• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prestasi Belajar

Belajar adalah segenap rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan pada dirinya, berupa tambahan pengetahuan atau kemahiran. Seorang siswa dikatakan sukses di sekolah apabila ia secara relatif konstan dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah tanpa mengalami kesulitan-kesulitan dalam belajar yang dapat mempengaruhi nilai prestasinya di sekolah. Siswa disini selalu mencapai nilai-nilai yang baik setiap ulangan maupun ujian (Darmokusumo 1972). Lebih lanjut Winkel (1996) menyatakan kecerdasan seseorang akan mempengaruhi kemampuan belajar.

Kemampuan belajar merupakan kemampuan untuk berhasil dalam studi di jenjang pendidikan tertentu.

Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kecerdasan kognitif atau yang sering disebut IQ secara umum diketahui sebagai prediktor utama keberhasilan siswa di sekolah (Atkinson et al. 2000).

Hasil belajar tergantung pada banyak faktor dan tidak semua faktor mempunyai pengaruh yang sama. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar selain keadaan gizi adalah hereditas, keadaan sosial ekonomi keluarga, faktor lingkungan, stimulus, fasilitas belajar dan daya tahan tubuh (Yulian 1994).

Disamping itu, Winkel (1996) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar adalah motivasi berprestasi, intelegensi, keadaan sosial ekonomi serta keadaan fisik dan psikis.

Faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi seorang anak antara lain faktor keturunan, faktor prenatal yaitu berhubungan dengan faktor gizi dan penyakit yang diderita ibu hamil, kesulitan dalam proses kelahiran yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan seorang anak serta keadaan sosial ekonomi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh penyakit atau cedera otak, serta ketunaan pada alat indra yang mengganggu penerimaan rangsang (sensory input) dari lingkungan sehingga pemrosesan informasi tidak dapat berjalan dengan baik (Atmodiwirjo 1993).

Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya karena kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Gizi kurang pada anak dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak. Menurut Stuart dalam Judarwanto (2004) kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal itu mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru atau melinasi sel otak terutama usia di bawah 3 tahun sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto 2004).

Lebih lanjut, Judarwanto (2004) menyatakan kurang gizi pada fase cepat tumbuh otak (di bawah usia 18 bulan) akan bersifat irreversible (tidak dapat pulih) dan kecerdasan anak tersebut tidak bisa lagi berkembang secara optimal.

Kurang energi dan protein pada masa anak-anak akan menurunkan IQ yang menyebabkan kemampuan geometrik rendah dan anak tidak bisa berkonsentrasi secara maksimal. Menurut penelitian Arnelia et al. (1995) rata-rata nilai IQ anak yang pernah menderita gizi buruk sewaktu balita lebih rendah 13.7 point dibandingkan dengan anak yang tidak pernah menderita KEP. Namun IQ yang tinggi tidak selalu menjadi jaminan untuk meraih prestasi di sekolah, tapi harus dibarengi dengan upaya mengasah ketrampilan, kerajinan, ketekunan dan kemampuan berfikir.

Determinan Prestasi Belajar

Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Jadi kebiasan orang belajar juga berpengaruh pada hasil yang diinginkan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi belajar ada dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan; sedangkan faktor ekstern contohnya faktor keluarga, faktor sekolah serta faktor masyarakat (Rahmawati 2008).

Setiap anak mempunyai karakteristik yang beragam. Salah satu anak dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami

berbagai kesulitan, sedangkan tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar; dan dapat bersifat psikologis, sosiologis maupun fisiologis sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapai berada di bawah semestinya (Rahmawati 2008).

Husin (1980) menjelaskan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam diri anak sendiri (intelegensi, motivasi, minat, sikap dan keadaan gizi); dan faktor dari luar anak (sosiokultural, sosial ekonomi, kurikulum, cara guru mengajar dan faktor fisik seperti buku pelajaran).

Hasil penelitian Hanum (1993) menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah hubungan siswa dengan orang tua dan status gizi. Dari kedua faktor tersebut yang lebih besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar adalah status gizi. Sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara status gizi dengan prestasi belajar. Thoha (2006) menyatakan prestasi belajar dipengaruhi oleh oleh aktivitas tidur, aktivitas belajar, pola konsumsi pangan, konsumsi asam folat dan konsumsi protein.

Karakteristik Remaja

Remaja adalah seseorang yang sedang mengalami perkembangan yang pesat menuju kedewasaan dan berusia antara 12 sampai 19 tahun (Achir 1991).

