• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam dokumen ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Halaman 23-39)

Ikan Manyung (Arius thalassinus)

Ikan manyung (Arius thalassinus) adalah salah satu ikan yang hidup di perairan dasar (demersal) yang memiliki aspek potensi ekonomis penting, tergolong dalam famili Ariidae (Taunay et al, 2013). Sebagai ikan demersal, Ariidae berukuran besar sehingga cocok sebagai ikan pangan. Potensi ikan ini cukup besar, di mana data produksi tahun 2000 dari perairan Indonesia yang dilaporkan Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) sebanyak 34.782 ton dengan nilai Rp. 12.483.739,00. Sedangkan data produksi terbaru dilaporkan Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2011 adalah sebanyak 5.220,6 ton (Triajie dan Haryono, 2007).

Ikan manyung (Arius thalassinus) sebagai ikan ekonomis, memiliki potensi yang banyak selain sebagai ikan pangan, dapat juga diolah menjadi ikan asin yang disebut juga jambal roti. Ikan ini memiliki banyak nama yang berbeda-beda berdasarkan daerahnya. Daerah Jawa dikenal dengan sebutan ikan manyong, pada daerah Jawa Barat atau Jakarta disebut ikan manyung, manyung kerbi atau duri utik. Pada daerah Sumatera Selatan disebut ikan gagak putih, pada daerah Riau disebut duri padi atau duri utek, pada daerah Kalimantan Barat disebut ikan gugup dan di daerah Sulawesi Selatan disebut ikan barukang (Zainuddin, 2010).

Ikan manyung adalah salah satu ikan dasar (demersal) yang hidup di air tawar, estuaria, dan air laut. Ikan ini mula-mula hidup di air tawar lalu beruaya ke perairan estuaria untuk memijah. Dalam ruayanya ini ikan manyung dapat mencapai ke perairan lepas. Penyebaran ikan manyung di perairan Indonesia dapat ditemukan pada laut bebas Sumatera, Selatan Jawa, Selat Malaka, Timur

Sumatera, Utara Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Selatan dan Barat Kalimantan, Timur Kalimantan, Selatan Sulawesi Utara Sulawesi dan Maluku. Ikan manyung banyak ditemukan hampir di seluruh perairan pantai Indonesia terutama pantai yang ada muara sungai (estuari) yaitu pada dasar perairan muara sungai menuju laut pada kedalaman 20-100 m (Burhanuddin et al, 1987).

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan manyung adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophsi Famili : Ariidae Genus : Arius

Spesies : Arius thalassinus

Ikan manyung mempunyai bentuk tubuh dengan kepala depres dan tubuh kompres. Ikan ini memiliki sirip yang lengkap yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip perut (ventral fin), sirip dada (pectoral fin), sirip anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin). Ciri khusus ikan ini adalah adanya adifose fin yaitu sirip tambahan yang berupa lemak yang terletak di belakang sirip punggung dorsal dan tidak berhubungan, serta terletak berhadapan dengan sirip anus (anal).

Panjang ikan ini berkisar antar 25-70 cm (Ridwan dan Brojo, 1985).

Selain bernilai ekonomis, ikan-ikan demersal termasuk ikan manyung memiliki nilai gizi yang tinggi dan warna daging putih kemerahan yang tidak kalah bila dibandingkan dengan jenis-jenis ikan ekonomis penting (table fish)

yang selama ini dikenal dengan harga yang cukup ekonomis, untuk ikan manyung harga per kilogramnya mencapai Rp. 16.000 – Rp. 18.000 (Taunay et al, 2013).

Gambar 2. Ikan Manyung (Arius thalassinus).

Ikan manyung (A. thalassinus) memiliki ciri-ciri mempunyai duri pada sirip dada dan sirip punggung depan. Sirip punggung belakang bentuknya kecil dan tidak berjari sirip yang dikenl dengan sirip lemak. Memiliki sungut sebanyak tiga pasang yakni dua passang pada rahang bawah dan satu pasang pada rahang atas. Ikan manyung hidup di perairan estuari dan laut. Kebanyakan ikan ini hidup di dua habitat yaitu mula-mula di air tawar lalu beruaya ke perairan estuari untuk memijah. Ruaya ikan manyung ini sampai ke laut lepas. Ikan manyung masuk ke dalam kelompok ikan demersal besar (Djuhanda, 1981).

