• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Pasar

Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya (Ravallion 1986; Heytens 1986). Dua tingkatan pasar dikatakan terintegrasi jika perubahan harga pada salah satu tingkat pasar disalurkan atau ditransfer ke pasar lain. Dalam struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan ditransfer secara sempurna ke pasar pengikut. Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan disalurkan dengan cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama (Asmarantaka 2009). Lebih lanjut pasar dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang ditunjukkan harus sama. Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan yang positif diantara harga di wilayah pasar yang berbeda.

Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi pemasaran. Ukuran efisien adalah kepuasan dari konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga yang terlibat di dalam mengalirkan barang atau jasa mulai dari petani sampai dengan konsumen akhir. Pada dasarnya efisiensi pemasaran dapat dianalisis melalui efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan rasio output-input. Sedangkan efisiensi harga merupakan indikator dalam melihat market performance. Efisiensi harga menekankan pada kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya yang efisien sehingga apa yang diproduksi produsen harus sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen. Efisiensi harga akan tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat puas atau responsif terhadap harga (price signals) yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar pengikut (Asmarantaka 2012). Menurut Heytens (1986) pasar akan berjalan secara efisien jika memanfaatkan semua informasi yang tersedia. Informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan indikator efisiensi sistem pemasaran.

Pasar yang tidak terintegrasi mengindikasikan terjadinya ketidakefisienan pasar seperti kolusi dan adanya konsentrasi pasar sehingga mengakibatkan adanya permainan harga dan distorsi harga di pasar (Barrett 1996). Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar pengikut dan kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien. Lebih jauh pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi. Artinya apabila terjadi perubahan harga di pasar acuan/pasar dunia tidak akan berpengaruh, baik cepat atau lambat terhadap harga di pasar

pengikutnya/pasar domestik. Sebaliknya jika pasar tidak tersegmentasi maka pasar dikatakan terintegrasinya, sehingga harga yang terjadi di pasar domestik dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar dunia. Jika integrasi tidak terjadi maka dimungkinkan adanya kegagalan informasi jangka pendek (Bernal et al. 2003).

Kajian tentang integrasi pasar penting dilakukan untuk melihat sejauh mana kelancaran informasi yang menunjukkan efisiensi pemasaran pada pasar. Tingkat keterpaduan pasar yang tinggi menunjukkan telah lancarnya arus informasi diantara pasar, sehingga harga yang terjadi pada pasar dipengaruhi oleh pasar acuannya. Pada dasarnya analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis yaitu integrasi pasar spasial dan integrasi pasar vertikal.

Integrasi pasar vertikal merupakan integrasi yang dipahami terjadi dalam satu rantai pemasaran, dimana perubahan harga di suatu pasar akan direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama. Pada pasar yang terintegrasi secara vertikal, intervensi pada suatu pasar akan berdampak nyata terhadap pasar lainnya, atau sebaliknya pada pasar yang tidak terintegrasi secara vertikal intervensi pada suatu pasar tidak akan berpengaruh nyata terhadap pasar lainnya.

Sedangkan integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara suatu pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial dapat mencerminkan efek perubahan harga pada suatu pasar terhadap pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Lebih lanjut Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terintegrasi apabila perubahan harga suatu pasar dirambatkan ke pasar lain, dimana semakin cepat perambatannya maka semakin terpadu pasarnya. Integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga, dan secara umum merupakan sinyal dari transmisi harga dan informasi harga diantara pasar yang terpisah secara spasial.

Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, Goodwin dan Schroeder (1991) menggambarkan integrasi pasar berkaitan dengan lokasi-lokasi spasial yang memiliki perubahan harga one to one. Lebih jauh lagi McNew (1996) membatasi integrasi pasar sebagai kondisi ekuilibrium spasial efisien yang dicerminkan oleh adanya kejutan (shock) pada pasar tertentu yang secara sempurna ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya.

Penelitian integrasi pasar spasial mengasumsikan bahwa dua regional dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika perbedaaan harga antara dua regional sama persis dengan biaya transaksi yang berhubungan dengan perdagangan (Sexton et al. 1991). Hal tersebut sejalan dengan pandangan Ravallion (1986) yang menyatakan jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi.

