• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Pemasaran Ekspor Kopi Arabika Gayo Di Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Pemasaran Ekspor Kopi Arabika Gayo Di Provinsi Aceh"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ss

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN EKSPOR KOPI

ARABIKA GAYO DI PROVINSI ACEH

NORATUN JULIAVIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Analisis Efisiensi Pemasaran Ekspor Kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

NORATUN JULIAVIANI. Analisis Efisiensi Pemasaran Ekspor Kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh. Dibimbing oleh SAHARA dan RATNA WINANDI ASMARANTAKA.

Kopi Arabika Gayo sebagai salah satu komoditas ekspor Indonesia dihadapkan adanya fluktuasi harga dari waktu ke waktu. Hal ini ditunjukkan dari pergerakan harga kopi Arabika Gayo selama tahun 2008 sampai 2013, pergerakan harga di tingkat eksportir cenderung berfluktuasi dibandingkan harga di tingkat petani. Fluktuasi harga pada eksportir menunjukkan bahwa harga ekspor kopi Arabika Gayo lebih cepat berubah dibandingkan harga produsen (petani). Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan harga kopi Arabika Gayo di tingkat eksportir tidak ditransmisikan secara sempurna ke tingkat produsen (petani). Transmisi harga kopi Arabika Gayo antara eksportir dan produsen (petani) sangat menentukan efisiensi sistem pemasaran yang terlibat.

Salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikkan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak terintegrasi. Selain itu, adanya biaya transaksi yang relatif tinggi turut mempengaruhi transmisi harga yang tidak simetris yang terjadi antara petani dengan eksportir. Perubahan harga umumnya dipengaruhi oleh adanya sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya atau disebut dengan adjustment cost. Biaya transaksi yang semakin tinggi juga akan merugikan petani dalam memasarkan produknya sehingga akan mempengaruhi pemasaran kopi Arabika Gayo. Rantai pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener meriah menunjukkan bahwa petani menjual hasil produksi melalui pedagang pengumpul. Perilaku dari pedagang perantara dan tidak adanya lembaga formal yang mengatur pertukaran seperti pembelian dan penjualan diperkirakan akan meningkatkan biaya transaksi, diharapkan petani dapat memilih saluran pemasaran yang membebankan biaya transaksi yang lebih rendah.

(6)

pengaruh biaya transaksi terhadap pemilihan saluran pemasaran kopi Arabika Gayo dengan menggunakan model probit.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang merupakan sentra produksi kopi di Provinsi Aceh dan menjadi salah satu produsen kopi arabika terbesar di Indonesia untuk tujuan ekspor. Hasil pengujian asimetris harga pada Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah menunjukkan transmisi harga terjadi secara satu arah, harga di tingkat petani ditransmisikan ke tingkat eksportir, sedangkan harga di tingkat eksportir tidak ditransmisikan ke tingkat petani. Dari segi kecepatan transmisi harga pada jangka pendek bersifat asimetris sedangkan pada jangka panjang transmisi harga terjadi secara simetris. Penyebab terjadinya transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani dengan eksportir, khususnya dikaitkan dengan perilaku pasar. Petani yang mempunyai keterkaitan hutang dengan pedagang menyebabkan posisi tawar (bargaining position) yang semakin lemah dalam proses penentuan harga, dikarenakan posisi tawar (bargaining position) yang kuat berada pada pihak pedagang pengumpul (pedagang pengumpul).

Tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran juga dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Hasil dari analisis kinerja pasar kopi Arabika Gayo pada Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah menunjukkan bahwa saluran pemasaran ke koperasi (eksportir) merupakan saluran pemasaran dengan marjin pemasaran terendah, biaya pemasaran terkecil, dan farmer’s share terbesar dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya. Namun, saluran pemasaran tersebut belum efisien jika ditinjau dari besarnya keuntungan setiap lembaga pemasaran.

Transmisi harga asimetris juga disebabkan oleh biaya transaksi. Biaya transaksi yang semakin tinggi akan merugikan petani dalam memasarkan produknya sehingga akan mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran kopi Arabika Gayo oleh petani. Biaya transaksi yang mempengaruhi peluang petani dalam memilih saluran pemasaran ke pedagang koperasi (eksportir) di Kabupaten Aceh Tengah yaitu waktu mencari informasi harga, harga yang diterima petani, dan dummy akses harga. Sedangkan di Kabupaten Bener Meriah,biaya transaksi yang mempengaruhi peluang petani dalam memilih saluran pemasaran ke pedagang koperasi (eksportir) yaitu harga yang diterima petani, lamanya pembayaran dari pedagang, dan dummy akses kredit ke pedagang.

(7)

SUMMARY

NORATUN JULIAVIANI. Analysis of Marketing Export Efficiency of Gayo Arabica coffee in Aceh Province. Supervised by SAHARA and RATNA WINANDI ASMARANTAKA.

Gayo Arabica coffee as one of Indonesia's export commodities is facing price fluctuations from time to time. This was shown from Gayo Arabica coffee price movements during the years of 2008 to 2014, the movement of exporter price is likely to fluctuate more than the price at the farm level. These price fluctuations on exporters, indicates that the export price of Gayo arabic acoffee is more volatile than the prices at producers (farmers) level. This indicates that the price changes in the level Gayo Arabica coffee exporters are not transmitted perfectly to the producers (farmers). The price transmission of Gayo Arabica coffee between exporters and producers (farmers) is critical for the efficiency of the marketing system. In vertical cases, the price transmission rate on a marketing chain can be a clue of each level/marketing agencies performance who are involved in the marketing chain. A marketing chain is called efficient and vertically transmitted if the pattern of interaction between the price level depends only on the cost of production.

One of the causes of asymmetric price transmission between markets that are connected vertically (in the marketing chain) is the existence of competitive behavior between the marketing agents, particularly if the middlemen are in a concentrated market. Generally the middlemen will maintain their profit level and will not raise/lower the price according to the actual price signals. So that middlemen will be quicker to react to price rises than to price reductions. In the end, the farmers market and consumers become not integrated.

In addition, the relatively high transaction costs also affect asymmetric price transmission that occurs between farmers and exporters. Changes in prices are generally influenced by the amount of costs the businessesmen should spend to adjust the prices or called by the adjustment cost. The higher the transaction costs will also harm the farmers in marketing their products so it will affect the marketing of Gayo Arabica coffee. Gayo Arabica coffee marketing chain in Central Aceh and Bener Meriah district show that the farmers sell their product through middlemen. The behavior of middlemen and the absence of formal institutions that govern the exchange of such purchases and sales are expected to increase transaction costs, it is expected that farmers can choose the marketing channels that charge lower transaction.

(8)

performance analysis of Gayo Arabica coffee using quantitative analysis with the marketing margin and the farmer's share. And to analyze the impact of transaction costs on the selection of marketing channels Gayo Arabica coffee using probit models.

