• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruang Lingkup Lembaga Zakat 2.1.1 Pengertian Lembaga Zakat

Berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Bab I Ayat 1 & 2 menerangkan bahwa Lembaga zakat adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat, infaq, sedekah secara berdaya guna dan berhasil guna dari masyarakat untuk masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat sedangkan Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Sedangkan pengertian BAZIS secara istilah antara lain ditemukan dalam surat keputusan bersama (SKB) Mentri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991/57 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah. Dalam pasal 1 SKB tersebbut dinyatakan bahwasanya yang disebut BAZIZ adalah “Lembaga swadaya masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat, infaq, sedekah secara berdaya guna berhasil guna”.

Secara subtansi, pengertian tersebut dapat ditemukan pula dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, kemudian dipertegas lagi dalam keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dalam pasal 1

ayat 1 Keputusan Menteri disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Amil Zakat (BAZ) adalah: organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan Agama.

Dari kedua pengertian di atas SKB Mentri Dalam Negeri dan Menteri Agama serta UU Nomor 38 Tahun 1999, tampak ada perbedaan. Menurut SKB, BAZIS itu adalah Lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat, sedangkan menurut UU Nomor 38 Tahun 1999, BAZIS itu dibentuk oleh pemerintah. Untuk menangani perbedaan persepsi itu, maka dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2 selain Badan Amil Zakat dilengkapi pula dengan Lembaga Amil Zakat yang sama pengertiannya dengan BAZIS yang dikemukakan SKB. Dengan demikian, dalam struktur organisasi pengelolaan zakat menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 dibedakan antara Badan Amil Zakat dengan Lembaga Amil Zakat. Kalau BAZ dibentuk oleh pemerintah sedangkan LAZ dibentuk atas prakarsa masyarakat.

2.1.2 Prinsip-Prinsip Zakat Dalam Islam

Dalam pengelolaan baik zakat, infaq dan sedekah terdapat beberapa prinsip yang harus dipatuhi dan ditaati agar pengelola dapat berhasil dalam mengelola zakat sesuai dengan yang diharapkan, adapun prinsip-prinsip tersebut menurut M.A. Manan dalam bukunya Islamic Economics: Theory and Practice (Lahore, 1970: 285) zakat mempunyai enam prinsip, yaitu:

1. Prinsip keyakinan keagamaan (faith), menyatakan bahwa orang yang membayar zakat yakin bahwa pembayarannya tersebut merupakan salah

satu manifestasi keyakinan agamanya, sehingga kalau orang yang bersangkutan belum membayarkan zakatnya, belum merasa sempurna ibadahnya.

2. Prinsip pemerataan dan keadilan, cukup jelas menggambarkan tujuan zakat yaitu membagi lebih adil kekayaan yang telah diberikan tuhan kepada umat manusia.

3. Prinsip produktifitas dan kematangan, menekankan bahwa zakat memang wajar harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu. Hasil (produksi) tersebut hanya dapat dipungut setelah lewat jangka waktu satu tahun yang merupakan ukuran normal memperoleh hasil tertentu.

4. Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan bayar zakat adalah seseorang yang berakal sehat dan bertanggung jawab. Dari sinilah ada anggapan bahwa orang yang belum dewasa dan tidak waras bebas dari zakat yang dalam hal ini merupakan suatu ibadat.

5. Prinsip kebebasan, menjelaskan bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas dan sehat jasmani serta rohaninya, yang merasa mempunyai tanggung jawab untuk membayar zakat untuk kepentingan bersama. Zakat tidak dipungut untuk orang yang sedang dihukum atau orang yang sedang sakit jiwa.

6. Prinsip etik dan kewajaran menyatakan bahwa zakat tidak akan diminta secara semena-mena tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkannya.

Zakat tidak mungkin dipungut, kalau karena pemungutan itu orang yang membayarnya akan menderita (Mubyarto, 1986: 33).

