• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teoritis Teori Transmisi Harga

Menurut Amikuzuno dan Ogundari (2012), khusus untuk bidang ekonomi pertanian, analisa transmisi harga sudah berkembang sejak 50 tahun terakhir. Penelitian mengenai transmisi harga diawali dengan analisa tingkat transmisi harga antar dua pasar yang berbeda wilayah geografisnya, yang kemudian disebut dengan interaksi secara spasial. Penelitian kemudian berkembang untuk melihat interaksi harga yang terjadi antar dua level pasar yang berada dalam satu rantai pemasaran, yang kemudian disebut dengan interaksi secara vertikal.

Para ekonom neo-klasik percaya bahwa harga merupakan indikator utama yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar. Transmisi harga dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer & von Cramon-Taubadel 2004).

Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price/LOP) dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut (Goodwin 2006).

Pada kasus vertikal, tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan tertransmisi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada suatu level pemasaran akan ditransmisikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras (Goodwin 2006). Asimetris harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Meyer & von- Cramon Taubadel 2004)

Kriteria Transmisi Harga yang Tidak Simetris

Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon harga antara shock harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan shock harga negatif (saat terjadi penurunan harga): Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) mengklasifikasikan 3 (tiga) kriteria transmisi harga yang tidak simetris sebagai berikut:

Kriteria yang pertama merujuk kepada kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga. Dalam hal kecepatan waktu penyesuaian, fenomena asimetris terjadi apabila shock harga di salah satu pasar tidak dengan segera ditransmisikan oleh pasar lainnya. Sementara dari sisi besaran, fenomena asimetris terjadi pada saat shock harga di satu pasar tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya. Kondisi transmisi harga

yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 6.

a. Besaran

b. Kecepatan

c. Besaran dan Kecepatan Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004

Gambar 6 Transmisi harga asimetris menurut kecepatan dan besaran Pada Gambar 6 diasumsikan sumber dari shock harga terjadi pada Pin. Dari

Gambar 6.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran penyesuaian harga di Pout antara shock positif dengan shock negatif yang terjadi di

Pin. Pada saat terjadi shock positif di Pin, Pout akan mentransmisikan shock tersebut

secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di Pout sama dengan

kenaikan yang terjadi di Pin. Sementara saat terjadi shock negatif di Pin, penurunan

harga yang terjadi di Pout tidak terjadi dengan sempurna. Hanya seTengah dari

shock negatif di Pin yang ditransmisikan oleh Pout.

Gambar 6.b menjelaskan transmisi hargayang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di Pin pada waktu t1,

Pout akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama.

Sementara saat di Pin terjadi penurunan harga, Pout tidak dengan segera merespon Harga Waktu Harga Waktu Harga Waktu

penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n. Sehingga shock negatif di Pin baru akan ditransmisikan di Pout pada waktu t1+n.

Gambar 6.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di Pin pada waktu t1, tidak

ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya seTengahnya. Pada waktu t2 barulah seluruh shock positif di Pin ditransmisikan secara sempurna.

Sementara saat terjadi penurunan harga pada waktu yang sama di Pin, proes

transmisinya dilakukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan saat terjadi shock positif, yaitu pada waktu t3. Respon penurunan harga yang terjadi di Pout

pun tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di Pin. Hal ini menggambarkan

bahwa terjadi transmisi yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian yang ditunjukan oleh Pout saat terjadi shock negatif di Pin.

Dalam Gambar 6 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam bentuk area yang gelap. Menurut Meyer & von-Cramon Taubadel (2004), transmisi harga tidak simetris dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara permanen (Gambar 6.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Sedangkan transmisi harga tidak simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang sifatnya sementara. Adapun ukuran/besaran kesejateraan yang hilang sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu transmisi antara t1 dan t1+n,

besarnya respon perubahan, dan volume transaksi yang dilakukan (Gambar 6.b). Terakhir, transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen (Gambar 6.c). Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini.

