• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerbau

Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India. Kerbau domestikasi atau water buffalo berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau lain yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer

(Hasinah dan Handiwirawan, 2006)

Ada dua bangsa kerbau yang diternakkan di dunia, yaitu kerbau lumpur (Swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau lumpur memiliki 48 pasang kromosom dan kerbau sungai memiliki 50 pasang kromosom, walaupun berbeda dalam jumlah kromosom, tetapi perkawinan keduanya menurunkan keturunan yang juga fertile baik pada jantan maupun betina, hanya diduga bahwa daya reproduksi crossbreed tersebut lebih rendah dari masing-masing tetuanya (Talib, 2008).

Habitat Kerbau

Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kerbau. Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. Kehidupan kerbau dipengaruhi oleh iklim secara mikro dan keadaan lingkungan (Fahimuddin, 1975).

Kerbau adalah mamalia besar, kuat, berwarna gelap, dan bertanduk besar. Kerbau liar biasanya hidup dalam kelompok yang berisikan beberapa ekor dan

senang tinggal di dekat air karena senang berlumpur. Kerbau air ditemukan di daerah basah Asia. Hanya sedikit yang masih liar, karena kebanyakan dipelihara manusia untuk membantu diladang (Farndon, 2008).

Kerbau termasuk hewan primitive yang memiliki leher panjang, sanggup hidup dengan makanan yang sangat sederhana, cenderung hidup dan berkembang biak daerah yang cukup air. Dengan potensi ini, kerbau kerbau merupakan ternak yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam mencerna serat kasar dibanding dengan ruminansia lain (Murtidjo, 1989).

Ciri-Ciri Kerbau Lumpur

Murti (2002) menguraikan sistematika kerbau sebagai berikut :

Kelas : mamalia ,Ordo : ungulata , Sub ordo : ortiodactyla , Family : bovidae , Sub family : bovinae ,Genus : bos , Sub genus : bubalus.

Fahimuddin (1975) mengklasifikasikan kerbau menjadi dua tipe yaitu kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur

(swamp buffalo). Kerbau sungai merupakan kerbau tipe penghasil susu, sedangkan kerbau lumpur sebagai kerbau tipe pedaging (Murti, 2002). Penampilan kerbau sungai yaitu badan dan muka panjang, warna kulit hitam legam, rambut sangat jarang yang berwarna putih meski sering ditemukan dibagian kepala, muka dan bulu ekor (Fischer, 1975 dalam Soedarsono, 1989).

Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas peternakan yang potensial dalarn hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak kerbau (Cockrill,1974). Kerbau juga mempunyai persentase karkas yang relatif tinggi yaitu 40–47% (Kristianto, 2006).

Penampilan umum kerbau lumpur yaitu memiliki tubuh yang pendek dan gemuk (stocky animal), lingkar dada besar, kaki pendek dan lurus. Warna yang menutupi tubuh kerbau lumpur adalah abu-abu dengan bercak putih pada bagian permukaan atas leher diatas brisket, warna kulit kebiruan sampai abu-abu hitam, kadang terdapat warna albino (Murti, 2002), sedangkan tanduk, kuku serta bulu berwarna hitam (Toelihere, 1981).

Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129 negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur di Indonesia sebesar 2,2 juta dan sebanyak 6% dari total populasi kerbau dunia. Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di sumatera utara dan merupakan jenis kerbau murah nilli-ravi. Secara umum populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8% antara tahun 2002 dan 2006. Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti sumatera utara (Ditjennak, 2008).