2.1.3 Tugas dan Fungsi Lembaga Zakat

Sebagaimana tercantum dalam pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999 tugas pokok lembaga pengelola zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Sedangkan fungsinya sebagaimana tercantum dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991 /47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah. Pasal 6 bahwa fungsi utamanya telah sebagai wadah pengelola, penerima, pengumpulan, penyaluran dan pendayaguna zakat, infaq dan sedekah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional serta sebagai pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.

Petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh institusi Managemen Zakat (2001) dikemukakan susunan orgãnisasi lembaga pengelolaan zakat seperti Badan Amil Zakat sebagai berikut:

1. Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana.

2. Dewan Pertimbangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota.

3. Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota.

4. Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris, bagian keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian dan pendayagunaan.

5. Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur pemerintah terdiri atas unsur u1ama kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga pendidikan yang terkait.

Fungsi dan tugas pokok pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) menurut (Hafidhudhin, 2002: 131) antara lain:

a. Dewan Pertimbangan

Adapun fungsi dewan pertimbangan adalah memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi kepada badan pelaksana dan komisi pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi aspek syariah dan aspek manajerial. Sedangkan tugas pokok dewan pertimbangan (Hafidhudhin, 2002: 131) adalah sebagai berikut:

1. Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat.

Setiap lembaga pengelolaan zakat memiliki kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan kegiatan lembaga zakat tersebut. Untuk itu, diperlukan Dewan Pertimbangan sebagai badan yang ditunjuk untuk memberikan garis-garis kebijakan tersebut tentang apa yang harus dilakukan oleh lembaga pengelolaan zakat.

Rencana kerja yang telah ditetapkan oleh badan pelaksana dan komisi pengawas harus mendapat persetujuan dan dewan pertimbangan untuk disahkan menjadi program kerja.

3. Mengeluarkan fatwa syariah baik diminta ataupun tidak berkaitan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat.

4. Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik diminta maupun tidak diminta.

Dewan pertimbangan dapat memberikan saran dan rekomendasi tentang apa yang hendak dan akan dilakukan oleh badan pelaksana dan dewan komisi. Setiap rencana kerja yang dilakukan harus mendapat perhatian dari dewan pertimbangan.

5. Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dari Komisi Pengawas.

Setiap akhir periode, setiap lembaga pengelolaan zakat wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan segala kegiatannya kepada dewan pengawas dengan tujuan untuk dievaluasi agar kekurangan yang terjadi dapat diperbaiki di tahun depan. Setiap laporan pertanggungjawaban harus disahkan oleh dewan pertimbangan.

6. Menunjuk akuntan publik.

Setiap lembaga pengelolaan zakat harus menunjuk seorang akuntan publik agar transparansi dan akuntabilitas leporan keuangan tersebut sah dan tidak menimbulkan masalah lain.

b. Komisi Pengawas

Dalam lembaga pengelolaan zakat, fungsi komisi pengawas adalah Sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana. Sedangkan menurut (Hafidhudhin, 2002: 131) tugas pokok komisi pengawas adalah sebagai berikut:

1. Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan

Setiap rencana kerja yang telah disusun dan disahkan oleh lembaga zakat harus diawasi oleh komisi pengawas. Tujuannya adalah agar rencana kerja tersebut dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.

2. Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Dewan Pertimbangan

Dewan Pertimbangan merupakan suatu badan yang memberikan saran dan rekomendasi kepada Komisi Pengawas dalam mengelolan lembaga zakat. Untuk itu, setiap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh dewan pertimbangan harus mendapat perhatian dan pengawasan oleh Komisi Pengawasan.

3. Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan

Komisi pengawasan melakukan pemantauan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh badan pelaksana dengan tujuan agar kegiatan dan program tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang telah disepakati.

Komisi pengawas harus melakukan pemerikasaan rutin segala apapun yang dilakukan oleh lembaga pengelolaan zakat. Baik dalam laporan keuangan, kegiatan, dan lain-lain.

c. Badan Pelaksana

Adapun fungsi badan pelaksana adalah sebagai pelaksana pengelolaan zakat. Sedangkan tugas pokok badan pelaksana adalah sebagai berikut (Hafidhudhin, 2002: 132):

1. Membuat rencana kerja

Setiap lembaga pengelola zakat harus menyusun rencana kerja mengenai apa yang akan dilakukan selama satu tahun. Setiap rencana kerja yang dibuat nantinya akan dilaporkan dalam rapat anggota untuk kemudian di sahkan menjadi rencana kerja.

