• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Keadaan Geologi dan Endapan 1. Kondisi Geologi Umum

Area Perambanhan memiliki kondisi geologi yang cukup kompleks, dimana sturtur gologi berupa patahan atau sesar yang sangat mempengaruhi pola penyebaran lampisan batubara dan juga kualitas batubara.

Cekungan Ombilin terbentuk sebagai akibat langsung dari gerak mendatar menganan sistem sesar Sumatera pada masa pleosen awal. Akibatnya terjadi tarikan yang membatasi oleh sistem sesar normal berarah utara–selatan. Daerah tarikan tersebuit dijumpai di bagian utara cekungan pada darah pengundakan mengiri antara sesar setangkai dan sesar silungkang yaitu terban Talawi. Sedangkan bagian selatan cekungan merupakan daerah kompresi yang ditandai oleh terbentuknya sesar naik dan lipatan (sesar sinamar). Ketebalan batuan sendimen di cekungan Ombilin mencapai ±4.500 m terhitung sangat tebal untuk cekungan berurukuran panjang ±60 km dan lebar ±30 km.

Dari hasil bebarapa penyelidikan yang telah dilakukan, daerah penelitian diyakini terletraka pada sub-cekungan kiliran yang merupakan bagian dari suatu sistem cekungan intramortana (cekungan pegunungan), yang merupakan bagian dari tengah pegunungan bukit barisan. Cekungan–cekungan tersebut mulai berkembang pada pertengahan tersier, sebagai akibat pengerakan ulang dari patahan-patahan yang menyebabkan terbentuknya, cekungan– cekungan tektonik di daerah tinggi (intra mountain basin) cekungan–cekungan yang terbentuk di antara pegunungan tersebut merupakan daerah pengendapan batuan-batuan tersier yang merupakan siklus sendimen tahap kedua.

Endapan-endapan sendimen yang terdapat di dalamnya cekungan-cekungan Sumatera Timur nyaris tergangu oleh orogenesa yang membentuk punggung bukit barisan, sehingga dapat dijumpai urutan stratifigasi yang selaras, mulai dari formasi minas, sihapas, sampai formasi pemantang, yang memberi petunjuk bahwa hal endapan berlangsung terus menrus hingga kuater. Tidak demikian halnya dengan bagian sebelah barat. Pada bagian ini merupakan cekungan muka (foredeep) dimana sekarang daerah tersebut merupakan ‘busur luar, non-vulkanik (nonvucanic outer arch), perlipatan–perlipatan dan pensesaran mempengaruhi sendimen-sendimen tersier bawah dan tengah.

Stratigrafi cekungan ombilin yang terdiri dari satuan batu lanau, batubara dan batu pasir termasuk dalam anggota formasi telisa yang terendapkan tidak selaras di atas batuan metamorfik sebagai basement (batuan Pra-tersier). Adapun stratigrafi cekungan omblin dapat dilihat pada gambar 2.1 di halaman 9.

2.1.2 Metode Penambangan Room And Pillar

Room and pillar merupakan suatu sistem penambangn bawah tanah untuk endapan batubara dengan blok-blok persegi. Seluruh blok batubaranya dibuat jalan batubara yang digali menjadi room selebar 10 meter dan pillar sebagai penyangga selebar 30x30 meter menggunakan kombinasi continious miner (CM), roof bolter, dan shuttle catr. Metode ini hanya mengambil 30-40% dari total batubara yang ada, oleh karna itu untuk menaikan produksi setelah semua block tersebut ditambang ketika kembali ke jalan utama dekat shaft, pillar-pillar yang ditinggalkan dikikis sedikit, proses ini dinamakan retreat mining. Selama proses ini berjalan, tidak ada operator yang boleh berada di bawah atap batuan, semuanya dikendalikan dengan remote dari jauh.

Ada beberapa klasifikasi dari metode room adn pillar yang umum, yaitu : 2. Classic Room And Pillar Method

Metode ini sering ditemukan pada bahan galian batubara yang cadanganya cendrung mendatar (flat) dan dengan ketebalan yang memungkinkan. Kelebihan metode classic room and pillar method adalah setelah permukaan penambangan dibuat, dapat segera memulai penambangan batubara, sehingga tidak memerlukan waktu yang panjang untuk persiapan penambangan batubara. Sedangkan kekurangannya adalah recovery sedikit, hanya 40-60% bila tanpa mengekstraksi pillar.

