LAMPIRAN
ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA TERNAK KERBAU (
Swamp buffalo
) dengan SINKRONISASI ESTRUS DI KECAMATAN SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARAOLEH:
110306012
KUISIONER PETERNAKAN KERBAU IDENTITAS PETERNAK
1. Berapa jumlah ternak kerbau yang mendapatkan GBIB Bapak/Ibu…. Ekor a. 1 ekor
b. 2 ekor c. 3 ekor
2. Umur ternak kerbau kerbau betina Bapak/Ibu …. ekor
a) ≥ 3 - 4 tahun b) ≥ 4 - 5 tahun c) ≥ 5 - 6 tahun
3. Skor kondisi tubuh kerbau Bapak/Ibu…. a) 2,5
b) 3 c) ≥ 3
4. Status ternak kerbau (beranak) …. kali a. belum pernah
b. 1 kali c. 2 kali
a. Pernah b. Tidak
6. Apakah ternak kerbau Bapak/Ibu sudah pernah di Inseminasi Buatan? a. Sudah
b. Tidak
7. Jika sudah pernah di Inseminasi Buatan apakah penah berhasil? a. Ya
b. Tidak
8. Umur ternak pertama kali dikawinkan Bapak/Ibu a) ≤ 3 tahun
b) ≥ 3 tahun
9. Pakan yang diberikan Bapak/Ibu a) Hijauan
b) Konsentrat c) Dan lain-lain …
10.Bagaimanakah kondisi ketersediaan pakan ternak kerbau Bapak/Ibu? a. Kurang
b. Cukup c. Banyak
11.Bagaimana sistem pemeliharaan Bapak/Ibu ….
a) Intensif (ternak selalu dikandang, rumput dan konsentrat diberikan dikandang)
b) Ekstensif (pagi–malam hari ternak digembalakan, konsentrat tidak diberikan
c) Semi intensif (pagi–sore hari ternak digembalakan, malam dikandangkan )
12.Apakah ternak kerbau Bapak/ Ibu di pekerjakan dan berapa …jam / hari? a) Ya … jam/ hari
b) Tidak
13. Musim waktu melakukan Inseminasi Buatan a) Musim panas 3. Pendididkan inseminator :
SD SMP SMA
S1 Sederajat
1 - 10 tahun 11- 20 tahun
5. Waktu penyuntikan hormone a) Pagi
b) Siang
6. Waktu IB dilakukan a) Pagi
b) Sore
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, G.H., E.N. David, & H. Pearson. 1989. Veterinary Reproduction and Obstetrics (Theriogenology). 6th Ed. Bailliere Tindall, London.
Cockrill, W.R. 1976. The Buffaloes of China. FAO.
Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara. 2014. Data populasi ternak kabupaten tapanuli utara
Chohan, K.R. 1998. Estrus synchronization with lower dose PGF2α and
subsequent fertility in subestrous buffalo. Theriogenology 50: 1101-1108
De Rensis, F. and Lo´Pez-Gatius. 2007. Protocols for synchronizing estrus and ovulation in buffalo (Bubalus bubalis): A review. Theriogenology
67: 209 – 216.
Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis: Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan.
Ditjennak,J.B. 2008. Data Populasi Kerbau Dari: Statistic Pertanian. Direktoral Jenderal Peternakan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan IB pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
Farndon. 2008. Beternak Kerbau. Karnisius. Yogyakarta.
Fahimuddin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Gulab Pirmlai, Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi. Pp. 1,59-63, 79-91.
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Terjemahan B. Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Guzman, M.R. 1980. An Overview of Recent Development in Buffalo Research and Management in Asia. Dalam Buffalo Production for Small Farms. ASPAC. Taipei.
Hafez, E.S.E. & Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animal. Seventh Edition Lippincott William & Wilkins. Baltimore Maryland, USA.
Hardjopranjoto, S.H., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Air Langga University Press. Surabaya.
Kristianto, L., K., Mastur Dan R. Sintawati. 2008. Analisis potensi kerbau kalang di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Kusnadi, V. 1980. Pelayanan Perkebuntingan Hasik Kawin Alam dan Inseminasi Buatan di Daerah Penggalangan dan Lembang. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor.
Lasley, J.F. 1981. Genetics of Livestock Improve-ment. 3rd ed. Prentice-Hall of India, Pvd., Ltd. New York.
Macmillan, K.L. And Cr. Burke. 1996. Effect of estrous cycle control on reproductive efficiency. J. Anim. Sci. 42:307-436
Macmillan, K.L, B.V. Segwagwe and C.S. Pino. 2003. Associations between the manipulation of patterns of follicular development and fertility in cattle.
Anim.Reprod. Sci. 78: 327-344.
Mosher AT, 1983. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Penerbit CV Yasaguna, Jakarta.
Murti, T.W., 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius. Yogyakarta
Murtidjo, B.A. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta
Mosher AT, 1983. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Penerbit CV
Yasaguna, Jakarta
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Jakarta.
Purtidjo, B.A., 1992. MemeliharaKerbau. Kanisius. Yogyakarta
Rahmat. 2003. Beternak kerbau. Kanisius. Yogyakarta
Roelofs, J., Eerdenburg Van., F.J.C.M. Hunte, R.H.F., Gtius, L., Hanzen, Ch. (2010) When is a Cow in Estrus? Clinical and Practical Aspects: review.
J.Theriogen.74: 327-344.
Saacke, R.G. (2008) Insemination factors related to timed AI in Cattle. J. Theriogen. 70: 479-484.
Situmorang, P. And P. Sitepu. 1991. Comparative performance, semen quality and draught capasity of Indonesia swamp buffalo and its crosses. ACIAR Proceding 34:102
Subiyanto. 2010. Populasi Ternak Kerbau Semakin Menurun. Publikasi Budidaya Ternak Ruminansia. (http://www. Ditjennak.go.id/bulletin/artikel_3pdf) Suardi. 1989. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Universitas Andalas Padang.
Susilawati, E. dan Bustami.2008. Pengembangan Ternak Kerbau Di Propinsi Jambi. Makalah. Bahan Pengkajian Teknologi Ternak, Jambi. Hal 11-17
Talib,C., 2008. Kerbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor
Toelihere. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
_______ . 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
_______. 1987. Ilmu Kebidanan pada ternak Sapi dan kerbau. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
_______. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa. Bandung
Toleng, A.L., Sonjaya, H. dan Yusuf, M., 1999. The UseOf Progesterone RIA to Increase Efficiency And Quality Of Articial Insemination Services Of Beef Cattle In South Sulawesi, Indonesia.Faculty of Animal Husbandry, Hasanuddin University, Makassar. Vienna (2001) 37-34.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini di laksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai dengan
Januari 2016, di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah quisioner untuk di isi
oleh peternak kerbau lumpur dan inseminator dan ternak kerbau lumpur sebagai
objek yang diteliti.
Alat
Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah buku dan alat tulis
untuk mencatat hasil data sementara, serta menggunakan camera digital alat
untuk mengambil dokumentasi lampiran penelitian dan computer sebagai alat
untuk mengolah data.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survey yaitu untuk mengetahui
keberhasilan Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan yang dilaksanakan
dipeternakan masyarakat yang ada di Kecamatan Siborongborong diperoleh
dengan melakukan pengamatan langsung. Data dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah informasi yang dapat dilihat secara langsung dilingkungan masyarakat
yang memiliki ternak kerbau betina yang mendapatkan Gertak Birahi dan
Metode Penentuan Daerah Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di beberapa desa
yang ada di Kecamatan Siborongborong Desa Pohan Julu, Desa Parik Sabungan,
Desa Simatemate, Desa Sihatandohan, Desa Silaitlait, Desa Siborong-borong I,
Desa Siborong-borong II, Desa Lumban Sosor, Desa Sitabotabo, Desa
Sitampurung, Desa Pohan Tonga, Desa Paniaran, dan Desa Sigumbang yang
mana desa tersebut memeliki peternak kerbau yang mau menerima ternaknya
yang ikut program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi langsung
ke peternakan untuk mengetahui keadaan lokasi dan wawancara seputar tentang
peternakan tersebut. Dalam wawancara pengumpulan data yang digunakan adalah
data sekunder dari instansi yang terkait seperti Dinas Perikanan dan Peternakan
Tapanuli Utara sedangkan data primer dari peternakan kerbau yang akan di
survey.