Kriteria kedua, mengacu pada Peltzman (2000) dalam Meyer & von- Cramon Taubadel (2004), transmisi harga yang tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positif adalah kondisi dimana shock positif akan direspon secara lebih cepat dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi shock negatif (Gambar 7.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi dimana shock negatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon dibandingkan shock positif (Gambar 7.b).

a. Transmisi harga tidak simetris positif

Harga

b. Transmisi harga tidak simetris negatif Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004

Gambar 7 Transmisi harga tidak simetris positif dan negatif

Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu), contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk menghindari kesalahan penafsiran, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya tekanan terhadap marjin (squeeze marjin) dibandingkan saat adanya penambahan marjin (stretch marjin). Yang dimaksud dengan squeeze marjin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (Pin) atau penurunan harga di hilir (Pout), sementara stretch marjin adalah saat

terjadi penurunan Pin atau kenaikan Pout.

Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu menikmati harga yang rendah. Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah menikmati penurunan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, harga di level konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan berkurang. Meskipun demikian, Vavra & Goodwin (2005) menyebutkan bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan faktor biaya transaksi (adjustment cost) pada kasus transmisi vertikal) dalam perhitungan transmisi harga.

Kriteria yang ketiga transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara vertikal atau spasial. Transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan saat terjadi penurunan harga internasional.

Harga

Penyebab Asimetris Harga Market Power

Irawan (2007) menjelaskan proses transmisi harga yang tidak sempurna dan bersifat asimetris terjadi pada komoditas pertanian. Pada dasarnya dinamika harga komoditas pertanian di daerah konsumen memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Namun, informasi pasar mengenai naik turunnya harga diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen lebih tinggi dibanding di pasar produsen dan perbedaan fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna.

Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar. Sebagian lagi mengemukan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun pasar tersebut berada pada pasar persaingan sempurna (Meyer & von Cramon-Taubadel 2004).

Ward (1982) menyebutkan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan bahwa kenaikan harga justru beresiko terhadap penurunan marjinnya. Bailey & Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer & von- Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli, transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif.

Adjustment Cost

Transmisi harga tidak simetris dapat terjadi antar level dalam satu rantai pemasaran yang disebabkan karena adanya sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya (adjustment cost). Biaya tersebut meliputi biaya transaksi, biaya yang digunakan untuk perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan, serta biaya akibat penyimpanan (Meyer & von Cramon- Taubadel 2004).

Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak simetris antara lain: (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga naik karena takut kehabisan stok (3) adanya intervensi pemerintah (Vavra & Goodwin 2005).

Metode Analisis Transmisi Harga

Analisa transmisi harga asimetris untuk produk pertanian pertama kali dilakukan oleh Tweeten & Quance (1969), yang menggunakan teknik variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran yang tidak dapat diubah. Variabel dummy digunakan untuk memisahkan harga bahan baku menjadi dua, yaitu variabel yang hanya terdiri dari kenaikan harga input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik (Meyer & von Cramon-Taubadel 2004).

Wolffram (1971) memperkenalkan teknik pemisahan variabel baru dengan menggunakan data harga turunan (first difference) ke dalam persamaan yang akan diestimasi. Metode tersebut kemudian dimodifikasi oleh Houck (1979) dengan mengeluarkan nilai observasi awal, karena level observasi yang pertama dinilai tidak memiliki kekuatan penjelasan bebas. Ward (1982) kemudian mengembangkan model Houck dengan menambahkan lag pada variabel eksogen, seperti efek keterlambatan dan lamanya waktu lag, yang tetap dapat dipisahkan antara efek kenaikan harga dan efek penurunan harga (Meyer & von Cramon- Taubadel 2004).

Boyd & Brorsen (1988) adalah yang pertama menggunakan lag untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian (speed of adjustment) dengan besaran penyesuaian (magnitude of adjustment) (Meyer & von Cramon-Taubadel 204). Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukkan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu, dan nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian.

Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif).

