• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA TERNAK KERBAU (

Swamp buffalo

) dengan SINKRONISASI ESTRUS DI KECAMATAN SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARA

OLEH:

(2)

110306012

KUISIONER PETERNAKAN KERBAU IDENTITAS PETERNAK

1. Berapa jumlah ternak kerbau yang mendapatkan GBIB Bapak/Ibu…. Ekor a. 1 ekor

b. 2 ekor c. 3 ekor

2. Umur ternak kerbau kerbau betina Bapak/Ibu …. ekor

a) ≥ 3 - 4 tahun b) ≥ 4 - 5 tahun c) ≥ 5 - 6 tahun

3. Skor kondisi tubuh kerbau Bapak/Ibu…. a) 2,5

b) 3 c) ≥ 3

4. Status ternak kerbau (beranak) …. kali a. belum pernah

b. 1 kali c. 2 kali

(3)

a. Pernah b. Tidak

6. Apakah ternak kerbau Bapak/Ibu sudah pernah di Inseminasi Buatan? a. Sudah

b. Tidak

7. Jika sudah pernah di Inseminasi Buatan apakah penah berhasil? a. Ya

b. Tidak

8. Umur ternak pertama kali dikawinkan Bapak/Ibu a) ≤ 3 tahun

b) ≥ 3 tahun

9. Pakan yang diberikan Bapak/Ibu a) Hijauan

b) Konsentrat c) Dan lain-lain …

10.Bagaimanakah kondisi ketersediaan pakan ternak kerbau Bapak/Ibu? a. Kurang

b. Cukup c. Banyak

11.Bagaimana sistem pemeliharaan Bapak/Ibu ….

a) Intensif (ternak selalu dikandang, rumput dan konsentrat diberikan dikandang)

b) Ekstensif (pagi–malam hari ternak digembalakan, konsentrat tidak diberikan

c) Semi intensif (pagi–sore hari ternak digembalakan, malam dikandangkan )

12.Apakah ternak kerbau Bapak/ Ibu di pekerjakan dan berapa …jam / hari? a) Ya … jam/ hari

b) Tidak

13. Musim waktu melakukan Inseminasi Buatan a) Musim panas 3. Pendididkan inseminator :

SD SMP SMA

S1 Sederajat

(4)

1 - 10 tahun 11- 20 tahun

5. Waktu penyuntikan hormone a) Pagi

b) Siang

6. Waktu IB dilakukan a) Pagi

b) Sore

(5)
(6)

DAFTAR PUSTAKA

Arthur, G.H., E.N. David, & H. Pearson. 1989. Veterinary Reproduction and Obstetrics (Theriogenology). 6th Ed. Bailliere Tindall, London.

Cockrill, W.R. 1976. The Buffaloes of China. FAO.

Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara. 2014. Data populasi ternak kabupaten tapanuli utara

Chohan, K.R. 1998. Estrus synchronization with lower dose PGF2α and

subsequent fertility in subestrous buffalo. Theriogenology 50: 1101-1108

De Rensis, F. and Lo´Pez-Gatius. 2007. Protocols for synchronizing estrus and ovulation in buffalo (Bubalus bubalis): A review. Theriogenology

67: 209 – 216.

Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis: Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan.

Ditjennak,J.B. 2008. Data Populasi Kerbau Dari: Statistic Pertanian. Direktoral Jenderal Peternakan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan IB pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Farndon. 2008. Beternak Kerbau. Karnisius. Yogyakarta.

Fahimuddin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Gulab Pirmlai, Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi. Pp. 1,59-63, 79-91.

Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Terjemahan B. Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Guzman, M.R. 1980. An Overview of Recent Development in Buffalo Research and Management in Asia. Dalam Buffalo Production for Small Farms. ASPAC. Taipei.

Hafez, E.S.E. & Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animal. Seventh Edition Lippincott William & Wilkins. Baltimore Maryland, USA.

Hardjopranjoto, S.H., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Air Langga University Press. Surabaya.

(7)

Kristianto, L., K., Mastur Dan R. Sintawati. 2008. Analisis potensi kerbau kalang di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Kusnadi, V. 1980. Pelayanan Perkebuntingan Hasik Kawin Alam dan Inseminasi Buatan di Daerah Penggalangan dan Lembang. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor.

Lasley, J.F. 1981. Genetics of Livestock Improve-ment. 3rd ed. Prentice-Hall of India, Pvd., Ltd. New York.

Macmillan, K.L. And Cr. Burke. 1996. Effect of estrous cycle control on reproductive efficiency. J. Anim. Sci. 42:307-436

Macmillan, K.L, B.V. Segwagwe and C.S. Pino. 2003. Associations between the manipulation of patterns of follicular development and fertility in cattle.

Anim.Reprod. Sci. 78: 327-344.

Mosher AT, 1983. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Penerbit CV Yasaguna, Jakarta.

Murti, T.W., 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius. Yogyakarta

Murtidjo, B.A. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta

Mosher AT, 1983. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Penerbit CV

Yasaguna, Jakarta

Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Jakarta.

Purtidjo, B.A., 1992. MemeliharaKerbau. Kanisius. Yogyakarta

Rahmat. 2003. Beternak kerbau. Kanisius. Yogyakarta

Roelofs, J., Eerdenburg Van., F.J.C.M. Hunte, R.H.F., Gtius, L., Hanzen, Ch. (2010) When is a Cow in Estrus? Clinical and Practical Aspects: review.

J.Theriogen.74: 327-344.

Saacke, R.G. (2008) Insemination factors related to timed AI in Cattle. J. Theriogen. 70: 479-484.

(8)

Situmorang, P. And P. Sitepu. 1991. Comparative performance, semen quality and draught capasity of Indonesia swamp buffalo and its crosses. ACIAR Proceding 34:102

Subiyanto. 2010. Populasi Ternak Kerbau Semakin Menurun. Publikasi Budidaya Ternak Ruminansia. (http://www. Ditjennak.go.id/bulletin/artikel_3pdf) Suardi. 1989. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Universitas Andalas Padang.

Susilawati, E. dan Bustami.2008. Pengembangan Ternak Kerbau Di Propinsi Jambi. Makalah. Bahan Pengkajian Teknologi Ternak, Jambi. Hal 11-17

Talib,C., 2008. Kerbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor

Toelihere. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

_______ . 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

_______. 1987. Ilmu Kebidanan pada ternak Sapi dan kerbau. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

_______. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa. Bandung

Toleng, A.L., Sonjaya, H. dan Yusuf, M., 1999. The UseOf Progesterone RIA to Increase Efficiency And Quality Of Articial Insemination Services Of Beef Cattle In South Sulawesi, Indonesia.Faculty of Animal Husbandry, Hasanuddin University, Makassar. Vienna (2001) 37-34.

(9)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini di laksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai dengan

Januari 2016, di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah quisioner untuk di isi

oleh peternak kerbau lumpur dan inseminator dan ternak kerbau lumpur sebagai

objek yang diteliti.

Alat

Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah buku dan alat tulis

untuk mencatat hasil data sementara, serta menggunakan camera digital alat

untuk mengambil dokumentasi lampiran penelitian dan computer sebagai alat

untuk mengolah data.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey yaitu untuk mengetahui

keberhasilan Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan yang dilaksanakan

dipeternakan masyarakat yang ada di Kecamatan Siborongborong diperoleh

dengan melakukan pengamatan langsung. Data dikumpulkan dalam penelitian ini

adalah informasi yang dapat dilihat secara langsung dilingkungan masyarakat

yang memiliki ternak kerbau betina yang mendapatkan Gertak Birahi dan

(10)

Metode Penentuan Daerah Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di beberapa desa

yang ada di Kecamatan Siborongborong Desa Pohan Julu, Desa Parik Sabungan,

Desa Simatemate, Desa Sihatandohan, Desa Silaitlait, Desa Siborong-borong I,

Desa Siborong-borong II, Desa Lumban Sosor, Desa Sitabotabo, Desa

Sitampurung, Desa Pohan Tonga, Desa Paniaran, dan Desa Sigumbang yang

mana desa tersebut memeliki peternak kerbau yang mau menerima ternaknya

yang ikut program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi langsung

ke peternakan untuk mengetahui keadaan lokasi dan wawancara seputar tentang

peternakan tersebut. Dalam wawancara pengumpulan data yang digunakan adalah

data sekunder dari instansi yang terkait seperti Dinas Perikanan dan Peternakan

Tapanuli Utara sedangkan data primer dari peternakan kerbau yang akan di

survey.