This research was conducted in Central Aceh and Bener Meriah which are coffee production center in Aceh province and became one of the largest Arabica coffee producer in Indonesia for export purposes. The test results of assymetric price in Central Aceh and Bener Meriah distric indicates the price transmission occurs in one direction, farm gate prices are transmitted to the level of exporters, while the exporter price is not transmitted to the farm level. In terms of transmission speed on short-term, the price is asymmetric, while the long-term price is symmetrically transmited. The cause of vertical asymmetric transmission of Gayo Arabica coffee price between prices at the farm level and exporters, particularly associated with market behavior. Farmers who have debts with the traders cause bargaining (bargaining position) is weakening in the pricing process, because bargaining (bargaining position) is strong at the traders.

The prices transmission rate in the marketing chain can also be a clue of performance for each level/marketing agencies in the marketing chain. The results of Arabica Gayo market performance analysis in Central Aceh and Bener Meriah district indicates that the marketing channel to the cooperative (exporter) is a marketing channel with the lowest marketing margin, the lowest marketing cost and the largest farmer's share compared to other marketing channels. However, the marketing channels are inefficient in terms of the profits magnitude earned by each marketing agencies with relatively little marketing costs.

Asymmetric price transmission is also due to transaction costs. The higher the transaction costs would be a loss to farmers in marketing their products so it will affect the selection of Gayo Arabica coffee marketing channels by farmers. The transaction cost that effect the chance of farmers to choosing the marketing channels to cooperative (exporter) in Central Aceh are the time used to find price information, price received by farmers and dummy of price access. Meanwhile in Bener Meriah, the transaction cost which the farmers in choosing the marketing channel to cooperative traders (exporters) are prices received by farmers, the period length of the payment from the merchant, and dummy credit access to traders.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

INTEGRASI PASAR DAN DAYA SAING UDANG

INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

ULFIRA ASHARI

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN EKSPOR KOPI

ARABIKA GAYO DI PROVINSI ACEH

NORATUN JULIAVIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Analisis Efisiensi Pemasaran Ekspor Kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Sahara, SP, M.Si, selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, MS, selaku anggota komisi pembimbing dan ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si, selaku penguji Luar Komisi dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc, selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis.

3. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

5. Bapak Johan, Ibu Ina, Bapak Widi, Ibu Kokom, Bapak Erwin, Bapak Khusein, selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.

6. Seluruh anggota keluarga penulis, khususnya orang tua tercinta Rumiati dan Alm. Sulaiman Yusuf terima kasih atas doa dan dukungan yang diberikan selama studi. Suami tercinta Machfud Hamdan, terima kasih atas pengertiannya yang mendalam, do‘a dan semangat untuk penyelesaian tesis ini. Abang-abangku Khaidir, Ikhsan Akbar, dan Adik-adikku Latifah, dan Afrizal yang telah memberikan semangat dan dorongan selama pendidikan. 7. Sahabat-sahabatku Nurul Iski, Khumaira, Ulfira Ashari, Devi Agustia, Ihdiani

Abu Bakar, Dinda Julia, Dewi Asrini, dan Dea Amanda, yang telah seperti keluarga di Bogor, memberikan dukungan serta semangat.

8. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah.

Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan yang merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan yang dapat membangun penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, April 2016

(16)
(17)

DAFTAR ISI

PRAKATA v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujusan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Kerangka Teoritis 10

Penelitian Terdahulu 24

Kerangka Pemikiran 29

Hipotesis Penelitian 31

3 METODE PENELITIAN 32

Jenis dan Sumber Data 32

Lokasi dan Waktu Penelitian 32

Metode Pengambilan Sampel 32

Metode Analisis Data 33

Analisis Transmisi Harga 33

Analisis Perilaku Pasar Kopi Arabika Gayo 36

Analisis Saluran Pemasaran 36

Analisis Kinerja Pasar 36

Analisis Pengaruh Biaya Transaksi terhadap Pemilihan Saluran

Pemasaran Oleh Petani Kopi Arabika Gayo 37

4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK RESPONDEN KOPI ARABIKA GAYO 40

Lokasi Perkebunan Kopi Arabika Gayo 40

Karakteristik Responden di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah 41

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 50

Transmisi Harga Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan

Bener Meriah 50

Perilaku Pasar Kopi Arabika Gayo 59

Analisis Saluran Pemasaran Kopi Arabika Gayo 68

(18)

Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap Pemilihan Saluran Pemasaran 79

6 KESIMPULAN DAN SARAN 87

Kesimpulan 87

Saran 88

DAFTAR PUSTAKA 89

LAMPIRAN 95

(19)

DAFTAR TABEL

1 Luas areal, produksi, dan produktivitas kopi Indonesia tahun 2010 –

2013 1

2 Ekspor kopi Indonesia menurut jenisnya tahun 2008-2012 2 3 Karakteristik dan produksi kopi spesialti (arabika) di Indonesia 3 4 Variabel biaya transaksi yang mempengaruhi pemilihan saluran

pemasaraan kopi Arabika Gayo 38

5 Lokasi penelitian dan jumlah petani kopi arabika Gayo di kabupaten

Aceh Tengah dan Bener Meriah 42

6 Karakteristik petani responden kopi Arabika Gayo di kabupaten

Aceh Tengah dan Bener Meriah tahun 2015 42

7 Karakteristik produksi kopi Arabika Gayo di kabupaten Aceh

Tengah dan Bener Meriah tahun 2015 43

8 Karakteristik pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah dan Bener Meriah tahun 2015 44

9 Indentitas pedagang responden kopi Arabika Gayo di kabupaten

Aceh Tengah da Bener Meriah tahun 2015 45

10 Volume penjualan kopi Arabika Gayo di KBQ. Baburrayyan tahun

2010- 2014 47

11 Deskripsi statistik dari harga petani, dan eksportir Kopi Arabika Gayo dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014 di Kabupten

Aceh Tengah 50

12 Deskripsi statistik dari harga petani, dan eksportir Kopi Arabika Gayo dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014 di Kabupaten

Bener Meriah. 50

13 Hasil uji stationeritas data harga Petani dan eksportir pada level dan First difference dengan ADF Test pada Kabupaten Aceh Tengah dan

Bener Meriah 51

14 Hasil pengujian lag optimal pada Kabupaten Aceh Tengah 51 15 Hasil pengujian lag optimal pada Kabupaten Bener Meriah 52 16 Hasil uji kointegrasi pada data harga petani dan harga eksportir di

Kabupaten Aceh Tengah 52

17 Hasil uji kointegrasi pada data harga petani dan harga eksportir di

Kabupaten Bener Meriah 53

18 Hasil uji kausalitas dengan metode Granger Test di Kabupaten Aceh

Tengah 53

19 Hasil uji kausalitas dengan metode Granger Test di Kabupaten Bener

Meriah 54

20 Hasil estimasi model AECM pada kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Januari 2008 sampai Desember 2014 55 21 Hasil estimasi model AECM pada kopi Arabika Gayo di Kabupaten

