Perumusan Masalah
C. sakazakii dapat mengontaminasi jagung pipilan dan tepung jagung selama penyimpanan. Kadar air awal jagung pipilan dan tepung jagung dan RH penyimpanan akan berpengaruh pada sintasan C. sakazakii. Permasalahan yang akan diteliti adalah mempelajari sintasan C. sakazakii pGFPuv selama penyimpanan dan:
1. Pengaruh kadar air awal bahan (jagung pipilan dan tepung jagung) terhadap sintasan C. sakazakii pGFPuv selama penyimpanan pada suhu ruang.
2. Pengaruh kondisi RH (Relative humidity) ruang penyimpanan terhadap sintasan C. sakazakii pGFPuv selama penyimpanan pada suhu ruang.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh kadar air awal bahan (jagung pipilan dan tepung jagung) terhadap sintasan C. sakazakii pGFPuv selama penyimpanan.
2. Untuk mengetahui pengaruh kondisi RH (Relative humidity) ruang penyimpanan terhadap sintasan C. sakazakii pGFPuv selama penyimpanan.
Hipotesis
1. Kadar air mempengaruhi sintasan C. sakazakii pada jagung pipilan dan tepung jagung selama penyimpanan.
2. RH penyimpanan mempengaruhi sintasan C. sakazakii pada jagung pipilan dan tepung jagung selama penyimpanan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar pertimbangan dalam menyimpan jagung pipilan dan tepung jagung pada kondisi kadar air awal bahan dan RH ruang penyimpanan yang tepat sehingga keamanan pangan terjaga.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Cronobacter sakazakii
Cronobacter spp. adalah bakteri patogen bawaan makanan yang memiliki bentuk koloni yang kecil, cembung (konveks), berwarna hijau kebiruan pada media agar kromogenik, bersifat Gram negatif, oksidase negatif, dan katalase positif (Li et al. 2014). Cronobacter spp. terdiri dari Cronobacter sakazakii,
3
Cronobacter dublinensis, Cronobacter dublinensis subsp. dublinensis, Cronobacter dublinensis subsp. lactaridi, Cronobacter dublinensis subsp. lausannensis (Iversen et al. 2008). Sifat-sifat spesifik dari spesies dan subspesies genus Cronobacter spp. berdasarkan uji biokimia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat-sifat spesifik dari spesies dan subspesies Cronobacter spp. pada uji
biokimia
Sifat-sifat spesifik 1 2 3 4 5 6 7 8
Produksi Indol - - - - + + + v
Pemanfaatan sumber karbon:
Dulcitol - - + + + - - - Lactulose + + + + + + + - Malonate - + + v + + - - Maltitol + + + + - + + - Palatinose + + + + v + + + Putrescine + v + v + + + v Melezitose - - + - - + - - Turanose + + + v v + v - myo-Inositol v v + + + + + - cis-Aconitate + + + + v + + + trans-Aconitate - + - + v + + + 1-0-Methyl-α-D-glucopyranoside + + + + - + + + 4-Aminobutyrate + + + v + + + +
Keterangan: 1: C. sakazakii; 2: C. malonaticus; 3: C. turicensis; 4: Cronobacter
genomospecies 1; 5: C. muytjensii; 6: C. dublinensis subsp. dublinensis; 7: C. dublinensis subsp. lactaridi; 8: C. dublinensis subsp. lausannensis.
+ : 90 % Positif; v : 20–80 % positif; - : 10 % positif (Iversen et al. 2008)
Cronobacter sakazakii (Gambar 1)adalah bakteri Gram negatif, motil, dan fakultatif anaerob yang dapat menyebabkan gejala infeksi seperti radang usus (necrotizing enterocolitis), keracunan darah (bacteremia), dan radang otak
(meningitis) dengan tingkat kasus kematian 50-80% (Healy et al. 2010). Golongan yang paling beresiko terinfeksi C. sakazakii adalah bayi yang baru lahir
(<28 hari), bayi dengan berat lahir rendah (<2500 g), bayi yang sistem imunnya menurun, dan bayi dari ibu yang positif HIV karena bayi tersebut membutuhkan susu formula yang kemungkinan terkontaminasi bakteri patogen ini (FAO-WHO 2008). Selain itu, C. sakazakii juga dapat menginfeksi orang tua dan orang yang memiliki daya imun yang menurun, seperti orang yang terkena HIV, transplantasi organ, atau kanker (CDC 2012).
