• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gulma pada Padi Sawah

Gulma merupakan tanaman yang tumbuh bukan pada tempatnya, atau disebut juga tanaman atau tumbuhan yang manfaatnya lebih sedikit dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkan pada lahan yang sedang diusahakan (Radosevich, et al., 2007). Gulma dapat tumbuh di berbagai macam lingkungan termasuk di air. Gulma air (aquatic weeds) adalah tanaman yang mempunyai kemampuan beradaptasi di lingkungan basah. Menurut Sidorkewicj, et al. (2004) terdapat lebih kurang 700 spesies gulma air yang tersebar di dunia, namun hanya beberapa diantaranya yang menimbulkan masalah.

Di Indonesia gulma air menjadi penting terkait dengan banyaknya lahan persawahan yang berada di wilayah jenuh air. Beberapa jenis gulma yang menjadi masalah pada pertanaman padi sawah sistem pindah tanam (transplanted rice fields) antara lain Eleocharis kuroguwai, Sagittaria trifolia, S. pygmaea, Echinochloa crus-galli, dan Monochoria vaginalis (Chul and Goo, 2005). Salah satu contoh gulma penting yang ada pada pertanaman padi adalah Echinochloa crus-galli. Gulma ini memiliki daya adaptasi yang kuat, yang akan bersaing dengan tanaman padi sawah. Hasil penelitian Guntoro et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi populasi E. crus-galli akan meningkatkan kompetisi terhadap tanaman padi dan berpotensi menurunkan hasil gabah per malai. Gulma golongan daun lebar seperti Monochoria vaginalis dan Limnocharis flava menjadi

dominan dengan frekuensi penutupan mencapai lebih dari 50% (Begum et al., 2005).

Gulma-gulma lain kemungkinan tidak invasive terhadap tanaman utama, namun beberapa gulma seperti Monochoria vaginalis dapat menjadi inang bagi keong sawah yang dapat mengganggu pembibitan padi sawah. Beberapa gulma seperti M. vaginalis, Cyperus rotundus, Leersia hexandra, dan Jussiaea repens merupakan tanaman inang bagi virus tungro (Muis et al., 2008), sedangkan Paspalum, Zizania, Echinochloa, dan Ischaemum merupakan inang dari hama ganjur Oezeolia oryzae (Wood-Meson) (Kartohardjono, et al., 2009).

Pengendalian Gulma pada Padi Sawah

Sistem budidaya padi dilakukan secara intensif yang menghendaki kondisi bersih gulma untuk meminimalkan persaingan antara tanaman padi dan gulma. Gulma muncul terutama sejak padi mulai dipanen hingga musim tanam baru dimulai.

Salah satu cara yang digunakan dalam pengendalian gulma padi sawah yakni secara manual. Pengendalian dilakukan dengan menyiangi gulma pada saat persiapan lahan, namun cara ini dinilai kurang efektif. Penerapan sistem SRI (System of Rice Intensification) pada pertanaman padi menyebabkan peningkatan jumlah tenaga kerja, karena kegiatan pengendalian gulma maupun hama dilakukan sendiri oleh petani. Pengendalian gulma dilakukan sebanyak 3-4 kali, sehingga terjadi peningkatan biaya untuk kebutuhan tenaga kerja (Anugrah et al., 2008).

Pengendalian gulma secara kultur teknis juga digunakan dalam mengendalikan gulma pada padi sawah. Metode yang digunakan salah satunya adalah dengan penggenangan. Kondisi tanah yang tergenang menciptakan suasana anaerob, sehinga perkecambahan biji gulma dapat dihambat. Penggenangan juga menyebabkan penghambatan suplay oksigen pada proses respirasi di sekitar perakaran. Prambudyani dan Djufry (2006) menyatakan bahwa pada penggenangan padi sawah hingga 15 cm, tidak meningkatkan laju pertumbuhan relatif gulma Fimbristylis miliacea.