Bener Meriah, Januari 2008 sampai Desember 2014 56 22 Uji Wald Test dengan model AECM di Kabupaten Aceh Tengah dan

Bener meriah 57

(20)

25 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat petani responden 63 26 Profil koperasi responden di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener

Meriah 63

27 Jumlah premi pada koperasi responden tahun 2014 64 28 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat koperasi

responden 65

29 Realisasi ekspor Kopi Arabika Gayo per perusahaan ekspor tahun

2014 66

30 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat eksportir 67 31 Farmer’s share pada saluran pemasaran Kopi Arabika Gayo di

Kabupaten di Kabupaten Aceh Tengah tahun 2015 77 32 Farmer’s share pada saluran pemasaran Kopi Arabika Gayo di

Kabupaten di Kabupaten Bener Meriah tahun 2015 78 33 Statistik deskriptif variabel-variabel dalam model di Kabupaten

Aceh Tengah 79

34 Statistik deskriptif variabel-variabel dalam model pada Kabupaten

Bener Meriah 81

35 Hasil pendugaan parameter biaya transaksi yang mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah 83

36 Hasil pendugaan parameter biaya transaksi yang mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran kopi Arabika di Kabupaten Bener

Meriah 84

DAFTAR GAMBAR

1 Proporsi jumlah ekspor kopi arabika di Indonesia berdasarkan sentra

produksi tahun 2013 2

2 Perkembangan harga ekspor kopi Arabika Gayo dan harga kopi

arabika dunia 3

3 Volume dan nilai ekspor kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh tahun

2008-2013 4

4 Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani Kabupaten Aceh Tengah dan di tingkat Eksportir tahun 2008-2014 di Provinsi

Aceh 6

5 Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani di Kabupaten Bener Meriah dan di tingkat eksportir tahun 2008-2014 di

Provinsi Aceh 6

6 Transmisi harga asimetris menurut kecepatan dan besaran 11 7 Transmisi harga tidak simetris positif dan negatif 13

8 Marjin pemasaran 20

9 Kerangka pemikiran operasional 30

10 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah 69 11 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener Meriah 70 12 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

(21)

13 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah pada saluran 2 tahun 2015 73

14 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah pada saluran 3 tahun 2015 74

15 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten

Bener Meriah pada saluran 1 tahun 2015 76

16 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener

Meriah pada saluran 2 tahun 2015 76

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kondisi Lahan Kopi Arabika Gayo 97

2 Transmisi Harga Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan

Bener Meriah 98

3 Analisis marjin pemasaran dan farmer’s share kopi Arabika Gayo di

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah 104

4 Pengaruh Biaya Transaksi terhadap pemilihan Saluran Pemasaran

(22)
(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kopi memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai sumber perolehan devisa maupun sebagai sumber penghidupan petani yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Kenyataan ini ditunjukkan dari total luas areal kopi sebesar 1.2 juta hektar, 96 persen terdiri atas perkebunan rakyat dan sisanya masing-masing sebesar 2 persen untuk perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta (BPS 2014a). Sumbangan subsektor perkebunan terhadap devisa negara mencapai USD 29.5 miliar pada tahun 2013 atau setara dengan 90 persen dari total devisa negara dari sektor pertanian. Kopi menyumbang devisa negara sebesar USD 1.17 miliar yang berada diurutan ketiga setelah kelapa sawit (USD17.6 miliar), dan karet (USD 6.1 miliar) (Ditjenbun 2014).

Pada tahun 2014, Indonesia menempati urutan keempat sebagai eksportir kopi terbesar di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia (ICO 2015). Ekspor kopi merupakan tujuan utama dalam memasarkan produk kopi yang dihasilkan oleh Indonesia. Produksi kopi Indonesia berupa jenis kopi robusta dan arabika. Perkembangan luas areal dan produksi kopi Indonesia menurut jenisnya selama periode 2010 sampai 2013 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas areal, produksi, dan produktivitas kopi Indonesia tahun 2010 – 2013 Keterangan 2010 2011 2012 2013 Pertumbuhan (%)

Luas Areal (ha) 1 210 365 1 233 697 1 235 289 1 240 919 0.84

Kopi Robusta 958 782 940 184 929 203 933 190 (0.89) Kopi Arabika 251 583 293 513 306 086 307 729 7.16

Produksi (ton) 686 921 638 648 691 163 692 840 0.48

Kopi Robusta 540 28 489 809 528 505 528 272 (0.50) Kopi Arabika 146 641 148 839 162 658 164 568 3.99

Produktivitas (kg/ha)

Kopi Robusta 766 685 730 740

Kopi Arabika 925 765 800 808

Sumber: Kementan 2014

(24)

Perkembangan ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis (arabika dan robusta) dari tahun 2008-2013 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Ekspor kopi Indonesia menurut jenisnya tahun 2008-2012

(Ton, 000 US$) Jenis

Kopi Uraian 2008 2009 2010 2011 2012 Pertumbuhan (%) Arabika Volume 50 952 59 735 62 854 78 036 73 715 8.76 Nilai 141 926 228 072 172 909 249 162 438 671 158.19 Robusta Volume 247 852 348 187 434 430 360 603 265 368 16.58

Nilai 425 332 630 917 608 304 571 977 580 266 97.56 Sumber : AEKI, 2013

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pertumbuhan volume ekspor kopi robusta lebih tinggi dibandingkan kopi arabika, namun dari sisi nilai ekspor kopi arabika lebih unggul dibandingkan dengan kopi robusta. Hal ini menunjukkan harga jual kopi arabika lebih tinggi dibandingkan kopi robusta. Oleh karena itu, peluang kopi arabika Indonesia di pasar dunia sangat besar. Kopi arabika memiliki nilai jual yang tinggi karena diekspor dalam kualitas bagus (Grade 1) (AEKI 2014).

Salah satu produsen utama kopi arabika di Indonesia adalah Provinsi Aceh. Pada Gambar 1 terlihat bahwa selama tahun 2013 ekspor kopi arabika yang berasal dari Provinsi Aceh mencapai 28.32 persen dari total ekspor kopi arabika Indonesia (67 ribu ton) (Kementan 2014). Seluruh lahan kopi di Provinsi Aceh merupakan perkebunan rakyat dan sebagian besar (83%) luas lahan kopi di daerah ini ditanami kopi arabika sebesar 101 ribu hektar, sisanya sebesar 17 persen (20 ribu hektar) ditanami kopi robusta (Disbun Provinsi Aceh 2014).