Ikan manyung di daerah percut Sei Tuan merupakan ikan demersal yang beruaya dari perairan tawar menuju ke estuari untuk memijah. Biasanya ikan ini bisa sampai perairan lepas. Burhanuddin et al (1987) mengatakan ikan manyung adalah salah satu ikan dasar (demersal) yang hidup di air tawar, estuaria, dan air laut. Ikan manyung merupakan salah satu ikan demersal yang ukurannya relattif besar. Ikan ini memiliki sirip yang lengkap dan memiliki sirip tambahan pada bagian belakang sirip punggung yang keras. Sirip tambahan ini berguna untuk mencari makanan dan menghindari predator. Hal ini sesuai dengan Ridwan dan

Brojo (1985) yang mengatakan bahwa Ikan manyung mempunyai bentuk tubuh dengan kepala depres dan tubuh kompres. Ikan ini memiliki sirip yang lengkap yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip perut (ventral fin), sirip dada (pectoral fin), sirip anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin). Ciri khusus ikan ini adalah adanya adifose fin yaitu sirip tambahan yang berupa lemak yang terletak di belakang sirip

punggung.

Logam Berat

Logam adalah unsur kimia yang siap membentuk ion (kation) dan memiliki ikatan logam. Logam merupakan salah satu dari tiga kelompok unsur yang dibedakan oleh sifat ionisasi dan ikatan bersama dengan metaloid dan nonlogam. Dalam tabel sistem periodik bahan kimia, beberapa logam terkenal adalah aluminium, tembaga, emas, besi, timah, perak, titanium, uranium, dan seng (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2010).

Logam berat merupakan logam yang mempunyai berat jenis (specific gravity) 5 atau lebih dengan nomor atom antara 21 (scandium) dan 92 (uranium)

dari sistem periodik. Terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi masuk dalam logam berat.

Logam berat merupakan polutan berbahaya bagi makhluk hidup yang terkontaminasi oleh unsur ini. Hal ini dikarenakan unsur logam berat tidak dapat dihancurkan atau dengan kata lain selalu ada di alam. Selain itu logam berat juga memiliki kemampuan daya racun yang tinggi dan dapat terakumulasi pada jaringan tubuh makhluk hidup sehingga keberadaannya di lingkungan sangat tidak diharapkan (Napitu, 2012).

Logam berat merupakan komponen alami di tanah. Komponen ini tidak dapat didegradasi (non degradable) ataupun dihancurkan. Senyawa logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum dan udara.

Pada kadar yang rendah, logam berat diperlukan oleh makhluk hidup untuk proses metabolisme dan fisiologi tubuh. Hal ini biasa dikenal dengan istilah trace element, yaitu elemen kimia yang dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam jumlah

yang sangat kecil (kurang dari 0,1% dari volume). Logam berat dapat menjadi berbahaya atau beracun ketika dalam kadar berlebihan di dalam tubuh (Jaishankar et al, 2014).

Keracunan logam berat dapat merusak syaraf pusat, menggangu komposisi darah, paru-paru, ginjal, hati dan organ-organ vital lainnya. Pemaparan dalam waktu lama dapat menurunkan proses degeneratif fisik, otot, dan saraf. Alergi juga dapat timbul dari kontak berulang dengan beberapa logam, atau komponennya dapat menyebabkan karsinogenitas. Sumber utama logam berat adalah pertambangan, industri seperti pengecoran, pengilangan minyak, petrokimia, industri kimia, pipa besi yang terbuang, gas pembuangan bermotor dan juga pertambangan batubara (Dinis, 2011).

Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibedakan menjadi logam berat esensial dan logam berat non esensial. Logam berat esensial dapat diartikan sebagai logam berat yang dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan toksik atau racun, sebagai contoh Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan Se. Sedangkan logam non esensial adalah logam yang beracun (toxic metal) yang keberadaannya dalam

tubuh masih belum diketahui manfaatnya, sebagai contoh Hg, Cd, Pb, Sn, dan As (Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Bada POM-RI, 2010).

Timbal (Pb)

Timbal atau yang lebih dikenal dengan timah hitam dan dalam bahasa latin disebut dengan plumbum, disingkat dengan Pb. Timbal pada tabel periodik terdapat pada golongan XIV P, periode VI, memiliki nomor atom 82 dengan berat atom 207,20 g/mol (Cotton dan Wilkinson, 1989).

Timbal adalah logam berkilau berwarna putih kebiruan atau kelabu keperakan. Logam ini memiliki nomor atom 82, bobot atom 207,20 g/mol, titik leleh 3270C, dan titik didih 17550C (Badan Standar Nasional, 2009). Timbal (Pb) mulai pudar atau kusam ketika kontak dengan udara kemudian membentuk campuran kompleks sesuai kondisi (Jaishankar et al, 2014).

