• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pertanian Lahan Kering

Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang tahun (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering juga didefinisikan sebagai salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan), tanaman tahunan dan peternakan (Aburachman et al. 2008), akan tetapi pengelolaan dan penggunaannya harus tepat sesuai kemampuan lahannya (Noeralam 2002). Menurut Sinukaban (1994) lahan kering berpotensi untuk swasembada pangan. Hal ini terlihat dari penyebaran lahan kering yang cukup luas sekitar 75.4 % dari luas total wilayah Indonesia (Aburachman et al. 1999). Menurut Solahuddin (1996) pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi dan kebutuhan air sangat bergantung curah hujan dikenal dengan pertanian lahan kering termasuk sistem pertanian di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB).

Kendala-kendala yang harus diperhatikan dalam pengembangan pertanian lahan kering di Kawasan Timur Indonesia adalah (1) kendala ekologis dan biofisik lahan; (2) cara pengelolaan lahan, masih dilakukan dengan penebangan dan pembakaran hutan yang mengakibatkan perubahan terhadap ekosistem dan biofisik lahan; dan (3) sosial ekonomi. Kondisi sosial dan ekonomi petani tergolong marginal yaitu pendapatan rendah, tingkat pendidikan dan pengetahuan terbatas, produktivitas rendah dan teknologi yang dikuasai sangat sederhana.

Untuk dapat meningkatkan produktivitas lahan perlu diterapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Menurut Sinukaban (1994) sistem pertanian konservasi (SPK) perlu diterapkan ke dalam sistem pertanian yang ada dengan tujuan: (1) meningkatkan pendapatan petani; (2) meningkatkan kesejahteraan petani; (3) sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian lahan kering dapat berkelanjutan. Tujuan pertanian berkelanjutan menurut Lal (1994) adalah: (1) mencegah terjadinya degradasi lahan; (2) meningkatkan produksi secara terus-menerus; dan (3) meningkatkan produktivitas lahan dengan memproduksi komoditi yang berorientasi pasar; serta (4) menjaga kualitas lingkungan.

Pengembangan pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi produksi melalui: (1) perubahan pola tanam; (2) penggunaan komoditi yang menguntungkan; dan (3) penggunaan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi daerah (KEPAS 1989 dalam Noeralam 2002). Untuk dapat mendukung produktivitas dan keberhasilan usaha tani lahan kering di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) maka sumberdaya air perlu dikelola dengan baik. Karena menurut Laimeheriwa et al. (2002) sistem pertanian lahan kering di Kepulauan Maluku berkaitan langsung dengan jumlah dan distribusi hujan serta sifat tanah dalam memegang air.

Aliran Permukaan dan Erosi

Kelebihan air hujan yang mengalir di permukaan tanah dan tidak dapat meresap ke dalam tanah atau hujan yang jatuh melebihi kapasitas infiltrasi tanah

5

didefinisikan sebagai aliran permukaan (Chan 2002). Aliran permukaan akan terjadi bila hujan yang jatuh telah mencukupi kebutuhan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan mengisi cekungan–cekungan di permukaan tanah (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 2008). Menurut Arsyad (2006) bentuk aliran inilah yang menjadi penyebab erosi. Terdapat beberapa sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuannya dalam menimbulkan erosi yaitu: (1) jumlah; (2) kecepatan; (3) laju; dan (4) gejolak aliran permukaan.

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian- bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami berupa air dan angin (Arsyad 2006). Secara singkat proses erosi dimulai dari terdispersinya tanah atau agregat tanah oleh tumbukan butir hujan dan gerusan aliran permukaan (detachment), selanjutnya material atau partikel tanah yang terpecahkan diangkut oleh aliran permukaan (transportation) dan diendapkan di tempat lain (deposition). Jadi menurut Arsyad (2006) erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, selain itu berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap dan menahan air. Suripin (2004) juga menambahkan proses ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah untuk produksi pertanian, dan kualitas lingkungan hidup.

Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan dan kemampuannya menimbulkan erosi adalah: (1) iklim; (2) tanah; (3) vegetasi; (4) topografi; dan (5) sistem pengelolaan tanah. Menurut Kartasapoetra et al. (1987) di Indonesia faktor iklim yang menyebabkan erosi adalah curah hujan dengan rata-rata curah hujan melebihi 1500 mm/tahun. Sifat-sifat hujan yang menentukan terjadinya aliran permukaan dan erosi adalah (1) jumlah dan lama hujan; (2) intensitas hujan; dan (3) distribusi hujan (Sitorus 2004). Hujan dalam waktu yang singkat tidak menimbulkan aliran permukaan, sedangkan hujan dengan intensitas yang sama dalam waktu yang lama akan menimbulkan aliran permukaan dan erosi. Selain curah hujan, setiap perlakuan yang diberikan terhadap tanah dapat mempengaruhi kepekaan dan ketahanan tanah terhadap erosi. Hal ini berkaitan dengan sifat fisik dan kimia tanah diantaranya: (1) tekstur; (2) struktur; (3) kandungan bahan organik; (4) kedalaman; (5) sifat lapisan tanah; (6) dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad 2006) sehingga setiap jenis tanah memiliki kepekaan dan ketahanan yang berbeda terhadap erosi.

Sistem Peresapan Biopori

Biopori (biopore) adalah ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air ke dan di dalam tanah. Jumlah dan ukuran biopori mengikuti pertumbuhan akar tanaman dan banyaknya populasi serta aktivitas organisme tanah (Brata dan Nelistya 2008).

Kelebihan biopori dibandingkan dengan pori makro adalah: (1) biopori lebih mantap karena dilapisi oleh senyawa organik yang dikeluarkan oleh tubuh cacing (Lee 1985 dalam Brata dan Nelistya 2008); (2) biopori berbentuk lubang silindris yang bersinambung dan tidak mudah tertutup oleh adanya proses pengembangan karena pembasahan pada tanah yang bersifat vertik sekalipun (Dexter 1988 dalam

6

Brata dan Nelistya 2008); dan (3) dapat menyediakan saluran bagi peresapan air (infiltrasi) yang lancar ke dalam tanah (Smettem 1992 dalam Brata dan Nelistya 2008). Secara teknis konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan mengendalikan evaporasi, transpirasi, dan aliran permukaan. Karena menurut Arsyad (2006) struktur tanah yang baik dan lubang-lubang atau celah-celah yang ditimbulkan oleh aktivitas fauna tanah dapat memperbesar peresapan air ke dalam tanah.

Sistem peresapan biopori merupakan sistem peresapan yang didasarkan pada perbaikan kondisi ekosistem tanah untuk meningkatkan fungsi hidrologinya. Sistem peresapan biopori ini terdiri atas dua komponen utama yaitu saluran peresapan biopori (SPB) dan lubang resapan biopori (LRB). SPB adalah saluran yang memanfaatkan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa vertikal sehingga terjadi proses pembentukan biopori oleh aktivitas fauna tanah pada saluran. Ukuran dimensi SPB yang digunakan adalah saluran dengan lebar 20 cm dan kedalaman 15 cm. LRB adalah teknologi konservasi tanah dan air berupa lubang berbentuk silindris dengan diameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah yang kedalamannya sekitar 100 cm dari permukaan tanah atau tidak melebihi muka air tanah. Lubang kemudian diisi dengan sisa-sisa tanaman untuk mendorong terbentuknya biopori (Brata dan Nelistya 2008).