Pertumbuhan C. sakazakii dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah jenis galur, suhu, pH, Aw, antibotik, perlakuan pengeringan, dan perlakuan
terhadap asam. Menurut Iversen et al. (2004) suhu minimal pertumbuhan
C. sakazakii pada suhu 6oC dan optimum pada suhu 37 - 43oC. C. sakazakii tahan terhadap antibiotik neomisin, tetracycline, doxycycline, tilmicosin, florfenicol, dan
vancomycin dan sensitif terhadap antibiotik streptomisin, gentamisin, kanamisin,
ciprofloxacin, enrofloxacin, ampisillin dan amoxisillin (Al-Nabulsi et al. 2011). Menurut Beuchat et al. (2009) pada buah-buahan dan sayuran seperti apel, tomat, dan selada yang diberi perlakuan bahan-bahan seperti klorin, klorin dioksida, dan
4
larutan asam peroksiasetat, jumlah C. sakazakii menurun sebesar 1,6-5,4 log CFU/g. Akan tetapi, C. sakazakii dalam bentuk biofilm pada permukaan stainless steel lebih tahan terhadap desinfektan dan kematiannya dipengaruhi oleh kondisi kelembaban relatif (RH) yaitu pada RH 100% > 23 = 43 = 68 > 85%.
Gambar 1 Sel Cronobacter sakazakii BCRC 13988 ( 20.000 x) (Chang et al. 2009)
C. sakazakii mempunyai ketahanan hidup terhadap perubahan suhu yang berbeda yang dipengaruhi oleh media pertumbuhan dan jenis galurnya (Iversen et al. 2004 dan Seftiono 2012). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai D pada suhu 50oC, 52 oC, 54oC, 56 oC, dan 58oC, serta nilai z dari C. sakazakii pada media
tryptic soy broth dan susu formula. C. sakazakii tahan terhadap pengeringan, dengan waktu pengeringan selama 8 hari dapat menurunkan kurang dari 2 siklus log (Alvarez-Ordonez et al. 2014). Menurut Beuchat et al. (2009) C. sakazakii
lebih tahan pada suhu 4°C daripada suhu 30oC selama 12 bulan penyimpanan.
C. sakazakii yang diisolasi dari produk makanan kering seperti bubuk lada dan tepung susu bayi memiliki ketahanan panas pada suhu pengeringan 40oC, 45oC dan 50oC (Nurjanah et al. 2013). C. sakazakii yang diberi perlakuan heat shock
pada suhu 47oC selama 15 menit lebih bertahan hidup selama spray drying, freeze drying dan fermentasi laktat dari susu skim dibandingkan C. sakazakii tanpa diberi perlakuan heat shock sebelumnya (Ling et al. 2010). C. sakazakii
dipanaskan pada media dengan pH 4 dan 7 dengan kisaran suhu 56-60oC dan 58-64oC untuk mempelajari ketahanannya terhadap panas pada pH tersebut.
Secara statistik dilihat perbedaan yang nyata (p≤0,05) pada nilai z dari
C. sakazakii yang dipanaskan dalam media dengan pH 4.0 (z = 4.79°C) dengan pH 7.0 (z = 4.06°C). Oleh karena itu, perbandingan nilai DT pada dua pH tersebut tidak konstan pada kisaran suhu yang digunakan, yang menunjukkan perbedaan ketahanan antara pH 4 dan pH 7 yang sedikit lebih rendah. Meskipun demikian,
C. sakazakii sepuluh kali lebih tahan panas pada pH 7 daripada pH 4, dalam kisaran suhu 56-60oC dan 58-64oC (Aroyo et al. 2009).