2. Melaksanakan oprasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan

Setiap rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat harus dijalankan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Rencana kerja tersebut harus dijalankan sebaik-baiknya karena akan dimintai pertanggungjawabannya di akhir periode atau akhir tahun.

3. Menyusun laporan tahunan.

Di setiap akhir periode, setiap lembaga zakat harus membuat laporan tahunan tentang apa yang telah dilakukan selama periode kerja tersebut. Semuanya harus dilaporkan dalam rapat evaluasi.

4. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah.

Setelah lembaga zakat tersebut membuat laporan tahunan dan laporan pertanggungjawaban, selanjutnya laporan tersebut harus disampaikan kepada pemerintah sebagai pengawas lembaga zakat.

5. Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat ke dalam maupun ke luar.

Segala sesuatu yang dilakukan oleh lembaga zakat harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya karena setiap tindakan itu akan diperhatikan dan harus dipertanggungjawabkan.

Salah satu tugas penting lain dan lembaga pengelolaan zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secar terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah jum’at, media ta’lim, seminar, diskusi dan lokakarya, melalui surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, aman, dan terpercaya.

2.1.4 Alur Pengumpulan dan Penyaluran Zakat Dalam Lembaga Pengelolaan Zakat

Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat, harus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada para mustahik sebagaimana tersurat dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 60 yang uraiannya antara lain sebagai berikut:

1. Fakir dan Miskin

Fakir dan miskin sebenarnya memiliki perbedaan tetapi dalam kenyatannya sering disamakan yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi sangat tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif dan dapat pula bersifat produktif. 2. Kelompok Amil

Kelompok ini berhak mendapatkan bagian dari zakat, maksimal satu perdelapan atau 12,5 %. dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut.

3. Kelompok Muallaf

Yaitu kelompok orang yang baru masuk Islam. Mereka diberi zakat agar bersungguh-sungguh dalam ber-Islam dan sehingga bertambah keyakinan mereka bahwa segala pengorbanan mereka dengan sebab memeluk agama Islam tidak sia-sia.

4. Memerdekakan Budak Belian

Artinya bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan.

5. Kelompok Gharimin

Artinya kelompok yang berhutang, yang sama sekali tidak dapat melunasi hutangnya. Mereka diberikan zakat agar terhindar dari segala lilitan hutang.

6. Fi Sabilillah

Pada zaman Rasulullah saw golongan yang termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji yang tetap. Tetapi berdasarkan lafaz sabilillah di jalan Allah SWT. Sebagian ulama membolehkan memberi zakat tersebut untuk membangun masjid, lembaga pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’i, menerbitkan buku agama, majalah, brosur, dan lain-lain.

6. lbnu Sabil

Adalah orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan karena tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya.

2.1.5 Persyaratan Lembaga Pengelola Zakat

Yusuf Al Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Zakat (1991: 586), menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Beragama Islam. Zakat adalah salah satu rukun Islam (rukun Islam ketiga), karena itu sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim.

2. Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.

3. Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya. Serta keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparasi

(keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggung jawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariat Islamiyyah. 4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat dengan pengetahuan tentang zakat yang relatif memadai, para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan dan kebodohannya pada masalah zakat tersebut.

5. Memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melakukan tugas.

Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999, dikemukakan bahwa lembaga zakat harus memiliki persyaratan teknis, antara lain adalah (Hafidhudhin, 2002: 173):

1. Berbadan hukum

Maksudnya adalah lembaga zakat harus memiliki badan hukum yang diperoleh dan Departemen Agama sehingga memiliki kekuatan hukum yang jelas agar masyarakat lebih percaya untuk menyisihkan zakat ke lembaga zakat tersebut.