Sumber : Kementan 2014

Gambar 1 Proporsi jumlah ekspor kopi arabika di Indonesia berdasarkan sentra produksi tahun 2013

(25)

Coffee, dan Papua Coffee (AEKI 2014). Karakteristik kopi spesialti tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik dan produksi kopi spesialti (arabika) di Indonesia tahun 2013

Kopi Arabika Spesialti Karakteristik Produksi (ton/tahun)

Gayo Maountain - Provinsi Aceh very good aroma & complex flavor, good acidity & strong body

15 000-20 000

Mandheling - Sumatera Utara very good aroma & flavor, light acidity & medium body

10 000-15 000

Java - East Java good aroma & flavor, high clean acidity & medium body, spicy tone

3 000-4 000

Toraja – Sulawesi excellent aroma & flavor, high acidity & medium body, balance bitter hints

3 000-5 000

Kintamani – Bali good aroma & flavor, medium to high acidity & medium body

2 000-3 000

Sumber: AEKI 2014

Berdasarkan Tabel 3, produksi kopi arabika terbesar di Indonesia yaitu kopi Arabika Gayo. Kopi Arabika Gayo memiliki karakteristik yang sangat baik dari segi aroma dan rasa. Menurut SCAA (Specialty Coffee Association of America) kopi Arabika Gayo tergolong kopi spesialti. Aroma khas dengan perisa (flavor) kompleks dan kekentalan (body) yang kuat, menjadikan kopi Arabika Gayo sebagai kopi berkualitas tinggi yang sangat diminati oleh pasar kopi dunia. Hal inilah yang menyebabkan kopi Arabika Gayo mempunyai harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika yang berasal dari daerah lain dan bahkan dengan harga kopi arabika dunia (AEKI 2014). Perkembangan harga ekspor kopi Arabika Gayo dan harga kopi dunia dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: International Coffee Organization 2015 (diolah); Disperindag dan UKM Provinsi Aceh 2015 (diolah)

(26)

Harga kopi arabika dari dataran tinggi Gayo biasanya lebih mahal dari pada harga kopi arabika dunia, hal ini karena kopi Arabika Gayo digolongkan dalam other milds yang memiliki mutu lebih baik dibanding dengan mutu kopi Arabika Brazillian natural. Oleh karena itu, harga kopi Arabika Gayo termasuk harga peremium. Harga kopi Arabika Gayo memiliki nilai jual lebih tinggi 30 sampai 50 cent US$/lb atau setara dengan Rp 8 584 sampai Rp 11 860 per kg atau lebih mahal dibandingkan dengan harga kopi arabika lainnya (ICO 2015).

Kopi arabika yang berasal dari Provinsi Aceh lebih dikenal sebagai kopi Arabika Gayo. Nama Gayo itu sendiri adalah salah satu nama suku di Provinsi Aceh, dimana daerah ini merupakan di daerah penghasil utama kopi arabika di Provinsi Aceh, nama daerahnya dikenal dengan sebutan Dataran Tinggi Gayo (DTG). Perkembangan volume dan ekspor kopi Arabika Gayo selama periode tahun 2008 sampai 2013 dapat dilihat pada Gambar 3.

0 10000000 20000000 30000000 40000000 50000000 60000000 70000000 0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

N il a i E k s p o r (U S $ ) V o lu m e E k s p o r (K g )

Volume Ekspor (kg) Nilai Ekspor (US$)

Sumber : Disperindag dan UKM Provinsi Aceh 2014 (diolah)

Gambar 3 Volume dan nilai ekspor kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh tahun 2008-2013

Pada Gambar 3 terlihat selama tahun 2008 sampai 2013, perkembangan volume ekspor memiliki tren yang meningkat, akan tetapi tidak diikuti oleh perkembangan nilai ekspor, dimana nilai ekspor cenderung berfluktuasi. Perkembangan ekspor kopi arabika mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.3 persen per tahun, sedangkan nilai ekspor meningkat sebesar 43.44 persen per tahun (Disperindagkop dan UKM Aceh 2014). Tingginya peningkatan nilai ekspor kopi Arabika Gayo diduga disebabkan oleh perubahan konsumsi yang terjadi di negara pengimpor yang berdampak terhadap harga kopi Arabika Gayo di domestik.

(27)

Perumusan Masalah

Daerah penghasil kopi terbesar di Provinsi Aceh adalah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Luas areal perkebunan kopi di kedua Kabupaten ini mencapai 80 persen (96 ribu hektar) dari total luas lahan kopi di Provinsi Aceh yaitu 121 ribu hektar. Perkebunan kopi yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah seluruhnya merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani mencapai 77 ribu Kepala Keluarga (KK) (BPS 2014b). Menurut ICRRI (2008), sumbangan kopi Arabika Gayo terhadap pendapatan keluarga bervariasi antara 50 sampai 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagian besar bertumpu pada sektor perkebunan kopi Arabika Gayo.

Transmisi harga ini terkait dengan perubahan dua faktor utama dalam pembentukan harga yaitu permintaan dan penawaran (Tomek 2000). Perubahan-perubahan yang terjadi pada harga ekspor kopi Arabika Gayo erat kaitannya dengan perubahan konsumsi dan permintaan di negara importir. Hal ini menjelaskan seharusnya perubahan harga ekspor akan mempengaruhi harga di tingkat petani. Namun, struktur dan perilaku pasar di level tertentu diduga tersegmentasi sehingga perubahan harga ekspor di tingkat eksportir ke level petani tertransmisi secara asimetris, artinya jika terjadi kenaikan harga di tingkat eksportir maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Hal ini sejalan dengan Irawan (2007), transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris, dalam pengertian bahwa jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga akan diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna. Saluran pemasaran diharapkan menjadi sebuah sistem yang efisien dan efektif agar mampu mengintegrasikan antara produsen (petani) dan eksportir. Transmisi harga menjadi salah satu indikator untuk melihat tingkat efisiensi dari suatu pasar pada suatu komoditi.

(28)

Sumber: Disbunhut Kabupaten Aceh Tengah 2015 (diolah); Disperindag dan UKM Provinsi Aceh 2015 (diolah)

Gambar 4 Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani Kabupaten Aceh Tengah dan di tingkat Eksportir tahun 2008-2014 di Provinsi Aceh

Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani cenderung stabil pada periode 2008 sampai 2014. Sebaliknya harga kopi Arabika tingkat eksportir lebih berfluktuasi dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode 2011 sampai 2014. Disparitas harga antara petani dengan eksportir cenderung stabil pada periode 2008 sampai dengan 2010 dan disparitas harga cenderung membesar pada tahun 2011, 2012 dan terbesar terjadi pada tahun 2014.

