• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka

Seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang telah diterapkan sejak tahun 1999, masing-masing daerah harus bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam menetapkan sektor/komoditi yang diprioritaskan pengembangannya. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor/komoditas yang memiliki keunggulan/kelemahan yang ada di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor/komoditas yang memiliki keunggulan, memiliki potensi yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor/komoditas lain untuk berkembang (Tarigan, 2005).

Potensi ekonomi daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat mendorong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan. Setiap wilayah perlu melihat sektor/komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor tersebut memiliki keunggulan untuk dikembangkan (Samuelson, 1997).

Basis ekonomi adalah ekonomi yang berdasarkan pada pandangan laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari suatu wilayah dan mengelompokkan kegiatan ekonomi kepada kegiatan basis dan kegiatan non basis. Untuk mendorong pertumbuhan suatu

wilayah, perlu didorong pertumbuhan sektor basis karena akan mendorong pertumbuhan sektor non basis (Tarigan, 2005).

Peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi sangat penting karena sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia bekerja dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang selama ini masih diandalkan oleh negara kita karena sektor pertanian mampu memberikan pemulihan dalam mengatasi krisis yang sedang terjadi. Keadaan inilah yang menunjukkan sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang andal dan mempunyai potensi besar untuk berperan sebagai pemicu pemulihan ekonomi nasional (Husodo, 2002).

Pemerintah daerah perlu menentukan sektor dan komoditi apa saja yang diperkirakan bisa tumbuh cepat di wilayah tersebut. Sektor dan komoditi tersebut haruslah basis dan memiliki potensi untuk dipasarkan keluar wilayah tersebut atau jika memungkinkan diekspor dimasa yang akan datang (Tarigan, 2005).

Dalam konteks teori produksi kaitannya dengan pertanian, faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya produksi adalah faktor alam (tanah) atau biasa disebut lahan, modal, dan tenaga kerja, selain itu juga faktor manajemen juga berperan dalam pengelolaan sumberdaya produksi pertanian (Mubyarto, 1994).

Di tinjau dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Sedangkan dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional (Syafaat dan Supena, 2000).

Indonesia kaya akan komoditas hortikultura yang dapat dikembangkan di setiap kabupaten dan produsen hortikultura umumnya relatif luas. Begitu pula halnya dengan kebutuhan konsumsi sayuran dan buah di setiap kabupaten yang sangat beragam menurut jenis komoditas, kualitas dan segmen pasar. Pada masa otonomi daerah setiap kabupaten memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannnya, termasuk pemilihan komoditas yang akan dikembangkan di kabupaten yang bersangkutan. Permasalahannya adalah haruskah setiap kabupaten mengembangkan seluruh jenis komoditas hortikultura yang dibutuhkan di kabupaten yang bersangkutan (Irawan, 2003).

Komoditas hortikultura juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga usaha agribisnis hortikultura (buah, sayur, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan petani baik berskala kecil, menengah maupun besar, karena memiliki keunggulan berupa nilai jual yang tinggi, keragaman jenis, ketersediaan sumberdaya lahan dan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat. Pasokan produk hortikultura nasional diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri, baik melalui pasar tradisional, pasar modern, maupun pasar luar negeri (Kementerian Pertanian, 2011).

Usaha agribisnis hortikultura (buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) merupakan sumber pendapatan tunai bagi masyarakat dan petani skala kecil, menengah dan besar dengan keunggulan berupa nilai jualnya yang tinggi, jenisnya beragam, tersedianya sumberdaya lahan dan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat. Produk hortikultura dalam negeri saat ini telah mampu memasok kebutuhan

konsumen dalam negeri melalui pasar tradisional dan pasar modern serta pasar luar negeri (Kementerian Pertanian, 2011).

Komoditas tanaman hortikultura memiliki volume permintaan yang relatif stabil namun perubahan-perubahan harga sering terjadi sehingga menyebabkan penerimaan di tingkat petani menjadi berkurang, hal ini dikarenakan dari ketidakmampuan produsen (petani) dalam mengatur penawarannya yang sesuai dengan kebutuhan permintaan pasar (Hastuti, 2004).

Potensi komoditas hortikultura juga sangat besar dilihat dari adanya kecenderungan peningkatan konsumsi masyarakat terhadap sayur dan buah-buahan yang seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Sementara itu dari sisi produksi, potensi komoditas hortikultura masih bisa ditingkatkan baik dari sisi ketersediaan lahan, teknologi budidaya, pasca panen dan pengolahannya (Irawan, 2003).

Kabupaten Karo merupakan penghasil komoditas sayur-sayuran terbesar di Sumatera. Hasil penelitian (Saptana, dkk, 2004) bahwa Kabupaten Karo adalah daerah penghasil utama sayur-sayuran di Sumatera, bahkan luas lahan tanaman sayur-sayuran di Kabupaten Karo adalah 15,7 persen lebih besar dari total luas tanaman sayur-sayuran seluruh Sumatera.