Metode Pengambilan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi lansung
ke peternak kerbau untuk mengetahui keadaan lokasi dan wawancara seputar
tentang peternakan tersebut.
1. Survey dilaksanakan Desa Pohan Julu, Desa Parik Sabungan, Desa Simatemate,
Desa Sihatandohan, Desa Silaitlait, Desa borong I, Desa
Siborong-borong II, , Desa Sosor Lumban, Desa Sitabotabo, Desa Sitampurung, Desa
2. Pengambilan data dengan menggunakan Quisioner ke peternak kerbau
masyarakat
3. Pengambilan data dari data recording Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan dari
rekorder dari Dinas Perikanan Dan Peternakan Tapanuli Utara
4. Melakukan analisis keberhasilan Inseminasi Buatan dengan Gertak Birahi
Parameter Penelitian
Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau yang bunting hasil satu kali
Inseminasi.
CR = Persentase jumlah akseptor yang bunting pada IB pertama dibanding dengan akseptor yang diperiksa
Jumlah akseptor yang diperiksa X 100% Jumlah bunting IB pertama
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara responden di lapangan diolah
dan ditabulasi. Kemudian data dianalisis degan menggunakan metode analisis
keberhasilan inseminasi buatan dengan pendekatan ekonometri dan dijelaskan
secara metode deskriptif. Adapun untuk menghitung keberhasilan inseminasi
buatan ternak kerbau dengan rumus
CR = Persentase jumlah akseptor yang bunting pada IB pertama dibanding
dengan akseptor yang diperiksa
Jumlah akseptor yang diperiksa X 100% Jumlah bunting IB pertama
Berdasarkan data yang diperoleh, maka untuk melihat faktor-faktoryang
model pendekatan ekonometri dengan menggunakan analisis regresi linear
berganda(alat bantu SAS) dengan model pendugaan sebagai berikut :
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + µ
Keterangan :
Y = Kebuntingan Ternak Kerbau (%ekor)
a= koefisien intercept (konstanta)
b = koefisien regresi
X1 = Umur Ternak (tahun)
X2 = Bodi Score Condition (BSC)
X3 =Status beranak Ternak
X4 = Waktu Penyuntikan Hormon dan Waktu Melakukan IB
X5 = Pengalaman Sebagai Inseminator
X6 = Pakan yang di berikan
µ = Variabel yang tidak diteliti
Variabel-variabel pada hipotesis di uji secara serempak dan parsial untuk
mengetahui apakah variabel tersebut mempunyai pengaruh yang dominan atau
tidak. Jika variabel tersebut berpengaruh secara serempak maka yang digunakan
uji F yaitu:
F = r
2
(1−r2)/(n−k−1
Keterangan
r2 = koefisien determinasi
n = jumlah responden
kriteria uji :
F-hit ≤ F-tabel ………H0 diterima (H1 ditolak)
F-hit ≥ F-tabel ………H0 diterima (H1 diterima)
a. t- hitung >t.tabel (taraf signifikan α≤0,10) : H0 ditolak, berarti koefisien regresi
dari faktor tertentu berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
b. t- hitung < t.tabel (taraf signifikan α≥0,10) : H0 diterima, berarti koefisien regresi
dari faktor tertentu berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat.
Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan
Persiapan yang dilakukan yaitu mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
pada saat survey seperti Quisioner, dan form data recording
2. Survey Pendahuluan
Melakukan survey pendahuluan untuk mengetahui keadaan dan situasi peternakan
agar mengetahui kapan waktu untuk melakukan survey dan pelaksanaan
dilakukan Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan dan menentukan lokasi yang
akan di survey
3. Survey dan Melalukan Survey
Survey dilakukan di peternakan masyarakat yang telah dipilih dan dilakukan
wawancara dengan menggunakan Quisioner yang telah disiapkan
4. Tabulasi Data
Mengumpulkan data dan menyusun data-data yang telah didapatkan dari survey
5. Analisis Data
Analisis data yang sudah terkumpul untuk mengetahui data-data mana yang
diperlukan dan dapat menjadi sebuah informasi bagi penelitian tersebut
6. Menyimpulkan Data
Disimpulkan semua data menjadi sebuah rangkuman dan informasi yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umun Lokasi Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan di peternakan masyarakat di Kecamatan
Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara daerah ini terletak di wilayah dataran
tinggi Sumatera Utara berada yaitu pada ketinggian antara 300-1500 meter di atas
permukaan laut. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara terletak pada
koordinat 1º20’00” -2º41’00” Lintang Utara (LU) dan 98005”-99016” Bujur Timur
(BT), sedangkan Kecamatan Tarutung terletak pada 01º54’00” -02º01’00”
Lintang Utara (LU) dan 98052”-99004” Bujur Timur (BT) (TAPUT.BPS,2014)
Hasil penelitian keberhasilan inseminasi pada ternak kerbau lumpur dengan
gertak birahi diperoleh melalui dan diperoleh hasil perhitungan dengan metode
analisis data dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Table 3. Angka kebuntingan dari inseminasi buatan ternak kerbau dengan gertak
birahi di Kecamatan Siborongborong
Jumlah Ternak yang di
IB Jumlah Kerbau Bunting Parameter
Nilai CR
117 40 34%
Sumber: data primer penelitian
Berdasarkan Tabel 3, dari 117 ekor jumlah kerbau yang di gertak birahi,
yang berhasil bunting 40 ekor atau 34,18%. Hal ini memperlihatkan bahwa
tingkat kebuntingan yang di dapat termasuk tingkat kebuntingan yang cukup
rendah dari standar. Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di
Negara maju berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia
conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika di bawah 50%
Dari hasil pengamatan munculnya tanda-tanda estrus pada kerbau akseptor
yang disinkronisasi dengan penyuntikan hormon prostaglandin memang
menunjukkan hasil yang sangat baik yaitu kerbau menunjukkan tanda-tanda
estrus yang cukup jelas sehingga bisa untuk di kawinkan. Namun tidak
seluruhnya gejala estrus terlihat dengan kasat mata. Umumnya agresifitas, vulva
bengkak, sering urinasi, standing heat dapat terlihat jelas di hampir seluruh
ternak, namun gejala mengeluarkan lendir bening, hanya terjadi pada sebahagian
kerbau. Hal di atas sudah cukup menunjukkan metode sinkronisasi estrus sangat
baik dan efisien dalam merangsang terjadinya estrus pada ternak dan juga
menandakan kondisi reproduksi ternak sedang subur karena memilki siklus
reproduksi yang baik dan teratur. Hal ini dinyatakan oleh Hafez (1993) bahwa
respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang
mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase
lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus 21-22 hari), akan efektif, karena
prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis
karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu
hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang
hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang
perkembangan folikel yang pada akhirnya meningkatkan sekresi estroegen yang
merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel
Tabel 4. Angka kebuntingan kerbau dari kondisi tubuh BCS, Umur kerbau, dan status ternak beranak kerbau terhadap angka kebuntingan
Variabel Uraian Jumlah Ternak (Ekor) Angka Kebuntingan(%)
Sumber: data primer penelitian
Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan antara keadaan ternak
dimana kondisi tubuh yang memiliki BCS 2,5 bisa dikatakan ukuran tubuh yang
sedang namun pada penelitian ini mendapatkan angka kebuntingan yang lebih
tinggi yaitu 38,7 % sedangkan pada kondisi tubuh pada kondisi skor 3 ternak
menunjukkan keragaan tubuh yang ”Sedang atau Menengah”, dimana tonjolan
tulang sudah tidak terlihat lagi dan kerangka tubuh angka kebuntingan 32,5% .