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan dewasa yaitu berumur antara 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa peralihan tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya secara pasti.

O’Dea (1996) mengemukakan bahwa pada masa pubertas remaja mengalami pertumbuhan yang pesat dalam hal tinggi badan, berat badan, lemak tubuh dan otot serta penyempurnaan berbagai sistem organ. Pada anak laki-laki pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak lebih banyak (Husaini 1989).

Remaja berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat.

Pada masa ini, pemenuhan kebutuhan gizi sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini dapat dilakukan oleh orang lain (penyedia makanan di rumah) ataupun dirinya sendiri. Selanjutnya bila terjadi defisiensi zat gizi, akan dapat terlihat pada keadaan fisik, status kesehatan dan status gizi (Sediaoetama 1991).

Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja menyebabkan mereka memberi perhatian yang besar terhadap penampilan dirinya. Remaja mengharapkan gambaran tubuh yang ideal (body image), sehingga penyimpangan atau cacat anggota tubuh sangat merisaukan perasaannya terutama pada remaja putri (Monks et al.1992). salah satu upaya remaja untuk mencapai body image tersebut adalah menurunkan berat badan dengan mengubah kebiasaan makan.

Perubahan kebiasaan makan yang tidak tepat memungkinkan terjadinya anorexia nervosa dan bulimia sebagai masalah kesehatan remaja (Heald et al. 1998).

Karakteristik Keluarga

Faktor keluarga adalah faktor yang paling penting dalam proses tumbuh kembang anak sebagai individu. Salah satu faktor yang menyebabkan anak mengalami kemerosotan prestasi yaitu keluarga dengan banyak anggota keluarga.

Kondisi ini diperberat dengan tingkat sosial ekonomi keluarga sehingga orang tua tidak mampu menyediakan hunian yang memadai. Kegaduhan yang timbul oleh anggota keluarga dalam suatu rumah menyebabkan anak-anak yang akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sekolah atau mengulang pelajaran di rumah sulit memusatkan konsentrasi belajar. Terlebih lagi jika anak tidak memiliki kamar terpisah dan tidak ada sarana pendukung sederhana apapun, seperti meja kecil untuk baca tulis (Puar 1998).

Soekirman (1997) menyatakan bahwa keluarga dengan anak sedikit (kurang dari tiga) akan lebih menunjukkan perilaku mandiri dibandingkan dngan keluarga dengan jumlah anak yang banyak (keluarga besar). Namun menurut Sukadji (1988), orang tua dengan anak tunggal cenderung over protektif, sehingga membuat anak menjadi pusat perhatian dalam keluarga, dan anak-anak seperti ini jarang mendapatkan kesempatan untuk belajar sharing (menikmati maupun menanggung penderitaan bersama orang lain).

Tingkat pendidikan orangtua dapat mempengaruhi usaha meningkatkan prestasi belajar anak, semakin tinggi pengetahuan orang tua, maka akan semakin banyak pula pengetahuan orangtua yang diberikan kepada anaknya (Nasution dan Nasution 1986). Suatu penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa adanya pengaruh keadaan keluarga yang terdiri dari pendapatan, jenis pekerjaan dan pendidikan orangtua disamping faktor kemampuan anak dan kualitas sekolah terhadap keberhasilan anak belajar.

Nio (1985) dalam Hanum (1993) menyatakan bahwa membiasakan anak untuk belajar di rumah merupakan salah satu faktor yang penting. Ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam membimbing anak dalam belajar yaitu kesabaran dan bijaksana. Ada beberapa kegiatan bimbingan belajar yang dapat dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar anak antara lain : menyediakan fasilitas belajar (alat tulis, buku-buku pelajaran dan tempat untuk belajar), mengawasi kegiatan belajar anak, mengawasi penggunaan waktu belajar anak di rumah, mengenal kesulitan-kesulitan anak dalam belajar dan menolong anak mengatasi kesulitannya dalam belajar.

Orangtua sebaiknya memberikan perhatian pada pendidikan anaknya.

Perhatian dapat berupa bimbingan kepada anak dalam hal belajar, sehingga anak akan senang menerimanya dan akan menganggap belajar sebagai kewajiban sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut juga dijelaskan bahwa orangtua berkewajiban untuk memberikan semangat dan dorongan kepada anak dalam meningkatkan kegiatan belajar secara efektif untuk mencapai prestasi belajar yang optimal (Nasution dan Nasution 1986).

