• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Asuransi

1. Definisi Asuransi (konvensional)

Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, yaitu assurantie. Dalam hukum Belanda disebut Verzekering artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan ada istilah geassureerde bagi tertanggung (Muhammad Syakir Sula, 2004:26).

Menurut Abbas Salim (2005:15) memberikan definisi tentang asuransi sebagai suatu alat untuk mengurangi risiko keuangan dengan cara pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Sedangkan menurut Green (tanpa tahun):

“Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu”.

Pengertian asuransi menurut Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Republik Indonesia, dikatakan bahwa

“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”. (www.asuransi-mobil.com/2007).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1, menyebutkan bahwa

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan” (Muhammad Syakir Sula, 2004:27).

Menurut Undang-undang tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, terdapat tiga jenis usaha asuransi, yaitu:

a. Usaha asuransi kerugian, yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggungjawab hokum kepada pihak ke-3 yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

b. Usaha asuransi jiwa, yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.

c. Usaha reasuransi, yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.

Menurut Herman Darmawi (2001:101) definisi perusahaan asuransi kerugian adalah: “Perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. Produk asuransi kerugian yang pada umumnya ditawarkan industri asuransi dapat digolongkan atas asuransi kebakaran, asuransi transportasi, dan asuransi aneka”.

2. Definisi Asuransi Syariah

Dalam bahasa Arab Asuransi disebut At-ta’min, At-ta’min yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Menta’minkan sesuatu, artinya seseorang membayar/ menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang (Muhammad Syakir Sula, 2004:28).

Menurut Dewan Syariah Nasional MUI dalam Fatwa DSN No. 21/ DSN-MUI/IX/2001 Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah

“Usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat”.

a. Al-‘Aqila (Asal Mula Asuransi Syariah)

Konsep asuransi Islam sudah ada sejak zaman Rasulullah yang disebut aqilah. Al-Aqilah yaitu saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Sementara dalam hadist Nabi, Abu Hurairah pernah mengatakan:

“Bahwa pernah ada dua wanita suku Huzail bertikai. Salah seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita itu dan jabang bayi dalam

rahimnya. Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan. Nabi Muhammad memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau wanita, sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh aqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh”.

Kesiapan membayar kontribusi keuangan sama dengan praktik premi asuransi. Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan al-aqilah mungkin sama dengan nilai pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang. Karena merupakan bentuk perlindungan untuk pewaris terhadap kematian yang tidak diharapkan dari sang sorban (Muhammad Syakir Sula, 2004:31).

b. At-Takaful (Tolong Menolong)

Menurut Muhammad Syakir Sula (2004:33) istilah lain yang sering digunakan untuk asuransi syariah adalah takaful. Secara bahasa, takaful berasal dari akar kata yang artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Arti takaful

dalam pengertian muamalah adalah saling memikul risiko diantara sesama muslim sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang lainnya.

Takaful dengan pengertian seperti ini sesuai dengan firman Allah SWT. “Dan menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS. al-Maidah:2).

c. Aqad (Akad)

Menurut Muhammad Syakir Sula (2004:38-39) lafal akad berasal dari lafal arab al-aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan al-ittifaq. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri.

Menurut Slamet Wiyono (2005:122) definisi mudharabah adalah:

“Akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan dimuka, jika usaha mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana, seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana”.

Menurut Antonio Syafi’i dalam Muhammad Syakir Sula (2004:333) rukun mudharabah adalah (1) pemodal (sahibul mal), (2) pengelola (mudharib), (3) modal (maal), (4) nisbah keuntungan, (5) sighat (aqd).

1) Menurut Muhammad Syakir Sula (2004:337) keunggulan sistem mudharabah, antara lain:

a) Bank atau asuransi akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

b) Bank maupun asuransi akan lebih selektif dan prudent ‘hati-hati’ mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan

c) Menguntungkan, karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

d) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga, bank menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah sekalipun merugi dan krisis ekonomi. 2) Pendapatan Mudharabah

Esensi kontrak mudharabah adalah kerjasama untuk mencapai profit

berdasarkan akumulasi komponen dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua komponen ini. Profit (laba) pada asuransi syariah untuk asuransi kerugian, diperoleh dari surplus underwriting dan hasil investasi. Dari laba tersebut dilakukan bagi hasil (al-mudharabah) antara perusahaan dengan peserta sebagaimana perjanjian atau akad di awal masuk asuransi syariah (Muhammad Syakir Sula, 2004:343)