Metode Pengambilan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi lansung

ke peternak kerbau untuk mengetahui keadaan lokasi dan wawancara seputar

tentang peternakan tersebut.

1. Survey dilaksanakan Desa Pohan Julu, Desa Parik Sabungan, Desa Simatemate,

Desa Sihatandohan, Desa Silaitlait, Desa borong I, Desa

Siborong-borong II, , Desa Sosor Lumban, Desa Sitabotabo, Desa Sitampurung, Desa

(11)

2. Pengambilan data dengan menggunakan Quisioner ke peternak kerbau

masyarakat

3. Pengambilan data dari data recording Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan dari

rekorder dari Dinas Perikanan Dan Peternakan Tapanuli Utara

4. Melakukan analisis keberhasilan Inseminasi Buatan dengan Gertak Birahi

Parameter Penelitian

Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau yang bunting hasil satu kali

Inseminasi.

CR = Persentase jumlah akseptor yang bunting pada IB pertama dibanding dengan akseptor yang diperiksa

Jumlah akseptor yang diperiksa X 100% Jumlah bunting IB pertama

Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara responden di lapangan diolah

dan ditabulasi. Kemudian data dianalisis degan menggunakan metode analisis

keberhasilan inseminasi buatan dengan pendekatan ekonometri dan dijelaskan

secara metode deskriptif. Adapun untuk menghitung keberhasilan inseminasi

buatan ternak kerbau dengan rumus

CR = Persentase jumlah akseptor yang bunting pada IB pertama dibanding

dengan akseptor yang diperiksa

Jumlah akseptor yang diperiksa X 100% Jumlah bunting IB pertama

Berdasarkan data yang diperoleh, maka untuk melihat faktor-faktoryang

(12)

model pendekatan ekonometri dengan menggunakan analisis regresi linear

berganda(alat bantu SAS) dengan model pendugaan sebagai berikut :

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + µ

Keterangan :

Y = Kebuntingan Ternak Kerbau (%ekor)

a= koefisien intercept (konstanta)

b = koefisien regresi

X1 = Umur Ternak (tahun)

X2 = Bodi Score Condition (BSC)

X3 =Status beranak Ternak

X4 = Waktu Penyuntikan Hormon dan Waktu Melakukan IB

X5 = Pengalaman Sebagai Inseminator

X6 = Pakan yang di berikan

µ = Variabel yang tidak diteliti

Variabel-variabel pada hipotesis di uji secara serempak dan parsial untuk

mengetahui apakah variabel tersebut mempunyai pengaruh yang dominan atau

tidak. Jika variabel tersebut berpengaruh secara serempak maka yang digunakan

uji F yaitu:

F = r

2

(1−r2)/(nk1

Keterangan

r2 = koefisien determinasi

n = jumlah responden

(13)

kriteria uji :

F-hit ≤ F-tabel ………H0 diterima (H1 ditolak)

F-hit ≥ F-tabel ………H0 diterima (H1 diterima)

a. t- hitung >t.tabel (taraf signifikan α≤0,10) : H0 ditolak, berarti koefisien regresi

dari faktor tertentu berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

b. t- hitung < t.tabel (taraf signifikan α≥0,10) : H0 diterima, berarti koefisien regresi

dari faktor tertentu berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat.

Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan

Persiapan yang dilakukan yaitu mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan

pada saat survey seperti Quisioner, dan form data recording

2. Survey Pendahuluan

Melakukan survey pendahuluan untuk mengetahui keadaan dan situasi peternakan

agar mengetahui kapan waktu untuk melakukan survey dan pelaksanaan

dilakukan Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan dan menentukan lokasi yang

akan di survey

3. Survey dan Melalukan Survey

Survey dilakukan di peternakan masyarakat yang telah dipilih dan dilakukan

wawancara dengan menggunakan Quisioner yang telah disiapkan

4. Tabulasi Data

Mengumpulkan data dan menyusun data-data yang telah didapatkan dari survey

(14)

5. Analisis Data

Analisis data yang sudah terkumpul untuk mengetahui data-data mana yang

diperlukan dan dapat menjadi sebuah informasi bagi penelitian tersebut

6. Menyimpulkan Data

Disimpulkan semua data menjadi sebuah rangkuman dan informasi yang

(15)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umun Lokasi Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di peternakan masyarakat di Kecamatan

Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara daerah ini terletak di wilayah dataran

tinggi Sumatera Utara berada yaitu pada ketinggian antara 300-1500 meter di atas

permukaan laut. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara terletak pada

koordinat 1º20’00” -2º41’00” Lintang Utara (LU) dan 98005”-99016” Bujur Timur

(BT), sedangkan Kecamatan Tarutung terletak pada 01º54’00” -02º01’00”

Lintang Utara (LU) dan 98052”-99004” Bujur Timur (BT) (TAPUT.BPS,2014)

Hasil penelitian keberhasilan inseminasi pada ternak kerbau lumpur dengan

gertak birahi diperoleh melalui dan diperoleh hasil perhitungan dengan metode

analisis data dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Table 3. Angka kebuntingan dari inseminasi buatan ternak kerbau dengan gertak

birahi di Kecamatan Siborongborong

Jumlah Ternak yang di

IB Jumlah Kerbau Bunting Parameter

Nilai CR

117 40 34%

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan Tabel 3, dari 117 ekor jumlah kerbau yang di gertak birahi,

yang berhasil bunting 40 ekor atau 34,18%. Hal ini memperlihatkan bahwa

tingkat kebuntingan yang di dapat termasuk tingkat kebuntingan yang cukup

rendah dari standar. Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di

Negara maju berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia

conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika di bawah 50%

(16)

Dari hasil pengamatan munculnya tanda-tanda estrus pada kerbau akseptor

yang disinkronisasi dengan penyuntikan hormon prostaglandin memang

menunjukkan hasil yang sangat baik yaitu kerbau menunjukkan tanda-tanda

estrus yang cukup jelas sehingga bisa untuk di kawinkan. Namun tidak

seluruhnya gejala estrus terlihat dengan kasat mata. Umumnya agresifitas, vulva

bengkak, sering urinasi, standing heat dapat terlihat jelas di hampir seluruh

ternak, namun gejala mengeluarkan lendir bening, hanya terjadi pada sebahagian

kerbau. Hal di atas sudah cukup menunjukkan metode sinkronisasi estrus sangat

baik dan efisien dalam merangsang terjadinya estrus pada ternak dan juga

menandakan kondisi reproduksi ternak sedang subur karena memilki siklus

reproduksi yang baik dan teratur. Hal ini dinyatakan oleh Hafez (1993) bahwa

respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang

mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase

lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus 21-22 hari), akan efektif, karena

prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis

karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu

hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang

hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang

perkembangan folikel yang pada akhirnya meningkatkan sekresi estroegen yang

merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel

(17)

Tabel 4. Angka kebuntingan kerbau dari kondisi tubuh BCS, Umur kerbau, dan status ternak beranak kerbau terhadap angka kebuntingan

Variabel Uraian Jumlah Ternak (Ekor) Angka Kebuntingan(%)

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan antara keadaan ternak

dimana kondisi tubuh yang memiliki BCS 2,5 bisa dikatakan ukuran tubuh yang

sedang namun pada penelitian ini mendapatkan angka kebuntingan yang lebih

tinggi yaitu 38,7 % sedangkan pada kondisi tubuh pada kondisi skor 3 ternak

menunjukkan keragaan tubuh yang ”Sedang atau Menengah”, dimana tonjolan

tulang sudah tidak terlihat lagi dan kerangka tubuh angka kebuntingan 32,5% .