2. Memiliki data muzakki dan mustahik

Setiap lembaga zakat pasti memiliki muzakki dan mustahik yang dijadikan sebagai sasaran sebagai penyimpan dan penyalur dana zakat. Untuk itu, setiap lembaga zakat harus memiliki data muzakki dan mustahik sehingga proses penyaluran dan pengelolaan dana zakat menjadi lebih jelas.

3. Memiliki program kerja yang jelas

Sebagai lembaga yang dipercaya oleh masyatakat, lembaga zakat harus memiliki program kerja yang jelas agar masyarakat tidak ragu untuk menyalurkan menyisihkan dana zakat mereka ke lembaga tersebut.

4. Memiliki pembukuan yang baik

Keberadaan lembaga zakat sekarang ini sangat berpengaruh kepada masyarakat. Setiap dana zakat yang terhimpun dan tersalur, harus transparan. Oleh karena itu, lembaga zakat dituntut untuk memiliki pembukuan yang baik agar muzakki percaya dengan lembaga zakat yang ada.

5. Melampirkan surat pemyataan bersedia diaudit

Setiap lembaga zakat harus melaporkan setiap kegiatannya kepada muzakki agar transparansi dapat terjaga. Lembaga zakat harus bersedia diaudit laporan keuangannya agar tidak terjadi kecurangan dalam pelaksanaanya.

Persyaratan tersebut tentu mengarah pada profesionalitas dan transparansi dari setiap lembaga pengelola zakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan semakin bergairah menyalurkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat. 2.2 Ruang Lingkup Zakat

2.2.1 Pengertian Zakat

Ditinjau dari segi bahasa kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik, sedangkan dan segi istilah fiqih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya, disamping berarti mengeluarkan sejumlah harta tertentu itu sendiri (Qaradhawi, 1996:35).

Menurut etimologi syari’at (istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan Allah SWT untuk dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Perintah zakat termasuk kewajiban yang utama dalam Islam yang dikeluarkan oleh orang yang telah berkewajiban untuk mengeluarkan zakat dari harta yang dianggap telah lebih dari segi jumlah dan pantas untuk dikeluarkan untuk kesejahteraan umat sesuai syariat yang berlaku.

2.2.2 Syarat-Syarat Zakat

Menurut pendapat para ulama, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya ialah harta yang dimiliki seorang muslim yang baligh dan berakal yang dimiliki serta dapat dipergunakan hasil atau manfaatnya.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam kewajiban zakat ialah: 1. Pemilikan harta yang pasti dan kepemilikan penuh yaitu harta benda yang

akan dizakatkan berada dalam kekuasaan dan dimiliki oleh si pemberi zakat. 2. Berkembang, yaitu harta tersebut berkembang baik secara alami berdasarkan

sunatullah maupun karena usaha manusia.

3. Melebihi kebutuhan pokok, yaitu harta yang dizakatkan telah melebihi dari kebutuhan pokok seseorang atau keluarga yang mengeluarkan zakat tersebut. 4. Bersih dari utang, yaitu harta yang akan dizakatkan harus bebas dari utang

baik kepada Allah (nazar) maupun utang kepada manusia.

5. Mencapai nisab, yaitu harta tersebut telah mencapai batas jumlah minimal yang wajib dikeluarkan zakatnya.

6. Mencapai haul, yaitu harta tersebut telah mencapai waktu tertentu untuk dikeluarkan zakatnya, biasanya berlaku setiap satu tahun.

2.2.3 Jenis-Jenis Zakat 1. Zakat Fitrah

Zakat fitrah itu adalah zakat diri atau pribadi dari setiap muslim yang dikeluarkan menjelang hari raya Idul Fitri. Zakat fitrah diwajibkan pada tahun kedua hijriah (Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah )yaitu pada bulan Ramadhan diwajibkan untuk mensucikan diri dari orang yang berpuasa dari perbuatan dosa. Zakat fitrah itu diberikan kepada orang miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka agar tidak sampai meminta-minta pada saat hari raya (Hasan, 2006:107).