Cara yang paling efektif dan banyak digunakan untuk mengendalikan gulma pada padi sawah saat ini adalah dengan menggunakan bahan kimia. Bahan kimia tidak hanya digunakan untuk mengendalikan gulma, namun juga diterapkan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada pertanaman padi. Herbisida yang umum digunakan pada tanaman padi baik digunakan secara tunggal maupun campuran antara lain: herbisida thiobencarb, 2.4-D, campuran herbisida metil metsulfuron + etil klorimuron, herbisida 2.4 dimetilamina, dan herbisida oksifluorfen (Dwianda, 2007).

Herbisida Cyhalofop-Butyl

Gambar 1. Struktur Kimia Cyhalofop-Butyl

2-[4-(4-cyano-2-fluorophenoxy)phenoxy]propanoic acid, butylester (R) termasuk kedalam golongan Aryloxyphenoxypropionate. Herbisida ini termasuk dalam grup herbisida ACCase (acetyl CoA carboxylase) inhibitors (Weed Science, 2011). Cyhalofop-butyl mengendalikan gulma dengan jalan menghambat kerja Asetil Koenzim-A Karboksilase. Enzim ini bertindak dalam biosintesis asam lemak pada jenis rumput-rumputan. Penghambatan asam lemak menyebabkan kehilangan lemak dan kematian secara bertahap pada proses pembelahan sel di titik tumbuh (California Departement of Pesticide Regulation, 2003). Beberapa gulma yang dapat dikendalikan oleh herbisida cyhalofop-butyl yakni Echinochloa spp. pada umur kurang dari fase 5 daun (Wada, 2004), Leptochloa spp., dan tidak mengendalikan gulma daun lebar (broadleaves) (California Departement of Pesticide Regulation, 2003).

Herbisida Penoxsulam

Penoxsulam termasuk dalam kelompok senyawa Triazolopyrimidine sulfonamide. Herbisida ini merupakan grup herbisida ALS inhibitors (Weed Science, 2011). Bahan aktif penoxsulam digunakan sebagai sebagai herbisida pasca tumbuh dan sebagai zat penghambat pertumbuhan enzim acetolacetate

synthase (ALS) yang mirip dengan imidazolinone dan sulfonylurea (Ottis et al., 2003). Herbisida berbahan Triazolopyrimidine pertama kali

dikomersialisasikan tahun 1993, dan lima jenis diantaranya tercatat sedang dikembangkan. Triazolopyrimidine, sulfonylurea, dan sulfonylamino-

O O O O C N CH3 CH3 F

carbonyltriazolinone mampu menghambat pembelahan sel dengan cepat dimana herbisida masuk ke dalam xylem dan floem, sehingga mencegah biosintesis percabangan rantai asam amino (Monaco, 2002).

Gambar 2. Struktur Kimia Penoxsulam

Penoxsulam merupakan herbisida berspektrum luas yang dapat mengendalikan gulma semusim, tahunan, dan dwitahunan pada rumput golf. Jenis gulma yang dapat dikendalikan antara lain: Trifolium repens, Glechoma hederacea, Hydrocotyle spp. (Dow AgroSciences, 2005), Salvinia minima Baker., dan Eichornia crassipes (Mart.) (Wersal and Madsen, 2010). Penoxsulam dapat mengendalikan semua jenis gulma (daun lebar, rumput, dan teki) kecuali Leptochloa spp., Dactiloteneum spp., dan Cyperus rotundus (Gopal et al., 2010).

Interaksi Herbisida

Pencampuran beberapa jenis herbisida dapat mempengaruhi toksisitas masing-masing komponen bahan aktif herbisida. Interaksi herbisida campuran dapat berupa interaksi sinergis dan interaksi antagonis. Interaksi sinergis terjadi apabila beberapa campuran herbisida akan menimbulkan efek normal atau bahkan meningkatkan pengaruh herbisida, sedangkan interaksi antagonis terjadi apabila campuran beberapa bahan aktif dalam herbisida akan menurunkan pengaruh terhadap gulma sasaran.