5
Tabel 2 Nilai D dan z untuk berbagai galur Cronobacter spp.
Media Galur nilai D (menit) nilai z
(oC) Pustaka 50oC 52oC 54oC 56oC 58oC Tryptic Soy Broth NCTC 11467 n.t. n.t 14.9 ± 0.65 2.7 ± 0.08 1.3 ± 0.28 5.6 ± 0.13 (Iversen et al. 2004) Susu Formula NCTC 11467 n.t. n.t. 16.4 ± 0.67 5.1 ± 0.27 2.6 ± 0.48 5.8 ± 0.40 (Iversen et al. 2004) DES b7a 104.17-117.65 33.00-49.75 20.00-25.32 5.40-8.55 1.72-1.90 4.60 (Seftiono 2012) DES b10 69.44-111.11 34.60-66.22 13.05-16.00 4.04-5.48 2.65 4.62-5.31 (Seftiono 2012) DES c13 84.03-117.65 17.92-49.50 16.39-20.12 6.06-11.36 2.55 5.04-5.69 (Seftiono 2012) DES d3 68.97-79.36 49.50-64.93 16.92-22.07 3.45-3.73 - 4.49-4.58 (Seftiono 2012) YR t2a 119.05-169.40 43.10-80.00 31.64-33.67 5.83 - 4.20-4.92 (Seftiono 2012) YR c3a 103.09-243.90 35.84-46.73 21.41-21.74 3.61-4.10 - 3.54-4.36 (Seftiono 2012) 6a 200-256.41 87.72-114.94 26.81-30.55 8.79-9.73 3.04-3.55 4.18-4.31 (Seftiono 2012) ATCC 104.17-172.41 68.03-83.33 13.64-17.24 9.0-9.9 - 4.54-5.14 (Seftiono 2012)
Keterangan: n.t. = tidak diuji
C. sakazakii di media susu formula bertahan hidup lebih lama daripada di media TSB (tryptic soy broth) pada suhu yang sama (Iversen et al. 2004). Demikian juga pada media hiperosmotik yaitu media dengan konsentrasi garam 8% NaCl dan 10% KCl (Alvarez-Ordonez et al. 2014). Dari penelitian Beuchat et al. (2009) C. sakazakii bertahan hidup lebih lama pada susu formula dan sereal kering bayi yang memiliki Aw rendah (0.25-0.30) daripada Aw tinggi (0.69-0.82).
C. sakazakii dalam formula dan sereal tersebut dapat tumbuh ketika dilarutkan dengan air yang bersuhu 12-30°C. Demikian juga menurut Arroyo et al. (2009) ketahanan C. sakazakii terhadap panas meningkat pada media yang ber-Aw 0.96, yaitu sebesar 32 kali lipat bila dibandingkan pada Aw > 0,99. Berdasarkan penelitian Dewanti-Hariyadi et al. (2012) ternyata dengan adanya penurunan Aw susu skim setelah proses pengeringan dan selama penyimpanannya dapat meningkatkan ketahanan hidup C. sakazakii Yrc3a selama pelarutan dengan air yang bersuhu 50oC.
C. sakazakii dapat tumbuh pada kondisi asam (pH minimum 3.9 atau 4.1) dengan suhu 37oC selama 24 jam (Dancer et al. 2009). C. sakazakii yang
6
dikeringkan mengalami penurunan ketahanan terhadap asam lebih besar daripada
C. sakazakii yang diadaptasi pada kondisi asam dan panas subletal. Penurunan ketahanan asam dari C. sakazakii yang dikeringkan tersebut adalah sebesar 2.9 log
dengan nilai D sebesar 20.7 detik. Sedangkan penurunan ketahanan asam dari
C. sakazakii yang diadaptasi pada kondisi asam tersebut adalah sebesar 0.2 log
dengan nilai D sebesar 139.2 detik dan penurunan ketahanan asam dari
C. sakazakii yang diadaptasi pada kondisi panas subletal tersebut adalah sebesar 2 log dengan nilai D sebesar 91.3 detik (Yang et al. 2014).