Selanjutnya Barrett (2005) menjelaskan bahwa dalam makroekonomi dan ekonomi internasional konsep yang umum dari integrasi pasar terfokus pada kemampuan dalam melakukan perdagangan (tradabilitas). Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan permintaan dari suatu pasar ke pasar lainnya ditrasmisikan sebagai arus fisik aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemontrasikan integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas. Pengukuran hubungan harga secara geografis dapat dianalisa dengan menggunakan model keseimbangan spasial. Model ini memungkinkan untuk mengestimasi net harga yang berlaku di tiap daerah dan kuantitas pertukaran komoditi di tiap daerah yang akan menjual atau membeli dari daerah lain. Model keseimbangan spasial sangat berguna dalam menganalisis hubungan harga antar daerah dan bentuk perdagangan di mana terdapat sejumlah daerah yang mengkonsumsi sekaligus berproduksi. Jika semua daerah menerima satu produsen surplus dan mengirimkannya secara tunggal ke daerah defisit, maka mengurangi biaya transfer dari harga pasar pusat produksi. Akan tetapi, jika masing-masing daerah memproduksi sekaligus mengkonsumsi komoditi yang diperdagangkan maka hal yang tidak selalu dapat ditentukan daerah mana yang akan menyediakan kelebihan penawaran untuk dijual kepada daerah defisit dan daerah mana yang akan meminta impor. Pandangan berbeda dikemukakan Barrett dan Li (1999) yang menyatakan bahwa analisis integrasi pasar berbeda dengan analisis keseimbangan spasial. Integrasi pasar digunakan untuk menggambarkan perdagangan dan kekuatan antar pasar. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya aliran fisik komoditas, transmisi guncangan harga dari satu pasar ke pasar lain, atau keduanya, sedangkan analisis keseimbangan spasial hanya menekankan pada aliran perdagangan antara daerah berpotensi surplus dan daerah berpotensi defisit.

Kemudian berkembang konsep yang mendasari integrasi pasar spasial dalam perdagangan internasional. Integrasi spasial antar dua pasar terjadi apabila harga untuk komoditas tertentu yang diperdagangkan secara terus-menerus antara dua negara adalah sama, sesudah disesuaikan dengan nilai tukar dan biaya transaksi. Hal tersebut sama seperti dalil harga tunggal (The Law of One Price/LOP) (Officer 1986). Dalil ini menyatakan bahwa pasar pada keadaan pasar bersaing, semua harga-harga dalam suatu pasar akan seragam setelah biaya tambahan terhadap kegunaan tempat, waktu, dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan. Kajian mengenai hubungan harga di pasar internasional yang berlandaskan dalil harga tunggal telah banyak dikembangkan, namun hasilnya beragam (Sendhil et al. 2014).

Ada beberapa prinsip yang mendasari perbedaan harga pasar spasial diantara regional (negara) terhadap harga internasional, dengan asumsi struktur pasar kompetitif, komoditi yang diperdagangkan homogen, informasi sempurna, dan tidak ada rintangan yang mengganggu perdagangan, yaitu (Tomek dan Robinson 1990):

a. Perbedaan harga antara dua negara yang melakukan perdagangan satu sama lain akan sama dengan biaya transfer yang dikeluarkan. Sedangkan perbedaan harga antara dua negara yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain akan menjadi kurang dari atau sama dengan biaya transfer.

b. Perbedaan harga antara negara tidak dapat melebihi dari biaya transfer. Artinya jika perbedaan harga lebih besar daripada biaya transfer, para pembeli akan membeli komoditi dari pasar dengan harga yang rendah dan

mengirimkannya ke pasar yang harganya lebih tinggi, kemudian pada akhirnya pergerakan harga barang dari pasar dengan harga yang lebih rendah ke yang lebih tinggi akan membawa pada kondisi keseimbangan baru. Dengan kata lain pola pembelian ini akan terus berlangsung sampai tidak menguntungkan lagi untuk melakukan pengiriman komoditi antar pasar, karena itu perbedaan harga antar regional (negara) tidak dapat melebihi biaya transfer.