Orangtua yang bisa merangsang perkembangan kecerdasan anak adalah orangtua yang menyadari perannya, orangtua yang bisa mengasihi dan tahu serta mengerti bagaimana cara memenuhi kebutuhan anak, kemudian merangsang perkembangannya. Terbentuknya konsep diri dan motivasi anak untuk berprestasi tidak terlepas reaksi dari lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan orangtua. Orangtua yang selalu memberi dorongan pada saat yang tepat akan menimbulkan konsep diri yang positif untuk berprestasi.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah, baik tunggal maupun beragam, yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dan pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Sedangkan perilaku konsumsi pangan dapat dirumuskan sebagai cara-cara atau tindakan yang dilakukan oleh individu, keluarga atau masyarakat di dalam pemilihan makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan tersebut (Susanto 1997).

Pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, faktor sosial dan alasan kesehatan. Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar atau kenyang, selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, agama, status sosial ekonomi dan pendidikan (Riyadi 1996).

Pada dasarnya ada tiga fungsi makanan bagi anak, yaitu menyediakan tenaga (fuel) untuk aktifitas muskular, menyediakan unsur dan senyawa kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh anak dan pemeliharaan jaringan yang rusak, serta memberikan kenyamanan dan kepuasan kepada anak (Villavieja, et al.

1987).

Lebih lanjut Villavieja et al (1987) menyatakan bahwa ada lima faktor yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak sekolah, yaitu energi, protein, vitamin larut lemak, vitamin larut air dan mineral. Kebutuhan energi anak sekolah ditentukan oleh usia, metabolisme basal dan aktifitas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan konsumsi makanan anak sekolah, yaitu selera, ukuran tubuh, dan keperluan psikologis. Jenis aktivitasnya sangat beragam, mulai dari aktifitas dalam kelas, olah raga sampai aktifitas sosial, sehingga relatif sedikit waktu yang tersisa untuk istirahat. Anak-anak membutuhkan zat gizi yang bagus agar terpenuhi kebutuhannya untuk pertumbuhan dan perkembangannya serta ketahanannya terhadap infeksi (Villavieja et al. 1987).

Makanan bagi anak sekolah tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan zat gizi, tetapi juga harus memperhatikan dalam hal palatabilitas, mengenyangkan serta nilai emosi dan sosialnya. Anak-anak harus dibimbing dalam memilih

makanan agar mendapatkan zat gizi yang memadai. Selain itu, usia sekolah merupakan masa yang penting untuk pembentukan perilaku dan kebiasaan makan.

Dengan demikian, selain harus memenuhi nilai gizinya, makanan anak sekolah sebaiknya mempertimbangkan variasi agar dapat memenuhi seleranya (Villavieja et al. 1987).

Hasil penelitian Kustiyah (2005) menunjukkan faktor selera merupakan faktor terbesar yang digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan menu, selanjutnya diikuti dengan pertimbangan harga/biaya, ketersediaan bahan di warung dan yang paling sedikit pertimbangannya adalah aspek gizi.

Hasil penelitian Thoha (2006) menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata antara kebiasaan makan dengan nilai IPK. Dimana contoh dengan frekuensi makan tiga kali sehari, dan yang terbiasa sarapan pagi mempunyai nilai IPK lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang mempunyai frekuensi makan satu atau dua kali sehari dan yang tidak sarapan.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Status gizi merupakan suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang (Harper, et al. 1986).

Pada dasarnya, keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi makanan dan kemampuan tubuh menggunakan zat-zat gizi. Konsumsi makanan ditentukan oleh produksi pangan, daya beli dan kebiasaan makan, sementara kemampuan menggunakan zat gizi ditentukan oleh keadaan kesehatan (Khumaidi 1994).

Pada masa remaja kebutuhan akan zat gizi mencapai maksimum.

Kebutuhan zat gizi yang tinggi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang cepat. Jika kebutuhan zat gizi tersebut tidak terpenuhi maka akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Williams 1980).

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung melalui pengukuran antropometri dan penilaian biokimia. Indikator yang digunakan tergantung pada

waktu, biaya, tenaga dan tingkat ketelitian penelitian yang diharapkan serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya (Riyadi 2003). Menurut Blackburn dan Thornton dalam Thuluvath dan Triger (1994), pengukuran antropometri adalah indikator yang reliabel terhadap pengukuran status gizi.