Cronobacter spp. dalam Jagung dan Produk Jagung
Cronobacter spp. telah diisolasi dari jagung dan produk jagung (Tabel 3). Di Nanjing Cina dari 12 sampel jagung yang diteliti, empat diantaranya positif mengandung Cronobacter spp. (Li et al. 2014). Di Indonesia dalam satu sampel pati jagung positif mengandung dua isolat Cronobacter spp. yang memiliki kesamaan sequence yang lebih dekat dengan strain C. sakazakii ATCC 29544 (Gitapratiwi et al. 2012). Adanya C. sakazakii pada produk maizena kemungkinan disebabkan oleh kontaminasi dari lingkungan, setelah proses pengeringan dan sebelum produk dikemas (Gitapratiwi 2011).
Tabel 3 Isolat Cronobacter spp. dalam jagung dan produk jagung
Kode Strain Sumber Isolat Referensi
C. sakazakii DES c7/ JF800180; C. sakazakii DES c13/JF800179 Pati jagung Pati jagung Gitapratiwi et al. (2012) Gitapratiwi et al. (2012) C. sakazakii DBM 3386 Pati jagung Krasny et al. (2014)
Cronobacter spp. Jagung Li et al. (2014)
Cronobacter spp. Gritz Jagung Iversen dan Forsythe (2004)
Cronobacter spp. Tepung jagung Restaino et al. (2006)
Sintasan Cronobacter sakazakii pada Kondisi Kering selama Penyimpanan
Cronobacter sakazakii dapat bertahan pada kondisi kering dalam waktu penyimpanan yang lama. Ketahanan hidup C. sakazakii dalam kondisi kering ini dipengaruhi oleh Aw dan suhu penyimpanan. Kondisi Aw produk dan suhu penyimpanan yang rendah merupakan kondisi yang disukai oleh C. sakazakii
untuk bertahan hidup. Penelitian Seftiono (2012) menunjukkan bahwa isolat
Cronobacter sakazakii YRt2a dapat bertahan pada kondisi kering (Aw 0.775). Pada formula bayi, populasi C. sakazakii menurun pada Aw 0.43-0.50 dibandingkan pada Aw 0.25-0.30 selama penyimpanan 6 bulan pada suhu 4oC, dan penurunannya lebih besar lagi pada suhu penyimpanan 30oC dibandingkan pada suhu 21oC dan 4oC (Beuchat et al. 2009).
Ketahanan C. sakazakii terhadap kondisi kering memiliki hubungan positif dengan ketahanannya terhadap pemanasan (Dancer et al. 2009). Cronobacter spp. YRt2a dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 56°C (Seftiono 2012). Penelitian Dewanti-Hariyadi et al. (2012) menunjukkan bahwa C. sakazakii pada susu skim bertahan pada pengeringan semprot suhu inlet 160oC dan suhu outlet
7
82oC, dan bertahan selama penyimpanan 3 bulan pada RH 50%, 70% dan 90%. Selain itu, kemampuan C. sakazakii bertahan pada kondisi kering disebabkan oleh adanya pemebentukan biofilm, trehalosa, dan protein yang berperan struktural dan protektif.
Ketika dalam kondisi kering, C. sakazakii membentuk biofilm yaitu memproduksi selulosa (komponen dari matriks polisakarida ekstraselulernya) dengan menempel pada permukaan hidrofilik dan hidrofobik (Lehner et al. 2005).
C. sakazakii pada susu formula bayi dapat menempel di stainless steel, silikon dan
lateks dengan cara membentuk biofilm pada suhu 37oC (Iversen et al. 2004).
C. sakazakii yang ditumbuhkan di IFB (Infant Formula Broth) membentuk biofilm pada suhu 25oC pada stainless steel (Kim et al. 2006).