3. Post Room And Pillar Method

Dengan inklinasi cadangan mencapai 20 - 50 metode yang digunakan umumnya ialah ̊ ̊ post room and pillar method, efektivitas pengambilan cadangan bisa lebih besar disebebkan pengambilan cadangan dilakukan dengan mengikuti arah dan ruang cadangan sehingga kemungkinan tertinggalnya bahan galian yang ditambang semakin kecil.

Kelebihan metode post room and pillar method adalah recovery lebih besar disebabkan pengambilan cadangan dilakukan mengikuti arah dan ruang cadangan sehingga kemungkinan

tertinggalnya bahan galian yang ditambang semakin kecil. Sedangkan kekuranganya adalah kemungkinan terjadinya subsiden lebih besar bila tidak diikuti dengan penambahan penyangga bantuan.

4. Step Room and pillar method

metode ini cocok diterapkan pada cadangan dengan inkliasi 15-30 dengan ketebalan ̊ lapisan cadangan 2-5 meter. Step room and pillar merupakan metode yang digunakan dan dirancang untuk memudahkan peralatan beroperasi di dalam cadangan (ore deposit), step dirancang berjenjang akan tetapi terdapat jalan yang menghubungkan antar step atau jenjang.

Kelebihan metode ini adalah pengangkutan di dalam permukaan kerja hampir tidak memerlukan tenaga penggerak karena dapat berjalan sendiri, misalnya melalui jalan penghubung. Sedangkan kekurangannya adalah memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk membawa masuk peralatan, sehingga volume produksi terganggu dari banyaknya mekanis yang tersedia.

2.1.3 Analisis Kestabilan lereng

Analisis kestabilan lereng dilakukan untuk menilai tingkat kestabilan suatu lereng. Istilah kestabilan lereng dapat di defenisikan sebagai ketahanan blok diatas suatu permukaan miring (diukur dari garis horizontal) terhadap runtuhan (collapsing) dan gelinciran (slidding) (Kliche, 1999). Dalam hal ini setiap permukaan tanah yang memiliki kemiringan terhadap garis horizontal disebut lereng, baik alami maupun buatan manusia. Karena lereng tidak horizontal, melainkan membentuk sudut, akan timbul suatu gaya penggerak menuruni lereng. Jika gaya penggerak akibat adanya gravitas dan cenderung membuat blok di atas permukaan miring tersebut bergerak menuruni lereng. Jika gaya penggerak tersebut sangat besar dan kekuatan geser dari material penyusun lereng relatif kecil, dapat terjadi longsoran (Terzaghi and Peck, 1967).

Kestabilan lereng, baik lereng alami maupun lereng buatan (buatan manusia) serta lereng timbunan, di pengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat di nyatakan secara sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang bertanggungjawab terhadap kestabilan lereng tersebut. Pada kondisi gaya penahan (terhadap longsoran) lebih besar dari gaya penggerak, lereng tersebut akan berada dalam kondisi yang stabil (aman). Namun, apabila gaya penahan lebih kecil dari gaya penggeraknya, lereng tersebut tidak stabil dan akan terjadi longsoran. Sebenarnya, longsoran merupakan suatu proses alami yang terjadi untuk mendapatkan kondisi kestabilan lereng yang baru (keseimbangan baru), di mana gaya penahan lebih besar dari gaya penggeraknya.

Untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu lereng, dikenal istilah Faktor Keamanan (Safety Faktor). Faktor keamanan diperlukan untuk mengetahui kemantapan suatu lereng untuk mencegah bahaya longsoran di waktu-waktu yang akan datang.

Faktor Keamanan (FK) = ...(2.1)

Menurut Made Astawai Rai 2011, secara umum pada tambang terbuka longsoran diklasifikasikan kedalam 4 jenis longsoran:

a. Longsoran Bidang

Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang lucur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa bidang sesar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Syarat – syarat terjadinya longsoran bidang:

1) Terdapat bidang luncur bebas (daylight), berarti kemiringan bidang luncur harus lebih kecil daripada kemiringan lereng.