Menurut Arthur et al (2001) Body Condition Score ideal dari kerbau betina yang

akan di IB adalah 2,5-3 dari skala 1-5. Beberapa penelitian dan literature

menyatakan bahwa BCS < 2,5 dari skala 1-5 merupakan representasi dari

kekurangan nutrisi, yang salah satu manifestasinya adalah penurunan fungsi dan

efisiensi reproduksi. Namun pada kondisi kerbau yang memiliki kondisi tubuh 2,5

kebanyakan yang sudah pernah mengalami beranak minimal 1 kali dan pada umur

≥4-5 tahun .

Berdasarkan hasil analisis pengaruh umur terhadap angka kebuntingan

menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Pada kelompok umur kerbau 3-4 tahun

(18)

angka kebuntingannya 51,5% dan pada umur ≥5 -6 tahun (n=22) angka

kebuntingan 40,9 %. Penyebab tidak diketahui dengan jelas dikarenakan

recording dari masing-masing kelompok umur kerbau yang di IB tidak tercatat

dengan jelas oleh masing-masing peternak kerbau tersebut. Hal ini dipertegas

oleh Salisbury dan Vandenmark (1985) bahwa pengaruh umur terhadap fertilitas

kerbau betina dan kerbau jantan sulit untuk diketahui karena faktor penyebabnya

sangat kompleks dan banyak. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor lingkungan

seperti musim setiap tahunnya, faktor tatalaksana dan faktor makanan yang

berpengaruh terhadap kelompok umur kerbau tertentu lebih daripada kelompok

umur lainnya.

Pada penelitian ini pengamatan terhadap status beranak ternak di peroleh

data angka kebuntingan yang paling tinggi pada status beranak 1 kali sebesar 43,2

% dan yang sudah 2 kali beranak sebesar 42,8 % sedangkan angka terendah pada

ternak yang masih belum pernah beranak yaitu 17,7% angka kebuntingan.

Menurut peneliti status beranak memberikan kontribusi untuk keberhasilan

inseminasi buatan dimana ternak yang sudah pernah beranak saluran reproduksi

sudah berfungsi dengan baik. Namun dalam uji statistik tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan inseminasi buatan karena banyak

faktor yang dapat mempengaruhi. Menurut Toelihere (1993) CR tebaik mencapi

60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi

alam, manajeman dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika

nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu, rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh

kualitas maupun fertilitas semen beku, ketrampilan dan kemampuan inseminator

(19)

Tatalaksana Pemeliharaan

Dalam meningkatkan keberhasilan IB diperlukan perhatian khusus

terhadap tatalaksana pemeliharaan ternak kerbau dengan memperhatikan sistem

pemberian pakan, cara pemeliharaan, waktu perkawinan, waktu penyuntikan

hormone karena akan berpengaruhi pada angka kebuntingan.

Pola pemeliharaan ternak kerbau yang ada di kecamatan siborong-borong

dengan melepaskan ternak kerbau dan di ikat di padang rumput di wilayah ladang

milik sendiri pada pagi hari dan pada sore hari ternak kembali di bawa ke

kandang, di daerah sekitar rumah dan memberikan pakan hijauan yang sudah di

arit pada sore hari dan jika panas terik matahari ternak diberikan minum air

secukupnya.

Tabel 5. Angka kebuntingan kerbau dari waktu IB, waktu penyuntikan hormon,

pakan, pemeliharaan terhadap angka kebuntingan.

Variabel Uraian Jumlah Ternak (Ekor) AngkaKebuntingan(%)

Waktu Penyuntikan Pagi 24 37,5 Hormon dan

Waktu IB Sore 93 33,3

Pakan Rumput 94 34,0

Rumput +Dedak 23 34,7

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa waktu penyuntikan hormon

prostaglandin pada ternak kerbau dengan waktu yang berbeda memiliki angka

kebuntingan yang paling tinggi pada pagi hari yaitu 37,5% dan yang di suntik

pada sore hari angka kebuntingan lebih rendah yaitu 33,3%. Waktu penyuntikan

hormon baik pagi atau sore masih angka kebuntingan yang masih rendah. Dalam

(20)

inseminasi buatan waktunya tepat dimana ternak sudah mengalami birahi.

Kecermatan peternak sangat dibutuhkan untuk hal ini supaya memperhatikan dan

melaporkan ternak ketika sudah ada tanda-tanda birahi yang terlihat. Sehingga

waktunya tepat dan mendapatkan pelayanan yang baik. Hal ini sesuai dengan

peryataan Rahmat (2003) yang menyatakan mengawinkan pada saat yang tepat,

yaitu kerbau betina nampak birahi pada pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari

itu juga (sesudah pukul 14.00) dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi

dapat dikawinkan. siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali,

sedangkan lamanya birahi lebih kurang 36 jam. Hal ini sesuai dengan peryataan

Windiana, (1986) yang menyatakan bahwa pada waktu IB ternak harus dalam

keadaan berahi karena pada saat itu liang leher rahim (serviks) pada posisi yang

terbuka. Kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada

periode-periode tertentu dari berahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya

adalah permulaan berahi: 44% pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6

jam sesudah sesudah berahi : 62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam

sesudah berahi : 28% dan 24 jam sesudah berahi : 12% .

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa pemberian pakan pada ternak

kerbau memiliki angka kebuntingan yang mendekati yaitu pada kerbau yang

diberikan pakan rumput mendapatkan angka kebuntingan 34,0 % sedangkan pada

ternak kerbau yang diberikan pakan rumput dan ditambah dengan dedak diperoleh

hasil angka kebuntingan 34,7%. Pakan ternak kerbau di kecamatan

siborongborong masih tergolong kurang, ternak di bawa ke ladang dan di

gembalakan dan ternak tidak diberikan pakan tambahan sehingga ternak masih

(21)

bahwa kualitas dan kuantitas pakan yang baik menyumbangkan 95% peranan

terhadap pencapaian berat, kondisi dan ukuran tubuh ternak dan memungkinkan

untuk mulai terjadinya perkembangan anatomis dan fisiologis organ-organ

reproduksi sehingga dapat dicapai performance reproduksi yang baik.

Inseminator

Inseminator bertanggung jawab terhadap perbaikan pelayanan inseminator

terhadap akseptor IB sampai dengan pelaksanaan IB dilapangan dan peningkatan

penambahan jumlah akseptor serta dukungan petugas teknis IB dan sarana

prasarana. Hal tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB,

terutama sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam penanganan.

Tabel 6. Angka kebuntingan kerbau dari inseminator

Variabel

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan Tabel 6 nilai angka konsepsi inseminator yang cukup tinggi

yaitu Mangelek (36,5 %) sedangkan yang paling rendah Lisber (31,4%)

meskipun masih berada dibawah nilai standart konsepsi Indonesia yaitu 50%.

Mangalek mempunyai pengalaman yang lebih lama dibandingkan Lisber dan

pendidikan. Peternak juga memberikan pengaruh terhadap keberhasilan

inseminasi buatan namun inseminator juga harus yang terampil dan sering

melakukan inseminasi. Hal ini sesuai dengan peryataan Roelofs et al., (2010)

yang menyatakan bahwa inseminator harus mempunyai pengetahuan yang

berhubungan dengan tingkah laku seksual, perubahan temperatur tubuh, dapat

(22)

cervix kerbau betina dari setiap fase siklus estrus Peranan inseminator tidak

berpengaruh nyata terhadap angka kebuntingan, meskipun tingkat pendidikan

Inseminator yang rata-rata lulusan Sarjana.

