• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3.10 Kuba

Industri gula merupakan sentra pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Saat ini, Kuba adalah negara pengekspor gula kelima terbesar di dunia setelah Brasil, Uni Eropa, Australia, dan Thailand, namun peranan industri gula Kuba telah menurun drastis atau semakin terpuruk akibat bubarnya blok sosialis yang selama ini menjadi pasar dan mitra dagang Kuba, meningkatnya harga minyak bumi serta merosotnya harga gula di pasar internasional. Untuk mencegah keterpurukan lebih lanjut, Pemerintah Kuba pada tahun 2002 telah merestrukturisasi dan memangkas industri gulanya hingga 50 persen.

Kebijakan promosi yang ditetapkan oleh Pemerintah Kuba untuk mendukung agribisnis gula, antara lain menyediakan lahan tebu serta

infrastrukturnya, seperti jalan usahatani, jaringan irigasi, bibit, pupuk, teknologi budidaya, transportasi, kredit, dan penyuluhan. Sebagian lahan tebu milik pemerintah diserahkan kepada rakyat melalui koperasi. Kebijakan lain yang sangat penting adalah seluruh hasil tebu dibeli oleh pemerintah dan tebu merupakan komoditas yang paling terjamin di Kuba, sehingga banyak petani yang lebih memilih menanam tebu dibandingkan dengan tanaman pangan yang lain. Perkebunan tebu di Kuba ada 2 jenis, yaitu perkebunan pemerintah dan perkebunan rakyat. Walaupun perkebunan tebu pemerintah sepenuhnya juga dikerjakan oleh rakyat, namun ada perbedaan perlakuan yang sangat mendasar dengan perkebunan tebu rakyat yang bukan pemerintah. Petani tebu perkebunan pemerintah mendapat insentif yang lebih besar, berupa gaji bulanan, perumahan, pupuk, bantuan teknis, suku bunga kredit yang lebih rendah (4 persen per tahun), pelayanan sosial, sekolah, dan kesehatan.

Selain kebijakan di tingkat usahatani, Pemerintah Kuba juga menetapkan kebijakan di tingkat industri pengolahan tebu. Seluruh industri gula di Kuba adalah milik pemerintah dan pada tahun 2003 telah dialokasikan anggaran sekitar US$ 510 juta untuk industri gula dan bantuan subsidi sekitar US$ 80 juta. Harga gula ditentukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Harga, sementara alokasi anggaran pengembangan industri gula dirumuskan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Gula. Tata niaga gula ditentukan oleh Kementerian Perekonomian dan Perencanaan, Kementerian Keuangan dan Harga, dan Kementerian Perdagangan Dalam Negeri.

Gula yang dihasilkan oleh pabrik gula dibeli oleh Conazucar, suatu badan usaha pemerintah yang dibentuk oleh Kementerian Gula dan didistribusikan oleh

Kementerian Perdagangan Dalam Negeri. Gula yang didistribusikan di dalam negeri diberi subsidi dan dipatok harga sebesar 6 sen peso nasional per pon (450 gram). Setiap warga diberi jatah sebesar 5 pon gula subsidi setiap bulannya. Untuk warga asing dan warga Kuba yang membeli gula melebihi 5 pon dikenakan harga US$ 1,80 per kg. Berkaitan dengan perdagangan internasional, kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kuba saat ini difokuskan pada pemberian subsidi ekspor yang diberikan melalui badan usaha pemerintah yang bernama Cuba Azucar International (CAI S.A).

2.4 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian mengenai gula telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, seperti peneliti-penelitian mengenai peranan industri gula dalam perekonomian nasional yang dilakukan oleh Arianto (2003). Alat analisis yang digunakan adalah analisis Input-Output yang merupakan salah satu alat analisis yang dapat melihat hubungan antar sektor dalam suatu perekonomian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri gula memiliki keterkaitan ke depan yang rendah dibandingkan dengan keterkaitan ke belaka ng. Dengan demikian, industri gula merupakan industri yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor hulunya tetapi tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor hilirnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa industri gula merupakan salah satu industri penting yang dapat meningkatkan output, pendapatan, dan lapangan kerja di sektor itu sendiri dan di sektor perekonomian lainnya di Indonesia.

Kajian yang dilakukan oleh Suparno (2004) mengenai dampak kebijakan tataniaga gula terhadap kesejahteraan petani tebu di Indonesia menunjukkan bahwa produktivitas tebu sangat responsif terhadap produksi tebu dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Impor gula juga sangat responsif terhadap produksi gula total dan pendapatan riil per kapita dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kenaikan pendapatan riil per kapita juga dapat meningkatkan impor gula Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Di sisi lain, harga nominal eceran gula tidak responsif terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek, tetapi responsif dalam jangka panjang.

Dampak kebijakan pra liberalisasi perdagangan gula pada tahun 1980-1994 terhadap keragaan industri gula Indonesia menunjukkan bahwa program ekstensifikasi tanaman tebu dapat meningkatkan produksi gula domestik sebesar 28,7 persen, tetapi belum menyelesaikan masalah ketergantungan pada gula impor. Selanjutnya, dampak kebijakan dan non kebijakan pasca liberalisasi perdagangan gula pada tahun 1995-2002 terhadap keragaan industri gula Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan tataniaga gula BULOG dapat menurunkan produksi gula sebesar 40,53 persen karena gula domestik tidak mampu bersaing dengan gula impor yang memiliki harga yang lebih murah. Perubahan kesejahteraan petani tebu pra liberalisasi perdagangan gula menunjukkan bahwa kebijakan program ekstensifikasi tanaman tebu mampu meningkatkan kesejahteraan bersih masyarakat secara umum sebesar Rp 10,48 triliun, sedangkan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula menunjukkan bahwa kebijakan penghapusan tataniaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih masyarakat sebesar Rp 3,44 triliun.

Mahardhika (2004) melakukan studi tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula Indonesia dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda. Penelitian ini menunjukkan bahwa produksi gula nasional dipengaruhi oleh tiga peubah penjelas, yaitu luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya. Peningkatan ketiga peubah penjelas tersebut akan meningkatkan produksi gula nasional. Sedangkan untuk model impor gula Indonesia dipengaruhi oleh empat peubah penjelas, yaitu produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif impor.

Penelitian yang dilakukan oleh Widowati (2004) menelaah tentang pengaruh tarif impor gula terhadap industri gula Indonesia. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan model ekonometrik gula dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan tarif impor gula sebesar 25 persen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap industri gula Indonesia kecuali terhadap konsumsi. Tarif impor tersebut menyebabkan harga domestik, areal dan produksi lebih tinggi masing-masing 11,11 persen, 10,97 persen, dan 7,47 persen bila dibandingkan dengan tarif meningkat masing-masing sebesar 11,6 persen dan 15 persen. Selain itu, impor gula pada tahun 2000 menurun sebesar 8,41 persen. Meskipun demikian, kebijakan ini menurunka n surplus konsumen sebesar 15,6 persen tetapi mampu menciptakan tambahan lapangan kerja di industri gula sebesar 79,38 ribu orang atau sebesar 10,97 persen.

Dokumen terkait