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran antropometri adalah indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Menurut Riyadi (2003), indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja.

Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah tersedia.

Status gizi remaja diukur dengan menilai indeks massa tubuh (IMT) dengan mengukur bobot tubuh (berat badan) dalam satuan kilogram debagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam satuan meter. Kemudian status gizi remaja dikelompokkan menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT < 17.0), kurus (IMT 17.0 – 18.5), normal (IMT 18.5 – 25.0), gemuk (IMT 25.0 – 27.0) dan obesitas (IMT

>27.0) (Depkes 1996).

Hasil penelitian Hanum (1993) menunjukkan status gizi berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara status gizi dengan prestasi belajar siswa. Artinya semakin baik status gizi contoh maka prestasi belajar yang diperoleh akan semakin tinggi.

Prestasi yang semakin meningkat dapat terjadi karena dengan status gizi yang baik maka anak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam mengikuti pelajaran sehingga semua yang dipelajari dapat diterima dengan baik. Siswa yang kurang sehat atau kurang gizi, daya tangkapnya terhadap pelajaran dan kemampuan belajarnya akan lebih rendah (Grossman 1997 dalam Kusumaningrum 2006).

Status Kesehatan

Status gizi merupakan bagian penting dari status kesehatan seseorang.

Status gizi yang buruk atau kurang dapat menimbulkan hal-hal seperti meningkatnya frekuensi terserang penyakit infeksi, pertumbuhan fisik dan mental

yang terganggu, kegiatan fisik menurun dan produktivitas kerja orang dewasa rendah (Muhilal, et al. 2004).

Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang sakit akibat penyakit atau akibat kelelahan tidak dapat belajar dengan efektif dan hal tersebut akan mempengaruhi hasil belajar (Soemanto 1990). Suryabrata (1995) mengemukakan bahwa keadaan kesehatan jasmani pada umumnya dapat dikatakan melatarbelakangi aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya kesehatan jasmani yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah, dan sebagainya. Sedangkan beberapa penyakit yang kronis juga sangat mengganggu aktivitas belajar seperti pilek, influensza, sakit gigi dan lain-lain. Keadaan ini akan mempengaruhi proses belajar, yang lebih lanjut akan mengurangi minat dan motivasi belajar di sekolah. Status gizi dan kesehatan anak sekolah penting artinya sebagai gambaran keadaan gizi anak secara keseluruhan (Puar 1998).

Hasil penelitian Maryam (2001) menunjukkan status gizi dan kesehatan dapat meningkatkan prestasi beajar. Sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan status kesehatan berhubungan dengan prestasi belajar.

Dimana semakin baik status kesehatan maka prestasi belajar juga semakin baik.

Hubungan Anemia Gizi Besi dengan Prestasi Belajar

Anemia gizi besi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi.

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yaitu kurang dari 12 g/dl (INACG 1985) dan berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Soekirman 2000).

Dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam hemoglobin pada sel-sel darah merah, dan bernama mioglobin apabila berada dalam sel-sel-sel-sel otot.

Hemoglobin berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Sedangkan mioglobin

berperan untuk mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot (Soekirman 2000).

Sebagian besar terjadinya anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan zat besi. Penyebab terjadinya anemia gizi besi adalah tidak cukupnya zat-zat gizi terutama yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah sehingga terjadi keseimbangan negatif antara pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh selain itu, zat-zat penyerta yang dapat meningkatkan daya serap seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup jumlahnya. Husaini (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya anemia, yaitu kehilangan darah karena pendarahan, kerusakan sel darah merah dan produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.

Anemia besi dapat memperlambat perkembangan dan gangguan perilaku seperti aktivitas motorik, interaksi sosial dan perhatian (Idjradinata & Pollit 1993).

Anak sekolah yang mengalami anemia akan mempengaruhi aktivitas belajar dan selanjutnya akan berdampak pada rendahnya prestasi belajar (Chwaye et al.

1997). Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami anemia ketika bayi akan memiliki kemampuan kognitif dan prestasi sekolah yang rendah, serta mesalah perilaku ketika memasuki masa pertengahan kanak-kanak (Grantham- Mc Gregor & Ani 2001).