Logam berat timbal (Pb) banyak digunakan dalam industri, seperti industri pembuatan baterai, amunisi, pelapis kabel, pipa berwarna dan campuran dalam pembuatan pelapis keramik, serta bahan bakar (Fardiaz, 2002). Menurut WHO (2010), timbal merupakan logam berat berwarna abu-abu kebiruan. Timbal memiliki titik leleh yang rendah sehngga mudah dicetak dan dibentuk dan juga dapat berkombinasi dengan logam lain membentuk logam paduan. Saat ini timbal terdapat luas dalam beragam produk seperti pipa, baterai, tinta dan cat, kaca, amunisi dan pelapis kabel.

Gambar 3. Berbagai Sumber Pencemaran Limbah di Lingkungan. Sumber Irianti et al, 2017

Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang dapat menyebabkan pencemaran perairan. Perairan yang telah tercemar oleh Pb akan berdampak pada organisme perairan. Logam timbal dapat masuk ke tubuh organisme melalui rantai makanan, insang, atau difusi melalui permukaan kulit.

Akibatnya logam itu dapat terserap dalam jaringan, tertimbun dalam jaringan (bioakumulasi) dan pada konsentrasi tertentu akan dapat merusak organ-organ dalam jaringan tubuh (Palar, 1994).

Timah hitam hitam di perairan dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Bahan baar yang mengandung timbal memberikan dampak yang berarti bagai keberadaan unsur tersebut di perairan. Kadar toksisitas timbal di badan perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi, 2003).

Logam berat timbal sangat beracun, mempunyai sifat bioakumulatif dalam tubuh organisme air, dan akan terus diakumulasi hingga organisme tersebut tidak mampu lagi mentolerir kandungan logam berat timbal dalam tubuhnya (Connell dan Miller, 1995). Karena sifat bioakumulatif logam berat timbal, maka bisa terjadi konsentrasi logam tersebut dalam bentuk terlarut dalam air adalah rendah, dalam sedimen semakin meningkat akibat proses-proses fisika, kimia dan biologi perairan, dan dalam tubuh hewan air meningkat sampai beberapa kali lipat (biomagnification).

Besi (Fe)

Besi adalah logam dengan nomor atom 26 dan massa atom 55,85. Pada urutan sistem periodik unsur, besi terletak pada periode 4 golongan VIII B. besi melebur pada suhu 15350 C, titik didihnya 30000 C, dengan mempunyai densitas 7,87 g/cm3. Wujud besi murni berwarna putih perak, yang kukuh dan liat, namun pada umumnya sulit ditemukan besi dalam bentuk murni, kebanyakan mengandung sejumlah kecil karbida, silisida, fosfida, dan sulfida serta sedikit grafit zat-zat pencemar (Ahmad dan Indrowuryatno, 2004).

Logam Fe termasuk dalam salah satu jenis logam berat esensial di mana dalam jumlah tertentu dibutuhkan oleh makhluk hidup. Namun kadar Fe bila melebihi baku mutu maka dapat berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Logam besi dengan konsentrasi tertentu dalam air dapat menimbulkan rasa atau bau logam pada air tersebut. Hal ini tentu saja dapat merusak estetika air yang diperuntukkan dalam kegiatan sehari-hari. kandungan logam berat yang menumpuk pada air akan masuk ke dalam sistem rantai makanan, kemudian terakumulasi dalam tubuh dan dapat menimbulkan efek yang

buruk bagi kesehatan dan dapat mengganggu proses metabolisme tubuh (Rachmawati et al, 2016).

Buangan limbah industri baik itu industri rumah tangga, industri pertanian dan industri pabrik yang mengandung logam berat besi (Fe) bukan hanya bersifat toksik terhadap tumbuhan, tetapi juga terhadap hewan dan manusia. Hal ini berkaitan erat dengan sifat-sifat logam berat yang sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan. Logam berat tersebut kemudian terakumulasi dalam biota perairan seperti pada ikan, kerang, udang, dan pada sedimen (Supriyantini dan Endrawati, 2015).

Tingginya kandungan logam berat besi (Fe) akan berdampak terhadap kesehatan manusia di antaranya bisa menyebabkan keracunan (muntah), kerusakan usus, penuaan dini hingga kematian mendadak, radang sendi, cacat lahir, gusi berdarah, kanker, sirosis ginjal, sembelit, diabetes, diare, pusing, mudah lelah, hepatitis, hipertensi dan insomnia (Parulian, 2009).

