• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Air baku adalah air yang berasal dari

alam yang belum diolah untuk dipergunakan. Volume air bumi adalah 1.386 juta km3 dan 97,5 % dari padanya adalah air laut. Sisa persentase diatas adalah air tawar sebesar 2,5 % yang berjumlah 34,65 juta m3 yang berupa lapisan es di puncak gunung dan di kutub (69%), air tanah dan resapan (30%), dan sisanya rawa-rawa dan berupa uap air (Shiklomanov 1998).

Secara umum ada dua jenis sumber air baku, yaitu air bumi (groundwater) dan air permukaan. Kedua jenis air baku ini memiliki karakteristik yang berbeda yang dikarenakan perbedaan proses alamiah yang dialami kedua jenis air baku ini. Air baku dapat digunakan langsung maupun mengalami proses pengolahan terlebih dahulu tergantung peruntukan pemakaian air tersebut.

Hujan adalah air yang jatuh dari awan ke permukaan bumi. Awan berasal dari air permukaan yang menguap karena panas dan dengan proses kondensasi (perubahan uap air menjadi tetes air yang sangat kecil) membentuk tetes air. Pada waktu berbentuk uap air terjadi proses transportasi (pengangkutan uap air oleh angin menuju daerah tertentu yang akan terjadi hujan). Ketika proses transportasi tersebut menurut Waluyo (2005) dan Lee at al. (2010) uap air tercampur dan melarutkan gas-gas oksigen, nitrogen, karbondioksida, debu, dan senyawa

lain. Karena itulah, air hujan juga mengandung debu, bakteri, serta berbagai senyawa yang terdapat dalam udara. Jadi kualitas air hujan juga banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (McBroom dan Beasley 2004).

2.1 Pengelompokan Pengguna Air

Variasi tujuan dari penggunaan air dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, 1. Domestik, 2. Industri, 3. Publik (Hardenberg dan Rodie, 1960). Selain itu, didalam setiap sistem yang berhubungan dengan air, biasanya terdapat air yang tidak terhitung (terhilang) misalnya air yang terhilang karena kebocoran (leakage) dan karena terjadi pemborosan penggunaan air (waste). Pengguna domestik mencakup penggunaan air di tempat tinggal untuk tujuan rumah tangga dan juga untuk menyirami tanaman. Air juga digunakan untuk industri dan komersial. Industri biasanya menggunakan jumlah air yang tetap dari tahun ke tahun dengan standar kualitas yang tertera pada Permenkes RI No.907/MENKES/SK/VII/2002 (Hardyanti 2006).

2.2 Perkiraan Pemakaian Air

Dalam perhitungan perkiraan kebutuhan air, jumlah pengguna air merupakan faktor yang paling penting. Sudah jelas bahwa jumlah pengguna air yang besar akan memakai air dalam jumlah yang lebih banyak daripada jumlah pengguna air yang kecil.

Perhitungan kebutuhan air diperlukan unruk merencanakan sistem suplai air yang dilakukan untuk perencanaan pelayanan masa yang akan datang. Analisis kebutuhan masa depan suatu wilayah dimulai dengan memperhatikan pemakaian sekarang dengan kondisi masyarakat yang ada.

Perhitungan kebutuhan air bersih di Indonesia mengacu pada petunjuk Tata Cara Teknis Survei dan Pengkajian Kebutuhan Air dan Pelayanan Air Minum yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum.

2.3 Pemanenan Hujan

Pemanenan hujan adalah proses memanfaatkan air hujan dengan cara ditampung dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Air hujan biasanya dikumpulkan atau dipanen dari bubungan atap, lantai beton di pekarangan rumah, jalan, dan permukaan yang kedap air lainnya. Air hujan kemudian mengalir sepanjang talang (gutter), dan masuk ke dalam suatu tangki pengumpul. Pemanenan hujan sangat

membantu mengurangi air larian permukaan (runoff) yang berasal dari hujan (Helmreich & Horn 2008).

2.3.1 Metode Pemanenan hujan

Secara garis besar, menurut Asdak (2007) cara pemanenan hujan dapat dibagi kedalam dua bagian, pertama dilakukan dengan mengumpulkan air hujan di atas atap bangunan (roof catchment) dan yang kedua dilakukan dengan mengumpulkan air hujan di atas permukaan tanah (ground catchment).

Cara pemanenan hujan di atas permukaan tanah pada dasarnya adalah usaha menampung air larian permukaan (surface runoff). Banyaknya air hujan yang dapat dipanen dengan cara pengumpulan air di atas permukaan tanah akan ditentukan oleh topografi bidang tangkapan (datar atau miring) dan oleh kemampuan lapisan tanah atas menahan air (Yan Li et al. 2003). Asdak (2007) menyatakan pula bahwa besarnya air yang dapat dipanen bervariasi dari sekitar 30 % (dari total hujan) untuk kondisi permukaan bidang tangkapan yang bersifat tidak kedap air (pervious) dan dalam keadaan datar, sampai dengan lebih dari 90 % untuk keadaan bidang tangkapan yang berlereng dan bersifat tidak kedap air (impervious).

Cara pemanenan hujan dari atap bangunan yaitu dengan mengalirkan dan mengumpulkan air hujan dari atap bangunan (rumah, bangunan besar, greenhouse,

courtyard, dan permukaan yang impermeable

termasuk jalan.

