• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tutupan Lahan dan Penggunaan Lahan

Sumberdaya alam berupa lahan bersifat terbatas dan cenderung akan mengalami penurunan. Karena sifatnya yang langka dan terbatas ini, maka pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat perorangan sebagai stakeholder, akan mengalami kendala dalam mengambil keputusan tentang pemanfaatan lahan secara optimal. Pengambilan keputusan dalam pemanfaatan penggunaan lahan di DAS harus dilakukan secara teliti dan hati-hati berdasarkan data yang akurat dan teknik yang tepat agar pola penggunaan lahan yang dilakukan bersifat optimal dan efisien (Sulistiyono, 2008).

Perkembangan penggunaan lahan di sejumlah daerah aliran sungai-sungai di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah memberi dampak berupa peningkatan frekuensi, debit, dan volume banjir yang telah menggenangi wilayah permukiman dan infrastruktur umum yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian material dan non-material. Dampak nyata dari perubahan penggunaan lahan ini adalah peningkatan erosi tanah dan meluasnya lahan-lahan kritis.Penggundulan lahan ini telah berlangsung sejak awal abad 20 dan meningkat secara luas dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Dampak perubahan tutupan lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti oleh hasil air DAS (Pawitan, 2010).

Penting untuk diketahui bahwa istilah tutupan lahan (land cover) tidaklah sama dengan penggunaan lahan (land use). Tutupan lahan berhubungan dengan kondisi biofisik yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan

lahan berhubungan dengan aktivitas manusia pada cakupan lahan tertentu (Ekadinata et., al., 2008). Istilah penggunaan lahan sering digunakan untuk tujuan formal tertentu seperti pada bidang pertanian dan perkebunan yang dinyatakan dalam bentuk luas areal penanaman dan pemanenan (produksi) komoditas tertentu. Sedangkan dalam bidang kehutanan dikenal istilah kawasan hutan sebagai bentuk penggunaan lahan, meskipun dalam kenyataannya tidak seluruhnya merupakan tutupan hutan (berhutan) (Dwiprabowo et., al., 2014).

Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS)

Suatu DAS dibatasi oleh topografi alami berupa punggung-punggung bukit, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut.Wilayah DAS terdiri dari komponen abiotik, biotic, dan lingkungan lainnya yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan ekosistem (Sulistiyono, 2008).

Daerah Aliran Sungai bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan (Effendi, 2008). Bagian hulu mengatur aliran air yang dimanfaatkan oleh penduduk di bagian hilir.Erosi yang terjadi di bagian hulu menyebabkan sedimentasi dan banjir di hilir.

Daerah aliran sungai bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada

prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau (Effendi, 2008). Daerah aliran sungai tengah merupakan transisi diantara DAS hulu dan DAS Hilir (Valiant, 2014).

DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Effendi, 2008). Daerah Aliran Sungai bagian hilir memiliki karakteristik sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah, kemiringan lahan kecil (Valiant, 2014).

Berdasarkan indikator kunci dan indikator lainnya (lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan) yang sudah ditetapkan maka diketahui tingkat kerusakan DAS yang kemudian perlu ditetapkan prioritas penanganannya.DAS-DAS prioritas I adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS paling kritis atau tidak sehat.Prioritas II adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya sedang, sedangkan DAS prioritas III dianggap kurang prioritas untuk ditangani karena kondisi biofisik dan soseknya masih relative baik (tidak kritis) atau DAS tersebut dianggap masih sehat (Dephut, 2009).

Perubahan Lahan

Luasan hutan di Indonesia menurun dari 128,72 juta hektar di tahun 1990 menjadi 99,6 juta hektar di tahun 2005. Peta tutupan lahan tahun 2005 menunjukkan bahwa 40% (38,5 juta hektar) hutan yang ada adalah hutan terganggu/bekas tebangan, hal ini menunjukkan tingginya tingkat kerusakan hutan

akibat penebangan dan pengambilan kayu. Jenis tutupan lahan dominan yang menggantikan hutan pada periode 1990–2000 berbeda dengan periode 2000– 2005.Di periode 1990-2000, sebagian besar areal hutan berubah menjadi lahan semak. Pada periode 2000-2005, hutan dikonversi menjadi lahan perkebunan atau pertanian, dan penyebab utamanya adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan akan produk dan komoditi ekspor pertanian (Ekadinata et al, 2012).