Tabel 1. Data populasi ternak kerbau yang ada di Sumatera Utara

No Kabupaten /Kota Kerbau Jumlah (ekor) Jantan Betina 1 Nias 52 105 157 2 Mandailing Natal 584 932 1516 3 Tapanuli Selatan 277 236 513 4 Tapanuli Tengah 2.093 5.976 8.069 5 Tapanuli Utara 2.616 5.975 8.591 6 Toba Samosir 2.583 7.872 10.455 7 Labuhan Batu 49 64 113 8 Asahan 271 550 821 9 Simalungun 3.335 2.118 5.453 10 Dairi 954 1.672 955.672 11 Karo 2.066 1.472 3.538 12 Deli Serdang 967 1.923 968.923 13 Langkat 746 969 1715 14 Nias Selatan 28 42 70 15 Humbang Hasundutan 2.899 6.524 9.423 16 Pakpak Bharat 460 1.05 461.05 17 Samosir 6.129 18.024 24.153 18 Serdang Bedagai 163 268 431 19 Batu Bara 153 345 498 20 Padang Lawas Utara 1.75 2950 2951.75 21 Padang Lawas 1.723 3740 3741.723 22

Labuhan Batu

Selatan 90 157 247

23 Labuhan Batu Utara 74 159 233

24 Nias Utara 13 22 35 25 Nias Barat 2 3 5 26 Sibolga - - 0 27 Tanjungbalai - 7 7 28 Pematang Siantar 94 65 159 29 Tebing Tinggi 2 4 6 30 Medan 49 232 281 31 Binjai 38 76 114 32 Padang Sidempuan 129 51 180 33 Gunung Sitoli 5 13 18 Jumlah 30.394 65.359 95.753

Tabel . Populasi ternak kerbau di kabupaten Tapanuli Utara tahun 2014 No Kecamatan Jumlah Kerbau (ekor)

1 Tarutung 285 2 Sipoholon 824 3 Sipahutar 1.38 4 Pangaribuan 1.057 5 Garoga 43 6 Pahae Jae 18 7 Pahae Julu 3 8 Adian Koting 37 9 Parmonangan 760 10 Pagaran 901 11 Siborongborong 2.785 12 Muara 976 13 Purba Tua 37 14 Simangumban 12 15 Siatas Barita 128 Jumlah 9.246

Sumber : Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara, 2014 Tanda-Tanda Berahi Kerbau

Toelihere (1981) menyatakan bahwa tanda - tanda birahi pada ternak kerbau adalah vulva membengkak dan mengeluarkan lendir berwarna bening pada sore hari setelah digembalakan. Pengeluaran lendir tersebut akan terlihat lebih jelas lagi ketika kerbau dalam keadan berbaring, karena perut yang tertekan akan mendorong keluarnya lender tersebut yang akan jatuh ke tempat berbaring. Tetapi jika lantainya tanah maka sesudah beberapa menit akan terserap oleh tanah dan bekas lendir sudah tidak kelihatan lagi.

Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai agak malam den menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001). tanda-tanda berahi dan akativitas perkawinan pada kerbau mesir pada umumnya terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di Indonesian sedang berada dalam kandang yang tertutup yang tidak

memungkinkan terjadinya perkawinan. Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan pada pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.

Saat Perkawinan Yang Tepat ternak Kerbau

Faktor yang harus diperhatikan dalam mengawinkan ternak kerbau adalah sebagai berikut.

a. Hanya kerbau yang sudah mencapai dewasa yang cocok untuk dikawinkan, yaitu kerbau jantan berumur 2,5 tahun, dan betina berumur 18-20 bulan.

b. Keadaan tubuh kerbau jantan maupun betina betul-betul sehat, dan tidak dalam keadaan lemah.

c. Perkawinan dilaksanakan ketika betina memperlihatkan indikator (tanda-tanda) birahi, yaitu tampak gelisah, apabila dikerjakan tidak penurut, melenguh-lenguh secara berantai, nafsu makan berkurang, alat kelamin luar (vulva) bengkak memerah dan biasanya mengeluarkan cairan bening, dan selalu berusaha mendekati kerbau jantan.

d. Mengawinkan pada saat yang tepat, yaitu kerbau betina nampak birahi pada pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari itu juga (sesudah pukul 14.00) dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi dapat dikawinkan. Saat perkawinan yang tepat pada ternak kerbau dapat dilihat pada Tabel 2.

e. Siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali, sedangkan lamanya birahi lebih kurang 36 jam (Rahmat, 2003).