Sumber: Disbunhut Kabupaten Bener Meriah 2015 (diolah); Disperindag dan

UKM Provinsi Aceh 2015 (diolah)

(29)

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa harga kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener Meriah pada tingkat petani cenderung stabil pada periode 2008 sampai 2014. Sebaliknya harga kopi Arabika tingkat eksportir lebih berfluktuasi dengan fluktuasi terbesar terjadi pada periode 2011 sampai 2014. Sama halnya dengan Kabupaten Aceh Tengah, disparitas harga antara petani dengan eksportir di kabupaten ini cenderung stabil pada periode 2008 sampai 2010 dan disparitas harga cenderung membesar pada tahun 2011, 2012 dan terbesar terjadi pada tahun 2014

Di sisi lain, perbedaan bentuk kopi yang dipasarkan akan mempengaruhi perbedaan harga jual. Petani di Kabupaten Aceh Tengah menjual kopi dalam bentuk kopi gabah dan petani di Kabupaten Bener Meriah menjual kopi dalam bentuk kopi gabah dan kopi gelondongan. Menurut Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah dan Bener Meriah (2014), selama tahun 2014 rata-rata harga jual kopi gabah di tingkat petani mencapai Rp 26 218 /kg, sedangkan rata-rata harga jual kopi gelondong di Kabupaten Bener Meriah hanya Rp 12 089/kg. Tingginya harga kopi gabah dikarenakan petani melakukan proses pengupasan kulit kopi dan proses penjemuran. Selain itu, aktivitas penyortiran kopi gelondongan yang telah sempurna merahnya merupakan salah satu aktivitas penting dalam menjaga konsistensi kualitas kopi yang dihasilkan (ICRRI 2008).

Transmisi harga kopi Arabika Gayo antara eksportir dan produsen (petani) sangat menentukan efisiensi sistem pemasaran yang terlibat. Pada kasus vertikal, tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan tertransmisi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya (Goodwin 2006). Kondisi petani yang tidak mengetahui perkembangan harga, memungkinkan marjin pemasaran antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen menjadi sangat tinggi. Fenomena pasar ini menurut Kohls dan Uhl (2002) telah menyebabkan mekanisme pasar tidak bekerja dengan sempurna dan akibatnya sistem pemasaran menjadi tidak efisien.

Menurut Vavra dan Goodwin (2005), salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikkan atau menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak tertransmisi.

(30)

Rantai pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener meriah menunjukkan bahwa petani menjual hasil produksi melalui pedagang pengumpul. Petani tidak bisa menjual langsung hasil produksinya ke koperasi atau perusahaan ekspor. Petani Kabupaten Aceh Tengah menjual hasil produksi melalui pedagang pengumpul dari eksportir swasta, pedagang pengumpul dari koperasi (eksportir), dan pedagang pengumpul dari koperasi (non eksportir). Sedangkan di Kabupaten Bener Meriah petani menjual hasil produksi melalui pedagang pengumpul dari koperasi (eksportir) dan pedagang pengumpul dari koperasi (non eksportir). Perilaku dari pedagang perantara dan tidak adanya lembaga formal yang mengatur pertukaran seperti pembelian dan penjualan diperkirakan akan meningkatkan biaya transaksi. Lebih lanjut Dorward et al (2009) menjelaskan peran kelembagaan dapat mengurangi biaya transaksi dan risiko bagi petani dalam memasarkan produk. Tidak adanya lembaga yang tepat yang mengatur pertukaran baik penjualan maupun pembelian, diharapkan petani dapat memilih saluran pemasaran yang membebankan biaya transaksi yang lebih rendah. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa pemasaran kopi Arabika Gayo efisien atau tidak, maka yang permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana transmisi harga kopi Arabika Gayo antara eksportir dan petani di Provinsi Aceh?

2. Bagaimana perilaku pasar kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh?

3. Bagaimana saluran dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh? 4. Bagaimana pengaruh biaya transaksi terhadap pemilihan saluran pemasaran

kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis transmisi harga antara eksportir dan petani di Provinsi Aceh. 2. Menganalisis perilaku pasar kopi arabika Gayo di Provinsi Aceh.

3. Menganalisis saluran dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh. 4. Menganalisis pengaruh biaya transaksi terhadap pemilihan saluran pemasaran

kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan, antara lain:

1. Pelaku bisnis kopi Arabika Gayo untuk membantu dalam perencanaan produksi dan pemasarannya serta mengantisipasi fluktuasi harga kopi Arabika Gayo.

(31)

3. Pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dalam penyusunan kebijakan di sektor perkebunan terutama komoditas kopi arabika.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai transmisi harga, perilaku pasar, kinerja pasar kopi Arabika Gayo, dan pengaruh biaya transaksi terhadap pemilihan saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh. Transmisi harga yang dimaksud pada penelitian ini adalah transmisi harga kopi Arabika Gayo secara vertikal antara harga di tingkat eksportir dan harga tingkat produsen (petani) Indonesia sehingga tidak membahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor non harga yang mempengaruhinya. Fenomena transmisi harga tidak simetris yang dibahas dalam penelitian ini pada fenomena asimetris dari sisi waktu penyesuaian (kecepatan). Transmisi harga yang diteliti pada penelitian ini hanya transmisi harga secara vertikal.

Sebagian besar (95%) kopi Arabika Gayo yang di ekspor adalah kopi arabika organik. Oleh karenanya, sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini, Maka kajian transmisi harga dan pemasaran kopi Arabika Gayo yang akan dikaji adalah kopi Arabika Gayo organik.

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini yaitu data harga kopi arabika Gayo di tingkat eskportir adalah data yang diperoleh dari hasil proxy dari nilai ekspor dengan volume ekspor, data didapatkan dari Disperindag dan UKM Provinsi Aceh.

(32)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kerangka Teoritis

Teori Transmisi Harga

Menurut Amikuzuno dan Ogundari (2012), khusus untuk bidang ekonomi pertanian, analisa transmisi harga sudah berkembang sejak 50 tahun terakhir. Penelitian mengenai transmisi harga diawali dengan analisa tingkat transmisi harga antar dua pasar yang berbeda wilayah geografisnya, yang kemudian disebut dengan interaksi secara spasial. Penelitian kemudian berkembang untuk melihat interaksi harga yang terjadi antar dua level pasar yang berada dalam satu rantai pemasaran, yang kemudian disebut dengan interaksi secara vertikal.

Para ekonom neo-klasik percaya bahwa harga merupakan indikator utama yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar. Transmisi harga dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer & von Cramon-Taubadel 2004).

Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price/LOP) dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut (Goodwin 2006).

Pada kasus vertikal, tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan tertransmisi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada suatu level pemasaran akan ditransmisikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras (Goodwin 2006). Asimetris harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Meyer & von-Cramon Taubadel 2004)

Kriteria Transmisi Harga yang Tidak Simetris

Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon harga antara shock harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan shock harga negatif (saat terjadi penurunan harga): Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) mengklasifikasikan 3 (tiga) kriteria transmisi harga yang tidak simetris sebagai berikut:

(33)

yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 6.

a. Besaran

b. Kecepatan

[image:33.595.119.451.127.531.2]

c. Besaran dan Kecepatan Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004

Gambar 6 Transmisi harga asimetris menurut kecepatan dan besaran Pada Gambar 6 diasumsikan sumber dari shock harga terjadi pada Pin. Dari

Gambar 6.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran penyesuaian harga di Pout antara shock positif dengan shock negatif yang terjadi di

Pin. Pada saat terjadi shock positif di Pin, Pout akan mentransmisikan shock tersebut

secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di Pout sama dengan

kenaikan yang terjadi di Pin. Sementara saat terjadi shock negatif di Pin, penurunan

harga yang terjadi di Pout tidak terjadi dengan sempurna. Hanya seTengah dari

shock negatif di Pin yang ditransmisikan oleh Pout.