Pengaruh Variabel Terhadap Angka Kebuntingan Ternak Kerbau

Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan inseminasi Buatan

pada ternak kerbau di kecamatan Siborongborong kabupaten tapanuli utara yang

digunakan dengan analisis liniear berganda dimana yang menjadi variabel bebas

(independen) adalah X1) Umur ternak (tahun) ,X2) Bodi score condition (BSC),

X3) Status beranak ternak, X4) Waktu penyuntikan hormone, X5) Waktu

melakukan IB, X6) Pengalaman sebagai inseminator, X7 ) Pakan yang di berikan

(sedangkan yang menjadi variebel terikat/tidak bebas (dependen) adalah

kebuntingan ternak (Y).

Adapun hasil pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara dapat

dilihat sebagai berikut.

Table 7. Anova regresi linear berganda dari analisis keberhasilan Inseminasi Buatan ternak kerbau

Sumber Jumlah dB Rataan

kuadrat (JK) (Derajat Bebas) JK F-hitung Sig Nilai Regresi 9.76766 6 0,86847 1.87 0,0915

Galat 95.53148 110

Total 105.29915 116

Sumber : data primer

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka dapat dilihat dari

faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dengan menggunakan model pendekatan

(23)

bantu Statistical Analysys System (SAS) didapatkan hasil dan dapat dilihat dari

Tabel 8.

Table 8. Analisis linear berganda pengaruh angka kebuntingan terhadap Umur, BCS, Status beranak, pengalaman inseminator, waktu IB, waktu penyuntikan hormone,dan pakan yang diberikan di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.

Variabel Koefisien regresi Std. Error t-hitung Signifikan

Konstanta - 0,14121 0,77210 -0,18 0,8552

Berdasarkan tabel diatas diperoleh persamaan sebagai berikut :

Y = 0,17271 (X1)+ 0,00337 (X2) + 0,07358(X3)+0,00241(X4) + 0,02597(X5) + 0,59208(X6) - 0,014121 + µ

X3 = Status Beranak (kali)

X4 = Waktu Penyutikan hormone dan Waktu Melakukan IB

(24)

X6 = Pakan yang di berikan

µ = Variabel yang tidak diteliti

Berdasarkan hasil regresi di atas dapat diketahui

1. Variabel umur ternak (tahun) terhadap keberhasilan inseminasi buatan ternak

kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan t-hitung

(X1) sebesar (1.59) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini menunjukan

bahwa umur ternak kerbau berpengaruh tidak nyata terhadap keberhasilan

inseminasi buatan.

2. Variabel body condition score (BCS) terhadap keberhasilan inseminasi buatan

ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan

t-hitung (X2) sebesar (0,02) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini

menunjukan bahwa body condition score (BCS) berpengaruh tidak nyata terhadap

keberhasilan inseminasi buatan.

3. Variabel status beranak Ternak (kali) terhadap keberhasilan inseminasi buatan

ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan

t-hitung (X3) sebesar (0,62) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini

menunjukan bahwa status beranak ternak (kali) berpengaruh tidak nyata terhadap

keberhasilan inseminasi buatan.

4. Variabel waktu penyuntikan hormon dan waktu IB terhadap keberhasilan

inseminasi buatan ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel

yang ditunjukan t-hitung (X3) sebesar (0.03) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96

Hal ini menunjukan bahwa waktu penyuntikan hormon berpengaruh tidak nyata

(25)

5. Variabel pengalaman sebagai inseminator terhadap keberhasilan inseminasi

buatan ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang

ditunjukan t-hitung (X4) sebesar (0,12) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal

ini menunjukan bahwa pengalaman sebagai inseminator berpengaruh tidak nyata

terhadap keberhasilan inseminasi buatan.

6. Variabel pakan yang di berikan terhadap keberhasilan inseminasi buatan ternak

kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan t-hitung

(X6) sebesar (2.64) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini menunjukan

bahwa pakan yang di berikan berpengaruh tidak nyata terhadap keberhasilan

(26)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian analisis kerberhasilan inseminasi buatan pada

ternak kerbau lumpur (swamp buffalo) dengan gertak birahi di Kecamatan

Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara dapat disimpulkan bahwa

keberhasilan penerapan teknologi IB masih rendah karena angka kebuntingan

34% pada kondisi ini ternak kerbau lumpur yang ada di kecamatan

siborongborong masih tergolong kurang subur dan pada t-hitung pada taraf

signifikan 0,01 pada parameter yang yang diteliti berpengaruh tidak nyata

terhadap variabel.

Saran

Untuk meningkatkan hasil angka kebuntingan ternak kerbau melalui

gertak birahi dan inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong Tapanuli Utara

peneliti menyarankan diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hormon

prostadglandin dan sosialisasi kepada peternak serta melakukan recording ternak,

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau

Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang

berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India. Kerbau

domestikasi atau water buffalo berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau

lain yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer

(Hasinah dan Handiwirawan, 2006)

Ada dua bangsa kerbau yang diternakkan di dunia, yaitu kerbau lumpur

(Swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau lumpur memiliki 48

pasang kromosom dan kerbau sungai memiliki 50 pasang kromosom, walaupun

berbeda dalam jumlah kromosom, tetapi perkawinan keduanya menurunkan

keturunan yang juga fertile baik pada jantan maupun betina, hanya diduga bahwa

daya reproduksi crossbreed tersebut lebih rendah dari masing-masing tetuanya

(Talib, 2008).

Habitat Kerbau

Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan

kerbau. Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan

yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat

berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah

sampai daerah yang relatif kering. Kehidupan kerbau dipengaruhi oleh iklim

secara mikro dan keadaan lingkungan (Fahimuddin, 1975).

Kerbau adalah mamalia besar, kuat, berwarna gelap, dan bertanduk besar.

(28)

senang tinggal di dekat air karena senang berlumpur. Kerbau air ditemukan di

daerah basah Asia. Hanya sedikit yang masih liar, karena kebanyakan dipelihara

manusia untuk membantu diladang (Farndon, 2008).

Kerbau termasuk hewan primitive yang memiliki leher panjang, sanggup

hidup dengan makanan yang sangat sederhana, cenderung hidup dan berkembang

biak daerah yang cukup air. Dengan potensi ini, kerbau kerbau merupakan ternak

yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam mencerna serat kasar

dibanding dengan ruminansia lain (Murtidjo, 1989).

Ciri-Ciri Kerbau Lumpur

Murti (2002) menguraikan sistematika kerbau sebagai berikut :

Kelas : mamalia ,Ordo : ungulata , Sub ordo : ortiodactyla , Family : bovidae ,

Sub family : bovinae ,Genus : bos , Sub genus : bubalus.

Fahimuddin (1975) mengklasifikasikan kerbau menjadi dua tipe yaitu

kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur

(swamp buffalo). Kerbau sungai merupakan kerbau tipe penghasil susu,

sedangkan kerbau lumpur sebagai kerbau tipe pedaging (Murti, 2002).

Penampilan kerbau sungai yaitu badan dan muka panjang, warna kulit hitam

legam, rambut sangat jarang yang berwarna putih meski sering ditemukan

dibagian kepala, muka dan bulu ekor (Fischer, 1975 dalam Soedarsono, 1989).

Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas

peternakan yang potensial dalarn hal penyediaan daging karena pada kondisi

pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak

kerbau (Cockrill,1974). Kerbau juga mempunyai persentase karkas yang relatif

(29)

Penampilan umum kerbau lumpur yaitu memiliki tubuh yang pendek dan

gemuk (stocky animal), lingkar dada besar, kaki pendek dan lurus. Warna yang

menutupi tubuh kerbau lumpur adalah abu-abu dengan bercak putih pada bagian

permukaan atas leher diatas brisket, warna kulit kebiruan sampai abu-abu hitam,

kadang terdapat warna albino (Murti, 2002), sedangkan tanduk, kuku serta bulu

berwarna hitam (Toelihere, 1981).

Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129

negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur di

Indonesia sebesar 2,2 juta dan sebanyak 6% dari total populasi kerbau dunia.

Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di

sumatera utara dan merupakan jenis kerbau murah nilli-ravi. Secara umum

populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8% antara tahun

2002 dan 2006. Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti sumatera utara

(30)

Tabel 1. Data populasi ternak kerbau yang ada di Sumatera Utara

No Kabupaten /Kota Kerbau Jumlah (ekor) Jantan Betina

(31)

Tabel . Populasi ternak kerbau di kabupaten Tapanuli Utara tahun 2014 No Kecamatan Jumlah Kerbau (ekor)

1 Tarutung 285

11 Siborongborong 2.785

12 Muara 976

13 Purba Tua 37

14 Simangumban 12

15 Siatas Barita 128

Jumlah 9.246

Sumber : Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara, 2014

Tanda-Tanda Berahi Kerbau

Toelihere (1981) menyatakan bahwa tanda - tanda birahi pada ternak

kerbau adalah vulva membengkak dan mengeluarkan lendir berwarna bening pada

sore hari setelah digembalakan. Pengeluaran lendir tersebut akan terlihat lebih

jelas lagi ketika kerbau dalam keadan berbaring, karena perut yang tertekan akan

mendorong keluarnya lender tersebut yang akan jatuh ke tempat berbaring. Tetapi

jika lantainya tanah maka sesudah beberapa menit akan terserap oleh tanah dan

bekas lendir sudah tidak kelihatan lagi.

Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai

agak malam den menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001).

tanda-tanda berahi dan akativitas perkawinan pada kerbau mesir pada umumnya

terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di

(32)

memungkinkan terjadinya perkawinan. Tanda-tanda berahi pada kerbau,

umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan pada

pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini

bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem

pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.

Saat Perkawinan Yang Tepat ternak Kerbau

Faktor yang harus diperhatikan dalam mengawinkan ternak kerbau adalah

sebagai berikut.

a. Hanya kerbau yang sudah mencapai dewasa yang cocok untuk dikawinkan,

yaitu kerbau jantan berumur 2,5 tahun, dan betina berumur 18-20 bulan.

b. Keadaan tubuh kerbau jantan maupun betina betul-betul sehat, dan tidak dalam

keadaan lemah.

c. Perkawinan dilaksanakan ketika betina memperlihatkan indikator

(tanda-tanda) birahi, yaitu tampak gelisah, apabila dikerjakan tidak penurut,

melenguh-lenguh secara berantai, nafsu makan berkurang, alat kelamin luar

(vulva) bengkak memerah dan biasanya mengeluarkan cairan bening, dan

selalu berusaha mendekati kerbau jantan.

d. Mengawinkan pada saat yang tepat, yaitu kerbau betina nampak birahi pada

pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari itu juga (sesudah pukul 14.00)

dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi dapat dikawinkan. Saat

perkawinan yang tepat pada ternak kerbau dapat dilihat pada Tabel 2.

e. Siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali, sedangkan

(33)

Tabel 2. Saat perkawinan yang tepat ternak kerbau

No Waktu birahi Saat perkawinan yang tepat

Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk

menghasilkan anak selama hidupnya. Berdasarkan informasi dari responden

bahwa kerbau rawa selama masa hidupnya mampu menghasilkan 5-10 ekor anak.

Jika beranak pertama terjadi pada umur empat tahun dan calving interval 1,5

tahun maka kerbau rawa mampu hidup lebih dari 20 tahun. Kerbau rawa mampu

menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya, dan bisa hidup sampai 25 tahun

Cockrill (1976),

Siklus Estrus Pada Ternak Kerbau

Sistem reproduksi hewan betina yang telah mengalami dewasa kelamin

biasanya mengalami perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Lamanya

waktu siklus estrus pada seekor hewan dihitung mulai dari munculnya estrus

sampai muncul estrus lagi pada periode berikutnya (Suardi, 1989). Siklus estrus

(34)

siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan

diestrus.

Salah satu cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi estrus yaitu

dengan cara penerapan teknik sinkronisasi estrus, baik dengan menggunakan

sediaan progesteron atau prostaglandin FGF2 (De rensis dan Lo´Pez, 2007).

Sinkronisasi umumnya dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin

atau progesteron, yang keduanya bertujuan memanipulasi agar terjadi penurunan

hormone progesteron ke level terendah (Macmillan et al.,2003). Para peneliti

lainnya menyatakan bahwa kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 21 hari

sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980).

Intensitas estrus pada kerbau dan kerbau dinilai berdasarkan perubahan

vulva yaitu berwarna kemerahan, pembengkakan dan kenaikan suhu; lendir

tembus pandang dari vulva (Toelihere, et al, 1997); dan perubahan tingah laku

yaitu menguak, saling menaiki, mengangkat ekor bila vulva diraba. Waktu estrus

pada umumnya mempunyai kisaran 12-40 jam dengan rata-rata adalah 24 jam

(Murti, 2002). Waktu untuk mendeteksi gejala estrus kerbau lumpur sebaiknya

dilakukan antara pukul 05.00-06.00 dan 17.00-19.00. Gejala saling menaiki

terlihat pada waktu fajar sedangkan lendir vulva keluar pada waktu pagi hari dan

sore hari (Toelihere, 1981).

Prostaglandin F2α

Satu cara untuk melakukan tehnik sinkronisasi estrus adalah dengan

menggunakan hormon prostaglandin F2α. Prinsip pemberian prostaglandin F2α

adalah melisiskan atau meregresi corpus luteum (CL) diikuti penurunan sekresi

(35)

Perubahan tersebut menyebabkan siklus estrus yang baru yang dimulainya

pertumbuhan folikel dalam ovarium, selanjutnya setelah folikel masak akan

mengalami ovulasi yang didahului dengan timbulnya gejala estrus

(Husein dan kriddli, 2003).

Prostaglandin F2α sebagai hormon luteolitik telah banyak diteliti dan

dipakai untuk menggertak berahi dan mengendalikan siklus berahi beberapa jenis

ternak. Penggunaan PGF2α untuk penyerentakan berahi pada ternak

(Toelihere, 1981). PGF2α bekerja melisis CL, akibatnya hambatan dari

progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap hormon gonadotrophin hilang,

sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Karena yang dilisis adalah

CL maka pemberian PGF2α untuk pengendalian berahi hanya bisa dilakukan jika

CL sudah terbentuk. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk

penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus.

Agar semua hewan bisa birahi dalam priode waktu yang hampir bersamaan

dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama

(Chohan 1998).

Respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang

mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase

lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus 21-22 hari), akan efektif, karena

prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis

karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu

hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang

hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang

(36)

merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel

preovulatori (Hafez, 1993).

Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramusculer atau secara

intrauterin. Pemberian secara intramuscular mudah dilakukan yaitu dengan cara

injeksi, namun dosis yang diperlukan cukup besar. Pemberian secara intrauterin

hanya diperlukan dosis yang jauh lebih rendah, namun memerlukan keterampilan

khusus. Penggunaan prostaglandin sintetis (estrumate) sebanyak 2 ml secara

intramusculer sangat efektif untuk tujuan menyerempakkan estrus kerbau, dimana

pemberian estrumate mengakibatkan penurunan level progesteron dari 1,90 gg/ml

menjadi 0,05 gg/ml setelah dua hari penyuntikan dan sebagian besar kerbau

menunjukkan gejala estrus dua hari setelah pemberian estrumate.

(Situmorang dan Sitepu, 1991).

Gertak Birahi

Sinkronisasi estrus adalah usaha manusia agar seekor atau sekelompok

hewan mengalami estrus sesuai dengan waktu yang diinginkan (Suardi, 1989),

sehingga memudahkan observasi deteksi estrus, dapat menentukan jadwal

kelahiran, menurunkan usia pubertas pada kerbau dara, penghematan dan

efisiensi tenaga kerja inseminator (Husnurrizal, 2008).