Interaksi antagonis dapat menimbulkan mekanisme yang berbeda pada gulma sasaran. Rao (2000) mengemukakan bahwa terdapat empat jenis mekanisme antagonisme yang dapat terjadi pada pencampuran beberapa bahan aktif herbisida. Antagonisme biokimia terjadi apabila bahan aktif satu herbisida

O N N N N OCH OCH NH S O OHF F3 O

menghambat penetrasi bahan aktif herbisida lain pada gulma sasaran tertentu (berlawanan dengan sifat sinergis). Antagonisme kompetitif terjadi ketika campuran dua bahan aktif bekerja saling meniadakan satu sama lain, sedangkan pada antagonisme fisiologis antar bahan aktif menimbulkan reaksi berkebalikan bila dicampur dengan bahan yang lain. Antagonisme kimia menimbulkan reaksi kimia saat kedua bahan aktif dicampur, sehingga campuran herbisida kehilangan pengaruh pada gulma sasaran.

Model Analisis Campuran Herbisida

Sifat antagonis atau sinergis dari pencampuran herbisida dapat ditentukan dengan dua model acuan, yaitu ADM (Additive Dose Model) dan MSM (Multiplicated Survival Model). Model ADM pada awalnya digunakan untuk mendemonstrasikan aplikasi insektisida terhadap serangga, kemudian dengan menggunakan metode isobol dapat diperkirakan sifat insektisida campuran (sinergis, aditif, atau antagonis) (Tammes, 1964; Hatzios dan Panner, 1984). Metode tersebut selanjutnya menjadi dasar model ADM dan digunakan bila dua herbisida dari kelompok bahan kimia dan mode of action sama dicampurkan.

Gambar 3. Analisis Model ADM: Posisi Nilai Harapan dan Nilai Perlakuan Sumbu x dan y menunjukkan dosis herbisida A dan B (Gambar 3). K adalah LD50 herbisida A, sedangkan L adalah LD50 herbisida B. Garis yang menghubungkan titik K dan L pada kedua sumbu merupakan titik kedudukan

(a1,b1)= TP harapan (a2,b2)= nilai perlakuan (sinergistik)

antagonistik

l = campuran dengan reaksi A;B

t = persamaan dari A dan B K L Dosis A D os is B

berbagai campuran herbisida yang menyebabkan kematian 50%. Garis (l) menggambarkan perbandingan herbisida A dan B dalam formulasi herbisida campuran. Perpotongan kedua garis ini merupakan nilai LD50-harapan herbisida campuran. Bila nilai LD50 herbisida campuran lebih kecil dari LD50-harapan, maka campuran herbisida bersifat sinergis. Bila nilai LD50 sama dengan nilai LD50 harapan, maka campuran herbisida bersifat aditif, dan bila lebih besar maka herbisida campuran bersifat antagonis.

Metode MSM digunakan bila komponen formulasi memiliki mode of action atau golongan yang berbeda (Kristiawati, 2003). Analisis dinyatakan dalam persamaan regresi linier probit (Y = aX + b) dari gabungan herbisida. Nilai persen kerusakan gulma dinyatakan dalam bentuk transformasi nilai probit (sebagai Y), sedangkan dosis herbisida dinyatakan dalam bentuk logaritmik dari dosis (sebagai X). Persamaan linier yang diperoleh digunakan untuk menghitung nilai LD50, yaitu dosis yang menyebabkan kemungkinan kematian 50% populasi gulma yang diharapkan akibat aplikasi herbisida.

Nilai LD50 ini selanjutnya akan digunakan untuk melakukan analisis. Gowing (1960) dan Limpel (1962) menemukan formulasi matematika yang digunakan untuk menentukan nilai harapan campuran, dinyatakan sebagai:

P(A+B) = P(A) + P(B) – P(A)(B)

dimana P(A+B) adalah nilai persen kematian gulma dari herbisida campuran (Purwanti, 2003). Dalam formulasi ini, P(A) adalah persen kematian gulma oleh herbisida A, P(B) adalah persen kematian gulma akibat herbisida B, sedangkan P(A)(B) adalah hasil kali persen kematian P(A) dengan P(B). Nilai LD50-harapan dapat diperoleh dari persamaan P(A+B) = 50, dimana P(A) dan P(B) diperoleh dari persamaan garis probit Y = a + bX.