Gambar 6.b menjelaskan transmisi hargayang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di Pin pada waktu t1,

Pout akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama.

Sementara saat di Pin terjadi penurunan harga, Pout tidak dengan segera merespon Harga

Waktu

Harga

Waktu

Harga

(34)

penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n. Sehingga shock negatif di Pin baru akan ditransmisikan di Pout pada waktu t1+n.

Gambar 6.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di Pin pada waktu t1, tidak

ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya seTengahnya. Pada waktu t2 barulah seluruh shock positif di Pin ditransmisikan secara sempurna.

Sementara saat terjadi penurunan harga pada waktu yang sama di Pin, proes

transmisinya dilakukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan saat terjadi shock positif, yaitu pada waktu t3. Respon penurunan harga yang terjadi di Pout

pun tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di Pin. Hal ini menggambarkan

bahwa terjadi transmisi yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian yang ditunjukan oleh Pout saat terjadi shock negatif di Pin.

Dalam Gambar 6 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam bentuk area yang gelap. Menurut Meyer & von-Cramon Taubadel (2004), transmisi harga tidak simetris dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara permanen (Gambar 6.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Sedangkan transmisi harga tidak simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang sifatnya sementara. Adapun ukuran/besaran kesejateraan yang hilang sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu transmisi antara t1 dan t1+n,

besarnya respon perubahan, dan volume transaksi yang dilakukan (Gambar 6.b). Terakhir, transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen (Gambar 6.c). Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini.

Kriteria kedua, mengacu pada Peltzman (2000) dalam Meyer & von-Cramon Taubadel (2004), transmisi harga yang tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positif adalah kondisi dimana shock positif akan direspon secara lebih cepat dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi shock negatif (Gambar 7.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi dimana shock negatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon dibandingkan shock positif (Gambar 7.b).

a. Transmisi harga tidak simetris positif

Harga

(35)

b. Transmisi harga tidak simetris negatif Sumber: Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004

Gambar 7 Transmisi harga tidak simetris positif dan negatif

Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu), contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk menghindari kesalahan penafsiran, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya tekanan terhadap marjin (squeeze marjin) dibandingkan saat adanya penambahan marjin (stretch marjin). Yang dimaksud dengan squeeze marjin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (Pin) atau penurunan harga di hilir (Pout), sementara stretch marjin adalah saat

terjadi penurunan Pin atau kenaikan Pout.

Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu menikmati harga yang rendah. Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah menikmati penurunan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, harga di level konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan berkurang. Meskipun demikian, Vavra & Goodwin (2005) menyebutkan bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan faktor biaya transaksi (adjustment cost) pada kasus transmisi vertikal) dalam perhitungan transmisi harga.

Kriteria yang ketiga transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara vertikal atau spasial. Transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan saat terjadi penurunan harga internasional.

Harga

(36)

Penyebab Asimetris Harga

Market Power

Irawan (2007) menjelaskan proses transmisi harga yang tidak sempurna dan bersifat asimetris terjadi pada komoditas pertanian. Pada dasarnya dinamika harga komoditas pertanian di daerah konsumen memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Namun, informasi pasar mengenai naik turunnya harga diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen lebih tinggi dibanding di pasar produsen dan perbedaan fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna.

Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar. Sebagian lagi mengemukan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun pasar tersebut berada pada pasar persaingan sempurna (Meyer & von Cramon-Taubadel 2004).

Ward (1982) menyebutkan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan bahwa kenaikan harga justru beresiko terhadap penurunan marjinnya. Bailey & Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli, transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif.

Adjustment Cost

(37)

Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak simetris antara lain: (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga naik karena takut kehabisan stok (3) adanya intervensi pemerintah (Vavra & Goodwin 2005).

Metode Analisis Transmisi Harga

Analisa transmisi harga asimetris untuk produk pertanian pertama kali dilakukan oleh Tweeten & Quance (1969), yang menggunakan teknik variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran yang tidak dapat diubah. Variabel dummy digunakan untuk memisahkan harga bahan baku menjadi dua, yaitu variabel yang hanya terdiri dari kenaikan harga input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik (Meyer & von Cramon-Taubadel 2004).

Wolffram (1971) memperkenalkan teknik pemisahan variabel baru dengan menggunakan data harga turunan (first difference) ke dalam persamaan yang akan diestimasi. Metode tersebut kemudian dimodifikasi oleh Houck (1979) dengan mengeluarkan nilai observasi awal, karena level observasi yang pertama dinilai tidak memiliki kekuatan penjelasan bebas. Ward (1982) kemudian mengembangkan model Houck dengan menambahkan lag pada variabel eksogen, seperti efek keterlambatan dan lamanya waktu lag, yang tetap dapat dipisahkan antara efek kenaikan harga dan efek penurunan harga (Meyer & von Cramon-Taubadel 2004).

Boyd & Brorsen (1988) adalah yang pertama menggunakan lag untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian (speed of adjustment) dengan besaran penyesuaian (magnitude of adjustment) (Meyer & von Cramon-Taubadel 204). Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukkan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu, dan nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian.

Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif).

(38)

Konsep tersebut didasari oleh penelitian Engle & Granger (1987) sebelumnya yang menunjukkan bahwa kointegrasi untuk data time series yang tidak stasioner akan merepresentasikan nilai ECT yang valid (Hassouneh et al 2012). Mereka menyebutkan bahwa teknik prekointegrasi untuk analisa transmisi harga asimetri justru dapat menghasilkan regresi lancung (spurious regression) karena menggunakan series data yang tidak stasioner.

Pada analisa transmisi harga dengan metode ECM, ECT kemudian dipisahkan antara bentuk positif dengan bentuk negatif. ECT positif menunjukkan kondisi penyimpangan di atas garis keseimbangan jangka panjang, sementara ECT negatif menunjukkan kondisi penyimpangan di bawah garis keseimbangan jangka panjangnya. Acquah & Onumah (2010) menyebutkan bahwa penggunaan metode ECM lebih disarankan dibandingkan metode Houck yang konvensional. Meskipun demikian, Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga dengan menggunakan ECM hanya dapat menggambarkan pola asimetris dari sisi waktu penyesuaian. Hal ini disebabkan analisa kointegrasi dan ECM merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga tidak simetris terjadi dari sisi besaran penyesuaian maka data tidak akan saling terkointegrasi.

Analisa transmisi harga yang sederhana dilakukan dengan mengikuti metode Houck (1979) dalam Acquah dan Onumah (2010), yang membagi efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Metode Houck kemudian disebut dengan model statis, yang dapat ditulis dalam persamaan berikut: ) 1 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... , 1 , 1

,t Bt Bt t

A P P v

P     

Dimana PB+ dan PB- merupakan perubahan positif dan negatif yang terjadi

pada PB Pengujian transmisi harga simetri dilakukam dengan membandingkan koefisien β1+dan β1-, transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila kedua

keofisien tersebut signifikan tidak identik.