C. sakazakii pada fase stasioner lebih resisten terhadap kondisi kering daripada C. sakazakii pada fase exponensial. C. sakazakii fase stasioner hanya menurun 1-1.5 log, sedangkan C. sakazakii fase exponensial menurun lebih dari 6 log dalam 2 minggu pada suhu 25oC. Kemampuan C. sakazakii bertahan pada kondisi kering ini disebabkan oleh kemampuan C. sakazakiii dalam mengakumulasi trehalosa. Trehalosa adalah disakarida nonreduksi dari glukosa yang berperan dalam melindungi bakteri C. sakazakii terhadap pengeringan dengan cara menstabilkan membran fosfolipid dan protein. Konsentrasi trehalosa pada sel stasioner C. sakazakii meningkat lebih dari lima kali daripada sel eksponensialnya (Breeuwer et al. 2003).
Mekanisme trehalosa pada sel yang mengalami kekeringan disebut dengan
water replacement hypotesis. Trehalosa akan berikatan (ikatan hidrogen) secara langsung dengan gugus polar dari fosfolipid sehingga dapat menstabilkan ikatan yang sebelumnya ditempati air (Gambar 2). Trehalosa dapat meningkatkan tegangan permukaan dengan cairan intraseluler sehingga dapat mencegah terjadinya autolisis. Semakin banyak cairan intraseluler terikat dengan trehalosa maka interaksi hidrofobik intramolekuler akan semakin meningkat, sehingga kerusakan membran dan protein dapat dicegah (Leslie et al. 1995).
Gambar 2 Mekanisme trehalosa (A = membran fosfolipid, B = trehalosa berikatan pada gugus polar dari fosfolipid, C = integritas membran tetap stabil) (Patist dan Zoerb 2005)
Penelitian Riedel dan Lehner (2007) menggunakan pendekatan proteomik untuk mempelajari toleransi C. sakazakii strain z235 terhadap kekeringan yang diisolasi dari tepung buah. C. sakazakii bertahan dalam keadaan kering karena adanya akumulasi protein yang berperan struktural dan protektif. Protein tersebut
8
adalah protein heat shock (Hsp), protein cold shock (Cspc), protein perlindungan dan perbaikan (Dps), protein pegikatan DNA (Hns) seperti histon, dan protein protektif yang melawan oksigen radikal, superoksida dismutase dan alkil hidroperoksida reduktase. Penelitian Alvarez-Ordonez et al. (2014) menjelaskan bahwa sintesis protein denovo, perbaikan kerusakan DNA dan protein, pemeliharaan struktur dan keutuhan luar sel, sintesis glutamine sebagai zat terlarut yang kompatibel, dan pengaturan nukleotida dan nukleosida merupakan proses sel di bawah tekanan osmotik. Sistem Cpx, dikenal sebagai regulator respon stress luar, dan faktor sigma RpoN dan RPOs merupakan sinyal utama yang mengatur respon bakteri terhadap kondisi hiperosmotik. Mutan yang sensitif garam mengalami gangguan pada dna K dan dna J yang menyandi dua molekul charopene, yang penting bagi C. sakazakii untuk bertahan hidup di bawah pengeringan.
Pemanfaatan C. sakazakii Mutan Berlabel GFP dalam Kajian Pengeringan
Pelabelan pada bakteri bertujuan sebagai penanda agar mudah membedakan dengan bakteri lain. Dengan adanya penanda tersebut maka perilaku bakteri target lebih mudah dipelajari tanpa gangguan mikroba lain pada lingkungan. Pelabelan dapat dilakukan dengan menggunakan radioisotop dan senyawa fluoresens yang dapat berikatan secara kovalen dengan DNA yang dapat diidentifikasi, misalnya Green Fluorescent Protein (Hsieh et al. 1986; Ma et al. 2011). Menurut Ma et al. (2011) pelabelan GFP tidak mengganggu karakteristik pertumbuhan inangnya.