Penyerentakan birahi adalah suatu teknik agar seekor atau sekelompok

ternak mengalami berahi sesuai dengan waktu yang diinginkan. Dengan cara ini

sekelompok ternak dapat dimunculkan berahinya secara serentak atau hampir

bersamaan. Penyerentakan berahi dilakukan dengan tujuan efisiensi dan

penyesuaian produksi dengan kebutuhan pasar. Bila berahi muncul serentak,

(37)

bila perkawinan dilakukan dengan menggunakan teknologi IB. Menurut

Macmillan dan Burke (1996) dengan penyerentakan birahi dalam kelompok

ternak, dapat diperkirakan waktu birahi dan ketepatan pelaksanaan IB sehingga

dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.

Inseminasi Buatan Pada Ternak

Inseminasi buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang telah

dan sedang diprogramkan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan

peternakan sebagai upaya peningkatan produktivitas ternak demi meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan petani peternak. Melalui teknologi ini peternak

dapat memiliki ternak yang berkualitas tanpa harus memiliki pejantan unggul

(Salisbury dan Vandemark, 1985).

Teknologi Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi

yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu genetik

ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas

baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul

(Susilawati, 2011).

Teknik IB merupakan salah satu penunjang keberhasilan IB. Hal ini

memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat

dilakukan pada waktu yang tepat pula. Demikiam juga teknik inseminasi yang

dilakukan secara cermat oleh petugas terampil, dan hewan betina yang sehat

dalam kondisi reproduksi yang optimal sangatlah penting. Semen harus

dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina pada tempat dan waktu yang

terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa dan ovum serta

(38)

Salisbury dan Vandemark (1985) mengatakan bahwa waktu optimum

untuk inseminasi selama atau sesudah estrus adalah dari pertengahan estrus

sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Bila dikawinkan lebih awal atau lebih

lambat menyebabkan kebuntingan menjadi lebih kecil.

Inseminasi dilakukan pada pagi hari menghasilkan CR lebih tinggi

dibandingkan dengan yang diinseminasi pada sore hari. Pada peternakan komersil,

di mana semua hewan yang disinkronisasi untuk estrus, diinseminasi pada sore

hari menghasilkan CR lebih tinggi dibandingkan di pagi hari. Hal ini juga diduga

karena diantara teknisi IB, tingkat pendidikan dan pekerjaan non-IB

mempengaruhi CR. Teknisi yang telah lulus dari sekolah tinggi memiliki CR lebih

tinggi daripada mereka yang hanya sekolah dasar pendidikan dan mereka yang

bekerja waktu penuh pada IB memiliki CR lebih tinggi dari CR yang bekerja

paruh waktu (Toleng, 1999).

Pada waktu IB ternak harus dalam keadaan berahi karena pada saat itu

liang leher rahim (serviks) pada posisi yang terbuka. Kemungkinan terjadinya

konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu dari berahi

telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah permulaan berahi: 44%

pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6 jam sesudah sesudah berahi :

62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam sesudah berahi : 28% dan 24 jam

sesudah berahi : 12% (Windiana, 1986).

Conception Rate (CR)

Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau betina yang bunting pada

(39)

kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina,

kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010).

Angka konsepsi dapat ditentukan berdasarkan hasil diagnose dengan

palpasi rektal dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Suatu

pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi program

pemulia biakan ternak (Partodiharjo 1982). Kesanggupan untuk menentukan

kebuntingan secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap dokter hewan

lapangan atau petugas pemeriksaan kebuntingan (BBPTU, 2009). Menurut

Toelihere (1993) CR tebaik mencapi 60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia

dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajeman dan distribusi ternak yang

menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu,

rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh kualitas maupun fertilitas semen beku,

ketrampilan dan kemampuan inseminator dan kemungkinan adanya gangguan

reproduksi pada kerbau betina.

CR adalah perbandingan antara jumlah induk yang bunting dengan seluruh

induk yang di kawinkan atau di inseminasi atau persentase hewan yang bunting

pada IB pertama (Toelihere, 1981). Selanjutnya ditambahkan angka konsepsi

dalam peternakan yang baik adalah 60% untuk inseminasi pertama dan 90%

kebuntingan pada inseminasi ketiga ( Partodiharjo, 1992).

Faktor Kegagalan Inseminasi Buatan

Kegagalan inseminasi dapat juga akibat dari pembuahan dini dan kematian

embrio. Kegagalan pembuahan dini disebabkan oleh kelainan anatomi saluran

repropduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sel mani yang abnormal,

(40)

embrio dini disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit, lingkungan dalam

saluran reproduksi yang tidak serasi, dan adanya gangguan hormonal

(Hardjopranjoto, 1995).

Penilaian keberhasilan IB dapat dihitung melalui pengamatan yaitu (a)

Angka konsepsi atau conception rate adalah persentase betina yang bunting pada

inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosis

kebuntingan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Agka konsepsi

merupakan cara penilaian fungsi daya fertilisasi dari contoh semen. Angka

konsepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya fertilitas dan kualitas

semen, ketrampilan inseminator, peternak serta kemungkinan adanya gangguan

reproduksi atau kesehatan hewan betina. (b) Jumlah inseminasi per kebuntingan

atau service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang

dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi

(Toelihere, 1985).

Keberhasilan dan kegagalan IB dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut diantaranya; peternak, petugas dan ternak kerbau betina

beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB yaitu; kualitas semen,

kualitas oocyt, waktu IB, kompetensi inseminator, penanganan dan deposisi

semen saat IB. Peternak berperan dalam hal deteksi dini dari gejala estrus

(Roelofs et al., 2010).

Pengaruh umur terhadap fertilitas kerbau betina dan kerbau jantan sulit

untuk diketahui karena faktor penyebabnya sangat kompleks dan banyak. faktor

(41)

berpengaruh terhadap kelompok umur kerbau tertentu lebih daripada kelompok

umur lainnya (Salisbury dan Vandenmark, 1985).

Body Condition Score

Body Condition Score adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh

ternak baik secara visual maupun dengan perabaan pada timbunan lemak tubuh

dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan pinggul. BCS digunakan

untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status kesehatan

individu ternak dan membangun kondisi ternak pada waktu manajemen ternak

yang rutin. BCS telah terbukti menjadi alat praktis yang penting dalam menilai

kondisi tubuh ternak karena BCS adalah indikator sederhana terbaik dari

cadangan lemak yang tersedia yang dapat digunakan oleh ternak dalam periode

apapun (Susilorini, Sawitri dan Muharlien, 2007).

Body Condition Score (BCS) kerbau betina yang akan di IB merupakan

salah satu persyaratan yang perlu diperhatikan. Body Condition Score ideal dari

kerbau betina yang akan di IB adalah 2,5-3 dari skala 1-5. Beberapa penelitian dan

literature menyatakan bahwa BCS < 2,5 dari skala 1-5 merupakan representasi

dari kekurangan nutrisi, yang salah satu manifestasinya adalah penurunan fungsi

dan efisiensi reproduksi (Arthur et al., 2001)

Pakan ternak Kerbau

Pada umumnya pakan ternak kerbau terdiri atas hijauan makanan ternak

(HMT), limbah pertanian, dan penguat (konsentrat). Komponen makanan ternak

kerbau berdasarkan bahan-bahan yang mudah didapatkan disetiap daerah,

misalnya susunan pemberian pakan ternak kerbau untuk tiap ekor dengan bobot

(42)

padi hasil pengolahan 7 kg, dedak halus 2,3 kg, kacang-kacangan segar 0,5 kg,

garam 100 gr, vitamin dan mineral 60-80 gr (Rahmat,2003)

Makanan dapat menyebabkan infertilitas melalui hipotalamus dan pituitari

anterior yang akan mempengaruhi fungsi endokrin, transport sperma, fertilisasi,

pembelahan sel awal, dan perkembangan embrio dan fetus. Pengaruh yang

menonjol dari defisiensi pakan yaitu terhentinya aktivitas siklus reproduksi,

adanya birahi tenang, kelainan ovulasi, kegagalan konsepsi, dan kematian embrio.