Keracunan logam berat besi terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama yang terjadi setelah 6 jam dari overdosis besi ditandai dengan efek gastrointestinal seperti muntah dan diare Tahap kedua berlangsung dalam waktu 6 sampai 24 jam dari overdosis dan dianggap sebagai periode laten, periode pemulihan medis jelas.

Tahap ketiga terjadi antara 12-96 jam setelah timbulnya gejala klinis tertentu.

Tahap ini ditandai dengan guncangan, hipotensi, lesu, takikardia, nekrosis hati, asidosis metabolik dan kadang-kadang kematian. Tahap keempat terjadi dalam 2-6 minggu overdosis besi. Tahap ini ditandai dengan pembentukan ulserasi gastrointestinal dan pengembangan striktur. Penyerapan zat besi berlebih merupakan masalah serius di negara-negara maju dan makan daging dan

meningkatkan risiko kanker. Pekerja yang sangat terpapar asbes yang berisi hampir 30% (Hillman, 2001).

Reaksi Logam Berat di Lingkungan Air

Logam berat merupakan zat polutan lingkungan yang paling sering dijumpai dalam perairan. Terdapat kandungan logam berat dalam organisme mengindikasikan adalanya sumber logam berat yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Kegiatan industri yang intensif dan aktivitas manusia seperti kegiatan pertambangan, industri penggilingan dan industri manufaktur telah mengakibatkan pelepasan limbah logam berat ke badan perairan (Dahlia, 2006).

Pada kadar yang tinggi logam berat dapat mengakibatkan kematian berbagai jenis biota perairan. Dalam kadar yang rendah logam berat juga dapat mengakibatkan kematian makhluk hidup, namun dengan proses akumulasi terlebih dahulu didalam tubuh biota yang terpapar logam berat tersebut (Palar, 1994). Menurut Hutagalung (1997), adanya peningkatan kadar yang melebihi ambang batas logam berat didalam air dapat bersifat toksik bagi organisme. Selain bersifat toksik, logam berat juga akan terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi, biokonsentrasi, bioakumulasi dan biomagnifikasi.

Kadar logam berat dapat meningkat jika terjadi peningkatan limbah yang mengandung logam berat masuk ke dalam perairan tawar, payau (estuari) dan laut. Limbah ini dapat berasal dari aktivitas manusia yang berasal dari pembuangan sampah kapal-kapal, penambangan logam di laut dan lain-lain dan yang berasal dari darat seperti limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan

perindustrian. Kadar normal dan maksimum logam berat dapat dilihat pada tabel 1. Kadar Normal dan Maksimum Logam berat yang Masuk ke Perairan.

Unsur Kadar (ppm)

Normal (A) Maksimum (B)

Kadmium (Cd) 0,00011 0,01

Timbal (Pb) 0,00003 0,01

Tembaga (Cu) 0,002 0,05

Sumber Hutagalung (1991)

Menurut Cai et al, (1995) masuknya logam berat ke dalam muara dapat melaului berbagai cara yaitu.

1. Aliran dari daerah hulu sungai akibat erosi yang disebabkan oleh gerakan gelombang air.

2. Aliran dari laut-dalam yang termasuk logam didalamnya yang dilepaskan gunung berapi di laut-dalam, serta dari partikel atau endapan akibat proses kimiawi

3. Aliran yang berasal dari lingkungan sekitar muara. Termasuk logam yang diangkat kedalam atmosfer sebagai partikel debu.

Sedangkan masuknya logam berat yang berasal dari aktifitas manusia ke dalam lingkungan perairan antara lain:

1. Hasil buangan kegiatan rumah tangga

2. Limbah industri yang tidak terkontrol. Beberapa limbah industri mengandung logam berat yang akan mengalir ke sungai dan akhirnya sampai di muara dan mengendap jadi sedimen

3. Aliran langsung lumpur minyak yang terkandung didalamnya beberapa logam berat dengan konsentrasi cukup tinggi yang terbuang sampai ke muara dan mengendap jadi sedimen.

Adanya tingkatan rantai makanan menjadikan logam berat dapat berpindah dari lingkungan ke organisme, dan pada akhirnya dari organisme satu ke organisme yang lain (Yalcin et al, 2008). Pengendapan logam berat di perairan yang sudah dijelaskan sebelumnya akan membentuk sedimentasi. Biota laut yang alamiahnya mencari makan di dasar perairan seperti udang, kerang, kepiting dan ikan berisiko sangat besar untuk terkontaminasi logam berat tersebut. Dengan adanya hierarki rantai makanan, biota laut yang mengandung oleh logam berat tersebut dikonsumsi oleh manusia yang akan meracuni tubuh manusia itu sendiri.