Menurut Muhammad Syakir Sula (2004:341-343) unsur-unsur dari bagi hasil adalah:

a) Modal

Untuk menghindari perselisihan, dalam kontrak mudharabah secara khusus ditentukan jumlah modal yang disertakan. Modal dalam kontrak mudharabah tidak dapat dijadikan sebagai utang bagi pihak mudharib pada waktu terjadinya kontrak.

b) Manajemen

Mazhab Hanafi membagi kontrak mudharabah ke dalam dua bentuk. Yaitu, kontrak mudharabah yang tidak terlarang dan kontrak mudharabah yang terlarang. Kontrak yang tidak terlarang adalah kontrak di mana pihak mudharib

diberi kebebasan yang luas dalam mengelola usahanya serta menentukan keputusan yang menurutnya dianggap paling tepat. Mudharib juga diperbolehkan mencampur modal kontrak mudharabah dengan barang miliknya sendiri. Dan diperbolehkan membelanjakan modal tersebut ke dalam kepentingan lapangan usaha yang dianggap tepat.

Kontrak mudharabah yang terlarang adalah bahwa mudharib bebas menjalankan usahanya sebatas sesuai dengan praktek yang umumnya berlaku dalam perdagangan. Adanya pembatasan terhadap kebebasan dalam menentukan usahanya akan merusak keabsahan kontrak.

c) Masa Berlakunya Kontrak

Kontrak mudharabah dapat diakhiri oleh salah satu pihak dengan jalan memberitahu pihak lain atas keputusan tersebut. Mayoritas ulama menyatakan mudharabah bukanlah bentuk kontrak yang mengikat. Menurut Imam Malik, kalau mengakhiri kontrak dilakukan, maka mudharib akan mendapatkan keuntungan dari hasil kerjanya sendiri, tidak dari yang lain.

d) Jaminan

Investor tidak dapat menjamin dari pihak mudharib untuk memastikan kembalinya modal yang diberikan atau modal beserta keuntungan (profit).

Karena dalam kontrak mudharabah, hubungan antara investor dan mudharib

terikat dalam satu gadaian yang saling mempercayakan.

3. Implementasi al-Mudharabah pada Asuransi Umum

Menurut Lumansyah Lubis dalam Muhammad Syakir Sula (2004:347-349) dengan prinsip-prinsip syariah, implementasi sistemmudharabah dapat kita lihat pada operasional PT. Asuransi Takaful Umum sebagai berikut:

a. Akad Mudharabah

1) Akad mudharabah berarti surplus underwriting dari hasil operasi perusahaan dibagi di antara operator dengan peserta atau partisipan.

2) Dasar perhitungan mudharabah dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang

surplus underwriting yang diperoleh.

b. Ketentuan Mudharabah, antara lain:

1) Perhitungan mudharabah harus didasarkan kepada kinerja dari Takaful Fund

(perusahaan asuransi tersebut).

2) Pembayaran mudharabah tidak di-offset langsung dengan premi renewal kecuali atas permintaan peserta.

3) Mudharabah tidak dapat dibayarkan di muka. c. Persyaratan Pembayaran Mudharabah, yaitu:

1) Polis telah jatuh tempo

2) Premi (takaful kontribusi) telah dibayar penuh. 3) Tidak ada pembayaran klaim selama periode covered. d. Formula Perhitungan Mudharabah, yaitu:

1) Periode takaful 2) Takaful kontribusi 3) Tanggal Pembayaran

4) Rate Mudharabah

e. Tata Cara Perhitungan Mudharabah

Besarnya mudharabah yang dihitung diperoleh dengan cara rata-rata tertimbang dari surplus underwriting. Rasio mudharabah diperoleh dengan membagi rata-rata tertimbang mudharabah yang akan dibagikan dengan premi bruto rata-rata dan dibulatkan ke atas.

f. Tata Cara Pembayaran Mudharabah, antara lain:

1) Cadangan mudharabah dibagikan kepada peserta yang selesai pertanggungannya dengan menggunakan rate atas premi yang disetor peserta.

2) Peserta yang menerima mudharabah adalah peserta yang tidak mendapatkan manfaat klaim.

3) Peserta yang melakukan keterlambatan pelunasan diberikan mudharabah secara profesional.

4) Peserta yang telah jatuh tempo polisnya dikirimi surat konfirmasi untuk menentukan pembayaran mudharabahnya.

5) Pengiriman surat konfirmasi mudharabah bersamaan dengan pengiriman surat konfirmasi perpanjangan yang dilakukan customer care.