Menurut Arthur et al (2001) Body Condition Score ideal dari kerbau betina yang
akan di IB adalah 2,5-3 dari skala 1-5. Beberapa penelitian dan literature
menyatakan bahwa BCS < 2,5 dari skala 1-5 merupakan representasi dari
kekurangan nutrisi, yang salah satu manifestasinya adalah penurunan fungsi dan
efisiensi reproduksi. Namun pada kondisi kerbau yang memiliki kondisi tubuh 2,5
kebanyakan yang sudah pernah mengalami beranak minimal 1 kali dan pada umur
≥4-5 tahun .
Berdasarkan hasil analisis pengaruh umur terhadap angka kebuntingan
menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Pada kelompok umur kerbau 3-4 tahun
angka kebuntingannya 51,5% dan pada umur ≥5 -6 tahun (n=22) angka
kebuntingan 40,9 %. Penyebab tidak diketahui dengan jelas dikarenakan
recording dari masing-masing kelompok umur kerbau yang di IB tidak tercatat
dengan jelas oleh masing-masing peternak kerbau tersebut. Hal ini dipertegas
oleh Salisbury dan Vandenmark (1985) bahwa pengaruh umur terhadap fertilitas
kerbau betina dan kerbau jantan sulit untuk diketahui karena faktor penyebabnya
sangat kompleks dan banyak. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor lingkungan
seperti musim setiap tahunnya, faktor tatalaksana dan faktor makanan yang
berpengaruh terhadap kelompok umur kerbau tertentu lebih daripada kelompok
umur lainnya.
Pada penelitian ini pengamatan terhadap status beranak ternak di peroleh
data angka kebuntingan yang paling tinggi pada status beranak 1 kali sebesar 43,2
% dan yang sudah 2 kali beranak sebesar 42,8 % sedangkan angka terendah pada
ternak yang masih belum pernah beranak yaitu 17,7% angka kebuntingan.
Menurut peneliti status beranak memberikan kontribusi untuk keberhasilan
inseminasi buatan dimana ternak yang sudah pernah beranak saluran reproduksi
sudah berfungsi dengan baik. Namun dalam uji statistik tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan inseminasi buatan karena banyak
faktor yang dapat mempengaruhi. Menurut Toelihere (1993) CR tebaik mencapi
60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi
alam, manajeman dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika
nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu, rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh
kualitas maupun fertilitas semen beku, ketrampilan dan kemampuan inseminator
Tatalaksana Pemeliharaan
Dalam meningkatkan keberhasilan IB diperlukan perhatian khusus
terhadap tatalaksana pemeliharaan ternak kerbau dengan memperhatikan sistem
pemberian pakan, cara pemeliharaan, waktu perkawinan, waktu penyuntikan
hormone karena akan berpengaruhi pada angka kebuntingan.
Pola pemeliharaan ternak kerbau yang ada di kecamatan siborong-borong
dengan melepaskan ternak kerbau dan di ikat di padang rumput di wilayah ladang
milik sendiri pada pagi hari dan pada sore hari ternak kembali di bawa ke
kandang, di daerah sekitar rumah dan memberikan pakan hijauan yang sudah di
arit pada sore hari dan jika panas terik matahari ternak diberikan minum air
secukupnya.
Tabel 5. Angka kebuntingan kerbau dari waktu IB, waktu penyuntikan hormon,
pakan, pemeliharaan terhadap angka kebuntingan.
Variabel Uraian Jumlah Ternak (Ekor) AngkaKebuntingan(%)
Waktu Penyuntikan Pagi 24 37,5 Hormon dan
Waktu IB Sore 93 33,3
Pakan Rumput 94 34,0
Rumput +Dedak 23 34,7
Sumber: data primer penelitian
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa waktu penyuntikan hormon
prostaglandin pada ternak kerbau dengan waktu yang berbeda memiliki angka
kebuntingan yang paling tinggi pada pagi hari yaitu 37,5% dan yang di suntik
pada sore hari angka kebuntingan lebih rendah yaitu 33,3%. Waktu penyuntikan
hormon baik pagi atau sore masih angka kebuntingan yang masih rendah. Dalam
inseminasi buatan waktunya tepat dimana ternak sudah mengalami birahi.
Kecermatan peternak sangat dibutuhkan untuk hal ini supaya memperhatikan dan
melaporkan ternak ketika sudah ada tanda-tanda birahi yang terlihat. Sehingga
waktunya tepat dan mendapatkan pelayanan yang baik. Hal ini sesuai dengan
peryataan Rahmat (2003) yang menyatakan mengawinkan pada saat yang tepat,
yaitu kerbau betina nampak birahi pada pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari
itu juga (sesudah pukul 14.00) dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi
dapat dikawinkan. siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali,
sedangkan lamanya birahi lebih kurang 36 jam. Hal ini sesuai dengan peryataan
Windiana, (1986) yang menyatakan bahwa pada waktu IB ternak harus dalam
keadaan berahi karena pada saat itu liang leher rahim (serviks) pada posisi yang
terbuka. Kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada
periode-periode tertentu dari berahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya
adalah permulaan berahi: 44% pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6
jam sesudah sesudah berahi : 62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam
sesudah berahi : 28% dan 24 jam sesudah berahi : 12% .
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa pemberian pakan pada ternak
kerbau memiliki angka kebuntingan yang mendekati yaitu pada kerbau yang
diberikan pakan rumput mendapatkan angka kebuntingan 34,0 % sedangkan pada
ternak kerbau yang diberikan pakan rumput dan ditambah dengan dedak diperoleh
hasil angka kebuntingan 34,7%. Pakan ternak kerbau di kecamatan
siborongborong masih tergolong kurang, ternak di bawa ke ladang dan di
gembalakan dan ternak tidak diberikan pakan tambahan sehingga ternak masih
bahwa kualitas dan kuantitas pakan yang baik menyumbangkan 95% peranan
terhadap pencapaian berat, kondisi dan ukuran tubuh ternak dan memungkinkan
untuk mulai terjadinya perkembangan anatomis dan fisiologis organ-organ
reproduksi sehingga dapat dicapai performance reproduksi yang baik.
Inseminator
Inseminator bertanggung jawab terhadap perbaikan pelayanan inseminator
terhadap akseptor IB sampai dengan pelaksanaan IB dilapangan dan peningkatan
penambahan jumlah akseptor serta dukungan petugas teknis IB dan sarana
prasarana. Hal tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB,
terutama sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam penanganan.
Tabel 6. Angka kebuntingan kerbau dari inseminator
Variabel
Sumber: data primer penelitian
Berdasarkan Tabel 6 nilai angka konsepsi inseminator yang cukup tinggi
yaitu Mangelek (36,5 %) sedangkan yang paling rendah Lisber (31,4%)
meskipun masih berada dibawah nilai standart konsepsi Indonesia yaitu 50%.
