• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumen

Istilah “konsumen” pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Shidarta 2004). Selanjutnya Sumarwan (2004) menyatakan bahwa istilah konsumen dibedakan menjadi dua jenis yaitu konsumen individu dan konsumen organisasi. Konsumen individu membeli barang atau jasa untuk digunakan sendiri, sedangkan konsumen organisasi meliputi organisasi bisnis, yayasan, lembaga sosial, kantor pemerintahan dan lembaga lainnya. Organisasi membeli produk peralatan dan jasa-jasa lainnya untuk menjalankan seluruh kegiatan organisasi.

Karakteristik Konsumen Usia dan Jenis Kelamin

Konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi barang atau jasa yang berbeda. Perbedaan usia juga mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek. Siklus hidup seorang konsumen ditentukan oleh usianya. Sejak lahir ke dunia, seorang manusia telah menjadi konsumen. Ia terus menjadi konsumen dengan kebutuhan yang berbeda sesuai dengan usianya. Perbedaan jenis kelamin juga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen (Sumarwan 2004).

Pendidikan dan Pekerjaan

Menurut Sumarwan (2004), pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh seorang konsumen. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi nilai-nilai, cara berpikir, cara pandang bahkan persepsi yang dianut oleh seorang konsumen terhadap suatu masalah. Konsumen yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan sangat responsif terhadap informasi.

Pendidikan juga mempengaruhi konsumen dalam pemilihan barang/jasa dan merek. Pendidikan yang berbeda akan menyebabkan selera yang berbeda

(Sumarwan 2004). Menurut Kasmir (2006), konsumen yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) memiliki pola pikir yang berbeda dalam memilih barang/jasa dengan lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sarjana. Selain itu, pelanggan yang memiliki pendidikan sarjana lebih bersikap kritis terhadap apa yang akan dibeli.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991), pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar, berlangsung terus menerus, sistematis dan terarah yang bertujan untuk mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada setiap individu yang terlibat didalamnya. Pendidikan formal merupakan segala sesuatu (proses belajar-mengajar) yang diupayakan untuk mengubah segenap tindakan seseorang.

Pendapatan

Menurut Kotler (1993) pilihan terhadap suatu barang/jasa akan sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi seseorang. Keadaan ekonomi terdiri dari pendapatan yang dapat dibelanjakan (tingkat, stabilitas dan polanya), tabungan dan hartanya (termasuk persentase yang mudah dijadikan uang), kemampuan untuk meminjam, dan sikap terhadap mengeluarkan lawan menabung. Pendapatan adalah sumber daya material yang sangat penting bagi konsumen. Pembelian berhubungan erat dengan pendapatan (Engel, Blackwell dan Miniard 1994). Jumlah pendapatan menggambarkan besarnya daya beli seorang konsumen. Daya beli akan menggambarkan banyaknya barang/jasa yang dapat dibeli dan dikonsumsi oleh seorang konsumen dan seluruh anggota keluarganya (Sumarwan 2004).

Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan barang/jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi (Sumarwan 2004). Perilaku konsumen mencangkup beberapa aspek, diantaranya ialah:

Proses Pengambilan Keputusan Konsumen

Suatu keputusan merupakan pemilihan satu atau pilihan alternatif. Terdapat tiga tipe pengambilan keputusan konsumen yaitu pemecahan masalah yang diperluas (extensive problem solving), pemecahan masalah terbatas (limited

problem solving) dan pemecahan masalah rutin (routinized response behavior)

(Schiffman dan Kanuk 2004). Ketika konsumen tidak memiliki kriteria untuk mengevaluasi sebuah kategori barang/jasa atau merek tertentu pada kategori tersebut, atau tidak membatasi jumlah merek yang akan dipertimbangkan ke dalam jumlah yang mudah dievaluasi, maka proses pengambilan keputusannya bisa disebut sebagai pemecahan masalah yang diperluas.

Lebih lanjut Schiffman dan Kanuk menyatakan bahwa pada keputusan pemecahan masalah terbatas, konsumen biasanya telah memiliki kriteria dasar untuk mengevaluasi kategori barang/jasa dan berbagai merek pada kategori tersebut. Namun, konsumen belum memiliki preferensi tentang merek tertentu. Pada pemecahan masalah rutin, konsumen telah memiliki pengalaman terhadap barang/jasa yang akan dibelinya. Konsumen juga telah memiliki standar untuk mengevaluasi merek. Keputusan membeli atau mengkonsumsi suatu barang/jasa dengan merek tertentu akan diawali dengan langkah-langkah sebagai berikut: pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, dan evaluasi alternatif (Sumarwan 2004).