Identifikasi perubahan penggunaan lahan pada suatu DAS merupakan suatu proses mengindentifikasi perbedaan keberadaan suatu objek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda di DAS tersebut. Indentifikasi perubahan penggunaan lahan memerlukan suatu data spasial temporal.Data-data spasial tersebut bersumber dari hasil analisis citra maupun dari instansi-instansi pemerintah seperti Bakosurtanal (As-Syakur et al., 2008).

Identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan melakukan interpretasi citra satelit.Melalui sensor yang dimilikinya, menggunakan gelombang elektromagnetik, citra satelit merekam fenomena permukaan bumi secara berkala.Perekaman ini memanfatkan perbedaan selang spektral yang dipantulkan.Beragam citra satelit yang tersedia saat ini; optik maupun radar, dengan berbagai tingkatan resolusi spasial (Suryadi, 2012).

Pemanfaatan Pengindraan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Penginderaan jauh adalah ilmu dalam mendapatkan dan mengumpulkan informasi mengenai suatu objek tanpa menyentuh atau berkontak fisik langsung dengan obyek tersebut. Dalam Sistem Informasi Geografis, data penginderaan jauh sangat berperan penting dalam menyediakan informasi spasial. Pemetaan ekstra-terestris dengan memanfaatkan data penginderaan jauh memiliki banyak 7

kelebihan dibandingkan pemetaan terrestrial dengan alat ukur seperti theodolith dan GPS Geodetik diantaranya waktu pengerjaan pemetaan untuk cakupan area yang luas lebih singkat dan mampu mengidentifikasi area yang sulit untuk dijangkau (Ardiansyah, 2015).

Data penginderaan jarak jauh (PJJ) amat lazim digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam (natural

resources management).Hal ini dikarenakan data PJJ memuat kondisi fisik

dari permukaan bumi yang dapat dikuantifikasi/dianalisa sehingga menghasilkan informasi factual tentang sumber daya yang ada dalam skala luas dan dilakukan berulang kali untuk keperluan pemantauan. Informasi yang paling umum dihasilkan dari data PJJ untuk aplikasi sumber daya alam adalah informasi penggunaan lahan dan tutupan lahan (land cover and land uses) (Ekadinata et., al., 2008).

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra satelit seperti Landsat TM mampu mendeteksi pola penggunaan lahan di muka bumi.Informasi yang diperoleh dari citra satelit tersebut dapat digabungkan dengan data-data lain yang mendukung ke dalam suatu sistem informasi geografis (SIG) (Sulistiyono, 2008).

Pemetaan hutan menggunakan teknologi inderaja multitemporal mampu memberikan data mengenai luasan hutan, kerapatan hutan, dan perubahannya. Sedangkan Sistem Informasi Geografis dapat menganalisis secara keruangan aspek-aspek yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan hutan diasosiasikan dengan beberapa feature atau kenampakan lain di permukaan bumi (Yuwono dan Suprajaka, 2003).

22

Identifikasi perubahan tutupan lahan penting dilakukan untuk memantau terjadinya perubahan tutupan lahan sehingga degradasi lahan dapat dihindari.Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha pemantauan perubahan tutupan lahan. SIG dapat digunakan untuk pemasukan data, analisis data, pengolahan data dan penyajian dari data informasi geografis secara optimal (Yulius et., al., 2014).

Interpretasi Citra Satelit

Interpretasi berbasis piksel meliputi klasifikasi terbimbing (supervised

classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (un-supervised classification).

Klasifikasi terbimbing adalah metode klasifikasi berdasarkan sample yang telah ditentukan olah pengguna, sementara klasifikasi tidak terbimbing akan memberikan keleluasaan kepada komputer untuk mengklasifikasikan kelas yang jumlahnya telah pengguna tentukan untuk kemudian hasilnya didefinisikan selanjutnya berdasarkan atribut kelas yang telah ditentukan.Dalam klasifikasi terbimbing terdapat beberapa metode yang dapat digunakan:

- Maximum likelihood mengasumsikan bahwa statistik kelas pada setiap band

terdistribusi secara normal. Kelas piksel ditentukan berdasarkan tingkat probabilitas tertinggi.