Tabel 2. Saat perkawinan yang tepat ternak kerbau

No Waktu birahi Saat perkawinan yang tepat

Yang terlambat 1 Pagi hari s/d pukul 10.00 Siang hari Jangan lebih dari 6

jam setelah tanda-tanda birahi

2 Siang hari s/d pukul 13.00 Sore hari Jangan lebih dari 6 jam setelah tanda-tanda birahi

3 Sore s/d malam hari Malam hari itu juga Jangan lebih dari 6 jam setelah tanda-tanda birahi

Sumber: Rahmat (2003)

Daya Reproduksi

Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya. Berdasarkan informasi dari responden bahwa kerbau rawa selama masa hidupnya mampu menghasilkan 5-10 ekor anak. Jika beranak pertama terjadi pada umur empat tahun dan calving interval 1,5 tahun maka kerbau rawa mampu hidup lebih dari 20 tahun. Kerbau rawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya, dan bisa hidup sampai 25 tahun Cockrill (1976),

Siklus Estrus Pada Ternak Kerbau

Sistem reproduksi hewan betina yang telah mengalami dewasa kelamin biasanya mengalami perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Lamanya waktu siklus estrus pada seekor hewan dihitung mulai dari munculnya estrus sampai muncul estrus lagi pada periode berikutnya (Suardi, 1989). Siklus estrus kerbau yaitu 21 hari dengan kisarannya 18-24 hari. Frandson (1992) menyatakan

siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.

Salah satu cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi estrus yaitu dengan cara penerapan teknik sinkronisasi estrus, baik dengan menggunakan sediaan progesteron atau prostaglandin FGF2 (De rensis dan Lo´Pez, 2007). Sinkronisasi umumnya dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin atau progesteron, yang keduanya bertujuan memanipulasi agar terjadi penurunan hormone progesteron ke level terendah (Macmillan et al.,2003). Para peneliti lainnya menyatakan bahwa kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 21 hari sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980).

Intensitas estrus pada kerbau dan kerbau dinilai berdasarkan perubahan vulva yaitu berwarna kemerahan, pembengkakan dan kenaikan suhu; lendir tembus pandang dari vulva (Toelihere, et al, 1997); dan perubahan tingah laku yaitu menguak, saling menaiki, mengangkat ekor bila vulva diraba. Waktu estrus pada umumnya mempunyai kisaran 12-40 jam dengan rata-rata adalah 24 jam (Murti, 2002). Waktu untuk mendeteksi gejala estrus kerbau lumpur sebaiknya dilakukan antara pukul 05.00-06.00 dan 17.00-19.00. Gejala saling menaiki terlihat pada waktu fajar sedangkan lendir vulva keluar pada waktu pagi hari dan sore hari (Toelihere, 1981).

Prostaglandin F2α

Satu cara untuk melakukan tehnik sinkronisasi estrus adalah dengan

menggunakan hormon prostaglandin F2α. Prinsip pemberian prostaglandin F2α

adalah melisiskan atau meregresi corpus luteum (CL) diikuti penurunan sekresi progesteron sehingga akan menyebabkan perubahan pada siklus reproduksi.

Perubahan tersebut menyebabkan siklus estrus yang baru yang dimulainya pertumbuhan folikel dalam ovarium, selanjutnya setelah folikel masak akan mengalami ovulasi yang didahului dengan timbulnya gejala estrus

(Husein dan kriddli, 2003).

Prostaglandin F2α sebagai hormon luteolitik telah banyak diteliti dan dipakai untuk menggertak berahi dan mengendalikan siklus berahi beberapa jenis

ternak. Penggunaan PGF2α untuk penyerentakan berahi pada ternak

(Toelihere, 1981). PGF2α bekerja melisis CL, akibatnya hambatan dari

progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap hormon gonadotrophin hilang, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Karena yang dilisis adalah

CL maka pemberian PGF2α untuk pengendalian berahi hanya bisa dilakukan jika CL sudah terbentuk. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus. Agar semua hewan bisa birahi dalam priode waktu yang hampir bersamaan dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama (Chohan 1998).

Respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang

mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus 21-22 hari), akan efektif, karena prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang perkembangan folikel yang pada akhirnya meningkatkan sekresi estroegen yang

merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel preovulatori (Hafez, 1993).

Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramusculer atau secara

intrauterin. Pemberian secara intramuscular mudah dilakukan yaitu dengan cara injeksi, namun dosis yang diperlukan cukup besar. Pemberian secara intrauterin

hanya diperlukan dosis yang jauh lebih rendah, namun memerlukan keterampilan khusus. Penggunaan prostaglandin sintetis (estrumate) sebanyak 2 ml secara intramusculer sangat efektif untuk tujuan menyerempakkan estrus kerbau, dimana pemberian estrumate mengakibatkan penurunan level progesteron dari 1,90 gg/ml menjadi 0,05 gg/ml setelah dua hari penyuntikan dan sebagian besar kerbau menunjukkan gejala estrus dua hari setelah pemberian estrumate.

(Situmorang dan Sitepu, 1991).

Gertak Birahi

Sinkronisasi estrus adalah usaha manusia agar seekor atau sekelompok hewan mengalami estrus sesuai dengan waktu yang diinginkan (Suardi, 1989), sehingga memudahkan observasi deteksi estrus, dapat menentukan jadwal kelahiran, menurunkan usia pubertas pada kerbau dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator (Husnurrizal, 2008).

Penyerentakan birahi adalah suatu teknik agar seekor atau sekelompok ternak mengalami berahi sesuai dengan waktu yang diinginkan. Dengan cara ini sekelompok ternak dapat dimunculkan berahinya secara serentak atau hampir bersamaan. Penyerentakan berahi dilakukan dengan tujuan efisiensi dan penyesuaian produksi dengan kebutuhan pasar. Bila berahi muncul serentak, musim perkawinan dapat dipersingkat sehingga dapat menghemat biaya terutama

bila perkawinan dilakukan dengan menggunakan teknologi IB. Menurut Macmillan dan Burke (1996) dengan penyerentakan birahi dalam kelompok ternak, dapat diperkirakan waktu birahi dan ketepatan pelaksanaan IB sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.

Inseminasi Buatan Pada Ternak

Inseminasi buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang telah dan sedang diprogramkan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan peternakan sebagai upaya peningkatan produktivitas ternak demi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak. Melalui teknologi ini peternak dapat memiliki ternak yang berkualitas tanpa harus memiliki pejantan unggul (Salisbury dan Vandemark, 1985).

Teknologi Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul

(Susilawati, 2011).

Teknik IB merupakan salah satu penunjang keberhasilan IB. Hal ini memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat pula. Demikiam juga teknik inseminasi yang dilakukan secara cermat oleh petugas terampil, dan hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal sangatlah penting. Semen harus dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina pada tempat dan waktu yang terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa dan ovum serta berlangsungnya proses pembuahan (Ditjen Peternakan, 2010)

Salisbury dan Vandemark (1985) mengatakan bahwa waktu optimum untuk inseminasi selama atau sesudah estrus adalah dari pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Bila dikawinkan lebih awal atau lebih lambat menyebabkan kebuntingan menjadi lebih kecil.

Inseminasi dilakukan pada pagi hari menghasilkan CR lebih tinggi dibandingkan dengan yang diinseminasi pada sore hari. Pada peternakan komersil, di mana semua hewan yang disinkronisasi untuk estrus, diinseminasi pada sore hari menghasilkan CR lebih tinggi dibandingkan di pagi hari. Hal ini juga diduga karena diantara teknisi IB, tingkat pendidikan dan pekerjaan non-IB mempengaruhi CR. Teknisi yang telah lulus dari sekolah tinggi memiliki CR lebih tinggi daripada mereka yang hanya sekolah dasar pendidikan dan mereka yang bekerja waktu penuh pada IB memiliki CR lebih tinggi dari CR yang bekerja paruh waktu (Toleng, 1999).