Proses Pembelian

Pembelian meliputi keputusan konsumen mengenai apa yang dibeli, apakah membeli atau tidak, kapan membeli, dimana membeli, dan bagaimana cara membayarnya. Menurut Engel et al. (1995), pembelian yang dilakukan konsumen bisa digolongkan ke dalam tiga macam yaitu pembelian yang terencana sepenuhnya, pembelian yang separuh terencana dan pembelian yang tidak terencana.

Konsumsi

Tahap keempat dari proses keputusan adalah konsumsi. Setelah konsumen membeli atau memperoleh barang/jasa, biasanya akan diikuti oleh proses konsumsi. Istilah konsumsi memiliki arti yang sangat luas dan terkait dengan jenis

atau kategori barang/jasa yang dibeli atau dipakai. Misalnya untuk produk makanan atau minuman, maka konsumsi diartikan dimakan dan diminum, untuk pakaian, perhiasan dan kosmetik konsumsi diartikan untuk dipakai (Sumarwan 2004).

Kepuasan

Kepuasan didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan serta bekerja seperti yang diharapkan. Ketidakpuasan adalah hasil dari harapan yang diteguhkan secara negatif (Engel et al. 1995). The expectancy disconfirmation

model adalah teori yang menjelaskan bagaimana kepuasan dan ketidakpuasan

konsumen terbentuk. Kepuasan dan ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara harapan konsumen sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh konsumen dari barang/jasa yang dibeli. Model diskonfirmasi harapan dari kepuasan menurut Mowen dan Minor (2002) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Model diskonfirmasi harapan dari kepuasan.

Berdasarkan model diskonfirmasi harapan Richard Oliver dalam Engel et al. (1995), konsumen melakukan pembelian dengan harapan bagaimana barang/jasa akan benar-benar bekerja begitu digunakan. Tiga jenis harapan yang dapat diidentifikasi adalah :

Pengalaman Barang/Jasa dan Merek

Harapan Mengenai Merek Seharusnya

Berfungsi

Evaluasi Mengenai Fungsi Merek yang Sesungguhnya

Evaluasi Gap Antara Harapan dan yang

Sesungguhnya

Ketidakpuasan Emosional: Merek Tidak

Memenuhi Harapan

Konfirmasi Harapan: Fungsi Merek Tidak Berbeda dengan

Harapan

Kepuasan Emosional Fungsi Merek Melebihi

1. Kinerja yang wajar yaitu suatu penilaian yang mencerminkan kinerja yang harus diterima dengan biaya dan usaha yang dicurahkan untuk pembelian dan pemakaian;

2. Kinerja yang ideal yaitu tingkat kinerja “ideal” yang optimum atau diharapkan; dan

3. Kinerja yang diharapkan yaitu bagaimana kemungkinan kinerja nantinya. Kotler (1993) menyatakan bahwa kepuasan pembelian merupakan fungsi dari dekatnya antara harapan pembelian tentang barang/jasa dan kemampuan dari barang/jasa tersebut. Bila barang/jasa jauh dibawah harapan pelanggan, maka pelanggan akan kecewa, bila barang/jasa tersebut memenuhi harapan maka pelanggan merasa puas dan bila melebihi harapannya maka pelanggan merasa sangat senang. Perasan-perasaan ini mengakibatkan perbedaan mengenai apakah pelanggan membeli barang/jasa itu kembali dan menyampaikan perasaan senang atau tidak senangnya tentang barang/jasa tersebut kepada orang lain.

Lebih lanjut Kotler menyatakan bahwa konsumen membentuk pengharapan-pengharapan berdasarkan pada pesan-pesan yang diterima dari penjual, teman, dan sumber-sumber informasi lainnya. Apabila penjual melebih-lebihkan manfaat yang akan diterima, konsumen akan mengalami pengharapan yang tidak terpenuhi dan akan mengakibatkan ketidakpuasan. Makin besar kesenjangan antara pengharapan dan kemampuan barang/jasa yang sebenarnya, makin besar ketidakpuasan konsumen. Dalam hal ini gaya pemecahan masalah dari konsumen akan ikut memainkan peran. Beberapa konsumen memperbesar kesenjangan tersebut bila barang/jasa tidak sempurna dan menjadi sangat tidak puas, sedangkan konsumen lainnya memperkecil kesenjangan sehingga rasa tidak puas akan berkurang.