Lebih jauh pola hubungan spasial antara dua pasar regional dapat bersifat hierarkis dan simetris. Pola hubungan hierarkis/satu arah ditunjukkan oleh adanya pasar sentral atau acuan dan pasar cabang atau pengikut. Tingkat harga pasar pengikut ditentukan searah oleh harga di pasar acuan, sedangkan harga di pasar acuan tidak dapat dipengaruhi oleh harga di pasar pengikut. Sebaliknya pola hubungan simetris/dua arah dicirikan oleh kesetaraan kekuatan, tidak ada pasar acuan dan pasar pengikut. Harga di kedua pasar saling mempengaruhi. Oleh karena itu, kekuatan atau ukuran relatif hubungan antarpasar spasial sangat menentukan terhadap proses pembentukan harga di masing-masing pasar (Ravallion 1986).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan suatu harga dari pasar yang terpisah secara geografis untuk komoditi yang sama dapat dianalisis dengan konsep integrasi pasar (Tomek dan Robinson 1990). Dalam kajian mengenai karet alam ini, integrasi pasar karet alam dikatakan efisien apabila perubahan harga karet alam di pasar berjangka Singapura dan Jepang akan diikuti dengan perubahan harga di masing-masing pasar produsen utama.

Integrasi pasar dapat dianalisis menggunakan beberapa metode, diantaranya:

a. Analisis korelasi harga

Metode ini digunakan untuk menghitung keeratan hubungan harga antara dua pasar. Metode korelasi harga membutuhkan data deret waktu dari dua pasar yang berbeda sehingga dapat diketahui bagaimana pergerakan harga dari waktu ke waktu. Tingkat integrasi pasar dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yang dihasilkan serta adanya korelasi yang positif diantara harga dikedua pasar. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi menunjukkan makin tingginya tingkat integrasi kedua pasar. Kelemahan metode ini adalah terlalu kasar untuk melihat hubungan harga dikedua pasar. Widarjono (2013) mengemukakan bahwa korelasi yang tinggi mungkin disebabkan variabel bergerak dalam arah yang sama atau berkebalikan, bukan karena satu variabel mempengaruhi variabel yang lain. Sehingga penggunaan analisis korelasi harga dalam mengetahui integrasi pasar dinilai kurang akurat.

b. Analisis regresi sederhana

Integrasi pasar juga dapat dikaji melalui analisis regresi sederhana. Integrasi dilihat melalui koefisien regresi yang diperoleh. Integrasi kuat terjadi jika koefisien regresi bernilai 1, sedangkan jika koefisien regresi bernilai antara 0.5 sampai dengan 1 maka disimpulkan bahwa harga di salah satu pasar terintegrasi dengan harga di pasar lainnya.

c. Analisis kointegrasi dan vector autoregression model

Saat ini semakin banyak studi integrasi pasar dengan menggunakan pendekatan dua tahap Engle Granger. Tahap pertama ditempuh dengan melakukan pengujian apakah data harga yang dikaji bersifat non-stationary

I(1) berdasarkan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) atau berdasarkan uji akar unit lainnnya. Tahap kedua dilakukan dengan mengestimasi suatu model statis sederhana dari serial harga I(1) terhadap serial harga I(1) lainnya, serta menguji apakah residualnya bersifat stationary, I(0). Selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa harga-harga menyebar menuju suatu ekuilibrium jangka panjang dan bahwa pasar terintegrasi jika variabel stasioner pada derajat yang sama (Adiyoga et al. 2006). Pengujian hubungan harga diantara pasar dengan menggunakan pendekatan kointegrasi dilakukan oleh Firdaus dan Gunawan (2012), Jaleta dan Gebremedhin (2012), serta Zakari dan Ying (2014).

Kajian integrasi pasar dengan menggunakan pendekatan yang serupa yaitu vector autoregression model (VAR) atau vector error correction model

(VECM) juga banyak digunakan. Widarjono (2013) mengemukakan perbedaan mendasar dari pendekatan VAR dan pendekatan Engle Granger terletak pada banyaknya variabel yang digunakan. Pada model Engle Granger hanya terdapat dua variabel yang digunakan, sedangkan pada model VAR melibatkan banyak variabel. Menurut Irawan dan Rosmayanti (2007) pendekatan VAR akan memberikan hasil analisis yang tidak spurious, dapat menentukan besar integrasi, arah transformasi harga, serta dapat diketahui mana pasar acuan dan pasar pengikut.

VAR merupakan sebuah n-persamaan dengan n-variabel, dimana masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lag nya sendiri, serta nilai saat ini dan masa lampaunya (Firdaus 2012). Model VAR dibangun dengan pendekatan yang meminimalkan teori dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik. VAR pertama kali diperkenalkan oleh Sims atas kritikannya terhadap pendekatan tradisional atas permodelan struktural makro-ekonometrika karena membiarkan retriksi yang berlebihan dan memperhatikan umpan balik yang terjadi antar variabel yang digunakan. Sims mengusulkan penggunaan pendekatan VAR yang memasukkan pengaruh dan mengakomodasi seluruh interaksi dinamis yang terjadi antar variabel (Juanda dan Junaidi 2012).

