• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian tentang analisis pendapatan usahatani kentang pernah dilakukan sebelumnya, akan tetapi memiliki perbedaan waktu dan tempat penelitian. Peneliti mengambil beberapa penelitian yang terkait dengan topik penelitian, dengan mengkaji dan melihat alat analisis yang digunakan dalam penelitian terdahulu. Hal ini bertujuan untuk melihat pebandingan antara penelitian terdahulu dan penelitian ini, sehingga dapat menunjukkan adanya persamaan, kaunggulan, dan kelemahan dalam penelitian.

Penelitian mengenai Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kentang yang dilakukan oleh Amirulsamsi (2010), menunjukkan hasil analisis struktur biaya usahatani kentang dan pendapatan rumahtangga petani kentang, didapatkan bahwa biaya tunai usahatani lebih banyak dikeluarkan oleh petani penyewa lahan dibandingkan petani pemilik lahan. Proporsi biaya tunai terbesar baik petani pemilik lahan maupun petani penyewa lahan berasal dari pengadaan sarana produksi benih, pupuk, fungisida, dan tenaga kerja. Proporsi biaya yang diperhitungkan (non tunai) lebih banyak dikeluarkan oleh petani pemilik lahan dibandingkan dengan petani penyewa lahan, dimana proporsi biaya non tunai terbesar berasal dari pengadaan benih dan tenaga kerja dalam keluarga. Total biaya yang dikeluarkan oleh petani penyewa lahan lebih besar dibandingkan petani pemilik lahan. Pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani penyewa lahan lebih besar dibandingkan petani pemilik lahan, sehingga memiliki R/C rasio atas biaya total lebih besar. Sumber pendapatan non usahatani kentang baik petani pemilik lahan maupun petani penyewa lahan pada musim tanam memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan rumahtangga petani kentang.

Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani kentang adalah harga kentang, biaya pupuk, biaya tenaga kerja bukan keluarga, dan produktivitas. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani kentang adalah biaya benih, biaya obat, biaya angkut, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani kentang, dan status kepemilikan lahan.

17 Penelitian mengenai Pengaruh Kemitraan Terhadap Produktivitas Dan Pendapatan Usahatani Kentang yang dilakukan oleh Rian Stiandy (2011). Besarnya penerimaan yang diterima petani kentang sangatlah beragam sesuai dengan hasil panen dan harga pasar yang ditentukan. Fluktuasi harga pasar sangat menentukan penerimaan yang diterima petani, khususnya petani non mitra. Petani non mitra dapat menjual hasil kentang berkisar Rp 2.500 sampai Rp 7.000 untuk setiap kilogramnya. Selain menjual hasil panen berupa kentang, petani non mitra dapat menjual kentang hasil kentang sisa berukuran kecil atau sedang yang dapat dibenihkan kembali. Nilai kentang yang dapat dibenihkan kembali tersebut jika dinominalkan antara Rp 3.000 sampai Rp 8.000 untuk setiap kilogramnya, tergantung permintaan dan besarnya kentang. Petani mitra dan perusahaan menetapkan pembentukan harga sesuai dengan kesepakatan. Dalam setahun terdapat perbedaan harga jual terhadap petani mitra. Harga jual yang didapat petani mitra yaitu Rp 4.000, Rp 4.200, dan Rp 4.900.

Total penerimaan yang didapat petani mitra dan non mitra sangatlah berbeda. Menurut hasil perhitungan total penerimaan petani mitra sebesar Rp 305.153.333 per hektar, dengan jumlah rata-rata Rp 27.741.213 per hektar. Perbedaan yang sangat tinggi dengan penerimaan petani non mitra yaitu sebesar Rp 909.649.998 dengan jumlah penerimaan rata-rata Rp 56.853.124 per hektar. Penerimaan petani non mitra lebih besar dibandingkan dengan petani mitra.

Rasio penerimaan atas biaya menunjukan berapa besar penerimaan yang akan diperoleh dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam produksi usahatani, artinya bahwa analisis ini dapat diketahui apakah usahatani yang dilakukan menguntungkan atau tidak. Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa pendapatan petani non mitra lebih besar dibandingkan petani mitra. Bahkan jika dilihat dari nilai R/C petani mitra menunjukan kurang dari satu yang artinya penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari tiap unit biaya yang dikeluarkan atau dapat dikatakan usahatani kentang yang dilakukan petani mitra sedang tidak menguntungkan. Hal ini dikarenakan kendala yang dialami petani mitra mulai dari benih yang kurang baik, pergantian manajemen yang berbeda seperti sebelumnya dan jadwal kegiatan usaha tidak tepat waktu menyebabkan kerugian pada petani.

18 Berbeda dengan pendapatan yang didapat oleh petani non mitra dilihat dari besarnya R/C rasio petani non mitra sebesar 1,73 R/C atas biaya tunai dan 1,5 R/C atas biaya total. Hal ini berarti usahatani yang dilakukan petani non mitra menguntungkan. Produktivitas yang tinggi dan harga yang sedang bagus membuat hasil penerimaan yang didapat petani non mitra lebih menguntungkan. Dari data di atas maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai R/C, usahatani kentang petani non mitra lebih menguntungkan daripada petani mitra.