Permasalahan menyangkut kegagalan item, pelayanan tidak memadai dan ketenagakerjaan akan lebih sering muncul sebagai permasalahan dari keadaan sebenarnya (Kotler dan Andreasen 1995). Berdasarkan barang/jasa yang digunakan, terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas barang/jasa. Masing-masing kriteria didasarkan pada dimensi yang diteliti yakni dimensi kualitas barang dan jasa. Menurut Mowen dan Minor (2002), ada delapan kriteria dimensi kualitas barang dan lima kriteria kualitas jasa, yaitu:

A. Dimensi Kualitas Barang

1. Kinerja, yaitu kinerja utama dari karakteristik pengoperasian; 2. Fitur, yaitu karakteristik tambahan dari barang/jasa;

3. Reliabilitas, yaitu probilitas kerusakan atau ketidakberfungsian barang/jasa; 4. Daya tahan, yaitu umur suatu barang/jasa;

5. Pelayanan, yaitu mudah dan cepat diperbaiki suatu barang/jasa jika terjadi kerusakan;

6. Estetika, yaitu bagaimana barang/jasa mudah dilihat, dirasakan dan didengar;

7. Sesuai dengan spesifikasi, yaitu kesesuaian suatu barang/jasa dengan spesifikasi yang ditawarkan; dan

8. Kualitas penerimaan, yaitu seberapa jauh pengaruh image merek dan faktor-faktor yang tidak berwujud dalam mempengaruhi persepsi konsumen mengenai kualitas barang/jasa.

B. Dimensi Kualitas Jasa

1. Berwujud, yaitu termasuk fasilitas fisik, peralatan dan penampilan perorangan;

2. Reliabilitas, yaitu kemampuan atau keterhandalan suatu pelayanan yang disediakan untuk melayani konsumen;

3. Tanggapan, yaitu pemberian pelayanan yang tanggap dan cepat untuk konsumen;

4. Jaminan, yaitu pengetahuan dan etika pegawai serta kemampuan dalam membangkitkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan; dan

5. Empati, yaitu kepedulian akan kemampuan pegawai dan perhatian individu. Berdasarkan teori atribusi dalam Engel et al. (1995), ada tiga dasar yang digunakan untuk menggolongkan dan memahami mengapa suatu barang/jasa tidak bekerja sebagaimana mestinya, yaitu:

1. Stabilitas, apakah sebab-sebabnya sementara atau permanen;

2. Lokus, apakah sebab-sebabnya berhubungan dengan konsumen atau pemasar; dan

3. Keterkendalian, apakah sebab-sebab ini berada dibawah kendali kemauan atau dibatasi oleh faktor luar yang tidak dapat dipengaruhi.

Pengaduan (Complaint)

Kata complaint atau pengaduan berasal dari bahasa latin “plangere”. Kata

complaint diartikan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan atau sesuatu yang

mengganggu (Irawan 2002). Menurut Suryana (2007), pelanggan yang mengadu merupakan pelanggan yang loyal dan akan tetap menjadi pelanggan yang loyal (dan bermakna) jika pengaduannya ditangani dengan baik. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 4, ada sembilan hak–hak konsumen yang penting untuk diketahui (Shidarta 2004) yaitu:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan pengaduannya atas barang dan atau jasa yang digunakkan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan atau penggantian jika barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.

Perilaku Pengaduan Konsumen

Kepuasan atau ketidakpuasan konsumen pada suatu barang/jasa akan mempengaruhi tingkah laku berikutnya. Jika konsumen merasa puas, maka ia akan memperlihatkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli barang/jasa kembali, sedangkan seorang konsumen yang tidak puas akan bereaksi secara

berbeda. Konsumen yang tidak puas akan berusaha mengurangi ketidakpuasannya, dengan kodrat manusia untuk menciptakan keserasian, konsistensi dan keselarasan diantara pendapat, pengetahuan dan nilai-nilai di dalam dirinya (Kotler 1993).