Sebelumnya Fiegen (2010) di Jerman melakukan pelabelan GFP pada
Cronobacter spp. menggunakan metode CaCl2 untuk mempelajari penetrasinya di dalam akar jagung. Pelabelan GFP pada Cronobacter spp. juga telah dilakukan oleh Nurjanah et al. (2014) dengan melakukan transformasi pGFPuv menggunakan metode CaCl2 dan kejut panas (heat shock) yang bertujuan untuk mempelajari ketahanannya terhadap pengeringan pada jagung. C. sakazakii
berlabel GFP ini dapat tumbuh pada media mengandung ampisilin dan menunjukkan koloni spesifik berwarna hijau fluorosens di bawah sinar UV yang dapat dilihat pada Gambar 3. Teknik pelabelan ini juga telah berhasil dilakukan pada bakteri Gram negatif seperti pada E.coli 0157:H7, Salmonella, Listeria (Ma
et al. 2011), Escherichia coli HB101, Escherichia coli ATCC 1129 dan
Pseudomonas putida (Allison dan Sattensall 2007).
Beberapa penelitian telah menggunakan bakteri yang berlabel GFP untuk mempelajari karakternya, seperti pada bakteri E.coli 0157:H7 dan C. sakazakii.
Vialette et al. (2004) menggunakan GFP pada E.coli 0157:H7 untuk mempelajari karakternya pada variasi suhu, pH dan aktvitas air. E.coli 0157:H7 yang berlabel GFP memiliki waktu lag, kecepatan pertumbuhan, nilai pH, dan aktivitas air yang tidak berbeda dengan isolat wild type-nya. E.coli 0157:H7 yang berlabel GFP tersebut dapat tahan pada pH 4-7, NaCl 0.5-8% dan suhu 8-45oC. Nurjanah et al. (2013) menggunakan C. sakazakii yang berlabel GFP untuk mempelajari ketahanannya selama pengeringan jagung. Jumlah C. sakazakii pGFPuvFWHd16 dan YRt2a mengalami penurunan selama pengeringan jagung pada suhu 40oC, 45oC, dan 50oC. Isolat toksik C. sakazakii pGFPuv FWHd16 lebih tahan pada
9
suhu 40oC, 45oC, dan 50oC dibandingkan dengan C. sakazakii pGFPuv YRt2a yang nontoksik. Keberadaan C. sakazakii pada jagung kering dapat disebabkan oleh adanya suhu pengeringan yang rendah, kadar air jagung lebih besar dari 14%, kemampuan C. sakazakii melakukan penempelan atau kolonisasi pada permukaan jagung dan berpenetrasi ke dalam jagung melalui bagian yang luka atau melalui rongga-rongga di bagian tip cap.
Gambar 3 C. sakazakii berlabel GFP di bawah sinar UV
Sulistyanti (2013) juga menggunakan C. sakazakii yang berlabel GFP untuk mempelajari ketahanannya pada maizena. Proses perendaman jagung pada suhu 52oC dan pengeringan maizena pada suhu 50oC dapat mereduksi
Cronobacter spp. pGFPuv. Ketahanan C. sakazakii pGFPuv YRt2a terhadap panas lebih tinggi daripada C. sakazakii pGFPuv FWHc3. Jumlah C. sakazakii
pGFPuv FWHc3 dan YRt2a mutan menurun berturut-turut sebesar 2.19 log dan 1.45 log pada pengeringan suhu 50oC setelah 6 jam, bahkan setelah 24 jam pengeringan isolat mutan tersebut tidak terdeteksi lagi.
Jagung Pipilan dan Tepung Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia selain gandum dan padi. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung tongkolnya) (Respati et al. 2013). Jagung varietas Pioneer umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan jagung pipilan kering dan tepung jagung oleh industri, salah satunya jagung varietas Pioneer P27 Gajah. Menurut Dupont Pioneer (2012) bahwa jagung varietas Pioneer P27 Gajah memiliki keunggulan sifat tongkol dan batang yang besar, perakaran yang kuat, dapat berproduksi baik di kondisi cuaca hujan tinggi dan lahan yang kurang subur, dan produktivitasnya tinggi.