Von Cramon-Taubadel & Fahlbusch (1994) merupakan yang pertama mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga tidak simetris dengan menggunakan konsep error correction model (ECM) Prinsip utama model ini adalah dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series lainnya secara sempurna. Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term/ECT) (Vavra & Goodwin (2005).

Konsep tersebut didasari oleh penelitian Engle & Granger (1987) sebelumnya yang menunjukkan bahwa kointegrasi untuk data time series yang tidak stasioner akan merepresentasikan nilai ECT yang valid (Hassouneh et al 2012). Mereka menyebutkan bahwa teknik prekointegrasi untuk analisa transmisi harga asimetri justru dapat menghasilkan regresi lancung (spurious regression) karena menggunakan series data yang tidak stasioner.

Pada analisa transmisi harga dengan metode ECM, ECT kemudian dipisahkan antara bentuk positif dengan bentuk negatif. ECT positif menunjukkan kondisi penyimpangan di atas garis keseimbangan jangka panjang, sementara ECT negatif menunjukkan kondisi penyimpangan di bawah garis keseimbangan jangka panjangnya. Acquah & Onumah (2010) menyebutkan bahwa penggunaan metode ECM lebih disarankan dibandingkan metode Houck yang konvensional. Meskipun demikian, Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga dengan menggunakan ECM hanya dapat menggambarkan pola asimetris dari sisi waktu penyesuaian. Hal ini disebabkan analisa kointegrasi dan ECM merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga tidak simetris terjadi dari sisi besaran penyesuaian maka data tidak akan saling terkointegrasi.

Analisa transmisi harga yang sederhana dilakukan dengan mengikuti metode Houck (1979) dalam Acquah dan Onumah (2010), yang membagi efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Metode Houck kemudian disebut dengan model statis, yang dapat ditulis dalam persamaan berikut: ) 1 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... , 1 , 1 ,t Bt Bt t A P P v P      

Dimana PB+ dan PB- merupakan perubahan positif dan negatif yang terjadi

pada PB Pengujian transmisi harga simetri dilakukam dengan membandingkan koefisien β1+dan β1-, transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila kedua

keofisien tersebut signifikan tidak identik.

Metode Houck dianggap tidak sesuai apabila terdapat hubungan kointegrasi antara dua series data harga. Von Cramon-Taubadel mengusulkan pendekatan ECM lebih valid untuk digunakan untuk pengujian transmisi harga asimetris. Penggunaan ECM dalam analisa transmisi harga tidak simetris pertama kali dilakukan oleh Granger dan Lee (1989) dalam Acquah dan Onumah (2010), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

) 2 . 2 ...( ... ... ... ... 1 2 1 2 , 1 ,      PAt PAtECTt ECTt

Dimana PA dan PB merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan

jangka panjang (keseimbangan kointegrasi) dari dan , yang kemudian dipisahkan dalam bentuk positif (ECT+) dan negatif (ECT-). ECT+ menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan jangka panjang. Sebaliknya, ECT- menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang. Koefisien β2+dan β2- diharapkan bernilai

negatif, artinya bahwa penyimpangan yang terjadi akan kembali ke garis keseimbangan. Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan keidentikan

koefisien β2+dengan β2+

Analisa transmisi harga asimetris dengan menggunakan ECM disebut dengan model dinamis. Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996) dalam Acquah dan Onumah (2010) kemudian mengembangkan model dinamis yang lebih kompleks,

dengan menggabungkan model Houck dan model ECM Granger. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon- Taubadel dan Loy sebagai berikut: ) 3 . 2 ...( ... ... ... 1 2 1 2 1 1 , 1 , P P ECT ECT e PAt   Bt    tt          

Pada model ini, proses transmisi harga dapat dilihat dalam parameter jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara statistik. Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga pun telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al (2012). Hassouneh et al (2012) membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan ECM dan VECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM.