- Minimum distance menggunakan nilai tengah untuk setiap kelas dan

menghitung jarak Euclidean dari piksel yang tidak diketahui ke nilai tengah masing-masing kelas. Piksel diklasifkasikan berdasarkan kelas yang terdekat. - Mahalanobis distance memiliki kemiripan dengan maximum likelihood,

namun mengasumsikan bahwa semua kovarian kelas adalah setara. Semua piksel diklasifikasikan kepada data training yang terdekat.

- Spectral Angle Mapper (SAM) adalah klasifikasi fisik berbasis spektral yang

menggunakan sudut nD untuk mencocokkan piksel data sample. Teknik ini relatif tidak sensitif terhadap efek pencahayaan dan Albedo.SAM membandingkan sudut antara setiap piksel dengan rerata samplenya dalam ruang nD. Sudut yang lebih kecil merupakan pertanda jarak yang lebih dekat dengan spektrum sample. Piksel dalam hal ini diklasifikasikan ke dalam kelas yang memiliki sudut terkecil.

Sebelum dilakukan proses interpretasi, terlebih dahulu dilakukan proses pemotongan citra (cropping) berdasarkan batas wilayah penelitian. Langkah selanjutnya interpretasi citra, dilakukan secara visual langsung pada monitor komputer (on screen interpretation). Proses interpretasi dilakukan dengan membatasi daerah-daerah yang memiliki karakteristik unsur interpretasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya tipe penggunaan atau penutupan lahan. Penarikan batas penggunaan atau penutupan lahan dilakukan secara langsung melalui proses digitasi layar (on screen digitizing). Proses ini menghasilkan peta penggunaan/penutupan lahan (Lisnawati dan Wibowo, 2007).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Banyak aktivitas manusia sebagai akibat adanya desakan kebutuhan dalam pembangunan yang akan memanfaatkan potensi sumberdaya lahan, tetapi di lain pihak sumberdaya lahan tersebut perlu disadari mempunyai keterbatasan-keterbatasan, diantaranya adalah bersifat fragile (mudah rusak) dan mempunyai daya dukung yang labil (Arsyad dan Ernan, 2008). Karena sumberdaya lahan bersifat mudah rusak, maka pengelolaannya harus dilakukan dengan hati-hati.

Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi sangat pesat di wilayah Indonesia (Provinsi Sumatera Utara khususnya) menyebabkan kebutuhan lahan semakin besar.Banyaknya jumlah penduduk membutuhkan besarnya lahan sebagai tempat tinggal dan juga penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian.Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad dan Ernan, 2008).

Besarnya jumlah lahan yang dibutuhkan manusia mengakibatkan banyak lahan yang beralih fungsi.Seperti lahan pertanian menjadi perumahan maupun lahan hutan menjadi perkebunan.Semua itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia jika dipandang hanya dari segi ekonomi saja.Perubahan fungsi lahan tersebut disatu sisi memberikan keuntungan secara ekonomi bagi manusia. Namun, besarnya perubahan lahan yang terjadi juga akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen, polutan, dan unsur hara dalam sistem sungai dan keluar melalui satu outlet tunggal (Kemenhut, 2013).Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak hanya sebatas sungai, tetapi meliputi wilayah-wilayah sekitar sungai yang secara langsung mempengaruhi kelangsungan sungai itu sendiri (Ruhimat et. al., 2006).

Daerah Aliran Sungai terbagi menjadi tiga bagian, yaitu hulu, tengah dan hilir. Tutupan lahan yang berada di bagian hulu akan berpengaruh terhadap kualitas air yang mengalir ke bagian tengah dan hilir. Umumnya daerah hulu DAS memiliki tutupan lahan berupa hutan.Jika hutan yang berada di hulu suatu DAS baik, maka baik pula DAS tersebut. Namun, jika hutan yang berada di hulu DAS tersebut rusak, maka akan berpengaruh pula bagi kerusakan DAS di bagian tengah dan hilir.