Hasil penelitian Pollit (2000) menunjukkan bahwa defisiensi zat besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) dan prestasi belajar anak di sekolah. Dengan pemberian zat besi, nilai kognitif tersebut akan naik secara nyata. Hasil penelitian terhadap anak balita dan anak sekolah disimpulkan bahwa penderita anemia gizi besi akan mengalami gangguan intelektual, seperti kemampuan verbal, mengingat, konsentrasi, berfikir analog dan sistematis serta prestasi belajar yang rendah. Sedangkan hasil studi intervensi yang dilakukan oleh Rush (1984) menunjukkan bahwa suplementasi gizi dapat meningkatkan aktivitas dan waktu untuk memperhatikan. Namun demikian, suplementasi tersebut hanya sedikit pengaruhnya jika tanpa dibarengi dengan stimulasi kognitif. Penemuan tersebut mengindikasikan bahwa defisit perilaku yang berkaitan dengan malnutrisi bukan merupakan akibat dari kekurangan protein atau energi semata, tetapi

merupakan konsekuensi dari kombinasi terganggunya ketersediaan gizi, sosial, intelektual, dan emosional.

Pola Aktivitas

Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga membentuk suatu pola. Pola aktivitas remaja dapat dilihat dari cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang (Polii 2003).

Menurut Soekirman (1999) aktivitas harian anak dikategorikan atas 8 aktivitas utama yaitu : 1) belajar selama jam sekolah, 2) belajar diluar jam sekolah, 3) menonton TV, 4) bermain, 5) olahraga, 6) membantu pekerjaan orang tua, 7) tidur siang, 8) tidur malam.

Sehubungan dengan aktivitas remaja, waktu adalah salah satu sumberdaya yang pemanfaatannya perlu dikelola agar seluruh kegiatan dapat dilaksanakan dengan tepat. Hal ini mengingat konsep waktu adalah sumberdaya yang tidak dapat digantikan, bersifat terbatas serta dimiliki oleh semua individu dalam jumlah yang sama yaitu 24 jam dalam sehari (Guharja et al. 1992).

Soekanto (1991) menyatakan bahwa penggunaan waktu individu selama satuan waktu tertentu berbeda-beda antara satu individu dengan yang lainnya.

Model konseptual alokasi waktu remaja meliputi kegiatan pribadi, kegiatan sekolah, kegiatan perjalanan dan kegiatan waktu luang. Kegiatan pribadi remaja termasuk melakukan aktivitas agama.

Aktivitas rutin yang dilakukan oleh remaja adalah kegiatan di sekolah.

Sekolah sebagai lembaga yang berpengaruh kepada remaja diharapkan dapat mencerdaskan daya pikir dan menambah pengetahuan umum serta ketrampilan khusus kepada para muridnya. Sekolah dapat memberikan kepuasan hati dan pegangan hidup kepada remaja apabila ada seorang atau beberapa orang guru yang dapat memikat rasa hormatnya atau apabila anak itu merasa bangga karena unggul hasil studinya dibandingkan dengan rekan-rekannya. Apabila terjadi sebaliknya, maka sekolahpun tidak dapat memberikan landasan buat jalan hidupnya. Bersekolah dalam keadaan demikian hanyalah menjadi kegiatan rutin

yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat karena merupakan suatu bagian dalam proses kehidupan masyarakat modern (Sumardjan 1991).

Aktivitas fisik yang dilakukan anak akan membantu pertumbuhannya.

Pencapaian prestasi sekolah anak sangat berhubungan dengan perkembangan fisik dan aktivitasnya. Anak yang mendapat kesempatan untuk melatif fisiknya akan lebih memiliki kemampuan dalam aspek mental intelektual dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan kesempatan untuk melatih fisiknya (Friedman &

Clark 1987 dalam Agustina 2003).

Hasil penelitian Kusumaningrum (2006) menunjukkan jumlah aktivitas berhubungan dengan prestasi belajar siswa. Dimana semakin tinggi aktivitas siswa maka semakin baik nilai pelajaran yang diperoleh. Hal ini diduga karena aktivitas yang dipilih anak banyak yang menunjang kemampuan akademiknya. Selain itu

Hasil penelitian Kusumaningrum (2006) menunjukkan jumlah aktivitas berhubungan dengan prestasi belajar siswa. Dimana semakin tinggi aktivitas siswa maka semakin baik nilai pelajaran yang diperoleh. Hal ini diduga karena aktivitas yang dipilih anak banyak yang menunjang kemampuan akademiknya. Selain itu

Dokumen terkait