6) Konfirmasi mudharabah dari nasabah segera diserahkan ke divisi keuangan untuk segera dibayarkan.

g. Sistem Pembayaran Mudharabah, yaitu: 1) Transfer melalui bank.

2) Cek atas nama tertanggung. 3) Cash (tunai).

4) Transfer ke rekening koperasi peserta. 5) Disumbangkan ke lembaga zakat.

4. KMK No: 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Reasuransi

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

5. Prinsip Syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah.

6. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi adalah produk asuransi yang memberikan hasil investasi yang sepenuhnya mengacu kepada hasil Investasi pasar. 7. Premi Neto adalah premi neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan

Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.

Pasal 10

Kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, dalam bentuk:

a. investasi; b. bukan investasi.

5. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak

Berdasarkan Surat S-720/PJ.42/2001 pada tanggal 28 Nopember 2001 ditujukan kepada Direktur Utama PT. Asuransi Takaful Umum tentang Penegasan Mengenai Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Mudharabah, menghasilkan penegasan:

a. Mudharabah dapat dikategorikan sebagai pengembalian premi kepada pemegang polis apabila hal tersebut mengakibatkan pengurangan nilai pertanggungan yang dinyatakan dalam polis dan terjadi sebelum berakhirnya periode pertanggungan.

b. Mudharabah dapat dikategorikan sebagai dividen atau pembagian laba dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, apabila hal tersebut tidak mengakibatkan pengurangan nilai pertanggungan yang dinyatakan dalam polis dan terjadi setelah berakhirnya periode pertanggungan.

c. Melihat pada substansi daripada pembentukan cadangan mudharabah yang dilakukan oleh PT. Asuransi Takaful Umum, maka mudharabah tersebut lebih merupakan pembagian laba atau bonus karena tidak terjadi klaim atau hanya terjadi klaim sampai batas tertentu saja setelah berakhirnya periode pertanggungan. Oleh karena itu, pembentukan cadangan mudharabah tersebut tidak boleh mengurangi penghasilan kena pajak dan atas pembayaran mudharabah kepada peserta Takaful dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 15% dari jumlah bruto yang tidak bersifat final (dapat dikreditkan dalam perhitungan Pajak Penghasilan yang bersangkutan pada SPT Tahunan).

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 4

a. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

1) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

F. Perpajakan 1. Definisi Pajak

Menurut Rochmat Soemitro dalam A. Tjahjono dan M. Fakhri Husein (2005:2) definisi pajak adalah:

“Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang berlangsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Definisi tersebut kemudian disempurnakan, sehingga berbunyi pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untu membiayai

public investment.

Menurut S.I.Djajadiningrat dalam A. Tjahjono dan M. Fakhri Husein (2005:2) definisi pajak sebagai:

“Suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa yang timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum”.

Menurut A. Tjahjono dan M. Fakhri Husein (2005:2) dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:

(a) Pajak dipungut oleh Negara berdasarkan kekuatan undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

(b) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontaraprestasi individu oleh pemerintah.

(c) Pajak dipungut oleh Negara baik pusat maupun daerah.

(d) Diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah jika masih surplus digunakan untuk “public investment”.

(e) Pajak dapat dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.

Menurut A. Tjahjono dan M. Fakhri Husein (2005:21) pemungutan pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu:

a. Official Assessment System

Suatu sistem pumngutan pajak dimana besarnya pajak yang harus dilunasi atau pajak yang terutang oleh Wajib Pajak ditentukan oleh fiskus (dalam hal ini Wajib Pajak bersifat pasif). Masyarakat (Wajib Pajak) baru akan mengetahui besarnya pajak yang harus dibayar setelah menerima surat ketetapan pajak (SKP).

b. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang sepenuhnya untuk menghitung besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak diserahkan oleh fiskus kepada Wajib Pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sistem ini Wajib Pajak harus aktif menghitung, menyetor dan melaporkan kepada kantor pelayanan pajak (KPP). Sedangkan fiskus hanya bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.

c. With Holding System

Suatu cara pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memungut/memotong besarnya pajak yang terutang. Dalam hal ini Wajib Pajak dan Fiskus hanya bersikap tidak aktif.

3. PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. (www. kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id/2007)

a. Pemotong PPh Pasal 23 adalah:

1) Badan pemerintah;

2) Wajib pajak badan dalam negeri; 3) Penyelenggaraan kegiatan; 4) Bentuk Usaha Tetap (BUT);

5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;

6) Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak.

b. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:

1) WP dalam negeri;

2) BUT c. Tarif Pajak

Tarif PPh Pasal 23 adalah 15 % dari jumlah bruto atas:

Dokumen terkait