Mangalek mempunyai pengalaman yang lebih lama dibandingkan Lisber dan
pendidikan. Peternak juga memberikan pengaruh terhadap keberhasilan
inseminasi buatan namun inseminator juga harus yang terampil dan sering
melakukan inseminasi. Hal ini sesuai dengan peryataan Roelofs et al., (2010)
yang menyatakan bahwa inseminator harus mempunyai pengetahuan yang
berhubungan dengan tingkah laku seksual, perubahan temperatur tubuh, dapat
cervix kerbau betina dari setiap fase siklus estrus Peranan inseminator tidak
berpengaruh nyata terhadap angka kebuntingan, meskipun tingkat pendidikan
Inseminator yang rata-rata lulusan Sarjana.
Pengaruh Variabel Terhadap Angka Kebuntingan Ternak Kerbau
Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan inseminasi Buatan
pada ternak kerbau di kecamatan Siborongborong kabupaten tapanuli utara yang
digunakan dengan analisis liniear berganda dimana yang menjadi variabel bebas
(independen) adalah X1) Umur ternak (tahun) ,X2) Bodi score condition (BSC),
X3) Status beranak ternak, X4) Waktu penyuntikan hormone, X5) Waktu
melakukan IB, X6) Pengalaman sebagai inseminator, X7 ) Pakan yang di berikan
(sedangkan yang menjadi variebel terikat/tidak bebas (dependen) adalah
kebuntingan ternak (Y).
Adapun hasil pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara dapat
dilihat sebagai berikut.
Table 7. Anova regresi linear berganda dari analisis keberhasilan Inseminasi Buatan ternak kerbau
Sumber Jumlah dB Rataan
kuadrat (JK) (Derajat Bebas) JK F-hitung Sig Nilai Regresi 9.76766 6 0,86847 1.87 0,0915
Galat 95.53148 110
Total 105.29915 116
Sumber : data primer
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka dapat dilihat dari
faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dengan menggunakan model pendekatan
bantu Statistical Analysys System (SAS) didapatkan hasil dan dapat dilihat dari
Tabel 8.
Table 8. Analisis linear berganda pengaruh angka kebuntingan terhadap Umur, BCS, Status beranak, pengalaman inseminator, waktu IB, waktu penyuntikan hormone,dan pakan yang diberikan di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.
Variabel Koefisien regresi Std. Error t-hitung Signifikan
Konstanta - 0,14121 0,77210 -0,18 0,8552
Berdasarkan tabel diatas diperoleh persamaan sebagai berikut :
Y = 0,17271 (X1)+ 0,00337 (X2) + 0,07358(X3)+0,00241(X4) + 0,02597(X5) + 0,59208(X6) - 0,014121 + µ
X3 = Status Beranak (kali)
X4 = Waktu Penyutikan hormone dan Waktu Melakukan IB
X6 = Pakan yang di berikan
µ = Variabel yang tidak diteliti
Berdasarkan hasil regresi di atas dapat diketahui
1. Variabel umur ternak (tahun) terhadap keberhasilan inseminasi buatan ternak
kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan t-hitung
(X1) sebesar (1.59) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini menunjukan
bahwa umur ternak kerbau berpengaruh tidak nyata terhadap keberhasilan
inseminasi buatan.
2. Variabel body condition score (BCS) terhadap keberhasilan inseminasi buatan
ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan
t-hitung (X2) sebesar (0,02) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini
menunjukan bahwa body condition score (BCS) berpengaruh tidak nyata terhadap
keberhasilan inseminasi buatan.
3. Variabel status beranak Ternak (kali) terhadap keberhasilan inseminasi buatan
ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan
t-hitung (X3) sebesar (0,62) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini
menunjukan bahwa status beranak ternak (kali) berpengaruh tidak nyata terhadap
keberhasilan inseminasi buatan.
4. Variabel waktu penyuntikan hormon dan waktu IB terhadap keberhasilan
inseminasi buatan ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel
yang ditunjukan t-hitung (X3) sebesar (0.03) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96
Hal ini menunjukan bahwa waktu penyuntikan hormon berpengaruh tidak nyata
5. Variabel pengalaman sebagai inseminator terhadap keberhasilan inseminasi
buatan ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang
ditunjukan t-hitung (X4) sebesar (0,12) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal
ini menunjukan bahwa pengalaman sebagai inseminator berpengaruh tidak nyata
terhadap keberhasilan inseminasi buatan.
6. Variabel pakan yang di berikan terhadap keberhasilan inseminasi buatan ternak
kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan t-hitung
(X6) sebesar (2.64) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini menunjukan
bahwa pakan yang di berikan berpengaruh tidak nyata terhadap keberhasilan
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis kerberhasilan inseminasi buatan pada
ternak kerbau lumpur (swamp buffalo) dengan gertak birahi di Kecamatan
Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara dapat disimpulkan bahwa
keberhasilan penerapan teknologi IB masih rendah karena angka kebuntingan
34% pada kondisi ini ternak kerbau lumpur yang ada di kecamatan
siborongborong masih tergolong kurang subur dan pada t-hitung pada taraf
signifikan 0,01 pada parameter yang yang diteliti berpengaruh tidak nyata
terhadap variabel.
Saran
Untuk meningkatkan hasil angka kebuntingan ternak kerbau melalui
gertak birahi dan inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong Tapanuli Utara
peneliti menyarankan diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hormon
prostadglandin dan sosialisasi kepada peternak serta melakukan recording ternak,
TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau
Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang
berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India. Kerbau
domestikasi atau water buffalo berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau
lain yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer
(Hasinah dan Handiwirawan, 2006)
Ada dua bangsa kerbau yang diternakkan di dunia, yaitu kerbau lumpur
(Swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau lumpur memiliki 48
pasang kromosom dan kerbau sungai memiliki 50 pasang kromosom, walaupun
berbeda dalam jumlah kromosom, tetapi perkawinan keduanya menurunkan
keturunan yang juga fertile baik pada jantan maupun betina, hanya diduga bahwa
daya reproduksi crossbreed tersebut lebih rendah dari masing-masing tetuanya
(Talib, 2008).
Habitat Kerbau
Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
kerbau. Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan
yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat
berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah
sampai daerah yang relatif kering. Kehidupan kerbau dipengaruhi oleh iklim
secara mikro dan keadaan lingkungan (Fahimuddin, 1975).
Kerbau adalah mamalia besar, kuat, berwarna gelap, dan bertanduk besar.
senang tinggal di dekat air karena senang berlumpur. Kerbau air ditemukan di
daerah basah Asia. Hanya sedikit yang masih liar, karena kebanyakan dipelihara
manusia untuk membantu diladang (Farndon, 2008).
Kerbau termasuk hewan primitive yang memiliki leher panjang, sanggup
hidup dengan makanan yang sangat sederhana, cenderung hidup dan berkembang
biak daerah yang cukup air. Dengan potensi ini, kerbau kerbau merupakan ternak
yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam mencerna serat kasar
dibanding dengan ruminansia lain (Murtidjo, 1989).
Ciri-Ciri Kerbau Lumpur
Murti (2002) menguraikan sistematika kerbau sebagai berikut :
Kelas : mamalia ,Ordo : ungulata , Sub ordo : ortiodactyla , Family : bovidae ,
Sub family : bovinae ,Genus : bos , Sub genus : bubalus.
Fahimuddin (1975) mengklasifikasikan kerbau menjadi dua tipe yaitu
kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur
(swamp buffalo). Kerbau sungai merupakan kerbau tipe penghasil susu,
sedangkan kerbau lumpur sebagai kerbau tipe pedaging (Murti, 2002).
Penampilan kerbau sungai yaitu badan dan muka panjang, warna kulit hitam
legam, rambut sangat jarang yang berwarna putih meski sering ditemukan
dibagian kepala, muka dan bulu ekor (Fischer, 1975 dalam Soedarsono, 1989).
Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas
peternakan yang potensial dalarn hal penyediaan daging karena pada kondisi
pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak
kerbau (Cockrill,1974). Kerbau juga mempunyai persentase karkas yang relatif
Penampilan umum kerbau lumpur yaitu memiliki tubuh yang pendek dan
gemuk (stocky animal), lingkar dada besar, kaki pendek dan lurus. Warna yang
menutupi tubuh kerbau lumpur adalah abu-abu dengan bercak putih pada bagian
permukaan atas leher diatas brisket, warna kulit kebiruan sampai abu-abu hitam,
kadang terdapat warna albino (Murti, 2002), sedangkan tanduk, kuku serta bulu
berwarna hitam (Toelihere, 1981).
Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129
negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur di
Indonesia sebesar 2,2 juta dan sebanyak 6% dari total populasi kerbau dunia.
Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di
sumatera utara dan merupakan jenis kerbau murah nilli-ravi. Secara umum
populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8% antara tahun
2002 dan 2006. Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti sumatera utara
Tabel 1. Data populasi ternak kerbau yang ada di Sumatera Utara
No Kabupaten /Kota Kerbau Jumlah (ekor) Jantan Betina
Tabel . Populasi ternak kerbau di kabupaten Tapanuli Utara tahun 2014 No Kecamatan Jumlah Kerbau (ekor)
1 Tarutung 285
11 Siborongborong 2.785
12 Muara 976
13 Purba Tua 37
14 Simangumban 12
15 Siatas Barita 128
Jumlah 9.246
Sumber : Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara, 2014
Tanda-Tanda Berahi Kerbau
Toelihere (1981) menyatakan bahwa tanda - tanda birahi pada ternak
kerbau adalah vulva membengkak dan mengeluarkan lendir berwarna bening pada
sore hari setelah digembalakan. Pengeluaran lendir tersebut akan terlihat lebih
jelas lagi ketika kerbau dalam keadan berbaring, karena perut yang tertekan akan
mendorong keluarnya lender tersebut yang akan jatuh ke tempat berbaring. Tetapi
jika lantainya tanah maka sesudah beberapa menit akan terserap oleh tanah dan
bekas lendir sudah tidak kelihatan lagi.
Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai
agak malam den menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001).
tanda-tanda berahi dan akativitas perkawinan pada kerbau mesir pada umumnya
terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di
memungkinkan terjadinya perkawinan. Tanda-tanda berahi pada kerbau,
umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan pada
pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini
bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem
pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
Saat Perkawinan Yang Tepat ternak Kerbau
Faktor yang harus diperhatikan dalam mengawinkan ternak kerbau adalah
sebagai berikut.
a. Hanya kerbau yang sudah mencapai dewasa yang cocok untuk dikawinkan,
yaitu kerbau jantan berumur 2,5 tahun, dan betina berumur 18-20 bulan.
b. Keadaan tubuh kerbau jantan maupun betina betul-betul sehat, dan tidak dalam
keadaan lemah.
c. Perkawinan dilaksanakan ketika betina memperlihatkan indikator
(tanda-tanda) birahi, yaitu tampak gelisah, apabila dikerjakan tidak penurut,
melenguh-lenguh secara berantai, nafsu makan berkurang, alat kelamin luar
(vulva) bengkak memerah dan biasanya mengeluarkan cairan bening, dan
selalu berusaha mendekati kerbau jantan.
d. Mengawinkan pada saat yang tepat, yaitu kerbau betina nampak birahi pada
pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari itu juga (sesudah pukul 14.00)
dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi dapat dikawinkan. Saat
perkawinan yang tepat pada ternak kerbau dapat dilihat pada Tabel 2.
e. Siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali, sedangkan
Tabel 2. Saat perkawinan yang tepat ternak kerbau
No Waktu birahi Saat perkawinan yang tepat
Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk
menghasilkan anak selama hidupnya. Berdasarkan informasi dari responden
bahwa kerbau rawa selama masa hidupnya mampu menghasilkan 5-10 ekor anak.
Jika beranak pertama terjadi pada umur empat tahun dan calving interval 1,5
tahun maka kerbau rawa mampu hidup lebih dari 20 tahun. Kerbau rawa mampu
menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya, dan bisa hidup sampai 25 tahun
Cockrill (1976),
Siklus Estrus Pada Ternak Kerbau
Sistem reproduksi hewan betina yang telah mengalami dewasa kelamin
biasanya mengalami perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Lamanya
waktu siklus estrus pada seekor hewan dihitung mulai dari munculnya estrus
sampai muncul estrus lagi pada periode berikutnya (Suardi, 1989). Siklus estrus
siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan
diestrus.
Salah satu cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi estrus yaitu
dengan cara penerapan teknik sinkronisasi estrus, baik dengan menggunakan
sediaan progesteron atau prostaglandin FGF2 (De rensis dan Lo´Pez, 2007).
Sinkronisasi umumnya dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin
atau progesteron, yang keduanya bertujuan memanipulasi agar terjadi penurunan
hormone progesteron ke level terendah (Macmillan et al.,2003). Para peneliti
lainnya menyatakan bahwa kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 21 hari
sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980).
Intensitas estrus pada kerbau dan kerbau dinilai berdasarkan perubahan
vulva yaitu berwarna kemerahan, pembengkakan dan kenaikan suhu; lendir
tembus pandang dari vulva (Toelihere, et al, 1997); dan perubahan tingah laku
yaitu menguak, saling menaiki, mengangkat ekor bila vulva diraba. Waktu estrus
pada umumnya mempunyai kisaran 12-40 jam dengan rata-rata adalah 24 jam
(Murti, 2002). Waktu untuk mendeteksi gejala estrus kerbau lumpur sebaiknya
dilakukan antara pukul 05.00-06.00 dan 17.00-19.00. Gejala saling menaiki
terlihat pada waktu fajar sedangkan lendir vulva keluar pada waktu pagi hari dan
sore hari (Toelihere, 1981).
Prostaglandin F2α
Satu cara untuk melakukan tehnik sinkronisasi estrus adalah dengan
menggunakan hormon prostaglandin F2α. Prinsip pemberian prostaglandin F2α
adalah melisiskan atau meregresi corpus luteum (CL) diikuti penurunan sekresi
Perubahan tersebut menyebabkan siklus estrus yang baru yang dimulainya
pertumbuhan folikel dalam ovarium, selanjutnya setelah folikel masak akan
mengalami ovulasi yang didahului dengan timbulnya gejala estrus
(Husein dan kriddli, 2003).
Prostaglandin F2α sebagai hormon luteolitik telah banyak diteliti dan
dipakai untuk menggertak berahi dan mengendalikan siklus berahi beberapa jenis
ternak. Penggunaan PGF2α untuk penyerentakan berahi pada ternak
(Toelihere, 1981). PGF2α bekerja melisis CL, akibatnya hambatan dari
progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap hormon gonadotrophin hilang,
sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Karena yang dilisis adalah
CL maka pemberian PGF2α untuk pengendalian berahi hanya bisa dilakukan jika
CL sudah terbentuk. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk
penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus.
Agar semua hewan bisa birahi dalam priode waktu yang hampir bersamaan
dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama
(Chohan 1998).
Respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang
mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase
lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus 21-22 hari), akan efektif, karena
prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis
karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu
hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang
hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang
merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel
preovulatori (Hafez, 1993).
Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramusculer atau secara
intrauterin. Pemberian secara intramuscular mudah dilakukan yaitu dengan cara
injeksi, namun dosis yang diperlukan cukup besar. Pemberian secara intrauterin
hanya diperlukan dosis yang jauh lebih rendah, namun memerlukan keterampilan
khusus. Penggunaan prostaglandin sintetis (estrumate) sebanyak 2 ml secara
intramusculer sangat efektif untuk tujuan menyerempakkan estrus kerbau, dimana
pemberian estrumate mengakibatkan penurunan level progesteron dari 1,90 gg/ml
menjadi 0,05 gg/ml setelah dua hari penyuntikan dan sebagian besar kerbau
menunjukkan gejala estrus dua hari setelah pemberian estrumate.