Pada waktu IB ternak harus dalam keadaan berahi karena pada saat itu liang leher rahim (serviks) pada posisi yang terbuka. Kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu dari berahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah permulaan berahi: 44% pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6 jam sesudah sesudah berahi : 62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam sesudah berahi : 28% dan 24 jam sesudah berahi : 12% (Windiana, 1986).

Conception Rate (CR)

Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau betina yang bunting pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ini ditentukan dengan pemeriksaan

kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina, kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010).

Angka konsepsi dapat ditentukan berdasarkan hasil diagnose dengan

palpasi rektal dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Suatu pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi program pemulia biakan ternak (Partodiharjo 1982). Kesanggupan untuk menentukan kebuntingan secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap dokter hewan lapangan atau petugas pemeriksaan kebuntingan (BBPTU, 2009). Menurut Toelihere (1993) CR tebaik mencapi 60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajeman dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu, rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh kualitas maupun fertilitas semen beku, ketrampilan dan kemampuan inseminator dan kemungkinan adanya gangguan reproduksi pada kerbau betina.

CR adalah perbandingan antara jumlah induk yang bunting dengan seluruh induk yang di kawinkan atau di inseminasi atau persentase hewan yang bunting pada IB pertama (Toelihere, 1981). Selanjutnya ditambahkan angka konsepsi dalam peternakan yang baik adalah 60% untuk inseminasi pertama dan 90% kebuntingan pada inseminasi ketiga ( Partodiharjo, 1992).

Faktor Kegagalan Inseminasi Buatan

Kegagalan inseminasi dapat juga akibat dari pembuahan dini dan kematian embrio. Kegagalan pembuahan dini disebabkan oleh kelainan anatomi saluran repropduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sel mani yang abnormal, dan kesalahan pengelolaan reproduksi. Faktor yang mempengaruhi kematian

embrio dini disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit, lingkungan dalam saluran reproduksi yang tidak serasi, dan adanya gangguan hormonal (Hardjopranjoto, 1995).

Penilaian keberhasilan IB dapat dihitung melalui pengamatan yaitu (a) Angka konsepsi atau conception rate adalah persentase betina yang bunting pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Agka konsepsi merupakan cara penilaian fungsi daya fertilisasi dari contoh semen. Angka konsepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya fertilitas dan kualitas semen, ketrampilan inseminator, peternak serta kemungkinan adanya gangguan reproduksi atau kesehatan hewan betina. (b) Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi (Toelihere, 1985).

Keberhasilan dan kegagalan IB dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya; peternak, petugas dan ternak kerbau betina beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB yaitu; kualitas semen, kualitas oocyt, waktu IB, kompetensi inseminator, penanganan dan deposisi semen saat IB. Peternak berperan dalam hal deteksi dini dari gejala estrus (Roelofs et al., 2010).

Pengaruh umur terhadap fertilitas kerbau betina dan kerbau jantan sulit untuk diketahui karena faktor penyebabnya sangat kompleks dan banyak. faktor lingkungan seperti musim setiap tahunnya, faktor tatalaksana dan faktor makanan

berpengaruh terhadap kelompok umur kerbau tertentu lebih daripada kelompok umur lainnya (Salisbury dan Vandenmark, 1985).

Body Condition Score

Body Condition Score adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh ternak baik secara visual maupun dengan perabaan pada timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan pinggul. BCS digunakan untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status kesehatan individu ternak dan membangun kondisi ternak pada waktu manajemen ternak yang rutin. BCS telah terbukti menjadi alat praktis yang penting dalam menilai kondisi tubuh ternak karena BCS adalah indikator sederhana terbaik dari cadangan lemak yang tersedia yang dapat digunakan oleh ternak dalam periode apapun (Susilorini, Sawitri dan Muharlien, 2007).