Kerbau dara paling sensitif terhadap kekurangan nutrisi pada tingkat akhir

kebuntingan pertama jika mereka belum mencapai kematangan fisik. Hal ini

diperlihatkan dengan keterlambatan berahi post partus dan angka konsepsi yang

rendah pada servis pertama (Arthur et al., 1989).

Kebutuhan nutrisi yang seimbang sangat penting untuk kelangsungan

reproduksi kerbau. Menurut Winugroho (2002) jika defisiensi nutrisi berupa

protein, energi, mineral dan vitamin akan menyebabkan late estrus, silent heat

hingga anestrus. Kekurangan protein menyebabkan timbulnya berahi yang lemah,

berahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat breeding), kematian embrio dini,

absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau

kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi, defisiensi dan ketidakseimbangan

mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang, aktivitas ovarium, dan

rendahnya efisiensi reproduksi.

Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi, diantaranya:

protein, vitamin A, dan mineral/vitamin (phosphor, kopper, kobalt, manganese,

(43)

Kecermatan peternak dalam mendeteksi berahi pertama yang muncul pada

ternak yang selanjutnya dimasukkan kedalam program perkawinan. Program

perkawinan ini harus benar-benar diperhitungkan karena pubertas atau dewasa

kelamin umumnya terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga hewan betina

harus menyediakan makan untuk perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya dan

tubuh anaknya. Hewan betina muda yang baru mengalami dewasa kelamin

membutuhkan lebih banyak makanan dibandingkan dengan hewan betina yang

sudah mencapai dewasa tubuh (Toelihere, 1985).

Inseminator

Petugas IB atau inseminator mempunyai kontribusi terhadap keberhasilan

IB. Inseminator harus mempunyai pengetahuan yang berhubungan dengan tingkah

laku seksual, perubahan temperatur tubuh, dapat menentukan perubahan pada

saluran reproduksi betina terutama vulva, vagina dan cervix kerbau betina dari

setiap fase siklus estrus, serta keterampilan melaksanakan IB

(Roelofs et al., 2010). Pengetahuan dan keterampilan inseminator tersebut dapat

digunakan untuk menentukan waktu IB yang tepat. Ketepatan waktu IB

merupakan salah satu faktor menentukan keberhasilan fertilisasi

(Arthur etal., 2001)

Faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan IB adalah

mendeteksi berahi karena tanda-tanda berahi sering terjadi pada malam hari. Oleh

karena itu petani diharapkan dapat memonitor kejadian berahi dengan baik dengan

mencatat siklus berahi semua kerbau betinanya (dara dan dewasa) dan Petugas IB

harus mensosialisasikan cara-cara mendeteksi tanda-tanda berahi

(44)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan peternakan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan untuk

memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam berupa lahan, ternak dan pakan

ternak serta faktor produksi lainnya yaitu modal dan tenaga kerja guna dapat

menyediakan pangan hewani bagi seluruh penduduk. Permintaan terhadap pangan

hewani (khususnya daging) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat

sangat besar dan diproyeksikan akan meningkat sangat cepat seirama dengan

pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat

pendidikan, kesadaran gizi, urbanisasi, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi.

Untuk merespon permintaan daging yang terus meningkat tersebut, ternyata

produksi dari dalam negeri belum mampu untuk mencukupinya, sehingga dalam

dasa warsa terakhir ini dilakukan impor daging dan ternak hidup.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan peningkatan

pendapatan masyarakat maka permintaan akan daging dan susu menunjukan

gejala peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

akan daging dan susu perlu salah satu aspekyang akan diperhatikan adalah

penanganan reproduksi ternak penghasil susu dan daging dengan tanpa

mengesampingkan hal lainnya seperti pengendalian dan pencegahan penyakit

hewan dan managemen pemeliharaan ternak.

Kerbau merupakan hewan ternak besar yang populasinya paling sedikit

jika dibandingkan dengan kerbau, kambing, dan domba. Bahkan dari tahun

(45)

populasi ternak kerbau diantaranya tingkat reproduksi yang sangat rendah dan

tingkat pemotongan kerbau itu sendiri yang sangat tinggi setiap tahunnya.

Kerbau lumpur memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan

sebagai ternak pekerja maupun sumber keragaman pagan hewani bagi manusia.

Untuk pengembangan potensi ini, diperlukan upaya peningkatan mutu kerbau

yang baik dan meningkatkan populasi kerbau secara kualitas maupun kuantitas,

kuantitas, khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara. Upaya tersebut dapat

dilakukan dengan perbaikan reproduksi kerbau. Pada ternak kerbau reproduksi

yang kurang baik akan membatasi kinerja kerbau dan pencapaian mutu

genetiknya. Kerbau mempunyai umur beranak pertama kali yaitu pada umur 2-3

tahun. Kegagalan reproduksi ternak kerbau disebabkan oleh reproduksi kerbau itu

sendiri yang masih belum optimal. Peternak kurang memahami masalah siklus

birahi pada kerbau dimana kerbau dianggap kurang reproduktif ( karena siklus

estrusnya silent heat). Umumnya, manajemen perkawinan kerbau di pedesaan

tidak terkontrol karena kelangkaan pejantan unggul akibat terkurasnya pejantan

yang bagus ke pasar sehingga menyebabkan hanya pejantan-pejantan kecil dan

yang berkualitas kurang baik saja yang tersedia.

Penurunan populasi kerbau dikhawatirkan dapat menyebabkan

berkurangnya salah satu sumber protein yang sangat berharga. Keberadaan

sumber daya yang terdapat di Sumatera Utara harus ditingkatkan, kualitas produk

seperti susu dan daging harus ditingkatkan dan diangkat kepermukaan sehingga

banyak orang yang akan membuka mata tentang keunggulan ternak kerbau yang

selama ini masih dapat dikatakan diabaikan keberadaannya. Untuk itu diperlukan

(46)

dan inseminasi buatan di Sumatera Utara untuk meningkatkan populasi ternak

kerbau.

Di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, kebutuhan

protein hewani cenderung meningkat tiap tahun seiring dengan laju pertambahan

penduduk yang terus meningkat, maka perlu kesinambungan peningkatan

produksi peternakan. Salah satu usaha untuk mengejar target akan pemenuhan

kebutuhan akan gizi terhadap protein hewani bagi masyarakat. Peningkatan

populasi dalam produksi ternak sangat bergantung kepada keberhasialn

reproduksi, apabila reproduksi tidak diatur baik maka tingkat produksi akan

rendah. Menyikapi hal tersebut, salah satu upaya untuk meningkatkan populasi

dan produktivitas ternak kerbau dapat dilakukan melalui kawin suntik. Salah satu

cara untuk meningkatkan populasi ternak kerbau dengan tehnik sinkronisasi estrus

atau lebih di kenal dengan penyerentakan estrus. Sinkronisasi estrus merupakan

suatu pengendalian estrus yang dilakukan pada sekelompok ternak betina dengan

memanipulasi mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi

dapat diketahui dengan pasti dan masing-masing ternak tersebut dapat dikawinkan

dalam waktu bersamaan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis

keberhasilan Inseminasi Buatan pada ternak kerbau lumpur ( Swamp buffalo)

(47)

Permasalahan

Masalah yang menjadi bahasan dalam penelitian ini antara lain :

banyaknya kegagalan konsepsi, kawin berulang dan jarak beranak yang panjang

dan seberapa besar faktor-faktor peternak, faktor inseminator dan faktor pada

kerbau betina mempengaruhi keberhasilan inseminasi buatan.