Untuk produksi tanaman hortikultura di Kabupaten Karo ada enam jenis buah-buahan yang produksinya tertinggi diantara buah-buah lainnya ; jeruk (565.38 ton), alpukat (1.155 ton), pisang (3.092 ton), durian (4.831 ton), marquisa (5.522 ton) dan nenas (278 ton). Untuk sayur-sayuran yang adalah kentang (38.819 ton), kol/kubis (95.383ton), sawi (57.259 ton), wortel (24.684 ton), cabe

(37.276 ton) dan tomat (45.464 ton). (Badan Pusat Statistik Daerah Kabupaten Karo, 2011).

Zaini (2007), dalam hasil penelitiannya tentang penentuan komoditi basis sub sektor pangan dan hortikultura di Kabupaten Paser, dengan menggunakan analisis LQ. Pada analisis LQ didapat bahwa ada beberapa komoditas basis di beberapa kecamatan yaitu petai, sirsak, manggis, belimbing, melinjo, jeruk, sukun, melon, nangka, yang semuanya bisa dikembangkan di hampir semua kecamatan di Kabupaten Paser.

Dan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulanti (2011) tentang penentuan prioritas komoditas unggulan buah-buahan di Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara : aplikasi analisis LQ dan daya tarik – daya saing menyimpulkan bahwa komoditas unggulan yang menjadi prioritas utama untuk dikembangkan pada beberapa kecamatan adalah mangga, pepaya, jambu air, rambutan, nangka dan duku/langsat.

Analisis LQ (Location Quotient) juga bisa dipakai untuk menentukan koefisien lokasi atas dasar komoditas atau produksi suatu wilayah. Koefisien jenis ini biasa digunakan untuk menentukan apakah komoditas yang merupakan hasil suatu wilayah merupakan komoditas unggulan atau tidak (Nugroho, 2004).

Komoditi sayur-sayuran di Kabupaten Karo termasuk komoditi unggulan. Kabupaten Karo merupakan wilayah basis komoditas kubis/kol. Pada tahun 2010, produksi kubis/kol di Kabupaten Karo mencapai 133.948 ton.

Landasan Teori

Pembangunan pertanian erat kaitannya dengan permasalahan wilayah atau regional. Terdapatnya keragaman hayati, iklim, potensi lahan masing-masing wilayah dan keragaman kualitas dan kuantitas manusia antar wilayah merupakan tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Perencanaan pembangunan tidak bisa dilakukan secara terpusat ataupun dengan desain kebijakan dan program yang sifatnya umum. Pembangunan pertanian perlu dirancang dengan memperhatikan perencanaan dari daerah dan memperhatikan potensi sumberdaya pertanian secara spesifik terhadap lokasi (Wibowo, dkk, 2006).

Salah satu bentuk kebijaksanaan pembangunan ekonomi daerah yang didasarkan kepada keuntungan kompetitif adalah pengembangan komoditas unggulan. Dalam hal ini, pemerintah mendorong masing-masing wilayah/desa untuk mengembangkan satu atau dua komoditas utama yang mempunyai potensi besar. Melalui kebijakan tersebut diharapkan masing-masing wilayah akan dapat mengembangkan komoditas utama yang mempunyai daya saing tinggi. Peningkatan daya saing ini tidak hanya penting dalam era otonomi daerah untuk menghadapi persaingan sesama wilayah, tapi juga penting dalam menghadapi persaingan ditingkat global. Jika memiliki daya saing yang kuat, maka pemasaran produk akan semakin terjamin dan pengembangan ekonomi wilayah yang bersangkutan secara bertahap akan dapat ditingkatkan (Sjafrijal, 2008).

Pembangunan ekonomi Lokalita yang menyandarkan kepada basis ekonomi lokalitas yang tidak terlepas dari adanya pemanfaatan dan pemberdayaan

sumberdaya lokal akan mempercepat terjadinya pembangunan ekonomi lokal suatu wilayah (Blakely dalam Dartavia, 2003).

Fungsi koefisien Lokalita adalah melihat ada atau tidaknya pemusatan kegiatan pertanian di suatu wilayah, sehingga dapat diketahui apakah suatu komoditas produksinya terpusat pada suatu kecamatan atau tersebar di beberapa kecamatan.

Adanya penetapan lokasi untuk kegiatan pertanian sangat tergantung kepada input produksi dan keberadaan pasar untuk output. Jadi, besarnya permintaan pasar terhadap komoditas dan ketersediaan faktor-faktor produksi seperti modal, lahan dan tenaga kerja adalah faktor penentu utama dari lokasi produksi. Identifikasi nilai koefisien masing-masing komoditas akan dapat memprediksi lokasi potensial untuk pengembangan kegiatan pertanian tersebut. Selain itu juga bisa memperkirakan faktor-faktor lokasi yang berpengaruh terhadap perkembangan suatu komoditas di wilayah tertentu (Dartavia, 2003).