Perilaku pengaduan konsumen adalah semua tindakan konsumen yang berbeda bila tidak puas dengan suatu pembelian (Mowen dan Minor 2002). Perilaku pengaduan akibat ketidakpuasan konsumen terjadi setelah konsumen mengalami barang/jasa. Bentuknya bermacam-macam seperti berkurangnya pembelian ulang, peralihan merek, word of mouth yang negatif dan sebagainya (Umar 2003). Selanjutnya menurut Engel et al. (1995), ketidakpuasan menyebabkan pengaduan, komunikasi lisan yang negatif dan upaya untuk menuntut ganti rugi melalui sarana hukum. Beberapa kategori bentuk-bentuk ketidakpuasan konsumen, adalah:

1. Respon suara, misalnya meminta ganti rugi dari penjual; 2. Respon pribadi, misalnya komunikasi lisan yang negatif; dan 3. Respon pihak ketiga, misalnya mengambil tindakan hukum.

Bentuk komunikasi yang sering digunakan oleh beberapa orang dalam mengkomunikasikan pengaduannya adalah komunikasi lisan yang negatif. Berdasarkan hasil penelitian di luar negeri, apabila konsumen tidak puas, konsumen akan menceritakan kepada 8-12 orang. Di Indonesia berdasarkan hasil survei dari Frontier menunjukkan bahwa pelanggan yang puas dan pelanggan yang tidak puas, akan menceritakan kepada pelanggan hampir sama banyaknya (Irawan 2002).

Menurut Kotler (1993), konsumen yang tidak puas akan mengambil satu atau dua tindakan. Misalnya dengan mengurangi ketidakcocokan dengan meninggalkan atau mengembalikan barang/jasa tersebut, atau berusaha mengurangi ketidakcocokan dengan mencari informasi yang mungkin mengkonfirmasikan barang/jasa tersebut sebagai bernilai tinggi (atau menghindari informasi yang mengkonfirmasikan barang/jasa tersebut sebagai bernilai rendah). Konsumen memiliki pilihan antara melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan.

Lebih lanjut Kotler menyatakan bahwa bila konsumen melakukan tindakan, dapat dibuktikan dengan tindakan bersama (masyarakat) atau tindakan pribadi. Tindakan bersama dengan mengadu kepada perusahaan, mendatangi pengacara, mengadu pada kelompok-kelompok lain yang dapat membantu mengurangi ketidakpuasan seperti organisasi-organisasi usaha pribadi atau pemerintah. Selain itu, pembeli dapat menghentikan pembelian terhadap barang/jasa tersebut yaitu dengan memanfaatkan hak untuk keluar (exit option). Alternatif lain adalah konsumen mungkin memilih menggunakan hak suara (voice option: menyebarkan kesan buruk yang diterimanya).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pengaduan

Biasanya jenis orang yang mengadu dan menuntut ganti rugi cenderung terdapat pada orang yang berusia muda dengan penghasilan dan pendidikan lebih tinggi dari rata-rata. Sejalan dengan hal tersebut, biasanya orang yang mengadu lebih positif mengenai aktivitas konsumerisme, lebih menyukai gaya hidup yang memperhatikan perbedaan dan individualitas, dan memiliki sedikit keraguan dalam membiarkan masalahnya diketahui serta umumnya tidak menyimpan masalah untuk diri sendiri dan cenderung terbuka (Engel et al. 1995). Hasil riset membuktikan bahwa pengkritik yang “vokal” berasal dari kelas sosial tinggi (Kotler dan Andreasen 1995).

Lebih dari setengah orang yang mengadu membagi pengalaman dengan teman dan kerabat, dan hal ini menunjukkan bahwa komunikasi lisan dapat menimbulkan pengaruh besar pada perilaku pembelian orang lain (Engel et al. 1995). Karakteristik konsumen, karakteristik produk dan karakteristik proses mempengaruhi perilaku penyampaian pengaduan pada konsumen (Mowen dan Minor 1998 diacu dalam Dhamayanti 2003). Selanjutnya Sumarwan (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik konsumen adalah pengetahuan dan pengalaman konsumen, kepribadian konsumen dan karakteristik demografi. Konsumen akan menyampaikan pengaduan terutama untuk barang/jasa yang mahal, sering digunakan dan memiliki umur pakai yang panjang (Phau dan Sari 2004).