2) Arah bidang luncur sejajar atau mendekati dengan arah lereng (maksimum berbeda 20

3) Kemiringan bidang luncur lebih besar daripada susut geser dalam batuannya 4) Terdapat bidang bebas ( tidak terdapat gaya penahan ) pada kedua sisi longsoran.

Berikut gambar longsor bidang ditunjukan pada gambar 2.2 di bawah ini.

ψf ψp

For Sliding

ψf= Kemiringan lereng ψp= Kemiringan bidang luncur = Sudut geser dalam Keterangan :

ψf ψp

For Sliding

ψf= Kemiringan lereng ψp= Kemiringan bidang luncur = Sudut geser dalam Keterangan :

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.2 Longsoran Bidang b. Longsoran Baji

Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika lebih dari satu bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan. Longsoran baji dapat terjadi dengan syarat geometri sebagai berikut:

1) Kemiringan lereng > kemiringan garis perpotongan kedua bidang lemah pembentuk baji. 2) Garis perpotongan kedua bidang lemah pembentuk baji miring ke arah muka lereng. 3) Kemiringan garis perpotongan kedua bidang pembentuk baji > sudut gesek dalam.

Berikut gambar longsor baji yang ditunjukan pada gambar 2.3 di bawah ini.

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.3 Longsoran Baji c. Longsoran guling

ψp

ψf Perpotongan bidang lemah

Distribusi tekanan air tanah

Keterangan : ψf= Kemiringan lereng

ψp= Kemiringan garis perpotongan bidang lemah ψf ψp

Perpotongan bidang lemah

Distribusi tekanan air tanah

Keterangan : ψf= Kemiringan lereng

Longsoran guling terjadi pada batuan yang keras dan memiliki lereng terjal dengan bidang lemah yang tegak atau hamper tegak dan arahnya berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Longsoran ini bisa berbentuk blok atau bertingkat. Kondisi untuk menggelincir atau meluncur

ditentukan oleh sudut geser dalam ( ) dan kemiringan bidang luncurnya (ψ), tinggi balok

( h ) dan lebar balok (b) terletak pada bidng miring bertingkat. Kondisi geometri yang dapat menyebabkab terjadinya longsoran guling antara lain:

1) Balok akan tetap mantap bila ψ < dan b / h >tan .

2) Balok akan meluncur bila ψ > b / h >tan .

3) Balok akan tergelincir, kemudian mengguling bila ψ < dan b / h <tan .

4) Balok akan langsung mengguling bila ψ < dn b / h <tan .

Berikut gambar longsor guling yang ditunjukan pada gambar 2.4 di bawah ini.

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.4 Longsoran Guling d. Longsoran Busur

Longsoran busur dapat terjadi pada batuan yang lunak atau pada timbunan batuan. Biasanya batuan yang longsor itu bergerak pada suatu bidang. Bidang ini disebut bidang gelincir atau bidang geser.

1) Memiliki bidang lemah yang banyak dan arah longsorannya bergerak sepanjang bidang lemah yang berbentuk busur.

2) Material pembentuk lereng di asumsikan homogen.

3) Kelongsoran diasumsikan terjadi pada bidang busur yang melewati lantai lereng. 4) Rekahan tarik vertical diasumsikan terjadi di atas lereng atau muka lereng. 5) Kondisi air tanah bervariasi dari kering sampai jenuh total.

6) Posisi dari rekahan tarik dan permukaan busur adalah sama.

Berikut gambar longsor busur yang ditunjukan pada gambar 2.5 di bawah ini.

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.5 Longsoran Busur 2.1.4 Klasifikasi Massa Batuan

Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau kekar dan derajad pelapukan massa batuan. Pada umumnya klasifikasi tersebut mencoba menghubungkan parameter sudut kemantapan lereng dengan bobot klasifikasi massa batuan untuk berbagai tinggi lereng (Arif, 2016).