Location Quotient (LQ) adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Teknik Location Quotient merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sector kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. Location Quotient mengukur konsentrasi relative atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Location Quotient ialah suatu metode yang didasarkan pada teori basis ekonomi untuk menghitung perbandingan relatif sumbangan nilai tambah sebuah sektor di suatu region (kabupaten/kota) terhadap sumbangan nilai tambah sektor yang bersangkutan secara provinsi/nasional atau menghitung perbandingan antara share

output sektor i di kabupaten terhadap share output sektor i di provinsi. (Rusastra dkk, 2000)

Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan, begitu juga dengan metode Location Quotient. Kelebihan metode Location Quotient dalam menganalisis komoditas unggulan yaitu penerapannya yang sederhana, mudah, tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit, memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung serta dapat diterapkan pada data historik untuk mengetahui trend yang sedang berlangsung. Keterbatasan metode Location Quotient antara lain diperlukan akurasi data untuk mendapatkan hasil yang valid. Selain itu pada saat deliniasi wilayah kajian untuk menetapkan bahasan wilayah yang dikaji dan ruang lingkup aktivitas, metode ini tidak memiliki acuan yang jelas oleh karena itu data yang dijadikan sumber penelitian perlu diklarifikasi agar mendapatkan hasil yang akurat. Kelemahan lainnya, dalam menggunakan metode Location Quotient perlu berasumsi bahwa pola permintaan di setiap daerah identik dengan pola permintaan bangsa, bahwa produktivitas tiap pekerja di setiap sektor regional sama dengan produktivitas tiap pekerja dalam industri-industri nasional dan tingkat ekspor tergantung pada tingkat disagregasi.

Analisis koefisien spesialisasi merupakan metode analisis modifikasi dari analisis Location Quotient yang dapat menunjukkan ada atau tidaknya spesialisasi kegiatan pertanian di suatu wilayah. Selain itu juga dengan koefisien spesialisasi dapat diperoleh kejelasan tentang tingkat spesialisasi komoditas basis pertanian di wilayah tersebut.

Kecamatan yang bernilai spesialisasinya lebih tinggi daripada kecamatan lain dalam memproduksi suatu jenis komoditas dapat dinyatakan bahwa

kecamatan tersebut memiliki keunggulan dalam memproduksi komoditas tersebut dan nilai koefisien spesialisasi juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah dalam memproduksi komoditas pertanian (Dartavia, 2003).

Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini ada dua tahap penelitian dan tahap pertama adalah menganalisis potensi pertanian hortikultura Kabupaten Karo yang bertujuan untuk melihat seberapa besar potensi pertanian hortikultura komoditas kubis/kol masing-masing kecamatan di Kabupaten Karo. Selain itu pada tahapan ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran komoditas unggulan kubis/kol masing-masing wilayah di Kabupaten Karo.

Potensi pertanian hortikultura komoditas kubis/kol di Kabupaten Karo akan dianalisis dengan metode LQ (Location Quotient). Analisis Location Quotient (LQ) merupakan cara permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu, dimana pada dasarnya teknik analisis ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor didaerah yang diselidiki dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas (Warpani dalam Endro, 2008).

Analisis LQ (Location Quotient) juga bisa dipakai untuk menentukan koefisien lokasi atas dasar komoditas atau produksi suatu wilayah. Koefisien jenis ini biasa digunakan untuk menentukan apakah komoditas yang merupakan hasil suatu wilayah merupakan komoditas unggulan atau tidak (Nugroho, 2004).

Tahapan berikutnya adalah menganalisis penyebaran budidaya komoditas kubis/kol di Kabupaten Karo dengan menggunakan analisis Lokalita dan

kemudian menggunakan analisis koefisien spesialisasi yang umumnya digunakan untuk mengetahui spesialisasi (kekhususan) suatu wilayah/kecamatan pada suatu komoditas hortikultura di Kabupaten Karo (Warpani dalam Endro, 2008). Dan Dalam bentuk diagram kerangka pemikiran seperti tersaji pada gambar 1 :

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Pengaruh : Hasil

Penyebaran

Sub Sektor Hortikultura Potensi Wilayah Kabupaten

Karo

Penentuan Daerah Basis Kubis/kol

Memusat Menyebar Daerah Basis Daerah Non Basis

Kekhususan

Hipotesis Penelitian

1. Wilayah-wilayah atau kecamatan-kecamatan di Kabupaten Karo merupakan daerah basis.

2. Penyebaran komoditas kubis/kol di Kabupaten Karo tergolong memusat. 3. Spesialisasi komoditas kubis/kol di Kabupaten Karo mengarah ke asas

Dokumen terkait