Selanjutnya banyak perusahaan, terutama perusahaan jasa menawarkan saluran yang memudahkan pelanggan untuk mengajukan pengaduan seperti

fasilitas free-call atau biasa dikenal dengan saluran 0-800 (Irawan 2002). Menurut Kotler dan Andreasen (1995), suatu organisasi yang peka (responsif) akan memberi kemudahan bagi kliennya untuk mengajukan kritik apabila tidak puas atas pelayanan yang diterima. Hal ini menjadi sangat mudah bagi pelanggan untuk menyampaikan pengaduan dan ada berbagai faktor tambahan yang menentukan apakah suatu pengaduan yang dialami konsumen akan diajukan atau tidak, (Engel

et al. 1995) antara lain:

1. Signifikansi dan peristiwa konsumsi—kepentingan barang/jasa, harga, visibilitas sosial dan waktu yang diperlukan dalam konsumsi;

2. Pengetahuan dan pengalaman—banyaknya pembelian sebelumnya, pengetahuan tentang barang/jasa, persepsi mengenai kemampuan sebagai konsumen dan pengalaman pengaduan sebelumnya;

3. Kesulitan menuntut ganti rugi—waktu, gangguan pada kegiatan rutin dan biaya; dan

4. Peluang keberhasilan dalam mengajukan pengaduan.

Menurut Pieris dan Widiarty (2007), ada beberapa hal yang melandasi keenganan dan ketidakritisan konsumen Indonesia dalam mempertanyakan barang/jasa yang dikonsumsinya:

a. Belum dapat diterapkannya norma-norma perlindungan di Indonesia; dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang relatif masih belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat;

b. Praktek peradilan di Indonesia yang tidak sederhana, kurang cepat dan biaya yang tidak ringan; dan

c. Sikap menghindari konflik, meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pengusaha atau perusahaan.

Tanggapan Perusahaan terhadap Pengaduan Konsumen

Pelanggan yang mengadu menunjukkan bahwa pelanggan tersebut masih memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk memberikan kepuasan kepada pelanggannya. Menurut Irawan (2002), ada dua kata kunci dalam menyelesaikan pengaduan konsumen yaitu kecepatan penanganan dan penyelesaian masalah yang diadukan. Penanganan setiap pengaduan dilakukan melalui suatu sistem. Langkah

pertama dalam pembuatan sistem adalah dengan mengelompokkan jenis masalah yang dihadapi pelanggan. Setiap masalah harus jelas petunjuk penyelesaian pengaduan, kemudian diadakan standar pelayanan pengaduan yang meliputi tanggung jawab perusahaan dan proses penanganannya.

Setiap pengaduan yang disampaikan oleh para pelanggan disambut dengan ucapan terima kasih oleh front-line staff dari produsen barang/jasa tersebut. Kata kedua dalam menangani pengaduan ialah “maaf”. Pengucapan kata “maaf” diucapkan setelah front-line staff atau bagian customer service mengatakan kata “terima-kasih”. Pada umumnya, pengunaan kedua kata ini diharapkan dapat meredakan emosi pelanggan. Penanganan pengaduan akan lebih efektif apabila

front-line staff mampu mencari informasi dari pelanggan. Hal ini menjadi dasar

produsen untuk memperbaiki standar layanan atau langkah-langkah perbaikan secara internal dimasa mendatang (Irawan 2002).

Sampai pada tingkat tertentu, semua organisasi dinilai dari kemampuannya menanggapi suatu kejadian dengan cepat. Hal ini dapat dilihat dari kecepatan menyadari adanya kebutuhan pelanggan pada kesempatan pertama dan kemampuan mengadakan layanan yang sempurna (Armistead dan Clark 1999 diacu dalam Dhamayanti 2003). Waktu adalah faktor penting dan sangat menentukan dalam penyelesaian pengaduan. Cara untuk mengetahui keefektifan penanganan pengaduan berdasarkan dimensi waktu adalah dengan mengadakan riset pasar. Kepada pelanggan ditanyakan bagaimana tingkat kepuasaannya setelah melakukan pengaduan (Irawan 2002). Usaha yang sunguh-sungguh untuk memperbaiki masalah yang terjadi dapat meningkatkan kepercayaan konsumen bahwa perusahaan tersebut benar-benar peduli. Tidak mengherankan, kepuasan dan niat untuk membeli ulang diperkuat secara nyata (Engel et al. 1995).