Kriteria sifat campuran dinilai dari perbandingan LD50-percobaan campuran dan nilai LD50-harapan campuran. Campuran bersifat sinergis apabila LD50-percobaan campuran lebih kecil dari LD50-harapan campuran, jika sebaliknya maka campuran tersebut bersifat antagonis. Sifat aditif terjadi apabila nilai LD50-percobaan campuran sama dengan LD50-harapan campuran.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2010 hingga Maret 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi herbisida bahan aktif cyhalofop-butyl (Clincher 100 EC), penoxsulam (Clipper 25 OD), dan campuran herbisida cyhalofop-butyl 50 g L-1 + penoxsulam 10 g L-1 (Topshot 60 OD) untuk uji antagonisme, dan empat spesies gulma air (Echinochloa crus-galli, Leptochloa chinensis, Monochoria vaginalis, dan Limnocharis flava). Media yang digunakan berupa tanah sawah latosol yang diperoleh dari lahan sawah sekitar kampus IPB Dramaga, Bogor.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi gelas cup dan mangkuk styrofoam sebagai media penanaman, knap sack sprayer 15 L, nozzle T-jet warna kuning, gelas ukur 2 L, pipet ukur 10 mL, gunting, kantong kertas, label, oven, dan timbangan analitik.

Rancangan Perobaan

Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan dan 13 perlakuan, yaitu:

1. K = (tanpa perlakuan herbisida)

2. ABR1 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam ½F 3. ABR2 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam F 4. ABR3 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam 2F 5. ABR4 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam 4F 6. AR1 = herbisida tunggal cyhalofop-butyl ½F

8. AR3 = herbisida tunggal cyhalofop-butyl 2F 9. AR4 = herbisida tunggal cyhalofop-butyl 4F

10.BR1 = herbisida bahan aktif tunggal penoxulam ½F 11.BR2 = herbisida bahan aktif tunggal penoxulam F 12.BR3 = herbisida bahan aktif tunggal penoxulam 2F 13.BR4 = herbisida bahan aktif tunggal penoxulam 4F .

Satuan percobaan terdiri atas 4 pot gulma sehingga total terdapat 156 satuan percobaan. Rancangan percobaan akan disusun berdasarkan model linier:

Yij= μ + αi + βj+ εij

Keterangan:

Yij = Pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan taraf ke-i

µ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh dari ulangan ke-j

βj = Pengaruh dari perlakuan taraf ke-i

εij = Pengaruh sisa dari percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan taraf ke-i

Data yang diperoleh selanjutnya akan diolah dengan menggunakan uji F pada taraf 5%. Uji beda nilai tengah dengan menggunakan DMRT.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media

Media dibuat menyerupai kondisi lingkungan tumbuh gulma air yang jenuh air. Media tanam berupa tanah sawah latosol dimasukkan ke dalam gelas cup sebanyak 156 buah yang telah dilubangi pada bagian dasar gelas untuk sirkulasi air. Pot selanjutnya diletakkan di dalam mangkuk styrofoam berisi air, sehingga media selalu dalam keadaan basah.

Persiapan Bahan Tanam

Bahan tanam diperoleh dengan cara mengumpulkan propagul gulma dari areal persawahan di sekitar kampus IPB Dramaga. Bahan tanam berupa bagian vegetatif atau anakan gulma. Anakan dari masing-masing spesies gulma diperoleh dengan mengambil tanaman yang sudah memiliki jumlah anakan yang cukup, kemudian dipindahtanamkan ke media pot untuk dipelihara sebelum diberikan perlakuan herbisida. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman baru yang memiliki ukuran atau umur seragam. Gulma dipelihara hingga mencapai tingkat recovery yang cukup untuk perlakuan herbisida selama kurang lebih 4 minggu.

Pemeliharaan

Pemeliharaan berupa penyiraman dilakukan dengan mengisi air pada mangkuk styrofoam untuk menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air tanaman. Penyiraman dilakukan setiap hari selama penelitian berlangsung.