Metode VAR memiliki keunggulan dan kelemahan jika dibandingan dengan metode ekonometrika konvensional. Keunggulan metode VAR adalah: a. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks atau multivariat sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu.

b. Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.

c. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen.

d. Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk spurious variable di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah.

e. Dengan teknik VAR maka yang akan terpilih hanya variabel yang relevan untuk disinkronisasi dengan teori yang ada.

VAR biasanya digunakan untuk menganalisis hubungan saling ketergantungan variabel time series. Dua hal yang perlu di perhatikan dalam VAR adalah (1)tidak diperlukan adanya pembedaan variabel endogen dan

eksogen. Semua variabel, baik endogen maupun eksogen seharusnya dimasukkan di dalam model; dan (2)untuk melihat hubungan antara variabel di dalam VAR maka dibutuhkan sejumlah kelambanan variabel yang ada. Kelambanan variabel ini diperlukan untuk menangkap efek dari variabel tersebut terhadap variabel lain di dalam model. Secara umum model VAR dengan n variabel endogen pada waktu t ditulis sebagai berikut (Widarjono 2013) : nt ∑ t i p i ∑ t i p i ∑ i nt i p i nt dimana:

nt = vektor variabel endogen (Y1t, Y2t, Ynt) berukuran n x 1 = vektor intersep berukuran n x 1

i i i = matriks parameter berukuran n x 1 nt = vektor sisaan berukuran n x 1

Secara garis besar terdapat empat hal yang ingin diperoleh dari pembentukan sebuah sistem persamaan yaitu deskripsi data, paramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan. VAR menyediakan alat analisa bagi keempat hal tersebut melalui empat macam penggunaan dalam bentuk (1)forecasting yaitu ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel; (2)impulse response functions (IRF) yaitu melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu; (3)variance decomposition (VD) yaitu memprediksi kontribusi persentase varians setiap variabel terhadap suatu perubahan tertentu; dan (4)uji kausalitas Granger untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel (Firdaus 2012).

Menurut Juanda dan Junaidi (2012) secara umum terdapat tiga bentuk model VAR yakni:

a. Unrestricted VAR, terkait dengan persoalan kointegrasi dan hubungan teoritis. Model unrestricted VAR memiliki dua bentuk yaitu VAR in level

dan VAR in difference. VAR in level digunakan jika data yang digunakan dalam pemodelan tidak stasioner pada level, sehingga data harus distasionerkan dulu sebelum menggunakan model VAR. Sedangkan VAR

in difference digunakan jika data tidak stasioner pada level dan tidak memiliki hubungan kointegrasi, maka estimasi VAR dapat dilakukan dalam bentuk data diferens.

b. Restricted VAR atau disebut vector error correction model (VECM), merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi diberikan karena data tidak stasioner namun terkointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang peubah-peubah endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah VECM digunakan karena adanya koreksi secara bertahap melalui penyesuaian jangka pendek terhadap deviasi dari model keseimbangan jangka panjang.

c. Structural VAR, merupakan bentuk VAR yang direstriksi berdasarkan hubungan teoritis yang kuat dan skema ordering (urutan) serta hubungan

terhadap peubah-peubah yang digunakan dalam model VAR. Oleh karena itu S-VAR dikenal sebagai bentuk VAR yang teoritis.

Analisis dengan pendekatan model VAR/VECM mencakup tiga analisis utama, yaitu uji kausalitas Granger, impulse response function (IRF), dan

variance decomposition (VD). Sebelum sampai pada analisis VAR/VECM ada beberapa prosedur yang akan digunakan dalam studi ini, yaitu uji stasioneritas, penentuan panjang lag, uji stabilitas VAR, dan uji kointegrasi Johansen. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Eviews. Kajian integrasi pasar melalui pendekatan VAR/VECM dilakukan beberapa peneliti, diantaranya Acquah dan Owusu (2012) yang menganalisis integrasi pasar pisang di Ghana, Nyongo (2014) integrasi pasar jagung di Malawi, Hafizah (2009) integrasi pasar CPO antara Indonesia, Malaysia, dan Rotterdam, dan integrasi pasar komoditas beras yang dilakukan oleh Irawan dan Rosmayanti (2007), Hossain dan Verbeke (2010), serta Suryaningrum et al. (2013).