Kegunaan Penelitian

Untuk mempermudah peternak dalam perkawinan dan dapat memberikan

informasi bagi peneliti dan instansi pemerintah dan masyarakat peternak kerbau

melalui gertak birahi dapat meningkatkan populasi ternak kerbau lumpur

(48)

ABSTRAK

ROSINTA PASARIBU, 2016:” Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara”, dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan HAMDAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong, Informasi perkembangan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini menganalisa keberhasilan inseminsi buatan dengan gertak birahi pada ternak kerbau lumpur (swamp buffalo) di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2015 – februari 2016 di Siborongborong, Tapanuli Utara menggunakan kerbau yang ada di masyarakat yang ada di Kecamatan Siborongborong. Sampel yang diperoleh sebanyak 117 ekor. Setelah tiga bulan dilakukan pengamatan terhadap angka kebuntingan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan menggunakan analisis dengan menggunakan program

Statistical Analysys System (SAS) dan dibahas secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau lumpur di kecamatan

siborongborong setelah penyuntikan hormon PGF2α sebanyak 5 mg/ml yang

kedua, menunjukan tanda-tanda birahi yang diamati yaitu pengeluaran lendir dan pembengkakan vulva. Keberhasilan penerapan teknologi IB masih rendah karena angka kebuntingan untuk semua sampel diperoleh hasil 34% dan ternak kerbau di kecamatan siborongborong masih rendah tingkat kesuburannya.

(49)

ABSTRACT

ROSINTA Pasaribu, 2016: "Analysis of Artificial Insemination Success At Buffalo Livestock Lumpur (Swamp Buffalo) to power plays sinkronisasion In District Siborongborong Tapanuli Utara", guided by NURZAINAH GINTING and Hamdan.

This study aims to determine the success of artificial insemination in District Siborongborong, information technology development reproduction in buffaloes. This study analyzes the success of artificial inseminsi by snapping estrus in cattle swamp buffalo (swamp buffalo) in District Siborongborong Utara.penelitian Tapanuli was conducted in October 2015 - February 2016 Siborongborong, North Tapanuli using buffalo in the community in the District Siborongborong , Samples were obtained as much as 117 birds. After three months of observation of the pregnancy rate. The method used in this research is survey by using an analysis using the Statistical program Analysys System (SAS) and discussed descriptively.

The results showed that the buffalo mud in the district Siborongborong

after PGF2α h o rmo ne injectio n s 5 mg / ml secon d , sh o ws sign s of estrus were

observed in the release of mucus and swelling of the vulva. The successful application of AI technology is still low because the pregnancy rate for all sample results obtained 34% and buffaloes in the district Siborongborong still low levels of fertility.

(50)

ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA

TERNAK KERBAU LUMPUR (

Swamp buffalo

) dengan

SINKRONISASI ESTRUS DI KECAMATAN

SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARA

SKRIPSI

ROSINTA PASARIBU 110306012

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(51)

ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA

TERNAK KERBAU LUMPUR (

Swamp buffalo

) dengan

SINKRONISASI ESTRUS DI KECAMATAN

SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARA

SKRIPSI

ROSINTA PASARIBU 110306012/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(52)

Judul Penelitian :AnalisisKeberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) denganSinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

Nama : Rosinta Pasaribu NIM : 110306012 Program Studi : Peternakan

Disetujui oleh:

Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Nurzainah Ginting M.Sc) (Hamdan, S.Pt,M.Si ) Ketua Anggota

Mengetahui,

(Dr.Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) Ketua Program Studi Peternakan

(53)

ABSTRAK

ROSINTA PASARIBU, 2016:” Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara”, dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan HAMDAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong, Informasi perkembangan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini menganalisa keberhasilan inseminsi buatan dengan gertak birahi pada ternak kerbau lumpur (swamp buffalo) di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2015 – februari 2016 di Siborongborong, Tapanuli Utara menggunakan kerbau yang ada di masyarakat yang ada di Kecamatan Siborongborong. Sampel yang diperoleh sebanyak 117 ekor. Setelah tiga bulan dilakukan pengamatan terhadap angka kebuntingan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan menggunakan analisis dengan menggunakan program

Statistical Analysys System (SAS) dan dibahas secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau lumpur di kecamatan

siborongborong setelah penyuntikan hormon PGF2α sebanyak 5 mg/ml yang

kedua, menunjukan tanda-tanda birahi yang diamati yaitu pengeluaran lendir dan pembengkakan vulva. Keberhasilan penerapan teknologi IB masih rendah karena angka kebuntingan untuk semua sampel diperoleh hasil 34% dan ternak kerbau di kecamatan siborongborong masih rendah tingkat kesuburannya.

(54)

ABSTRACT

ROSINTA Pasaribu, 2016: "Analysis of Artificial Insemination Success At Buffalo Livestock Lumpur (Swamp Buffalo) to power plays sinkronisasion In District Siborongborong Tapanuli Utara", guided by NURZAINAH GINTING and Hamdan.

This study aims to determine the success of artificial insemination in District Siborongborong, information technology development reproduction in buffaloes. This study analyzes the success of artificial inseminsi by snapping estrus in cattle swamp buffalo (swamp buffalo) in District Siborongborong Utara.penelitian Tapanuli was conducted in October 2015 - February 2016 Siborongborong, North Tapanuli using buffalo in the community in the District Siborongborong , Samples were obtained as much as 117 birds. After three months of observation of the pregnancy rate. The method used in this research is survey by using an analysis using the Statistical program Analysys System (SAS) and discussed descriptively.

The results showed that the buffalo mud in the district Siborongborong

after PGF2α h o rmo ne injectio n s 5 mg / ml secon d , sh o ws sign s of estrus were

observed in the release of mucus and swelling of the vulva. The successful application of AI technology is still low because the pregnancy rate for all sample results obtained 34% and buffaloes in the district Siborongborong still low levels of fertility.

(55)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sempung Polling, Kabupaten Dairi, Provinsi

Sumatera Utara pada tanggal 18 November 1992 dari ayah Arden Pasaribu dan

ibu Tiora br Sinaga. Penulis merupakan anak ke delapan dari sembilan

bersaudara.

Tahun 2011 tamat dari SMA Negeri 1 Lae Parira dan pada tahun yang

sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur

Undangan Bidik Misi. Penulis memilih Program Studi Peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan

Mahasiwa Peternakan (IMAPET). Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi

Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan (IMAKRIP) pernah menjabat sebagai BPH

periode 2013-2014 dan juga aktif aktif dalam organisasi Gabungan Mahasiswa

Bidik Misi (GAMADIKSI) USU.

Pada bulan Juli sampai Agustus 2014 penulis mengikuti Praktek Kerja

Lapangan (PKL) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Bukit Sentang Desa

Securai Utara Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat. Penulis melakukan

penelitian di peternakan kerbau masyarakat Kecamatan Siborongborong

Kabupaten Tapanuli Utara mulai dari Oktober 2015 sampai dengan Februari

Gambar

Table 3. Angka kebuntingan dari inseminasi buatan ternak kerbau  dengan gertak
Tabel 4. Angka kebuntingan kerbau dari kondisi tubuh BCS, Umur kerbau, dan status ternak beranak kerbau terhadap angka kebuntingan
Tabel 5. Angka kebuntingan kerbau dari waktu IB, waktu penyuntikan hormon,
Tabel 6. Angka kebuntingan kerbau dari inseminator
+6

Referensi

Dokumen terkait

 Siswa dapat saja tidak puas dalam pembelajaran karena kesulitan mereka menyimpulkan cara atau solusi yang benar terhadap

Seandainya tingkat pajak untuk dividen dan capital gains adalah sama, pemegang saham cenderung lebih suka menerima capital gains dari pada dividen karena pajak pada capital

Hasil : berdasarkan hasil penelitian ditemukan 8 tema, yaitu ibu-ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang dilakukan sangat membantu dalam proses pemulihan, Ibu-Ibu

2 x 40’ Buku teks, Buku sumber lain Contoh- contoh surat menghargai karya dan prestasi orang lain (Apreciative of works and achievements of others), berfikir logis,

Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006.. Jurnal Kesehatan Masyarakat

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Penelitian Kompetitif Nasional ke perguruan tinggi yang dilaksanakan bulan Nopember 2013 oleh Direktorat Penelitian dan

[r]