Aplikasi Herbisida

Tabel 1. Perlakuan Dosis Berbagai Jenis Bahan Aktif Herbisida untuk Setiap Jenis Gulma

Perlakuan A Cyhalofop-butyl (g ai ha-1) B Penoxsulam (g ai ha-1) AB Campuran (g ai ha-1) K 0 0 0 R1 375 50 225 R2 750 100 450 R3 1500 200 900 R4 3000 400 1800

Perlakuan diberikan setelah gulma berumur 4 minggu setelah pindah tanam. Aplikasi herbisida dilakukan setelah bahan tanam dapat beradaptasi pada media pot. Herbisida disemprotkan dengan menggunakan knapsack sprayer dengan nozzle T-jet warna kuning dengan lebar semprot 0.5 m. Kalibrasi larutan herbisida dengan volume semprot 500 L ha-1. Luas bidang semprot yang

digunakan adalah 4 m x 0.5 m, dimana gulma ditempatkan secara acak dalam luasan bidang semprot.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada dua peubah yaitu bobot kering dan persen kematian yang diamati setelah proses panen gulma. Pemanenan dilakukan hingga hari ke-13 setelah aplikasi (HSA). Gulma dipisahkan antara bagian yang kering dan bagian yang masih segar. Masing-masing perlakuan ditempatkan di dalam kantong kertas dan diberi label, kemudian dioven pada suhu 60oC selama 3 hari, kemudian ditimbang untuk memperoleh data bobot kering.

Analisis Data

Data bobot kering yang diperoleh selanjutnya dikonversi menjadi nilai persen kematian. Persen kematian dihitung dengan melihat tingkat kematian yang ditimbulkan oleh herbisida. Pengamatan dilakukan hingga kematian mencapai 90% untuk setiap individu gulma secara visual. Persen kematian dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

% kematian = %KP - %KK % KP = {1-Bsp } x 100%

Bsk

% KK = (Bmk / Btk ) x 100%

% kematian gabungan = [%kem i + %kem j + … %kem ke-n)] / n

Keterangan:

%KP = persen kematian perlakuan %KK = persen kematian kontrol

Bsp = bobot kering bagian gulma yang segar perlakuan (g) Bsk = bobot kering bagian gulma yang segar kontrol (g) Bmk = bobot kering bagian gulma yang mati kontrol (g) Btk = bobot kering total gulma kontrol (g)

i,j,.. (ke-n) = spesies gulma tertentu

n = jumlah spesies yang digunakan

Persen kematian yang diperoleh selanjutnya dikonversi ke dalam nilai probit. Dari probit (y) dan log dosis (x) akan diperoleh persamaan regresi linier sederhana dengan menggunakan program pengolahan data SAS 9.1. Kemudian dari persamaan ini didapat nilai LD50-perlakuan herbisida cyhalofop-butyl, penoxsulam, dan campuran masing-masing terhadap gulma sasaran. Nilai tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisis sifat campuran kedua jenis herbisida dengan menggunakan metode MSM (Multiplicative Survival Model).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Gulma

Pengujian aktivitas campuran herbisida dilaksanakan di dalam rumah kaca selama bulan Maret 2011. Rumah kaca memiliki suhu rata-rata minimum 22.48oC pada pagi hari, dan suhu maksimum 48.34oC pada siang hari. Kelembaban udara rata-rata minimum di dalam rumah kaca sebesar 21.88 % pada pagi hari dan maksimum pada siang hari sebesar 96.22 %. Kondisi suhu di siang hari yang relatif tinggi menyebabkan kebutuhan air gulma percobaan meningkat. Curah hujan yang terukur selama bulan Maret sebesar 140 mm. Curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman gulma uji lebih banyak mendapatkan cahaya matahari penuh lebih dari 6 jam per hari. Kondisi tersebut meningkatkan adaptasi gulma dari kondisi lahan sawah yang terkena sinar matahari penuh.

Penggunaan rumah kaca sebagai lingkungan terkontrol diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas efikasi perlakuan herbisida. Bangunan rumah kaca yang kurang optimal menyebabkan lingkungan percobaan menjadi tidak seragam. Kondisi atap rumah kaca yang tertutup lumut menyebabkan sinar matahari yang mengenai tanaman percobaan tidak seragam. Hujan secara tidak langsung mempengaruhi lingkungan rumah kaca. Limpasan air hujan yang masuk dan mengenai petak percobaan menyebabkan efek leaching (pencucian), sehingga konsentrasi herbisida menurun dan mengurangi daya mematikan tanaman gulma percobaan. Oleh karena itu, tanaman pada petak percobaan tidak seragam pada setiap ulangannya.