Pengaruh kemitraan terhadap produktivitas dapat dihitung dengan cara regresi berganda. Hasil perhitungan regresi berganda menunjukan bahwa kemitraan berpengaruh nyata terhadap produktivitas dengan nilai t-hitung mutlak lebih besar dari t-tabel yaitu 3,853. Berdasarkan p-value sebesar 0,001 dapat disimpulkan juga bahwa dengan taraf 20 persen variabel kemitraan berpengaruh nyata terhadap produktivitas. Pada musim tanam 2010-2011 berdasarkan perhitungan analisis regresi berganda, kemitraan yang berlangsung memiliki nilai koefisien negatif dengan nilai -10883,800 yang artinya bahwa artinya jika petani kentang menjalin kemitraan maka produktivitasnya akan semakin berkurang sebesar 10.883,800 kilogram perhektar atau 10,88 ton perhektar. Berdasarkan temuan yang ada di lapangan alasan yang muncul dari petani mitra bahwa kerugian musim tanam tahun 2010-2011 dikarenakan kendala manajemen, benih, cuaca dan harga jual. Penelitian mengenai pendapatan usahatani dan pengembangan benih kentang bersetifikat di Harry Farm yang dilakukan oleh Al Haris (2007), menunjukkan bahwa usahatani benih kentang G3 lebih besar dibandingkan dengan benih kentang G4, karena jumlah fisik yang dihasilkan persatuan luas benih kentang G3 lebih besar. Pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total yang dihasilkan dari usahatani benih kentang G3 di Harry Farm adalah sebesar Rp 55.148.625 dan Rp 24.083.625. Nilai pendapatan tersebut menunjukkan bahwa usahatani benih kentang G3 menguntungkan. Selain dilihat dari pendapatan, dari segi efisiensi nilai R/C atas biaya tunai sebesar 2,31 dan nilai R/C atas biaya total sebesar 1,33. Berdasarkan hasil tersebut maka usahatani benih kentang di Harry Farm dinyatakan efisien, karena R/C memiliki nilai lebih dari satu.

Pendapatan atas biaya tunai dan biaya total yang dihasilkan dari usahatani benih kentang G4 di Harry Farm adalah sebesar Rp 43.948.920 dan Rp 17.973.920.

19 Nilai pendapatan tersebut menunjukkan bahwa usahatani benih kentang G4 menguntungkan. Selain dilihat dari pendapatan, dari segi efisiensi nilai R/C atas biaya tunai sebesar 2,05 dan nilai R/C atas biaya total sebesar 1,26. Berdasarkan hasil tersebut maka usahatani benih kentang di Harry Farm dinyatakan efisien, karena R/C memiliki nilai lebih dari satu.

Penelitian mengenai usahatani telah banyak dilakukan seperti yang telah dilakukan oleh Hendrawanto (2008) dan Siregar (2008), dimana keduanya menganalisis tentang usahatani cabai merah di daerah yang berbeda yaitu di Desa Sukagalih Kabupaten Bogor dan di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua Bogor. Alat analisis yag digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis R/C. Hasil analisis pendapatan usahatani yang dilakukan menunjukkan secara garis besar adalah sama, dimana kegiatan usahatani cabai merah dapat memberikan keuntungan bagi petani.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendrawanto (2008) menunjukkan bahwa usahatani cabai merah petani per 2.080 meter persegi di Desa Sukagalih menghasilkan penerimaan total Rp 12.393.734,32 dengan biaya tunai yang dikeluarkan sebesar Rp 4.793.752,22 dan biaya total sebesar Rp 7.820.121,49. Sehingga pendapatan petani yang diterima yaitu sebesar Rp 4.597.870,97 maka diperoleh nilai R/C atas biaya tunai sebesar 2,59 dan R/C atas biaya total sebesar 1,59. Hasil penelitian Siregar (2008) menunjukkan bahwa, nilai R/C usahatani cabai merah organik lebih tinggi jika dibandingkan nilai R/C pada cabai merah non organik, hal ini dekarenakan terdapat perbedaan harga yang diterima petani organik lebih besar dibandingkan petani cabai non organik.

Harga cabai organik lebih besar bila dibandingkan dengan harga cabai non organik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan untuk cabai merah non organik dengan luas lahan 1 Ha menghasilkan penerimaan Rp 78.000.000 dengan biaya tunai yang dekeluarkan sebesar Rp 18.827.500 dan biaya total sebesar Rp 52.634.166. Sehingga pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh yaitu sebesar Rp 59.172.500 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 52.365.834, maka diperoleh nilai R/C atas biaya tunai sebesar 4,14 dan R/C atas biaya total sebesar 3,04. Sedangkan untuk cabai merah organik dengan luasan lahan 1 Ha menghasilkan penerimaan sebesar Rp 176.000.000 dengan biaya tunai yang

20 dikeluarkan sebesar Rp 26.841.000 dan biaya total sebesar Rp 38.069.666 sehingga pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh yaitu sebesar Rp 149.159.000 dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp 137.930.334, maka diperoleh R/C atas biaya tunai sebesar 6,56 dan R/C untuk biaya total sebesar 4,62.