Body Condition Score (BCS) kerbau betina yang akan di IB merupakan salah satu persyaratan yang perlu diperhatikan. Body Condition Score ideal dari kerbau betina yang akan di IB adalah 2,5-3 dari skala 1-5. Beberapa penelitian dan literature menyatakan bahwa BCS < 2,5 dari skala 1-5 merupakan representasi dari kekurangan nutrisi, yang salah satu manifestasinya adalah penurunan fungsi dan efisiensi reproduksi (Arthur et al., 2001)

Pakan ternak Kerbau

Pada umumnya pakan ternak kerbau terdiri atas hijauan makanan ternak (HMT), limbah pertanian, dan penguat (konsentrat). Komponen makanan ternak kerbau berdasarkan bahan-bahan yang mudah didapatkan disetiap daerah, misalnya susunan pemberian pakan ternak kerbau untuk tiap ekor dengan bobot 300 kg dalam sehari terdiri sebagai berikut. Rumput segar (hijauan) 20 kg, jerami

padi hasil pengolahan 7 kg, dedak halus 2,3 kg, kacang-kacangan segar 0,5 kg, garam 100 gr, vitamin dan mineral 60-80 gr (Rahmat,2003)

Makanan dapat menyebabkan infertilitas melalui hipotalamus dan pituitari anterior yang akan mempengaruhi fungsi endokrin, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel awal, dan perkembangan embrio dan fetus. Pengaruh yang menonjol dari defisiensi pakan yaitu terhentinya aktivitas siklus reproduksi, adanya birahi tenang, kelainan ovulasi, kegagalan konsepsi, dan kematian embrio. Kerbau dara paling sensitif terhadap kekurangan nutrisi pada tingkat akhir kebuntingan pertama jika mereka belum mencapai kematangan fisik. Hal ini diperlihatkan dengan keterlambatan berahi post partus dan angka konsepsi yang rendah pada servis pertama (Arthur et al., 1989).

Kebutuhan nutrisi yang seimbang sangat penting untuk kelangsungan reproduksi kerbau. Menurut Winugroho (2002) jika defisiensi nutrisi berupa protein, energi, mineral dan vitamin akan menyebabkan late estrus, silent heat

hingga anestrus. Kekurangan protein menyebabkan timbulnya berahi yang lemah, berahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat breeding), kematian embrio dini, absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi, defisiensi dan ketidakseimbangan mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang, aktivitas ovarium, dan rendahnya efisiensi reproduksi.

Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi, diantaranya: protein, vitamin A, dan mineral/vitamin (phosphor, kopper, kobalt, manganese, iodine, dan selenium) (Departemen Pertanian, 2007).

Kecermatan peternak dalam mendeteksi berahi pertama yang muncul pada ternak yang selanjutnya dimasukkan kedalam program perkawinan. Program perkawinan ini harus benar-benar diperhitungkan karena pubertas atau dewasa kelamin umumnya terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga hewan betina harus menyediakan makan untuk perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya dan tubuh anaknya. Hewan betina muda yang baru mengalami dewasa kelamin membutuhkan lebih banyak makanan dibandingkan dengan hewan betina yang sudah mencapai dewasa tubuh (Toelihere, 1985).

Inseminator

Petugas IB atau inseminator mempunyai kontribusi terhadap keberhasilan IB. Inseminator harus mempunyai pengetahuan yang berhubungan dengan tingkah laku seksual, perubahan temperatur tubuh, dapat menentukan perubahan pada saluran reproduksi betina terutama vulva, vagina dan cervix kerbau betina dari setiap fase siklus estrus, serta keterampilan melaksanakan IB

(Roelofs et al., 2010). Pengetahuan dan keterampilan inseminator tersebut dapat digunakan untuk menentukan waktu IB yang tepat. Ketepatan waktu IB merupakan salah satu faktor menentukan keberhasilan fertilisasi

(Arthur etal., 2001)

Faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan IB adalah mendeteksi berahi karena tanda-tanda berahi sering terjadi pada malam hari. Oleh karena itu petani diharapkan dapat memonitor kejadian berahi dengan baik dengan mencatat siklus berahi semua kerbau betinanya (dara dan dewasa) dan Petugas IB

Dokumen terkait