Perilaku Pasar Komoditas pertanian

Asmarantaka (2012) menjelaskan perilaku pasar merupakan perilaku pembeli dan penjual, strategi atau reaksi yang dilakukan pembeli dan penjual secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi dengan penjual dan pembeli lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran suatu pasar. Perilaku pasar merupakan pola perilaku penjual/pedagang dan pelaku pasar lainnya yang mengadopsi untuk mempengaruhi atau menyesuaikan di pasar tempat jual dan beli tersebut. Hal ini termasuk perilaku penentuan harga dan praktek jual-beli.

Perilaku pasar dapat diketahui melalui pengamatan terhadap penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh tiap lembaga pemasaran, sistem penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama antar berbagai lembaga pemasaran. Dengan melihat perilaku pasar, maka keragaan pasar yang merupakan suatu keadaan sebagai dampak dari struktur pasar dan perilaku pasar dalam menilai baik tidaknya suatu sistem pemasaran (Dahl dan Hammond 1977).

Asmarantaka (2012) mengemukakan tiga cara dalam mengenal perilaku pasar yaitu:

1. Penentuan harga dan setting level of output yaitu menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh pada perusahaan lain dan dilakukan secara bersama-sama penjual atau berdasarkan price leadership (pemimpin harga). 2. Product promotion policy yaitu dilakukan melalui pameran dan iklan atas nama

perusahaan.

3. Predatory and Exclusivenary tactics yaitu dengan cara menetapkan harga di bawah biaya marjinal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan pesaing keluar dari pasar.

Strategi penentuan harga penting dalam perilaku pasar karena harga merupakan unsur yang menghasilkan penerimaan bagi produsen. Harga juga merupakan unsur yang paling fleksibel dimana unsur ini dapat berubah dengan cepat.

Konsep Pemasaran

Kohl dan Uhl (2002) mendefinisikan pemasaran sebagai keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran dari produk-produk dan jasa-jasa mulai dari tingkat produksi pertanian sampai tingkat konsumen akhir. Dahl dan Hammond (1977) menekankan pengertian pemasaran merupakan suatu rangkaian fungsi dari lembaga pemasaran yang dibutuhkan untuk menggerakkan input ataupun produk dari titik produksi ke konsumen akhir. Dengan demikian, pemasaran adalah suatu kegiatan yang produktif karena memberikan nilai tambah dan menghasilkan berbagai kegunaan waktu, tempat, milik dan bentuk.

Sistem Kelembagaan Pemasaran

Menurut Kohls dan Uhl (2002) kelembagaan pemasaran merupakan berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran (aktivitas bisnis). Adapun yang termasuk dalam istilah lembaga pemasaran antara lain:

1) Pedagang perantara (merchant middlemen) merupakan individu pedagang yang memiliki dan menguasai produk serta melakukan penanganan berbagai fungsi pemasaran dalam pembelian dan penjualan produk dari produsen ke konsumen. Seperti pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholesalers).

2) Agen perantara (agent middlemen) merupakan pihak yang hanya mewakili klien yang disebut principals dalam melakukan penanganan produk atau jasa. 3) Spekulator (speculative middlemen) adalah pedagang perantara yang membeli- menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal).

4) Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) merupakan kelompok bisnis yang beraktivitas dalam menangani produk dan merubah bentuk bahan baku menjadi bahan seTengah jadi atau produk akhir.

5) Organisasi (facilitative organization) berperan dalam memperlancar aktivitas pemasaran. Contohnya dalam membuat peraturan-peraturan kebijakan, pelelangan, asosiasi eksportir atau importir, pembiayaan dan peraturan pasar.

Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa pendekatan fungsional merupakan proses penyampaian barang dan jasa kepada konsumen yang dilakukan dengan proses yang lancar. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut meliputi : 1. Fungsi pertukaran yaitu kegiatan yang memperlancar pemindahan hak milik

dari barang dan jasa. Fungsi pertukaran terdiri atas fungsi pembelian, fungsi penjualan dan fungsi pengumpulan.

2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi

Dokumen terkait