Propinsi Sumatera Utara memiliki beberapa DAS, salah satunya yaitu DAS Besitang.DAS Besitang berada di wilayah administrasi Kabupaten Langkat.Sebagian besar wilayah DAS Besitang merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 276/Kpts II/1997, total luas hutan TNGL adalah 1.094.692 ha dan 80,5% (881.207 ha) berada di wilayah Nangroe Aceh Darussalam, sisanya 19,5% (213.485 ha) berada di Kabupaten Langkat dan seluas 125.000 ha diantaranya berada di Kecamatan Besitang.

Keberadaan DAS (Daerah Aliran Sungai) sangat penting untuk terus dipantau keadaannya dengan maksud untuk menjaga keberlangsungan kawasan

tersebut sebagai daerah penyangga bagi debit sungai yang melaluinya (Sulistiyono, 2008). Salah satu upaya pemantauan kondisi DAS adalah dengan mengidentifikasi tutupan lahan yang berada di DAS tersebut.Identifikasi tutupan lahan pada suatu DAS adalah mengetahui perbedaan kondisi tutupan lahan pada waktu yang berbeda di DAS tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kelas tutupan lahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Besitang.

2. Untuk mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Besitang antara tahun 1990, 2005 dan 2015.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi bagi pemerintah daerah setempat mengenai perubahan tutupan lahan di DAS Besitang sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan.

ABSTRAK

AMALIYAH PUTRI: Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Besitang Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Dibimbing oleh ANITA ZAITUNAH dan SAMSURI.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen, polutan, dan unsur hara dalam sistem sungai dan keluar melalui satu outlet tunggal.Besarnya pertambahan penduduk menyebabkan perubahan lahan yang besar pula.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelas tutupan lahan yang ada di DAS Besitang dan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Besitang antara tahun 1990, 2005 dan 2015. Penelitian menggunakan Citra Landsat 5 tahun 1990 dan 2005, dan

Landsat 8 tahun 2015 dengan klasifikasi terbimbing metode peluang maksimum

(Maximum likelihood classifier).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 12 kelas tutupan lahan yang ada di DAS Besitang yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove, semak, kebun karet, kebun sawit, pertanian lahan kering campuran, sawah, lahan terbuka, pemukiman, tambak dan badan air. Luas tutupan lahan terbesar adalah hutan lahan kering primer seluas 38.542,43 Ha (39,94%) pada tahun 1990, 34.279,16 Ha (35,52%) pada tahun 2005, dan 35.531,98 Ha (36,82 Ha) pada tahun 2015. Perubahan tutupan lahan terbesar pada tahun 1990 – 2005 adalah hutan lahan kering primer menjadi kebun sawit dengan perubahan seluas 1.806,03 Ha.Sedangkan tahun 2005 – 2015 perubahan terbesar adalah hutan mangrove menjadi kebun sawit dengan perubahan luas sebesar 1.016,82 Ha.

ABSTRACT

AMALIYAH PUTRI: Land Cover Change Analysis at The Besitang Watershed

Langkat Regency,North Sumatera. Under supervision: ANITA ZAITUNAH and

SAMSURI.

Watershed is an ecosystem unity area bounded by topographic divider and serves as a collector, storage and distributor of water, sediments, pollutants and nutrients in the river system and exit through a single outlet. The amount of population growth led to greater land use change. The purpose of this research are to identify land cover classes and land cover change in Besitang Watershed between 1990, 2005 and 2015. This research used landsat 5 imagery in 1990 and 2005, and landsat 8 imagery in 2015 with supervised classification method maximum likelihood classifier.

The result showed that there are 12 classes of land cover in the Besitang Watershed, there are primary forest, secondary forest, mangrove forest, underbrush, rubber plantations, oil palm plantations, dry land agriculture, open land, settlements, pond and water. The biggest land cover is primary forest covering an area of 38.542,43 hectares (39,94%) in 1990, 34.279,16 hectares (35,52%) in 2005, and 35.531,98 hectares (36,82) in 2015. The biggest land cover change between 1990 until 2005 is primary forest to oil palm plantation with covering an area of 1.806,03 hectares changes. While the biggest land cover change between 2005 until 2015 is the mangrove forest to oil palm plantation with covering an area of 1.016,82 hectares changes.

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN

Dokumen terkait