Pasar Berjangka Komoditi

Perdagangan berjangka dimulai di Chicago sekitar tahun 1800. Bursa berjangka modern yang pertama didirikan bernama Chicago board of trade

(CBOT) yang dibentuk oleh 82 pedagang komoditi pada tahun 1848. Perdagangan di CBOT memiliki standar, sistem pengawasan, dan uji kualitas yang ditentukan oleh bursa. Kontrak berjangka modern pertama kali diperdagangkan pada tahun 1851 yaitu 3 tahun setelah berdirinya CBOT. Di Indonesia, perdagangan berjangka komoditi pertama kali dilakukan pada 15 Desember 2000, dimana perdagangan berjangka dilakukan di bursa berjangka Jakarta (BBJ) yang didirikan tanggal 19 Agustus 1999 dan mendapatkan izin usaha dari badan pengawas perdagangan berjangka komoditi (Bappebti) pada tanggal 21 November 2000. Kontrak berjangka yang pertama kali diperdagangkan adalah kontrak berjangka kopi robusta dan olein (Azlan 2008; Rosalin 2010). Menurut Dewi et al. (2011) pada awal berdiri BBJ hanya diijinkan memperdagangkan kontrak komoditi non keuangan. Perdagangan berjangka komoditi keuangan dilakukan di luar bursa tanpa ada pengawasan dari pemerintah. Dengan pertimbangan perlindungan bagi dana masyarakat yang dikumpulkan dalam bentuk margin, maka Bappebti mengeluarkan peraturan pendaftaran transaksi luar bursa untuk kontrak indeks saham asing dan kontrak mata uang asing di BBJ. Sejak saat itulah BBJ tidak hanya memperdagangkan kontrak komoditi melainkan juga derivatif keuangan.

Berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 1997 yang kemudian menjadi undang-undang nomor 10 tahun 2011, perdagangan berjangka komoditi yang selanjutnya disebut perdagangan berjangka adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli komoditi dengan penyerahan di waktu yang akan datang berdasarkan kontrak berjangka (BPKP 2013). Sejalan dengan pandangan tersebut Hull (2012) mendefinisikan perdagangan berjangka komoditi sebagai perjanjian antara dua pihak untuk membeli atau menjual komoditi yang penyerahannya dilakukan pada waktu tertentu di masa yang akan datang, dengan harga tertentu.

Perdagangan berjangka dilakukan di bursa berjangka yang kemudian disebut dengan bursa. Bursa memperdagangkan kontrak berjangka berbagai komoditi. Tempat dimana kontrak berjangka diperdagangkan juga disebut pasar berjangka (Bappebti 2012). Menurut Dahl dan Hammond (1977) future trading

atau pasar berjangka merupakan pemasaran produk pertanian yang melibatkan antar waktu (markets over time).

Bursa berjangka komoditi memiliki peran yang sangat penting dalam aktivitas perdagangan berjangka komoditi. Bursa menentukan kontrak berjangka komoditi dengan standar tertentu. Bursa juga membuat mekanisme yang dapat menjamin ditepatinya kontrak yang dibuat oleh masing-masing pihak (Fatum 2013). Berbeda dengan pengertian kontrak dalam perdagangan biasa, kontrak berjangka merupakan kontrak yang standard, dan waktu penyerahan telah ditetapkan terlebih dahulu. Karena bentuknya yang standard itulah, maka yang dinegosiasikan hanya harganya. Performance atau terpenuhinya kontrak berjangka sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam kontrak dijamin oleh suatu lembaga khusus, yaitu lembaga kliring berjangka.

Secara umum terdapat tiga jenis transaksi dalam perdagangan berjangka komoditi yaitu forward, future, dan option. Forward contract merupakan sebuah derivatif yang relatif sederhana. Forward contract adalah perjanjian antara kedua pihak untuk menjual (short position) atau membeli (long position) suatu komoditi pada waktu tertentu dimasa mendatang dengan harga yang telah disetujui pada saat ini. Pihak yang mengambil posisi long setuju untuk membayar pada waktu yang telah ditetapkan (Cox et al. 1981). Forward contract diperdagangkan di over the counter market biasanya antara dua lembaga keuangan atau antara lembaga keuangan dan kliennya (Hull 2012).

Dokumen terkait