10
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3920:2013, jagung pipilan adalah hasil tanaman jagung (Zea mays L.) berupa biji kering yang telah dilepaskan dan dibersihkan dari tongkolnya. Jagung diklasifikasikan dalam empat kelas mutu, yaitu mutu I, II, III, dan IV. Persyaratan mutu jagung dibagi dua yaitu persyaratan umum dan khusus. Persyaratan umum yang harus dipenuhi adalah bebas hama dan penyakit, dan bebas dari bau busuk, asam, atau benda asing sedangkan persyaratan khusus jagung ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Syarat mutu jagung menurut SNI 3920:2013
Parameter Satuan Persyaratan mutu
I II III IV
Kadar air maks % (bb) 14 14 15 17
Butir rusak maks % 2 4 6 8
Butir warna lain maks % 1 3 7 10
Butir pecah maks % 1 2 3 3
Kadar kotoran maks % 1 1 2 2
Kadar aflatoksin maks µg/kg 5 5 15 20
Sumber: BSN (2013)
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays L.) yang baik dan bersih. Secara umum, terdapat dua metode pembuan tepung jagung yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah, biji jagung yang telah disosoh direndam dalam air selama 4 jam lalu dicuci, ditiriskan dan diproses menjadi tepung menggunan mesin penepung. Penepungan dengan metode basah menghasilkan rendemen tepung lebih tinggi dibandingkan dengan metode kering. Pada metode kering, biji jagung yang telah disosoh langsung ditepungkan tanpa perendaman (Suarni 2009). Komposisi kimia tepung jagung varietas Pioneer 21 berdasarkan hasil penelitian Etikawati (2007) dapat dilihat pada Tabel 5. Kadar lemak tepung jagung yang rendah akan menguntungkan dari segi penyimpanan karena tepung dapat disimpan lebih lama. Syarat mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 5 Komposisi kimia tepung jagung dari varietas Pioneer 21
Komposisi Kimia Jumlah (%)
Kadar air 5.46 Kadar protein 6.32 Kadar abu 0.31 Kadar lemak 1.78 Kadar karbohidrat 86.18 Kadar amilopektin 43.52 Kadar amilosa 23.04 Sumber: Etikawati (2007)
11
Tabel 6 Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995
Sumber: BSN (1995)
Penyimpanan Jagung dan Tepung Jagung
Penyimpanan jagung adalah suatu cara pengamanan jagung dari kerusakan yang berkaitan dengan waktu. Cara penyimpanan jagung dapat dilakukan dalam bentuk tongkol, pipilan dalam karung, tepung dalam plastik, atau dalam silo. Penyimpanan jagung dilakukan rata-rata selama lebih dari 3 bulan dalam bentuk
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan:
1.1. Bau - Normal
1.2. Rasa - Normal
1.3. Warna - Normal
2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada
3. Serangga dalam bentuk stadia dan potong-potongan
- Tidak boleh ada 4. Jenis pati lain selain pati
jagung
- Tidak boleh ada 5. Kehalusan
5.1. Lolos ayakan 80 mesh % Min. 70
5.2. Lolos ayakan 60 mesh % Min. 99
6. Air % b/b Maks. 10
7. Abu % b/b Maks 1.5
8. Silikat % b/b Maks. 0.1
9. Serat kasar % b/b Maks. 1.5
10. Derajat asam ml. N. NaOH/100 g Maks. 4.0
11. Cemaran logam:
11.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.0
11.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0
11.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0
11.4. Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.05
12. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0.5
13. Cemaran mikroba:
13.1. Angka lempeng total koloni/g Maks. 106
13.2. E. coli APM/g Maks. 10
12
pipilan (Qanytah dan Prastuti 2008). Biji-bijian selama penyimpanan masih mengalami proses respirasi karena bahan tersebut masih hidup. Menurut William (1991), ada beberapa faktor yang berpengaruh pada penyimpanan biji-bijian yaitu tipe dari bij-bijian, periode penyimpanan, metode penyimpanan, suhu lingkungan, kadar air bahan, adanya bahan asing, proteksi fisik, dan kelembaban relatif.