1. Rock Mass Rating

Klasifikasi Rock Mass Rating diusulkan oleh Bieniawski (1979) digunakan untuk menentukan kualitas massa batuan berdasarkan lima parameter, yakni kuat tekan batuan utuh

(UCS), RQD (dengan melakukan pengukuran atau estimasi), spasi bidang-bidang diskontiniu, dan kondisi air tanah (Arif, 2016).

a. Kuat tekan batuan

1) Uji kuat tekan uniaxial (Unconfined Compressive Strength Test)

Uji tekan dilakukan untuk mengukur tekan uniaksial (Unconfined Compressive Strength Test – UCS Test) dari sebuah contoh batuan berbentuk silinder dalam satu arah (Uniaksial). Tujuan utama uji ini adalah untuk mengklasifikasi kekuatan dan karakterisasi batuan utuh. Hasil uji ini berupa beberapa informasi, seperti kurva tegangan-regangan, kuat tekan uniaksial, modulus elastisitas, nisbah poisson, energi fraktur, dan energi fraktur spesifik.

Pengujian ini dilakukan menggunakan mesin tekan (compression machine) dan dalam pembebanannya mengikuti standar dari Internasional Society Of Rock Mechanics (ISRM, 1981). Secara teoritis penyebaran tegangan didalam contoh batuan searah dengan gaya yang dikenakan pada contoh tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya arah tegangan tidak searah dengan gaya yang dikenakan pada contoh.

Hal ini terjadi karena ada pengaruh dari plat penekan pada mesin tekan yang berbentuk bidang pecah yag searah dengan gaya, berbentuk ”cone”. Contoh batuan yang akan digunakan dalam pengujian kuat tekan harus memenuhi beberapa syarat. Kedua muka contoh bayuan uji harus mencapai kerataan hingga 0,02 mm dan tidak melenceng dari sumbu tegak lurus lebih besar dari pada 0,001 radian (sekitar 3,5 min) atau 0,05 mm dalam 50 mm (0,060). Demikian juga sisi panjangnya harus bebas dari ketidak rataan sehingga kelurusannya sepanjang contoh batu uji tidak melencenglebih dari 0,3 mm.

Perbandingan antara tinggi dan diameter contoh batuan (L/D) akan mempengaruhi nilai kuat tekan batuan. Jika digunakan perbandingan (L/D) = 1,

kondisi tegangan triaksial saling bertemusehingga akan memperbesar nilai kuat tekan batuan. Sesuai dengan ISRM (1981), untuk pengujian kuat tekan digunakan rasio (L/ D) antara 2-2,5 dan sebaliknya diameter (D) contoh batu uji paling tidak berukuran tidak kurang dari NX, atau kurang lebih 54 mm. Semakin besar perbandingan antara tinggi dan diameter contoh batuan yang digunakan, kuat tekan akan semakin kecil seperti ditunjukkan persamaan dibawah ini:

Menurut American Society For Testing and Materials (ATSM):

σc(L/D)=1 = σc / (0,788 + (0,222 / (L/D))) ...(2.2) Menurut Protodyakonov:

σc(L/D)=2 = 8.σc / (7 + (2 / (L/D)))...(2.3) Keterangan: σc = kuat tekan batuan

Berikut gambar deformasi contoh batuan uji UCS yang ditunjukan pada gambar 2.6 di bawah ini.

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.6 Deformasi Pada Contoh Batuan Hasil Uji UCS

Berikut gambarpola failur dimensi contoh batuan yang ditunjukan pada gambar 2.7 di bawah ini.

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.7 Pola Failure Pada Berbagai Dimensi Contoh Batuan 2) Point Load Test (Test Franklin)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan dari contoh batuan secara tidak langsung di lapangan. Contoh batuan dapat berbentuk silinder atau tidak beraturan. Peralatan yang digunakan untuk uji point load, seperti ditunjukkan pada gambar 2.8.

Contoh batuan yang digunakan untuk pengujian ini dapat berbentuk silinder ataupun bongkahan batuan, seperti terlihat pada gambar 2.9.