Aplikasi herbisida memperlihatkan pengaruh pada gulma sasaran yang diujikan yaitu gulma golongan rumput (Echinochloa crus-galli dan Leptochloa chinensis), serta gulma golongan daun lebar (Limnocharis flava dan Monochoria vaginalis). Perlakuan aplikasi herbisida pada awalnya akan mempengaruhi fungsi metabolisme tanaman dalam menghasilkan energi, yang kemudian akan menyebabkan berkurangnya bobot kering total gulma terutama pada jaringan yang masih segar.

E. crus-galli dan Leptochloa spp merupakan tanaman tipe C4 (Wang dan Li, 2008) yang memiliki tingkat efisiensi fotosintesis tinggi dan boros dalam penggunaan air. Kompetisi terjadi karena kedua jenis gulma mampu bertahan dan dapat melakukan metabolisme lebih baik dalam kondisi sawah yang tergenang maupun saat air surut dibandingkan tanaman utama yakni padi (Nyarko dan De Datta, 1991). Pemberian perlakuan herbisida yang dilakukan di rumah kaca mampu menyebabkan kerusakan pada kedua jenis gulma rumput.

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam

Cyhalofop-butyl

Penoxsulam

Gambar 4. Kondisi Gulma Echinochloa crus-galli 9 HSA (Hari setelah Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan Herbisida (K)

Proses kerusakan gulma E. crus-galli diawali dengan perubahan warna daun menjadi kekuningan dan kekeringan bagian pangkal batang pada 5 HSA. Gejala lain yang tampak yakni gulma yang diberi perlakuan aplikasi herbisida mengalami penghambatan pertumbuhan, sehingga tubuh tanaman terlihat lebih pendek dengan jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol

(tanpa perlakuan herbisida). Gejala kerusakan terus meningkat hingga gulma mengalami kematian 90% pada 9 HSA (Gambar 4).

Kerusakan gulma L. chinensis terjadi sejak 3 HSA, dimana daun mulai berubah warna menjadi kekuningan (klorosis). Gangguan juga terlihat pada proses pertumbuhan dimana daun gulma tampak tidak mengalami pertambahan panjang dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan herbisida). Perubahan warna kuning pada daun berikutnya diikuti oleh kekeringan hingga gulma mencapai kematian 90% pada 9 HSA (Gambar 5).

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam

Cyhalofop-butyl

Penoxsulam

Gambar 5. Kondisi Gulma Leptochloa chinensis 9 HSA (Hari setelah Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan Herbisida (K)

Perlakuan campuran herbisida cyhalofop-butyl + penoxsulam (AB) menunjukkan gejala kekeringan pada dua jenis gulma golongan rumput uji. Gejala klorosis yang diikuti dengan kekeringan pada daun meningkat seiring dengan peningkatan dosis perlakuan herbisida, terutama pada perlakuan 4 kali dosis formulasi (R4). Pengamatan proses kematian pada 9 HSA menunjukkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh herbisida bahan aktif penoxsulam lebih sedikit

dibandingkan dengan herbisida tunggal cyhalofop-butyl. Hal ini ditandai dengan gejala klorosis pada daun yang ditimbulkan oleh perlakuan penoxsulam tidak sebesar pada perlakuan cyhalofop-butyl.

Gulma golongan daun lebar M. vaginalis dan L. flava merupakan tanaman tipe C3 seperti halnya padi sawah. Kedua jenis gulma tidak menimbulkan kompetisi dengan tanaman padi, namun penyebarannya yang cepat menyebabkan gulma menjadi dominan pada lahan padi sawah. Gulma M. vaginalis menjadi invasive karena memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi melalui perbanyakan vegetatif (Caton et al., 2010).