Metode Houck dianggap tidak sesuai apabila terdapat hubungan kointegrasi antara dua series data harga. Von Cramon-Taubadel mengusulkan pendekatan ECM lebih valid untuk digunakan untuk pengujian transmisi harga asimetris. Penggunaan ECM dalam analisa transmisi harga tidak simetris pertama kali dilakukan oleh Granger dan Lee (1989) dalam Acquah dan Onumah (2010), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

) 2 . 2 ...( ... ... ... ... 1 2 1 2 , 1 ,     

PAt PAtECTt ECTt

Dimana PA dan PB merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan

jangka panjang (keseimbangan kointegrasi) dari dan , yang kemudian dipisahkan dalam bentuk positif (ECT+) dan negatif (ECT-). ECT+ menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan jangka panjang. Sebaliknya, ECT- menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang. Koefisien β2+dan β2- diharapkan bernilai

negatif, artinya bahwa penyimpangan yang terjadi akan kembali ke garis keseimbangan. Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan keidentikan

koefisien β2+dengan β2+

(39)

dengan menggabungkan model Houck dan model ECM Granger. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon- Taubadel dan Loy sebagai berikut: ) 3 . 2 ...( ... ... ... 1 2 1 2 1 1 , 1

, P P ECT ECT e

PAt   Bt    tt

        

Pada model ini, proses transmisi harga dapat dilihat dalam parameter jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara statistik. Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga pun telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al (2012). Hassouneh et al (2012) membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan ECM dan VECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM.

Perilaku Pasar Komoditas pertanian

Asmarantaka (2012) menjelaskan perilaku pasar merupakan perilaku pembeli dan penjual, strategi atau reaksi yang dilakukan pembeli dan penjual secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi dengan penjual dan pembeli lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran suatu pasar. Perilaku pasar merupakan pola perilaku penjual/pedagang dan pelaku pasar lainnya yang mengadopsi untuk mempengaruhi atau menyesuaikan di pasar tempat jual dan beli tersebut. Hal ini termasuk perilaku penentuan harga dan praktek jual-beli.

Perilaku pasar dapat diketahui melalui pengamatan terhadap penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh tiap lembaga pemasaran, sistem penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama antar berbagai lembaga pemasaran. Dengan melihat perilaku pasar, maka keragaan pasar yang merupakan suatu keadaan sebagai dampak dari struktur pasar dan perilaku pasar dalam menilai baik tidaknya suatu sistem pemasaran (Dahl dan Hammond 1977).

Asmarantaka (2012) mengemukakan tiga cara dalam mengenal perilaku pasar yaitu:

1. Penentuan harga dan setting level of output yaitu menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh pada perusahaan lain dan dilakukan secara bersama-sama penjual atau berdasarkan price leadership (pemimpin harga). 2. Product promotion policy yaitu dilakukan melalui pameran dan iklan atas nama

perusahaan.

3. Predatory and Exclusivenary tactics yaitu dengan cara menetapkan harga di bawah biaya marjinal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan pesaing keluar dari pasar.

(40)

Konsep Pemasaran

Kohl dan Uhl (2002) mendefinisikan pemasaran sebagai keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran dari produk-produk dan jasa-jasa mulai dari tingkat produksi pertanian sampai tingkat konsumen akhir. Dahl dan Hammond (1977) menekankan pengertian pemasaran merupakan suatu rangkaian fungsi dari lembaga pemasaran yang dibutuhkan untuk menggerakkan input ataupun produk dari titik produksi ke konsumen akhir. Dengan demikian, pemasaran adalah suatu kegiatan yang produktif karena memberikan nilai tambah dan menghasilkan berbagai kegunaan waktu, tempat, milik dan bentuk.

Sistem Kelembagaan Pemasaran

Menurut Kohls dan Uhl (2002) kelembagaan pemasaran merupakan berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran (aktivitas bisnis). Adapun yang termasuk dalam istilah lembaga pemasaran antara lain:

1) Pedagang perantara (merchant middlemen) merupakan individu pedagang yang memiliki dan menguasai produk serta melakukan penanganan berbagai fungsi pemasaran dalam pembelian dan penjualan produk dari produsen ke konsumen. Seperti pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholesalers).

2) Agen perantara (agent middlemen) merupakan pihak yang hanya mewakili klien yang disebut principals dalam melakukan penanganan produk atau jasa. 3) Spekulator (speculative middlemen) adalah pedagang perantara yang membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal).

4) Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) merupakan kelompok bisnis yang beraktivitas dalam menangani produk dan merubah bentuk bahan baku menjadi bahan seTengah jadi atau produk akhir.

5) Organisasi (facilitative organization) berperan dalam memperlancar aktivitas pemasaran. Contohnya dalam membuat peraturan-peraturan kebijakan, pelelangan, asosiasi eksportir atau importir, pembiayaan dan peraturan pasar.

Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa pendekatan fungsional merupakan proses penyampaian barang dan jasa kepada konsumen yang dilakukan dengan proses yang lancar. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut meliputi : 1. Fungsi pertukaran yaitu kegiatan yang memperlancar pemindahan hak milik

dari barang dan jasa. Fungsi pertukaran terdiri atas fungsi pembelian, fungsi penjualan dan fungsi pengumpulan.

2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi ini merupakan aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari produk/jasa serta turunannya. Fungsi ini meliputi fungsi penyimpanan, pengolahan , pengemasan dan pengangkutan.

(41)

Efisiensi Pemasaran

Asmarantaka (2012) juga menjelaskan, pemasaran yang efisien adalah pasar persaingan sempurna. Tetapi, struktur pasar ini realitanya tidak dapat ditemukan sehingga dipergunakan indikator efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Untuk mengetahui besaran indikator efisiensi operasional dipergunakan analisis marjin pemasaran (marketing marjin) atau sebaran harga antara harga di tingkat petani dengan di tingkat eceran. Sedangkan efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi pemasaran. Efisiensi ini menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat dengan pemasaran puas atau responsif terhadap harga yang berlaku

Kinerja Pasar

Kinerja pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) merupakan keadaan sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar. Kondisi ini yang akhirnya menunjukkan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem pemasaran. Secara normatif, pemasaran yang efisien adalah struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition). Tetapi struktur pasar ini secara realita tidak dapat ditemukan. Dimana pada pasar ini semua konsumen, produsen dan lembaga-lembaga yang terlibat memiliki kepuasan yang sama. Ukuran untuk mengukur tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif (Kohls dan Uhl 2002). Oleh sebab itu, banyak pakar yang mempergunakan indikator ukuran efisiensi operasional dan efisiensi harga sebagai ukuran efisiensi dalam pemasaran (Dahl dan Hammond 1977; Kohls dan Uhl 2002).