Secara garis besar, ada tiga komponen dalam alat pemanenan hujan dari atap bangunan ini. Collector berupa atap bangunan, conveyor sebagai saluran air, dan

storage berupa tangki penyimpanan air. Awalnya, air hujan akan menerpa atap bangunan dan terkumpul melalui talang

(gutter) di sekeliling bangunan. Agar terhindar dari pencemaran, dinding atap itu tidak boleh menggunakan bahan asbes serta jangan mengalami pengecatan yang mengandung unsur yang mungkin mencemari air, seperti chrome, besi atau metal. Atap sebaliknya juga tidak terganggu oleh pepohonan, sehingga tidak ada dedaunan atau kotoran hewan yang ikut mengalir melalui talang (conveyor). Sebagai proses pembersihan awal, perlu dipasang alat penyaring/ alat yang berbentuk tipping bucket

atau alat penyaringan lainnya untuk kemudian air yang kotor disalurkan melalui pipa air menuju saluran drainase, dan air yang sudah cukup bersih disalurkan ke bak penampungan.

Gambar 1 Prototipe sistem panen hujan melalui atap bangunan untuk keperluan rumah tangga. Sistem ini sangat lazim dilakukan di

negara-negara yang sangat rentan terhadap kekeringan seperti di Afrika, India, Srilangka, Iran, Cina, dan di beberapa negara Asia Tenggara. Di Indonesia, sistem panen hujan yang diaplikasikan di beberapa negara tersebut dapat dijadikan pembelajaran untuk mengantisipasi kelangkaan air terutama di wilayah beriklim kering. Upaya yang dilakukan yaitu dengan menampung air hujan dari atap rumah, terutama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sistem panen hujan untuk keperluan rumah tangga dengan menampung aliran air dari atap rumah dapat mempergunakan berbagai jenis bak penampung yang sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Biasanya air yang ditampung dapat dipergunakan untuk minum, memasak, dan untuk irigasi dalam skala rumah tangga. Ilustrasi panen hujan secara sederhana dari suatu atap bangunan disajikan pada Gambar 1.

2.3.2 Perkembangan Pemanenan Hujan di Beberapa Negara

Di beberapa negara ternyata pemanenan hujan sudah lama dilakukan dan sampai sekarang masih terus dikembangkan. Kegiatan pemanenan hujan tersebut sudah tersebar di banyak lokasi di Filipina di tempat yang tidak mungkin diperoleh air tawar dengan cara lain. Di India, terdapat advokasi yang kuat melalui kampanye air oleh CSE (Center for Science and Technology), yang menganjurkan menghentikan fokus pada masalah dan beralih pada solusinya. Di Amerika Serikat kegiatan pemanenan hujan masih terus dikembangkan di Hawaii dan California. Air hujan dari atap rumah yang ditampung dalam suatu bak dapat dijadikan sember air utama bagi keperluan rumah tangga. Bahkan terdapat peraturan bahwa pembangunan rumah baru tidak akan

diberi izin jika tidak ada rencana penampungan air hujan dari atapnya.

Bandar udara Changi di Singapura juga menggunakan sistem pemanenan hujan dari atap, dengan total penggunaan antara 28 sampai 30 % dari air yang digunakan. Hasilnya sistem ini dapat menghemat kira-kira S$ 390.000 per tahunnya. Juga di Negara-negara lain seperti Jerman, Jepang, Malaysia, Thailand, China dan Afrika juga diterapkan sistem pemanenan hujan tersebut (www.rainwaterharvesting.com).

2.3.3 Sejarah Pemanenan Hujan di Indonesia

Pemanenan hujan yang tertua dikenal dalam sejarah Indonesia adalah sebagai penadah air hujan untuk memperoleh air tawar bagi kehidupan sehari-hari, terutama untuk minum. Mula-mula ditampung biasa dengan peralatan seadanya. Kemudian dikembangkan dengan pemanenan dari atap rumah yang dikumpulkan dalam bak-bak penampungan dan digunakan secara hemat sampai hujan tiba berikutnya. Penyediaan seperti ini lazim digunakan di daerah pantai dan pulau-pulau kecil, dengan air permukaan dan air tanah yang payau dan asin (Notodoharjo, 2006).

Penggunaan air hujan pun semakin beragam di kemudian hari. Petani menggunakan air hasil pemanenan hujan untuk mengairi sawah tadah hujan (Jawa) atau persawahan berbandar langit (Sumatra). Dalam perkembangannya yang lebih baru, muncul kreasi-kreasi untuk memanen air hujan secara lebih modern. Untuk keperluan air domestik digunakan kolam-kolam atau bak penampungan yang kemudian dapat memberikan air secara gravitasi atau menggunakan pompa dengan ukuran yang cukup besar untuk persediaan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Gambar 2 Sistem pemanenan hujan di bandara Changi Singapura. 2.4 Bangunan Hijau (Green building)

Menurut Pimpinan Center for Building Energy Study Universitas Petra, Surabaya, Ir Jimmy Priatman, M Arch, bangunan hijau tidak bisa dipisahkan dari green architecture. Ia mengungkapkan, yang dimaksud green building tidak hanya hemat energi tapi juga hemat air, melestarikan sumber daya alam, dan meningkatkan kualitas udara. Sementara

green architecture adalah bagaimana mengubah empat hal itu menjadi bagian yang berkesinambungan.

Pemanenan hujan menjadi bagian dalam hal bangunan hijau, dimana pemanenan hujan menjadi sangat berperan untuk mengurangi banyaknya air aliran permukaan yang ada ketika hujan turun sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi kemungkinan terjadinya banjir. Konsep bangunan hijau dalam hal ini dinyatakan dalam menghemat penggunaan sumber daya air aliran permukaan melalui desain bangunan (Li Cheng 2002) serta menghemat penggunaan listrik untuk menghasilkan air bersih dikarenakan tidak memerlukan pompa lagi untuk memasukkan air ke dalam unit pengolahan air (Sailor 2008).

BAB III. METODOLOGI

Dokumen terkait