Cyhalofop-butyl Penoxsulam

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam

Gambar 6. Kondisi Gulma Monochoria vaginalis 13 HSA (Hari setelah Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan Herbisida (K)

Aplikasi herbisida memperlihatkan pengaruh kerusakan gulma golongan daun lebar yang diuji. Gulma M. vaginalis mulai memperlihatkan respon kerusakan pada 7 HSA, dimana batang dan tangkai daun mengalami perubahan

warna menjadi hijau pucat hingga kecoklatan, kemudian daun mengalami kekeringan seperti terbakar. Proses pertumbuhan juga terhambat sehingga gulma yang diberi aplikasi herbisida tidak bertambah tinggi maupun jumlah daun dibandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa herbisida (K). Gulma mengalami kematian 90% pada 13 HSA (Gambar 6).

Kerusakan pada gulma L. flava terjadi sejak 3 HSA, yang diawali dengan perubahan warna tangkai daun dari hijau segar menjadi kuning pucat. Beberapa helai daun mengalami gejala seperti terbakar kemudian daun mengering. Proses kelayuan yang cepat menyebabkan gulma tidak mengalami pertambahan tinggi maupun jumlah daun. Kelayuan bertambah hingga gulma mencapai kematian 90% pada 10 HSA (Gambar 7).

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam

Cyhalofop-butyl

Penoxsulam

Gambar 7. Kondisi Gulma Limnocharis flava 10 HSA (Hari setelah Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan Herbisida (K)

K R1 R2 R3 R4

K R1 R2 R3 R4

Kondisi gulma golongan daun lebar yang diberi aplikasi herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxsulam menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan herbisida tunggal. Perlakuan herbisida tunggal cyhalofop-butyl menyebabkan daun menjadi layu, namun masih banyak menyisakan bagian gulma yang segar dibandingkan dengan perlakuan herbisida tunggal penoxsulam.

Pengaruh herbisida belum dapat terlihat pada 1 HSA (hari setelah aplikasi). Kondisi gulma belum menunjukkan gejala kelayuan maupun kekeringan seperti terbakar pada daun maupun batang. Ketiga perlakuan herbisida yang digunakan memiliki sifat sistemik. Empat gulma uji yang digunakan memiliki lapisan lilin pada permukaan daun dan batang yang cukup tebal, sehingga efikasi herbisida tidak berlangsung sangat cepat. Dua jenis bahan aktif herbisida yang digunakan memiliki perbedaan golongan kimia. Cyhalofop-butyl termasuk ke dalam golongan Arylopenoxypropionate (AOPP) yang menghambat kerja enzim Acetil Co-enzim A carboxylase (Santaella et al., 2006), sedangkan penoxsulam merupakan golongan Triazolepyrimidynes solfonamide yang bekerja menghambat pembentukkan enzim acetolactate syntase (Koschnick et al., 2007).

Chyhalofop-butyl merupakan herbisida post emergence yang mengendalikan gulma golongan rumput-rumputan. Penoxsulam memiliki kecenderungan untuk mengendalikan jenis daun lebar. Oleh karena itu, pada pengamatan keempat jenis gulma uji, herbisida cyhalofop-butyl lebih banyak menimbulkan kerusakan pada gulma E. crus-galli dan L. chinensis, sedangkan penoxsulam lebih banyak menimbulkan kerusakan pada gulma M. vaginalis dan L. flava.

Gabungan kedua jenis herbisida cyhalofop-butyl + penoxsulam menyebabkan kerusakan baik pada gulma rumput maupun gulma daun lebar yang diamati, serta mempercepat proses kerusakan lebih besar dibandingkan herbisida tunggal pada waktu yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Damalas (2004) yang menyebutkan bahwa dengan adanya perbedaan golongan/grup bahan kimia, mode of action, dan pengaruh terhadap jalur metabolisme, campuran herbisida dapat saling berinteraksi dalam menghambat kerja enzin atau proses fisiologis gulma.

Bobot Kering Gulma Gulma Golongan Rumput (Grasses)

Kombinasi perlakuan herbisida pada dosis tertentu memberikan pengaruh terhadap bobot kering bagian segar gulma rumput yang diamati. Tabel 2 menerangkan bahwa bobot kering total dua jenis gulma rumput yang mendapat perlakuan herbisida nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa perlakuan herbisida (K).

Tabel 2. Nilai Bobot Kering Bagian Segar Gulma Echinochloa crus-galli dan Leptochloa chinensis pada 9 Hari setelah Aplikasi (HSA)

Dokumen terkait