(Situmorang dan Sitepu, 1991).
Gertak Birahi
Sinkronisasi estrus adalah usaha manusia agar seekor atau sekelompok
hewan mengalami estrus sesuai dengan waktu yang diinginkan (Suardi, 1989),
sehingga memudahkan observasi deteksi estrus, dapat menentukan jadwal
kelahiran, menurunkan usia pubertas pada kerbau dara, penghematan dan
efisiensi tenaga kerja inseminator (Husnurrizal, 2008).
Penyerentakan birahi adalah suatu teknik agar seekor atau sekelompok
ternak mengalami berahi sesuai dengan waktu yang diinginkan. Dengan cara ini
sekelompok ternak dapat dimunculkan berahinya secara serentak atau hampir
bersamaan. Penyerentakan berahi dilakukan dengan tujuan efisiensi dan
penyesuaian produksi dengan kebutuhan pasar. Bila berahi muncul serentak,
bila perkawinan dilakukan dengan menggunakan teknologi IB. Menurut
Macmillan dan Burke (1996) dengan penyerentakan birahi dalam kelompok
ternak, dapat diperkirakan waktu birahi dan ketepatan pelaksanaan IB sehingga
dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.
Inseminasi Buatan Pada Ternak
Inseminasi buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang telah
dan sedang diprogramkan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan
peternakan sebagai upaya peningkatan produktivitas ternak demi meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani peternak. Melalui teknologi ini peternak
dapat memiliki ternak yang berkualitas tanpa harus memiliki pejantan unggul
(Salisbury dan Vandemark, 1985).
Teknologi Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi
yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu genetik
ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas
baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul
(Susilawati, 2011).
Teknik IB merupakan salah satu penunjang keberhasilan IB. Hal ini
memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat
dilakukan pada waktu yang tepat pula. Demikiam juga teknik inseminasi yang
dilakukan secara cermat oleh petugas terampil, dan hewan betina yang sehat
dalam kondisi reproduksi yang optimal sangatlah penting. Semen harus
dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina pada tempat dan waktu yang
terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa dan ovum serta
Salisbury dan Vandemark (1985) mengatakan bahwa waktu optimum
untuk inseminasi selama atau sesudah estrus adalah dari pertengahan estrus
sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Bila dikawinkan lebih awal atau lebih
lambat menyebabkan kebuntingan menjadi lebih kecil.
Inseminasi dilakukan pada pagi hari menghasilkan CR lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinseminasi pada sore hari. Pada peternakan komersil,
di mana semua hewan yang disinkronisasi untuk estrus, diinseminasi pada sore
hari menghasilkan CR lebih tinggi dibandingkan di pagi hari. Hal ini juga diduga
karena diantara teknisi IB, tingkat pendidikan dan pekerjaan non-IB
mempengaruhi CR. Teknisi yang telah lulus dari sekolah tinggi memiliki CR lebih
tinggi daripada mereka yang hanya sekolah dasar pendidikan dan mereka yang
bekerja waktu penuh pada IB memiliki CR lebih tinggi dari CR yang bekerja
paruh waktu (Toleng, 1999).
Pada waktu IB ternak harus dalam keadaan berahi karena pada saat itu
liang leher rahim (serviks) pada posisi yang terbuka. Kemungkinan terjadinya
konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu dari berahi
telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah permulaan berahi: 44%
pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6 jam sesudah sesudah berahi :
62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam sesudah berahi : 28% dan 24 jam
sesudah berahi : 12% (Windiana, 1986).
Conception Rate (CR)
Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau betina yang bunting pada
kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina,
kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010).
Angka konsepsi dapat ditentukan berdasarkan hasil diagnose dengan
palpasi rektal dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Suatu
pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi program
pemulia biakan ternak (Partodiharjo 1982). Kesanggupan untuk menentukan
kebuntingan secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap dokter hewan
lapangan atau petugas pemeriksaan kebuntingan (BBPTU, 2009). Menurut
Toelihere (1993) CR tebaik mencapi 60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia
dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajeman dan distribusi ternak yang
menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu,
rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh kualitas maupun fertilitas semen beku,
ketrampilan dan kemampuan inseminator dan kemungkinan adanya gangguan
reproduksi pada kerbau betina.
CR adalah perbandingan antara jumlah induk yang bunting dengan seluruh
induk yang di kawinkan atau di inseminasi atau persentase hewan yang bunting
pada IB pertama (Toelihere, 1981). Selanjutnya ditambahkan angka konsepsi
dalam peternakan yang baik adalah 60% untuk inseminasi pertama dan 90%
kebuntingan pada inseminasi ketiga ( Partodiharjo, 1992).
Faktor Kegagalan Inseminasi Buatan
Kegagalan inseminasi dapat juga akibat dari pembuahan dini dan kematian
embrio. Kegagalan pembuahan dini disebabkan oleh kelainan anatomi saluran
repropduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sel mani yang abnormal,
embrio dini disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit, lingkungan dalam
saluran reproduksi yang tidak serasi, dan adanya gangguan hormonal
(Hardjopranjoto, 1995).
Penilaian keberhasilan IB dapat dihitung melalui pengamatan yaitu (a)
Angka konsepsi atau conception rate adalah persentase betina yang bunting pada
inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosis
kebuntingan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Agka konsepsi
merupakan cara penilaian fungsi daya fertilisasi dari contoh semen. Angka
konsepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya fertilitas dan kualitas
semen, ketrampilan inseminator, peternak serta kemungkinan adanya gangguan
reproduksi atau kesehatan hewan betina. (b) Jumlah inseminasi per kebuntingan
atau service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang
dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi
(Toelihere, 1985).
Keberhasilan dan kegagalan IB dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut diantaranya; peternak, petugas dan ternak kerbau betina
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB yaitu; kualitas semen,
kualitas oocyt, waktu IB, kompetensi inseminator, penanganan dan deposisi
semen saat IB. Peternak berperan dalam hal deteksi dini dari gejala estrus
(Roelofs et al., 2010).
Pengaruh umur terhadap fertilitas kerbau betina dan kerbau jantan sulit
untuk diketahui karena faktor penyebabnya sangat kompleks dan banyak. faktor
berpengaruh terhadap kelompok umur kerbau tertentu lebih daripada kelompok
umur lainnya (Salisbury dan Vandenmark, 1985).
Body Condition Score
Body Condition Score adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh
ternak baik secara visual maupun dengan perabaan pada timbunan lemak tubuh
dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan pinggul. BCS digunakan
untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status kesehatan
individu ternak dan membangun kondisi ternak pada waktu manajemen ternak
yang rutin. BCS telah terbukti menjadi alat praktis yang penting dalam menilai
kondisi tubuh ternak karena BCS adalah indikator sederhana terbaik dari
cadangan lemak yang tersedia yang dapat digunakan oleh ternak dalam periode
apapun (Susilorini, Sawitri dan Muharlien, 2007).