Analisis yang sering digunakan dalam kajian efisiensi operasional adalah analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Efisiensi operasional menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam menentukan alokasi sumberdaya yang tersedia secara efisien apa yang diproduksi produsen dengan apa yang diinginkan konsumen. Tingkat efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat puas atau responsif terhadap harga yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar di tingkat petani.

Marjin Pemasaran

Marjin pemasaran ditentukan oleh struktur pasar dimana kegiatan pemasaran terjadi. Perbedaan harga di tingkat produsen dan tingkat konsumen dapat di hitung dengan marjin pemasaran. Marjin pemasaran dapat dapat didefinisikan sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani (Dahl dan Hammond 1997).

(42)

Qr,f) maka hasilnya disebut nilai marjin pemasaran (the value of the marketing margin atau VMM) (Kohls dan Uhl 2002). Secara matematik sederhana VMM = (Pr – Pf) Q. Nilai dari marjin pemasaran (VMM) dapat dipandang secara agregat atau kedalam dua aspek yang berbeda. Aspek pertama dari VMM adalah penerimaan dari input yang dipergunakan dalam proses pengolahan atau jasa pemasaran dari tingkat petani sampai konsumen (marketing costs or returns to factors). Aspek kedua sebagai balas jasa terhadap input-input pemasaran dapat berupa upah, suku bunga, sewa dan keuntungan. Atau dari aspek balas jasa terhadap kelembagaan pemasaran yaitu pedagang eceran, grosir, pengolah, pabrikan dan pengumpul (Dahl dan Hammond1977). Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan konsumen (Pr) dengan harga yang diterima oleh petani (Pf).

[image:42.595.43.482.64.743.2]

Sumber: Dahl dan Hammond 1977

Gambar 8 Marjin pemasaran Keterangan :

Pf = Harga di tingkat petani Sf = Kurva penawaran petani Df = Kurva permintaan petani Pr = harga di tingkat pedagang Sr = Kurva penawaran pedagang Dr = Kurva permintaan pedagang

Qr, f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pedagang

Faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran komoditas pertanian adalah biaya angkut, perlakuan baru, biaya penyusutan/kerusakan, tingkat harga beli, besar keuntungan, modal kerja dan kapasitas penjualan (Kohls dan Uhl 2002). Suatu sistem pemasaran dikatakan efisien bila komoditi yang dipasarkan memiliki marjin pemasaran yang rendah dengan tingkat harga yang tinggi. Namun hal ini tidak berlaku mutlak, karena marjin pemasaran yang besar dapat

Pf

Pr

Harga (P)

Sf

Sr

Df

Dr

Qr, f Jumlah Produk

(Q) Margin

(43)

diakibatkan adanya perubahan nilai tambah produk yang dihasilkan sehingga mampu meningkatkan kepuasan konsumen. Pada kondisi ini dapat saja dikatakan pasar lebih efisien. Menurut Tomek dan Robinson (1990) marjin pemasaran komoditas pertanian umumnya tinggi, yang disebabkan karena komoditas pertanian bersifat musiman, bentuk besar (voluminous) dan mudah busuk (perishable), sehingga menyebabkan tingginya biaya penyimpanan dan pengangkutan

Farmer’s Share

Konsep marjin pemasaran sangat erat kaitannya dengan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share). Menurut Kohls dan Uhl (2002) farmer’s share merupakan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dalam bentuk persentase (%). Secara umum, besaran farmer’s share dan marjin pemasaran bervariasi antar komoditi tergantung biaya relatif pemasaran yang dikeluarkan sehubungan dengan nilai tambah (the value-added utilities) waktu, bentuk, kepemilikan dan tempat berdasarkan aktifitas bisnis atau fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan (Kohls dan Uhl 2002). Oleh karenanya, marjin yang tinggi dan farmer’s share yang rendah, belum dapat dikategorikan sebagai pemasaran efisien atau tidak. Namun harus memperhitungkan bentuk, fungsi dan atribut-atribut yang melekat pada produk hingga sampai ke konsumen akhir. Secara sederhana farmer’s share dirumuskan sebagai berikut :

) 4 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... 10000

  r f s P P F dimana :

Fs = Bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) Pf = Harga di tingkat petani

Pr = Harga di tingkat pedagang

Biaya Transaksi (Transaction Cost)

Salah satu alat analisis yang populer dalam ilmu ekonomi kelembagaan adalah ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics). Alat analisis ini sering digunakan untuk mengukur efisien tidaknya suatu kelembagaan pemasaran. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi (transaksi), berarti semakin tidak efisien kelembagaan yang terbentuk, demikian sebaliknya.

Literatur ekonomi memberikan defenisi beragam tentang biaya transaksi, sebagian penulis mendefinisikan sesuai dengan konseptualisasi teoritis dan relevan dengan kasus empirisnya. Coase (1960) mendefiniskan biaya transaksi

sebagai ‗biaya mengorganisasi transaksi‘ untuk merefleksikan ongkos yang terjadi dalam situasi yang spesifik. Misalnya un

Gambar

Tabel 1  Luas areal, produksi, dan produktivitas kopi Indonesia tahun 2010 – 2013
Tabel 3  Karakteristik dan produksi kopi spesialti (arabika) di Indonesia tahun
Gambar 3  Volume dan nilai ekspor kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh tahun
Gambar 4  Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani Kabupaten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pemanfaatan tambak bagi budidaya rumput laut di Kabupaten Lutra diperlukan upaya perbaikan tanah melalui remediasi, serta pengeringan tanah pada saat persiapan

Pada Gambar 7c, korelasi antara rentang waktu dan magnitudo, dengan metode polarisasi ditemukan bahwa pada magnitudo yang semakin besar, akan ditemukan anomali dengan

KEEMPAT : Tim Penilai Kelayakan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU diberi honorarium sesuai dengan beban tugas dan tanggung jawabnya, yang

Penelitian ini mencoba memeriksa kecocokan model pilihan (yang menggabungkan model minat di enam tema teori (Holland, 1997), menguji hipotesis spesifik SCCT bahwa

Panduan Panel Penilai bagi Pemindahan Kredit Tanpa Gred Melalui Pengakreditan Pembelajaran Berdasarkan Pengalaman Terdahulu [APEL(C)] Universiti Malaya ini

Dengan mengetahui efisiensi , heat rate , dan konsumsi bahan bakar spesific (SFC) pada setiap beban yang berbeda maka akan diketahui pengaruh variasi beban

USG Boral tidak dapat menjangka semua keadaan yang mana maklumat ini dan produknya, atau produk pengilang-pengilang lain yang bergabung dengan produknya, boleh digunakan. Adalah

Pengelolaan persampahan di Kota Batam sudah cukup baik, hal ini terlihat dimana beberapa aspek teknis telah memenuhi standar kriteria, misalnya cakupan pelayanan sudah lebih dari