkaian
variabel indikator dengan variabel latennya atau untuk menguji model
pengukurannya (measurement model); dan 2) Analisis Jalur ( Path Analysis )
untuk menguji hubungan kausalitas antar variabel atau untuk menguji model
strukturalnya (structural model). Dalam penelitian ini analisis faktor konfirmatori
dan analisis jalur dilakukan dengan bantuan aplikasi program AMOS 20.0. adapun
penjelasannya sebagai berikut
1) Analisis Faktor Konfirmatori ( Confirmatory Factor Analysis/CFA
Analisis Faktor Konfirmatori adalah metode statistik lain yang dipandang
lebih akurat dalam menguji validitas dan reliabilitas. Long (Kusnendi, 2008: 97)
menyatakan “the confirmatory factor model is a powerful statistical model. Its ability to test structures suggested by substantive theory”. Menurut Kerlinger (2006: 1000) karena kekuatan, keluwesan, dan kedekatannya degan hakkat
maksud dan tujuan ilmiah. Analisis faktor dapat disebut sebagai ratu metode
analisis. Lebih lanjut kerlinger menyatakan (2006: 1000) analisis faktor berfungsi
melayani tujuan keiritan upaya ilmiah. Ia mengurangi kelipatgandaan tes dan
pengukuran hingga menjadi lebih sederhana.
Sementara, menurut Joreskog dan Sorbom (Kusnendi, 2008: 98) CFA
adalah analisis faktor yang digunakan untuk menguji “theoritical or hyphotetical
concepts, or construct, or latent variables, which are not directly measurable or observable” atau menguji unidimensionalitas, validitas, reliabilitas model pengukuran. Dengan demikian menurut Kusnendi (2008: 98) masalah penelitian
dalam kerangka CFA paling tidak akan berkisar pada pertanyaan berikut: (1)
apakah indikator-indikator yang dikosenpsikan secara unidimensional, tepat
(valid), dan konsisten (reliabel) dapat menjelaskan konstruk yang diteliti?. (2) apa
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas maka pengujian
model meliputi tiga tahap, yaitu uji kesesuaian model (overall model fit test), uji
kebermaknaan (test of significance) masing-masing koefisien dan bobot faktor
dan evaluasi reliabilitas konstruk.
a) Uji kesesuaian model (overall model fit test)
Uji kesesuaian model bertujuan untuk (1) mengevaluasi apakah model
pengukuran yang diusulkan fit atau tidak dengan data apabila model dapat
mengestimasi matriks kovariansi populasi (∑) yang tidak berbeda dengan matriks kovariansi sampel. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hasil estimasi dapat
diberlakukan terhadap populasi (Kusnendi, 2008: 109). Diterjemahkan menurut
ukuran goodness of fit test adapun penjelasan dari goodness of fit test tersebut
telah penulis jelaskan sebelumnya. Umumnya para peneliti menggunakan
beberapa uji statistik secara bersamaan (Iskandar, 2012:160. Ghazali, 2004:50.
Wijaya, 2008) Adapun kriteria dan batas penilaian tersebut diatas dijelaskan
dalam Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Kriteria dan Batas Penilaian Goodness of Fit Test
Indeks Goodness of
Fit Test
Kriteria Model Fit Batas penilaian
(2) mengevaluasi apakah model pengukuran yang diusulkan bersifat
unidimensional atau tidak. Suatu model pengukuran dikatakan
memiliki sifat unidimensional apabila modelnya fit dengan data serta
indikator-indikatornya hanya mengukur satu variabel laten dengan kata
lain, secara empirik modelnya congeneric (kusnendi, 2008: 110)
b) Uji Kebermaknaan Koefisien Bobot Faktor : Uji Validitas dan Uji
Reliabilitas Indikator
Suatu indikator dikatakan valid dan reliabel mengukur konstruk yang
diukur jika koefisien bobot faktornya secara statistik signifikan, yaitu memiliki
nilai P-hitung yang lebih kecil atau sama dengan cut off value sebesar 0,05 serta
koefisien bobot faktor yang distandarkan (standardized factor loading) tidak
kurang dari 0,40 atau 0,50 (Kusnendi, 2008: 111).
c) Reliabilitas Konstruk
Reliabilitas konstruk merupakan tahapan lanjutan setelah tahap uji
kesesuaian model dan uji kebermaknaan koefisien bobot faktor telah terpenuhi.
Menurut Hair (Kusnendi, 2008: 108) dalam format CFA, untuk mengevaluasi
reliabilitas konstruk digunakan koefisien reliabilitas konstruk (CR) dan atau
koefisien variance extracted yang dirumuskan sebagai berikut.
CRi =
VEi =
= koefisien bobot faktor yang distandarkan untuk setiap indikator dari i
sampai ke –k.
ei = koefisien kesalahan pengukuran untuk setiap indikator dari i sampai
ke –k.
K = banyaknya indikator dalam model pengukuran.
Adapun nilai reliabilitas yang direkomendasikan adalah 0,70 untuk VE
2) Analisis Jalur ( Path Analysis )
Model analisis jalur digunakan untuk menganalisis hubungan sebab akibat
dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung
seperangkat variabel penyebab terhadap variabel akibat. Sejalan dengan hal
tersebut maka masalah penelitian dalam format analisis jalur berkisar pada
pertanyaan berikut: (1) bagaimana pengaruh variabel penyebab terhadap variabel
akibat? (2) berapa besar pengaruh langsung, tidak langsung, total, dan pengaruh
bersama pengaruh variabel penyebab (Kusnendi, 2008: 147). Sementara menurut
Blalock (1964), Heise (1969), Johnson dan Wichern (1992) (Dalam Iskandar,
2012: 162) model analisis jalur merupakan sebuah recursive system karena antara
variabel eksogen dan endogen dalam model tidak terdapat hubungan resiprokal
(reciprocal causations).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam penelitian penulis
terdapat tiga hipotesis yang akan diuji. Jika hipotesis tersebut dinyatakan dalam
sebuah format analisis jalur. Maka, dapat digambarkan dalam bentuk diagram
jalur sebagaimana tertera dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Diagram Jalur Lengkap Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan rumusan hipotesis penelitian dalam diagram jalur tersebut
Tabel 3.9 Model Persamaan Struktural
Model Model Struktural Persamaan Struktural
Persepsi Kontrol Perilaku (PKP)
PKP = F (NS) PKP = 21 NS + z1
Sikap Wirausaha (SW)
SW = F (NS) PKP = 31 NS + z2
Minat Berwirausaha (MB)
MB = F (NS, SW, PKP).
MB = 41 NS + 42 SW
+ 43 PKP + z3
Sedangkan spesifikasi terhadap model pengukuran adalah sebagai berikut:
Konstruk Eksogen Norma Subyektif (NS)
X1 = 1 NS + e1
X2 = 2 NS + e2
X3 = 3 NS + e3
X4 = 4 NS + e4
Konstruk Endogen Persepsi Kontrol Perilaku (PKP)
X5 = 5 NS + e5
X6 = 6 NS + e6
X7 = 7 NS + e7
X8 = 8 NS + e8
X9 = 9 NS + e9
Konstruk Endogen Sikap Wirausaha (SW)
X10 = 10 NS + e10
X11 = 11 NS + e11
X12 = 12 NS + e12