Plot antara kadar air dan RH pada suhu tertentu dikenal sebagai kurva kadar air keseimbangan atau isotherm sorpsi air. Kurva desorpsi isotermis kadar air kesetimbangan jagung pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4. Daerah penyimpanan jagung yang aman adalah pada kadar air jagung dan RH ruang penyimpanan yang rendah yaitu pada kadar air di bawah 14% dan RH di bawah 60%. Sebaliknya, semakin tinggi kadar air jagung dan RH ruang penyimpanan maka semakin mudah rusak jagung selama penyimpanan
Gambar 4 Kurva isotherm desorpsi air kesetimbangan jagung pada suhu berbeda (Kulp dan Ponte 2000)
Kontaminasi kapang selama penyimpanan jagung umumnya adalah dari kelompok kapang Aspergillus dan Fusarium. (Medina-Martinez dan Martinez 2000). Penelitian Leong et al. (2012) menemukan adanya populasi kapang selama penyimpanan jagung yang terdiri dari Aspergillus caesiellus, Aspergillus ostianus,
Aspergillus wentii, Chaetomium sp., Cladosporium tenuissimum, Eunpenicillium shearii, Eurotium herbariorum, Fusarium boothii, Fusarium equiseti, Fusarium meridionale, Fusarium oxysporum, Fusarium pseudograminearum, Fusarium udum, Fusarium verticillioides, Gibberella fujikuroi, Hypocrea viridescens,
Nigrospora oryzae, Penicillium citrinum, Penicillium crustosum, Penicillium fellutanum, Penicillium glabrum, Penicillium simpliciccimum, Penicillium steckii,
Penicillium variabile, Stenocarpella macrospora, dan Trichoderma atroviride. Jumlah kapang pada jagung dipengaruhi oleh kadar air jagung selama penyimpanan. Jagung yang berkadar air 14.8% memiliki jumlah kapang lebih rendah daripada jagung yang berkadar air 18% selama 2 minggu penyimpanan
13
pada suhu 25oC dan RH 85% (Reed et al. 2007). Demikian juga, menurut penelitian Sone (2001) jagung yang berkadar air 13% memiliki jumlah kapang lebih rendah daripada jagung yang berkadar air 16% dan 19% selama penyimpanan 80 hari pada suhu 26.6oC dan RH 60±5%. Jagung pipilan yang berkadar air 13,1% mengalami pertumbuhan kapang Penicillium spp., A. glaucus,
dan A. flavus lebih rendah daripada jagung pipilan yang berkadar air 14.5% selama penyimpanan pada suhu 26oC (Marks dan Stroshine 1995).
Penyimpanan jagung selama 75 hari dalam kondisi hermetis (vakum) pada kadar air 14-18% mengalami penurunan jumlah kapang, khamir, dan bakteri, serta tidak mengalami pembusukan. Akan tetapi, jumlah kapang, khamir, dan bakteri pada jagung yang berkadar air 20 dan 22% mengalami peningkatan sehingga dapat menyebabkan pembusukan (Weinberg et al. 2008). Hal ini disebabkan oleh air yang tersedia pada jagung digunakan oleh kapang, khamir, dan bakteri untuk pertumbuhannya. Semakin besar kadar air jagung tersebut, maka semakin banyak jumlah air yang digunakan kapang, khamir, dan bakteri untuk pertumbuhannya sehingga dapat menyebabkan pembusukan pada jagung. Jumlah kapang dan khamir pada tepung jagung dengan kadar air lebih kecil dari 10% yang disimpan dalam kemasan plastik lebih rendah daripada yang disimpan dalam kemasan kertas selama penyimpanan 6 bulan pada suhu 25oC dan RH 60%. Jumlah kapang dan khamir pada tepung jagung (kadar air lebih kecil dari 10%) yang disimpan pada suhu 40oC lebih rendah daripada yang disimpan pada suhu 25oC selama
penyimpanan 6 bulan pada kemasan plastik polietilen dan RH 60% (Carrilo-Perez et al. 1988).
Selain kadar air, faktor lain yang berpengaruh pada jumlah kapang dan khamir pada jagung pipilan selama penyimpanan adalah jumlah awal kapang dan khamir pada jagung tersebut. Jagung pipilan dengan jumlah awal kapang dan