Body Condition Score (BCS) kerbau betina yang akan di IB merupakan
salah satu persyaratan yang perlu diperhatikan. Body Condition Score ideal dari
kerbau betina yang akan di IB adalah 2,5-3 dari skala 1-5. Beberapa penelitian dan
literature menyatakan bahwa BCS < 2,5 dari skala 1-5 merupakan representasi
dari kekurangan nutrisi, yang salah satu manifestasinya adalah penurunan fungsi
dan efisiensi reproduksi (Arthur et al., 2001)
Pakan ternak Kerbau
Pada umumnya pakan ternak kerbau terdiri atas hijauan makanan ternak
(HMT), limbah pertanian, dan penguat (konsentrat). Komponen makanan ternak
kerbau berdasarkan bahan-bahan yang mudah didapatkan disetiap daerah,
misalnya susunan pemberian pakan ternak kerbau untuk tiap ekor dengan bobot
padi hasil pengolahan 7 kg, dedak halus 2,3 kg, kacang-kacangan segar 0,5 kg,
garam 100 gr, vitamin dan mineral 60-80 gr (Rahmat,2003)
Makanan dapat menyebabkan infertilitas melalui hipotalamus dan pituitari
anterior yang akan mempengaruhi fungsi endokrin, transport sperma, fertilisasi,
pembelahan sel awal, dan perkembangan embrio dan fetus. Pengaruh yang
menonjol dari defisiensi pakan yaitu terhentinya aktivitas siklus reproduksi,
adanya birahi tenang, kelainan ovulasi, kegagalan konsepsi, dan kematian embrio.
Kerbau dara paling sensitif terhadap kekurangan nutrisi pada tingkat akhir
kebuntingan pertama jika mereka belum mencapai kematangan fisik. Hal ini
diperlihatkan dengan keterlambatan berahi post partus dan angka konsepsi yang
rendah pada servis pertama (Arthur et al., 1989).
Kebutuhan nutrisi yang seimbang sangat penting untuk kelangsungan
reproduksi kerbau. Menurut Winugroho (2002) jika defisiensi nutrisi berupa
protein, energi, mineral dan vitamin akan menyebabkan late estrus, silent heat
hingga anestrus. Kekurangan protein menyebabkan timbulnya berahi yang lemah,
berahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat breeding), kematian embrio dini,
absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau
kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi, defisiensi dan ketidakseimbangan
mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang, aktivitas ovarium, dan
rendahnya efisiensi reproduksi.
Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi, diantaranya:
protein, vitamin A, dan mineral/vitamin (phosphor, kopper, kobalt, manganese,
Kecermatan peternak dalam mendeteksi berahi pertama yang muncul pada
ternak yang selanjutnya dimasukkan kedalam program perkawinan. Program
perkawinan ini harus benar-benar diperhitungkan karena pubertas atau dewasa
kelamin umumnya terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga hewan betina
harus menyediakan makan untuk perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya dan
tubuh anaknya. Hewan betina muda yang baru mengalami dewasa kelamin
membutuhkan lebih banyak makanan dibandingkan dengan hewan betina yang
sudah mencapai dewasa tubuh (Toelihere, 1985).
Inseminator
Petugas IB atau inseminator mempunyai kontribusi terhadap keberhasilan
IB. Inseminator harus mempunyai pengetahuan yang berhubungan dengan tingkah
laku seksual, perubahan temperatur tubuh, dapat menentukan perubahan pada
saluran reproduksi betina terutama vulva, vagina dan cervix kerbau betina dari
setiap fase siklus estrus, serta keterampilan melaksanakan IB
(Roelofs et al., 2010). Pengetahuan dan keterampilan inseminator tersebut dapat
digunakan untuk menentukan waktu IB yang tepat. Ketepatan waktu IB
merupakan salah satu faktor menentukan keberhasilan fertilisasi
(Arthur etal., 2001)
Faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan IB adalah
mendeteksi berahi karena tanda-tanda berahi sering terjadi pada malam hari. Oleh
karena itu petani diharapkan dapat memonitor kejadian berahi dengan baik dengan
mencatat siklus berahi semua kerbau betinanya (dara dan dewasa) dan Petugas IB
harus mensosialisasikan cara-cara mendeteksi tanda-tanda berahi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan peternakan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam berupa lahan, ternak dan pakan
ternak serta faktor produksi lainnya yaitu modal dan tenaga kerja guna dapat
menyediakan pangan hewani bagi seluruh penduduk. Permintaan terhadap pangan
hewani (khususnya daging) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat
sangat besar dan diproyeksikan akan meningkat sangat cepat seirama dengan
pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat
pendidikan, kesadaran gizi, urbanisasi, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi.
Untuk merespon permintaan daging yang terus meningkat tersebut, ternyata
produksi dari dalam negeri belum mampu untuk mencukupinya, sehingga dalam
dasa warsa terakhir ini dilakukan impor daging dan ternak hidup.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan peningkatan
pendapatan masyarakat maka permintaan akan daging dan susu menunjukan
gejala peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan daging dan susu perlu salah satu aspekyang akan diperhatikan adalah
penanganan reproduksi ternak penghasil susu dan daging dengan tanpa
mengesampingkan hal lainnya seperti pengendalian dan pencegahan penyakit
hewan dan managemen pemeliharaan ternak.
Kerbau merupakan hewan ternak besar yang populasinya paling sedikit
jika dibandingkan dengan kerbau, kambing, dan domba. Bahkan dari tahun
populasi ternak kerbau diantaranya tingkat reproduksi yang sangat rendah dan
tingkat pemotongan kerbau itu sendiri yang sangat tinggi setiap tahunnya.
Kerbau lumpur memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan
sebagai ternak pekerja maupun sumber keragaman pagan hewani bagi manusia.
Untuk pengembangan potensi ini, diperlukan upaya peningkatan mutu kerbau
yang baik dan meningkatkan populasi kerbau secara kualitas maupun kuantitas,
kuantitas, khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara. Upaya tersebut dapat
dilakukan dengan perbaikan reproduksi kerbau. Pada ternak kerbau reproduksi
yang kurang baik akan membatasi kinerja kerbau dan pencapaian mutu
genetiknya. Kerbau mempunyai umur beranak pertama kali yaitu pada umur 2-3
tahun. Kegagalan reproduksi ternak kerbau disebabkan oleh reproduksi kerbau itu
sendiri yang masih belum optimal. Peternak kurang memahami masalah siklus
birahi pada kerbau dimana kerbau dianggap kurang reproduktif ( karena siklus
estrusnya silent heat). Umumnya, manajemen perkawinan kerbau di pedesaan
tidak terkontrol karena kelangkaan pejantan unggul akibat terkurasnya pejantan
yang bagus ke pasar sehingga menyebabkan hanya pejantan-pejantan kecil dan
yang berkualitas kurang baik saja yang tersedia.
Penurunan populasi kerbau dikhawatirkan dapat menyebabkan
berkurangnya salah satu sumber protein yang sangat berharga. Keberadaan
sumber daya yang terdapat di Sumatera Utara harus ditingkatkan, kualitas produk
seperti susu dan daging harus ditingkatkan dan diangkat kepermukaan sehingga
banyak orang yang akan membuka mata tentang keunggulan ternak kerbau yang
selama ini masih dapat dikatakan diabaikan keberadaannya. Untuk itu diperlukan
dan inseminasi buatan di Sumatera Utara untuk meningkatkan populasi ternak
kerbau.