2. Zakat Maal

Maal (harta) menurut bahasa ialah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan, memiliki dan dimanfaatkan, sedangkan menurut syara’ adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat digunakan menurut kebiasaannya (Kartika, 2006:24). Zakat maal adalah zakat yang dikeluarkan dari harta atau kekayaan serta penghasilan yang dimiliki oleh seorang Muslim yang telah mencapai nishab dan haulnya. Perhitungan zakat maal menurut nishab, kadar dan waktu dikeluarkannya ditetapkan berdasarkan hukum agama.

3. Zakat Hasil Pemiagaan

Zakat perniagaan ialah zakat yang dikeluarkan dari kekayaan yang diinvestasikan dan diperoleh dari kegiatan perdagangan, baik yang dilakukan oleh

perseorangan maupun secara kelompok yang wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun sebagai zakat uang.

4. Zakat Hasil Perternakan dan Perikanan

Zakat peternakan meliputi hasil dari peternakan hewan baik yang berukuran besar seperti sapi, kerbau dan unta, yang berukuran sedang sedang seperti kambing dan domba dan yang berukuran kecil kecil seperti unggas,ikan dan lain-lain. Perhitungan zakat untuk masing-masing jenis hewan ternak, baik nisab maupun kadarnya berbeda-beda dan sifatnya bertingkat. Sedangkan haulnya yakni satu tahun untuk tiap hewan.

5. Zakat Pertambangan

Zakat pertambangan adalah segala yang dikeluarkan dari hasil bumi yang dijadikan Allah di dalamnya dan berharga, seperti timah, besi dan sebagainya (Teungku, 2006:149). Hasil tambang tidak disyaratkan haul, zakatnya wajib dibayar ketika barang itu telah digali. Hal ini mengingat bahwa haul disyaratkan untuk menjamin perkembangan harta, sedang dalam hal ini perkembangan tersebut telah terjadi sekaligus, seperti dalam zakat tanaman.

Barang tambang yang digali sekaligus harus memenuhi nisab begitu juga yang digali secara terus-menerus , tidak terputus karena diterbengkalaikan. Semua hasil tambang yang digali secara terus-menerus harus digabung untuk memenuhi nisab. Jika penggalian itu terputus karena suatu hal yang timbul dengan tiba-tiba, seperti reparasi peralatan atau berhentinya tenaga kerja, maka semua itu tidak memengaruhi keharusan menggabungkan semua hasil galian. Bila galian itu terputus karena beralih profesi, karena pertambangan sudah tidak mengandung

barang tambang yang cukup atau sebab lain, maka hal ini memengaruhi penggabungan yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini harus diperhatikan nisab ketika dimulai kembali penggalian baru.

6. Zakat Hasil Pertanian

Adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti tanaman biji-bijian (padi, jagung, kedelai); umbi-umbian (ubi, kentang, dll); sayur-sayuran (bawang, cabai, bayam, dll); buah-buahan (kelapa, pisang, kelapa sawit dll); tanaman hias (anggrek, cengkeh, dll); rumput-rumputan (sere, bamboo, tebu); daun-daunan (teh, tembakau, vanili); kacang-kacangan (kacang hijau, kedelai, kacang tanah) (Kartika, 2006:28).

Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila menggunakan pengairan secara alami seperti, air hujan, sungai, mata air, adalah 10%. Sedangkan yang menggunakan alat-alat tertentu, sekira air tidak dapat menjangkau pada lahan pertanian kecuali dengan alat tersebut, maka kadar zakatnya adalah 5%. Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan selain untuk alat pengairan tersebut diatas, seperti pupuk, obat-obatan, upah petugas irigasi, dan lain-lain, tidak dapat berpengaruh pada kadar zakat yang harus dikeluarkan, meskipun ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

7. Zakat Pendapatan dan Profesi

Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesionalisme tertentu, baik yang dilakukan bersama dengan orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab (Hafidhuddin, 1998:103).

Hasil profesi merupakan sumber pendapatan orang-orang masa kini, seperti pegawai negeri, swasta, konsultan, dokter, dan notaris. Para ahli fikih

Dokumen terkait