Sumber: Irwandy Arif, 2016 Gambar 2.8 alat PLI

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Menurut Broch & Franklin (1972), indeks point load (Is) suatu contoh batuan dapat dihitung dengan persamaan:

Is = P/D2...(2.4)

Untuk diameter contoh batuan yang bukan 50 mm, maka diperlukan faktor koreksi terhadap persamaannya. Menurut Greminger 1982 (mekanika batuan Made Astawa Rai, 2011), selang faktor koreksi tergantung besarnya diameter. Karena diameter ideal adalah 50 mm maka Greminger menurunkan persamaan sebagai berikut:

Is(50) = F (P/D2)...(2.5) Dengan,

F = (d/50)0.45...(2.6)

Sehingga diperoleh suatu persamaan Point Load Indeks yang telah dikoreksi sebagai berikut:

Is(50)=(d/50)0.45(P/D2)...(2.7)

Jika Is = 1 MPa, indeks tersebut tidak memiliki arti. Maka penentuan kekuatan harus berdasarkan uji UCS, dan menurut Bieniawski dengan diameter contoh 50 mm maka UCS dapat ditentukan melalui:

σc = 23 x Is...(2.8)

Uji aksial dan uji bongkah beraturan (irregular lump) menggunakan diameter ekivalen (De) dalam perhitungan Point Load Indeks yang diturunkan dari luas penampang minimum.

Is(50) = F (P/ De2)...(2.9)

Dengan, F = (De2/50)0.45... (2.10)

Keterangan: σc = kuat tekan batuan

P = Beban maksimum hingga contoh pecah (N) D = Jarak antara dua konus penekan (mm) d = Diameter conto (mm)

b. Rock Quality Designation (RQD)

Indeks RQD telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai indeks dari kualitas batuan pada saat informasi kualitas batuan hanya tersedia dari deskripsi ahli geologi dan persentase dari perolehan inti (core recovery). RQD adalah modifikasi dari persentase perolehan inti yang utuh dengan panjang 10 cm atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatif yang telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasikan daerah batuan yang kualitasnya rendah sehingga dapat diputuskan untuk penambahan pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya. Untuk menentukan RQD, ISRM merekomendasikan ukuran inti paling kecil berdiameter NX (54,7 mm) yang dibor dengan menggunakan double tube core barrels.

Adapun contoh core utuh untuk prosedur pengukuran dan perhitungan RQD dapat dilihat pada gambar 2.10 di halaman 23.

Sumber: Made A.R dan Suseno K, 2011

Gambar 2.10 Prosedur Pengukuran Dan Perhitungan RQD

Bila bor inti tidak tersedia, dapat dihitung dengan pengukura bidang diskontinu (metode scanline). Jarak pisah antar bidang diskontinu (kekar) adalah jarak tegak lurus antara dua bidang diskontinu yang berurutan sepanjang sebuah garis pengamatan yang disebut scanline, dan dinyatakan sebagai intact legth. Panjang scanline minimum untuk pengukuran jarak diskntinu adalah 50 kali jarak rata-rata diskontinuiti yang hendak diukur. Namun, menurut International Society for Rock Mechanic (ISRM, 1981) panjang ini cukup 10 kali tergantung tujuan pengukuran scanline-nya.

RQD = 100 (0,1 λ + 1) e-0,1λ...(2.12) Keterangan: λ = banyak kekar dalam 1 meter

Untuk klasifikasi jarak kekar dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1

Klasifikasi Jarak Kekar

Deskripsi jarak Struktur bidang

Diskontinu

Jarak (mm)

Spasi sangat lebar Perlapisan sangat tebal >2000

Spasi cukup lebar Perlapisan sedang (medium)

200 – 600

Spasi rapat Perlapisan tipis 60 – 200

Spasi sangat rapat Perlapisan sangat tipis 20 – 60

Laminasi tebal (batuan sedimen) 6 – 20

Laminasi sempit (batuan metamorf dan batuan beku)

6 – 20 Berlapis, memiliki belahan (cleavage),

struktur perlapisan seperti aliran/flow, metamorfik, dll.

6 – 20

Spasi sangat rapat sekali (ekstrem)

Perlapisan tipis (batuan sedimen) < 20

Sangat berfoliasi, memiliki belahan (cleavage) dan struktur perlapisan seperti aliran/flow, (batuan metamorf dan batuan beku)

< 6

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Berikut contoh prosedur normal pengukuran kekar dapat dilihat pada gambar 2.11 di bawah ini.