Di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, kebutuhan
protein hewani cenderung meningkat tiap tahun seiring dengan laju pertambahan
penduduk yang terus meningkat, maka perlu kesinambungan peningkatan
produksi peternakan. Salah satu usaha untuk mengejar target akan pemenuhan
kebutuhan akan gizi terhadap protein hewani bagi masyarakat. Peningkatan
populasi dalam produksi ternak sangat bergantung kepada keberhasialn
reproduksi, apabila reproduksi tidak diatur baik maka tingkat produksi akan
rendah. Menyikapi hal tersebut, salah satu upaya untuk meningkatkan populasi
dan produktivitas ternak kerbau dapat dilakukan melalui kawin suntik. Salah satu
cara untuk meningkatkan populasi ternak kerbau dengan tehnik sinkronisasi estrus
atau lebih di kenal dengan penyerentakan estrus. Sinkronisasi estrus merupakan
suatu pengendalian estrus yang dilakukan pada sekelompok ternak betina dengan
memanipulasi mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi
dapat diketahui dengan pasti dan masing-masing ternak tersebut dapat dikawinkan
dalam waktu bersamaan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
keberhasilan Inseminasi Buatan pada ternak kerbau lumpur ( Swamp buffalo)
Permasalahan
Masalah yang menjadi bahasan dalam penelitian ini antara lain :
banyaknya kegagalan konsepsi, kawin berulang dan jarak beranak yang panjang
dan seberapa besar faktor-faktor peternak, faktor inseminator dan faktor pada
kerbau betina mempengaruhi keberhasilan inseminasi buatan.
Kegunaan Penelitian
Untuk mempermudah peternak dalam perkawinan dan dapat memberikan
informasi bagi peneliti dan instansi pemerintah dan masyarakat peternak kerbau
melalui gertak birahi dapat meningkatkan populasi ternak kerbau lumpur
ABSTRAK
ROSINTA PASARIBU, 2016:” Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara”, dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan HAMDAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong, Informasi perkembangan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini menganalisa keberhasilan inseminsi buatan dengan gertak birahi pada ternak kerbau lumpur (swamp buffalo) di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2015 – februari 2016 di Siborongborong, Tapanuli Utara menggunakan kerbau yang ada di masyarakat yang ada di Kecamatan Siborongborong. Sampel yang diperoleh sebanyak 117 ekor. Setelah tiga bulan dilakukan pengamatan terhadap angka kebuntingan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan menggunakan analisis dengan menggunakan program
Statistical Analysys System (SAS) dan dibahas secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau lumpur di kecamatan
siborongborong setelah penyuntikan hormon PGF2α sebanyak 5 mg/ml yang
kedua, menunjukan tanda-tanda birahi yang diamati yaitu pengeluaran lendir dan pembengkakan vulva. Keberhasilan penerapan teknologi IB masih rendah karena angka kebuntingan untuk semua sampel diperoleh hasil 34% dan ternak kerbau di kecamatan siborongborong masih rendah tingkat kesuburannya.
ABSTRACT
ROSINTA Pasaribu, 2016: "Analysis of Artificial Insemination Success At Buffalo Livestock Lumpur (Swamp Buffalo) to power plays sinkronisasion In District Siborongborong Tapanuli Utara", guided by NURZAINAH GINTING and Hamdan.
This study aims to determine the success of artificial insemination in District Siborongborong, information technology development reproduction in buffaloes. This study analyzes the success of artificial inseminsi by snapping estrus in cattle swamp buffalo (swamp buffalo) in District Siborongborong Utara.penelitian Tapanuli was conducted in October 2015 - February 2016 Siborongborong, North Tapanuli using buffalo in the community in the District Siborongborong , Samples were obtained as much as 117 birds. After three months of observation of the pregnancy rate. The method used in this research is survey by using an analysis using the Statistical program Analysys System (SAS) and discussed descriptively.
The results showed that the buffalo mud in the district Siborongborong
after PGF2α h o rmo ne injectio n s 5 mg / ml secon d , sh o ws sign s of estrus were
observed in the release of mucus and swelling of the vulva. The successful application of AI technology is still low because the pregnancy rate for all sample results obtained 34% and buffaloes in the district Siborongborong still low levels of fertility.
ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA
TERNAK KERBAU LUMPUR (
Swamp buffalo
) dengan
SINKRONISASI ESTRUS DI KECAMATAN
SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARA
SKRIPSI
ROSINTA PASARIBU 110306012
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA
TERNAK KERBAU LUMPUR (
Swamp buffalo
) dengan
SINKRONISASI ESTRUS DI KECAMATAN
SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARA
SKRIPSI
ROSINTA PASARIBU 110306012/PETERNAKAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian :AnalisisKeberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) denganSinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara
Nama : Rosinta Pasaribu NIM : 110306012 Program Studi : Peternakan
Disetujui oleh:
Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Nurzainah Ginting M.Sc) (Hamdan, S.Pt,M.Si ) Ketua Anggota
Mengetahui,
(Dr.Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) Ketua Program Studi Peternakan
ABSTRAK
ROSINTA PASARIBU, 2016:” Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara”, dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan HAMDAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong, Informasi perkembangan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini menganalisa keberhasilan inseminsi buatan dengan gertak birahi pada ternak kerbau lumpur (swamp buffalo) di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2015 – februari 2016 di Siborongborong, Tapanuli Utara menggunakan kerbau yang ada di masyarakat yang ada di Kecamatan Siborongborong. Sampel yang diperoleh sebanyak 117 ekor. Setelah tiga bulan dilakukan pengamatan terhadap angka kebuntingan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan menggunakan analisis dengan menggunakan program
Statistical Analysys System (SAS) dan dibahas secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau lumpur di kecamatan
siborongborong setelah penyuntikan hormon PGF2α sebanyak 5 mg/ml yang
kedua, menunjukan tanda-tanda birahi yang diamati yaitu pengeluaran lendir dan pembengkakan vulva. Keberhasilan penerapan teknologi IB masih rendah karena angka kebuntingan untuk semua sampel diperoleh hasil 34% dan ternak kerbau di kecamatan siborongborong masih rendah tingkat kesuburannya.
ABSTRACT
ROSINTA Pasaribu, 2016: "Analysis of Artificial Insemination Success At Buffalo Livestock Lumpur (Swamp Buffalo) to power plays sinkronisasion In District Siborongborong Tapanuli Utara", guided by NURZAINAH GINTING and Hamdan.
This study aims to determine the success of artificial insemination in District Siborongborong, information technology development reproduction in buffaloes. This study analyzes the success of artificial inseminsi by snapping estrus in cattle swamp buffalo (swamp buffalo) in District Siborongborong Utara.penelitian Tapanuli was conducted in October 2015 - February 2016 Siborongborong, North Tapanuli using buffalo in the community in the District Siborongborong , Samples were obtained as much as 117 birds. After three months of observation of the pregnancy rate. The method used in this research is survey by using an analysis using the Statistical program Analysys System (SAS) and discussed descriptively.
The results showed that the buffalo mud in the district Siborongborong
after PGF2α h o rmo ne injectio n s 5 mg / ml secon d , sh o ws sign s of estrus were
observed in the release of mucus and swelling of the vulva. The successful application of AI technology is still low because the pregnancy rate for all sample results obtained 34% and buffaloes in the district Siborongborong still low levels of fertility.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sempung Polling, Kabupaten Dairi, Provinsi
Sumatera Utara pada tanggal 18 November 1992 dari ayah Arden Pasaribu dan
ibu Tiora br Sinaga. Penulis merupakan anak ke delapan dari sembilan
bersaudara.
Tahun 2011 tamat dari SMA Negeri 1 Lae Parira dan pada tahun yang
sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur
Undangan Bidik Misi. Penulis memilih Program Studi Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan
Mahasiwa Peternakan (IMAPET). Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi
Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan (IMAKRIP) pernah menjabat sebagai BPH
periode 2013-2014 dan juga aktif aktif dalam organisasi Gabungan Mahasiswa
Bidik Misi (GAMADIKSI) USU.
Pada bulan Juli sampai Agustus 2014 penulis mengikuti Praktek Kerja
Lapangan (PKL) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Bukit Sentang Desa
Securai Utara Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat. Penulis melakukan
penelitian di peternakan kerbau masyarakat Kecamatan Siborongborong
Kabupaten Tapanuli Utara mulai dari Oktober 2015 sampai dengan Februari