Kotler (1993) menyatakan bahwa pemasar dapat mengambil beberapa langkah untuk meminimalisasi (memperkecil) ketidakpuasan konsumen setelah membeli. Pada umumnya perusahaan menyediakan saluran yang maksimum bagi konsumen untuk mengutarakan pengaduan. Perusahaan yang cerdik akan menerima masukan-masukan dari konsumen dengan senang hati dan melihatnya sebagai cara untuk memperbaiki tawaran dan kinerjanya secara terus-menerus. Perhatian atau kepedulian terhadap pelanggan (customer care) adalah salah satu

konsep penunjang pola layanan yang digunakan untuk menunjukkan besarnya perhatian dari pengurus organisasi atau perusahaan kepada pelanggan (Barata 2003). Selanjutnya Tjiptono dan Diana (2000) menyatakan bahwa biaya menarik pelanggan baru lebih mahal 6 kali lipat dibandingkan dengan mempertahankan pelanggan lama.

Kepuasan dan Loyalitas Konsumen Pasca Pengaduan

Konsumen yang merasa puas terhadap barang/jasa dan merek yang dikonsumsi atau dipakai akan membeli ulang barang/jasa tersebut. Pembelian ulang yang terus menerus dari barang/jasa dan merek yang sama menunjukkan loyalitas konsumen terhadap merek (Sumarwan 2004). Namun istilah loyalitas pasca pengaduan terjadi manakala pelanggan mendapat tanggapan dan upaya perbaikan dari pihak yang berkepentingan seperti perusahaan barang/jasa. Sebuah penelitian membuktikan bahwa seorang pelanggan yang telah mengalami pelayanan yang kurang baik akan mengingat pengalaman tersebut secara permanen (Suryana 2007).

Tingkat kepuasan yang tinggi dengan merek yang dimiliki sebelumnya sering disertai dengan sejumlah ketidakpuasan sesudah pembelian ulang. Kegagalan untuk melebihi harapan yang tinggi menyebabkan ketidakpuasan ringan. Namun, pada kesempatan lain konsumen dengan pengalaman buruk sebelumnya mengalami kejutan yang menyenangkan dan menunjukkan tingkat kepuasan yang bahkan lebih tinggi dibandingkan konsumen yang puas sebelumnya (Engel et al. 1995). Selanjutnya menurut Irawan (2002), pelanggan yang menyampaikan pengaduan dan diberikan penyelesaian, tingkat kepuasannya lebih tinggi daripada yang tidak menyampaikan pengaduan.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 95 persen pelanggan yang tidak puas akan melakukan bisnis dengan perusahaan tersebut sekali lagi (pesanan berulang) jika pengaduannya dipecahkan saat itu. Penanganan pasca penyampaian pengaduan oleh pihak yang terkait akan memberi kesan yang positif kepada pelanggan (Suryana 2007). Penanganan pengaduan secara efektif dalam kenyataannya dapat meningkatkan loyalitas pelanggan dan citra perusahaan (Kotler dan Amstrong 2001).

Menurut Rangkuti (2006), loyalitas merupakan gabungan antara proses intelektual dan emosional antara pelanggan dan perusahaan. Selanjutnya menurut Junaedi dan Hidayat (2002) diacu dalam Ebtariani (2007), seseorang yang telah loyal pada sesuatu hal akan sulit untuk merubahnya, serta akan tetap konsisten dengan pilihannya walau banyak pengaruh dari luar. Loyalitas berkaitan erat dengan prinsip dan pengalaman seseorang yang terbentuk dari lingkungan eksternal maupun internal masing-masing individu.

Loyalitas terhadap merek (brand loyalty) diartikan sebagai sikap positif seorang konsumen terhadap suatu merek dan konsumen memiliki keinginan kuat untuk membeli ulang merek yang sama pada saat sekarang maupun masa mendatang (Sumarwan 2004). Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), konsumen menghindari risiko dengan tetap setia kepada sebuah merek yang telah memuaskannya daripada membeli merek yang baru atau yang belum dicoba. Orang yang merasakan risiko tinggi misalnya, lebih mungkin untuk setia kepada merek yang lama dan kemungkinan kecil untuk membeli barang/jasa yang baru dikenal.

Kotler (1993) menyatakan bahwa konsumen mungkin mengembangkan seperangkat kepercayaan merek pada cirinya masing-masing dimana kepercayaan merek menimbulkan image merek. Kepercayaan merek konsumen akan beragam sesuai dengan pengalamannya dan sesuai dengan akibat dari perhatian selektif, gangguan yang selektif dan mengingat kembali yang selektif.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru dipopulerkan sekitar 20

Dokumen terkait