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.11 Prosedur Normal Untuk Garis Pengukuran Kekar

Adapun contoh pengukuran kekar menggunakan metode scanline dapat dilihat pada gambar 2.12 di bawah ini.

Sumber: Irwandy Arif, 2016

Gambar 2.12 Pengukuran Jarak Antar Kekar Menggunakan Metode Scanline Setelah melakukan pengukuran kekar pada lereng dengan metode scanline, selanjutnya menentukan kelas masa batuan dengan parameter dan tabel pembobotan batuan. Untuk menentukan klasifikasi parameter dan pembobotan batuan dapat dilihat pada tabel 2.2 di halaman 26.

Tabel 2.2

RMR - A Klasifikasi Parameter dan Pembobotan

Parameter Selang nilai

1 Kuat tekan

PLI (MPa)

>10 10-4 4-2 2-1 Untuk kuat tekan

rendah perlu UCS Batuan utuh UCS (MPa) >250 100-250 50-100 25-50 25-5 5-1 <1 Bobot 15 12 7 4 2 1 0 2 RQD (%) 90-100 75-90 50-75 25-50 <25 Bobot 20 17 13 8 3 3 Jarak kekar >2m 0.6-2m 0.2-0.6m 0.06-0.2m <0.06m Bobot 20 15 10 8 5

Parameter Selang nilai

4 Kondisi kekar Sangat kasar, tidak menerus, tidak ada pemisaha Agak kasar. Pemisahan <1 mm, dinding agak lapuk Agak kasar. Pemisah an <1 mm, dinding Slickensid ed/tebal gouge <5 mm atau pemisaha n 1-5 mm, Gouge lunak tebal >5 mm, atau pemisaha n 1-5 mm,

n, dinding batu tidak lapuk sangat lapuk menerus menerus Bobot 30 25 20 10 0 5 A ir t ana h Aliran/10 m panjang terowongan (lt/min) None <10 25-10 25-125 >125 Tekanan air kekar maks σ1 0 <0.1 0.1-0.2 0.2-0.5 >0.5 Kondisi umum

Kering Lembab Basah Menetes Mengalir

Bobot 15 10 7 4 0

Sumber: Made A.R dan Suseno K, 2011

Untuk menentukan nilai kondisi kekar dapat dilihat panduan seperti tabel 2.3 di halaman 27.

Tabel 2.3 Klasifikasi Bidang Kekar

Panduan untuk klasifikasi bidang kekar

Persistensi (ukuran kekar) <1m 1-3m 3-10m 10-20m >20m Bobot 6 4 2 1 0 Pemisahan bukaan (Aperture) None <0.1mm 0.1-1.0mm 1-5mm >5mm Bobot 6 5 4 1 0

Kekasaran Very rough Rough Slighlty

rough Smooth Sliken sided Bobot 6 5 3 1 0 Isian (gouge)

None Hard filling

<5mm Hard filling >5mm Soft filling <5mm Soft filling >5mm Bobot 6 4 2 2 1

Pelapukan Unweathered Slightly

weathered Moderately weathered Highly weathered Decomp osed Bobot 6 5 3 1 0

Setelah melakukan klasifikasi bidang kekar, selanjutnya dilanjutkan pembobotan orientasi kekar. Untuk melakukan pengukuran orientasi strike dan dip pada kekar dapat menggunakan Pocket Transit, yang didirikan pada tahun 1895 oleh David W Brunton, seorang ahli geologi dan insinyur pertambangan kelahiran kanada. pembobotan orientasi kekar dapat dilihat pada tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4

RMR – B Peubah Bobot Orientasi Kekar

Jurus & kemiringan orientasi kekar Sangat menguntung kan

Menguntngkan Sedang Tidak

menguntungka n Sangat tidak Menguntun gkan B o b o t Terowongan 0 -2 -5 -10 -12 Fondasi 0 -2 -7 -15 -25 Lereng 0 -5 -25 -50 -60

Sumber: Made A.R dan Suseno K, 2011

Setelah dilakukan pembobotan orientasi kekar, selanjutnya menganalisis kelas massa batuan menurut bobot total batuan. Untuk menganalisis kelas massa batuan dengan bobot total batuan dapat dilihat pada tabel 2.5 di bawah ini.