Toksisitas logam berat dalam lingkungan laut telah menjadi perhatian utama karena mempunyai potensi risiko yang tinggi bagi sejumlah flora dan fauna, termasuk manusia, melalui rantai makanan (Boran &Altinox, 2010).

Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh biota laut melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernafasan (insang), saluran pencernaan (usus, hati, ginjal) maupun penetrasi melalui kulit. Proses-prose masuknya logam berat ke dalam jaringan tubuh dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses Masuknya Logam Berat ke Lingkungan Perairan. (Adhani dan

Diserap Ikan Diserap Plankton Diserap Rumput

Zooplankton

Parameter Fisika Kimia Suhu

Suhu merupakan faktor penting dalam pengaturan proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kehadiran spesies tertentu dalam suatu wilayah memerlukan kondisi suhu tertentu pula. Suhu tidak hanya berpengaruh pada kegiatan metabolisme organisme saja, melainkan juga terhadap aktifitas senyawa-senyawa kimia terlarut (Napitu, 2012). Untuk logam berat sendiri, menurut Hutagalung (2001) mengatakan bahwa suhu berkorelasi positif dengan toksisitas logam berat, dimana peningkatan suhu akan menyebabkan toksisitas dari suatu logam berat meningkat.

Peningkatan suhu dapat menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10ºC menyebabkan konsumsi oksigen meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sebesar 20ºC - 30ºC. Perubahan suhu lingkungan yang disebabkan oleh polusi panas akan memberikan suatu dampak terhadap keberhasilan ekosistem untuk terus hidup. Ekosistem tropis adalah yang paling rentan terhadap pengaruh buruk yang dihasilkan oleh penambahan panas dan kenaikan suhu (Effendi 2003).

Derajat Keasaman (pH)

Variasi nilai derajat keasaman (pH) pada perairan terbuka relatif stabil pada kisaran 7,5-8,4. Nilai pH di estuari banyak dipengaruhi oleh masukan senyawa peubah suasana asam-basa dari luar misalnya sungai. Umumnya senyawa dari luar yang masuk ke daerah estuaria memiliki kisaran pH <6,7 atau

>8,5 (National Technical Advisory Committe-NTAC 1980). Dan kisaran pH di perairan estuari tropis umumnya 6-9.

Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, proses metabolisme, ion-ion dalam air dan kandungan oksigen terlarut. Nilai pH juga mempengaruhi reaksi kimia, sehingga sifat kimia senyawa tersebut berubah. Biasanya perubahan nilai pH tertentu pada suatu senyawa dapat menjadi bersifat toksik atau racun bagi biota perairan. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah, sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Kadang, 2005).

Oksigen Terlarut

Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan dapat berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing), pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air. Kebutuhan organisme akuatik terhadap oksigen terlarut sangat tinggi, sehingga kandungan oksigen terlarut yang cukup sangat berarti bagi kehidupan organisme akuatik. Proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik oleh dekomposer dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga mencapai nol atau anaerob.

Konsentrasi oksigen yang aman bagi kehidupan harus berada diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun. Proses metabolisme dalam tubuh juga membutuhkan oksigen dalam jumlah banyak dengan meningkatnya suhu perairan. Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Hampir

semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5 mg/liter (Effendi, 2003).

Penerapan Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu tergantung pada sifat unsurnya. Sebagai contoh kalium menyerap cahaya pada panjang gelombang 766,5 nm; kalsium menyerap cahaya pada panjang gelombang 422,7 nm; natrium menyerap cahaya pada panjang gelombang 589,0 nm dan magnesium menyerap cahaya pada panjang gelombang 285,2 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Dengan menyerap suatu energi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom pada keadaan dasar dapat dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Rohman, 2007).

Spektrofotometri serapan atom ditemukan oleh Walh dan Alkernande dan Melatz pada awal sampai pertengahan 1950an. Spektrofotometri serapan atom merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur logam dan metaloid dengan konsentrasi yang sangat kecil (µg/ml) dalam unsur atau logam pada variasi sampel yang luas, pengaplikasiannya untuk mengidentifikasi unsur pada biological, klinikal, lingkungan, makanan dan sampel geologikal (Settle, 1997).

Menurut BKIPM (2016), baku mutu air dan hasil pengolahan perikanan untuk logam berat besi adalah 0,3 mg/l. Pada Pb, kadar maksimum yang diperbolehkan adalah 0,01 mg/l.

Dalam dokumen ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Halaman 23-39)

Dokumen terkait