Penelitian yang menganalisis mengenai pendapatan usahatani komoditas sayuran dilakukan oleh Nadhwatunnaja (2008) dan Sujana (2010). Hasil penelitian Sujana (2010) menunjukkan bahwa penerrimaan yang diterima oleh petani tomat anggota kelompok tani adalah Rp 93.408.741 sedangkan total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 65.079.497, sehingga pendapatan atas biaya total sebesar Rp 28.329.244 maka nilai R/C atas biaya total yang diperoleh yaitu sebesar 1,44. Untuk petani tomat non anggota kelompok tani, memperoleh penerimaan sebesar Rp 90.541.310 dan total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 69.776.249, sehingga pendapatan atas abiaya total sebesar Rp 20.765.060 sehingga menghasilkan R/C atas biaya total sebesar 1,30.

Hasil penelitian Nadhwatunnaja (2008) menunjukkan bahwa pendapatan petani paprika hidroponik anggota Koptan Mitra Sukamaju lebih tinggi dibandingkan petani non anggota petani paprika hidroponik yaitu dengan pendapayan atas biaya tunai dan biaya total petani anggota Koptan Mitra Sukamaju masing-masing sebesar Rp 19.638.972,12 dan Rp 7.916.973,12. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani non anggota masing-masing sebesar Rp 15.943.192,79 dan Rp 4221.192,79. Begitu juga dengan nilai R/C , nilai R/C pada petani anggota Koptan Mitra Sukamaju lebih tinggi dibandingkan dengan non anggota, yaitu dengan nilai R/C atas biaya tunai petani adalah 1,74 dan nilai R/C atas biaya total 1,21. Sedangkan nilai R/C petani non anggota atas biaya tunai adalah 1,62 dan nilai R/C untuk biaya total adalah 1,11.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Gilda. F (2008) menganalisis tentang pendapatan usahatani padi sawah menurut sistem mina padi dan non mina padi (kasus Pada Desa Tapos 1, Tapos 2, dan Tapos 3 di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor). Tujuan penilitian ini adalah ingin mengkaji keragaan usahatani padi sawah, menganalisis perbandingan antara pendapatan usahatni padi, dan menganalisis perbandingan antara pendapatan usahatani padi sistem

21 mina padi dan non mina padi (R/C). alat analisis yang digunakan adalah analisis biaya, analisis pendapatan usahatani, analisis profitabilitas.

Hasilnya adalah sistem usaha tani padi sawah tapos 1 secara umum hampir sama yaitu cenderung ke mina padi pembenihan, karena hasil panen cenderung dijadikan benih bagi usaha perikanan. Irigasi yang melimpah petani padi sawah minimal dalam penanamannya satu kali dalam setahun, jika air melimpah dan stabil maka petani akan memelihara ikan di dawah. Benih yang digunakan adalah IR 64 dinilai memiliki karakteristik benih yang baik di sawah karena produktifitasnya tinggi, pemanenan yang relatif cepat dan tahan terhadap serangan hama. Benih padi varietas ciherang menempati urutan kedua dalam produktifitasnya, dengan berkonsentrasi pada varietas tersebut pemerintah dapat meningkatkan kuantitas padidengan masa tanam yang relatif singkat, jika penggunaan benih dibarengi dengan penerapan system dengan baik maka dapat lebih memperkuat ketahanan pangan dimasa yang akan dating.

Analisis pendapatan usahatani padi petani mina padi pendapatan kotornya Rp 7.917.265,01 dan pendapatan bersihnya Rp 5.069.663,91 sedangkan petani non mina padi pendapatan kotornya Rp 5.393.098,12 dan pendapatan bersihnya Rp 4.375.727,33 lebih kecil dari petani mina padi. Dengan produktifitasnya yang rendah padi sawah mina padi bias lebih memaksimalkan dibandingkan petani non mina padi dengan pendapatan kotornya Rp 3.209.500,31 dan pendapatan bersihnya Rp 2.3611.899,20 sedangkan petani non mina padi pendapatan kotornya Rp 3.816.557,36 dan pendapatsn bersihnya Rp 2.799.186,57,untuk kedua system pengusahaan padi terjadi penurunan namun untuk system mina padi penurunan pendapatannya drastis dibandingkan non mina padi.

Penelitian mengenai analisis usahatani kentang pernah dilakukan oleh Amirulsamsi pada tahun 2010 di Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung dan Al Haris (2007) di Harry Farm, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Persamaan penilitian terdahulu dengan penilitian yang dilakukan oleh penulis yaitu menganalisis mengenai pendapatan dan efisiensi usahatani. Alat analisis yang digunakan berupa analisis pendapatan dan analisis R/C rasio. Perbedaan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Amirulsamsi menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani dan yang

22 dilakukan Al Haris menganalisis pengembangan usahatani, sedangkan penulis menganalisis uji beda dengan menggunakan uji anova.

23

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

Dokumen terkait