Tabel 2.5

RMR – C Kelas Massa Batuan Menurut Bobot Total

Bobot 100-80 80-61 60-41 40-21 <20

No. Kelas I II III IV V

Description Batuan sangat baik

Batuan baik Batuan sedang Batuan buruk Batuan sangat Buruk Sumber: Made A.R dan Suseno K, 2011

Selanjutnya menganalisis kelas batuan untuk mendapatkan kohesi dan sudut geser dalam, hal ini ditunjukan pada tabel 2.6 di bawah ini.

Tabel 2.6

RMR – D Arti Kelas Massa Batuan

No. Kelas I II III IV V

Stand up time rata-rata 20 th. Untuk 10 m span 1 th. Untuk 10 m span 1 minggu untuk 5 m span 10 jam untuk 2.5 m span 30 min untuk 1 m span

Kohesi massa batuan >400 300-400 200-300 100-200 <100 Sudut gesek dalam >450 350-450 250-350 150-250 <150

Sumber: Made A.R dan Suseno K, 2011 2.1.5 Uji Sifat Fisik Batuan

Sifat fisik batuan yang ditentukan untuk kepentingan penelitian geoteknik antara lain bobot isi asli (natural density), bobot isi kering (dry density), bobot isi jenuh (saturated densuty), berat jenis semu (apparent specific grafity), berat jenis sejati (true specific grafity), kadar air asli (natural water content), kadar air jenuh (absorption), derajad kejenuhan, porositas (n), dan void ratio (e).

Uji sifat fisik berguna sebagai data pendukung dari batuan yang akan di uji. Apabila hasil dari uji sifat fisik batuan yang di uji menunjukkan ketidakseragaman, hal ini menjadi indikasi tidak meratanya kekuatan batuan, atau dengan kata lain batuan yang diuji sangat bervariasi (heterogen).

2.1.6 Faktor Keamanan Lereng

Faktor keamanan dapat dinyatakan dengan FK yang memberikan gambaran nilai suatu lereng, menurut bowles 1989 (Teguh Samudera Paramesywara, 2014) FK dikategorikan dalam 3 jenis seperti pada tabel 2.7 yaitu:

Tabel 2.7

Hubungan nilai faktor keamanan lereng dan intensitas longsor Nilai faktor keamanan Kejadian / intensitas longsor

FK < 1,07 Longsor terjadi sering

(lereng labil) 1,07 < FK < 1.25 Longsor pernah terjadi

(lereng kritis)

FK > 1,25 Longsor jarang terjadi

(lereng relatif stabil) Sumber: Paramesywara.T.S, 2014

1. Analisis Nilai Faktor Keamanan Menggunakan Bantuan Software Slide V.6.0

Pemograman ini dibutuhkan data-data mengenai sifat massa batuan secara umum yang terdiri dari berat jenis, berat jenis jenuh, takanan pori, dan koefisien getaran gempa. Selain itu, juga diperlukan data-data lainnya, tetapi bergantung pada kriteria kekuatan apa yang digunakan.

Dengan menggunakan kriteria kekuatan mohr-coulomb diperlukan data kohesi, sudut geser dalam dan bobot isi untuk mencari faktor keamanan lereng. Kemudian menggunakan Metode Spencer untuk mengetahui faktor keamanan dari lereng.

Adapun langkah untuk mengoperasikan software slide.v.6.0 sebagai berikut: a. Membuat nama file baru

Setelah aplikasi software slide.v.6.0 dibuka langkah pertama adalah membuat nama file baru, kemudian mengambil gambar dalam format dxf melalui langkah file- importimport dxf, stelah itu kita harus mengimpor eksternal boundry atau batas paling luar dari section yang dianalisis,

kemudian impor material boundry, material boundry adalah batas antara material tersebut. Dalam sebuah lereng bisa terdapat beberapa jenis material. Tampilan setelah external boundry dan material boundry diimpor dapat dilihat pada gambar 2.13 dan gambar 2.14

Dokumen terkait