Sisa-sisa tanaman yang diberikan pada saluran yang menutupi bidang resapan secara vertikal dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, karena pori tanah terlindungi oleh sisa-sisa tanaman sehingga menghambat penyumbatan pori tanah yang dikenal sebagai mulsa vertikal (Brata 1998). Manfaat ganda yang dapat diperoleh dari mulsa vertikal ini adalah: (1) mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus; (2) menghindari kemungkinan penularan hama dan penyakit tanaman yang ada pada sisa tanaman; (3) membantu proses pelapukan akibat aktivitas mikroorganisme; (4) memperbaiki sifat fisik tanah sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran; (5) campuran kompos dan sedimen yang tertampung dalam saluran dapat dikembalikan ke bidang pertanaman setelah panen; dan (6) saluran yang telah dikosongkan dapat digunakan lagi untuk mengomposkan sisa-sisa tanaman pada musim tanam berikutnya (Brata 2001). Brata (1998) juga menyampaikan bahwa alur yang diberi mulsa vertikal meningkatkan infiltrasi yang lebih besar dari pada alur tanpa mulsa. Mulsa vertikal yang terdapat dalam alur akan terdekomposisi menjadi kompos, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Manfaat yang diperoleh dari LRB adalah: (1) memperbaiki ekosistem tanah; (2) mencegah banjir; (3) menambah cadangan air tanah; (4) mengatasi kekeringan; (5) mempermudah penanganan sampah; (6) mengubah sampah menjadi kompos; serta (7) mengatasi masalah akibat genangan (Brata dan Nelistya 2008).

Menurut Yanuar (2005) dan Harianja (2011) penggunaan lubang resapan dan mulsa pada saluran mampu mencegah aliran permukaan dan erosi dengan efektivitas mencapai 100 % serta mampu menekan kehilangan unsur hara dibandingkan perlakuan kontrol.

Pada prinsipnya saluran peresapan biopori (SPB) dan lubang resapan biopori (LRB) ini dirancang untuk meningkatkan laju peresapan air ke dalam tanah. Semakin banyak air yang meresap ke dalam tanah, akan meningkatkan kelembaban tanah sehingga kebutuhan air bagi tanaman tersedia. Menurut

7 Hardjowigeno (1985) dan Soepardi (1983) ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi oleh kemampuan tanah menahan air, sedangkan kemampuan tanah tersebut dipengaruhi oleh tekstur tanah, struktur tanah, dan kandungan bahan organik yang cenderung meningkatkan jumlah air yang ditahan dan jumlah air yang tersedia bagi pertumbuhan tanaman. Selain kemampuan tanah menahan air, ketersediaan air dalam tanah bergantung juga dari: (1) banyaknya curah hujan atau air irigasi; (2) besarnya evapotranspirasi; dan (3) tingginya muka air tanah (Hardjowigeno 1985). Besarnya ketersediaan air bagi tanaman dan kecepatan penyerapan air oleh akar ditentukan oleh perbedaan tegangan antara tanaman dengan tanah (Sosrodarsono dan Takeda 2003).

Padi Gogo

Padi gogo merupakan tanaman padi yang dibudidayakan pada lahan kering, sumber airnya tergantung pada curah hujan (Purwono dan Purnamawati 2008). Berbeda dengan padi sawah, pertumbuhan padi gogo langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, akibatnya terdapat berbagai tekanan seperti kekeringan.

Mengingat jumlah lahan kering yang tersebar di Indonesia cukup luas, maka pengembangan padi gogo sebagai tanaman pangan utama pada pertanian lahan kering perlu ditingkatkan. Menurut Prasetyo (2002) keuntungan yang dapat diperoleh dari pengembangan padi gogo antara lain: (1) secara nasional ikut dalam mempertahankan swasembada beras dengan kontribusi 5 %; (2) meningkatkan penghasilan petani; (3) ditanam sebagai tanaman sela di perkebunan sehingga konservasi tanah terjaga.

Beberapa kriteria suatu lahan potensial dapat ditanami padi gogo adalah: (1) kedalaman efektif tanah lebih dari 25 cm; (2) tekstur liat, berdebu halus, berlempung halus sampai kasar; (3) pori air tersedia sedang sampai tinggi; (4) tanah tidak berbatu-batu; (5) pH 4-8; (6) kejenuhan Al < 40 %, iklim lebih basah dari D3; (7) kelas drainase agak terhambat sampai agak cepat; dan (8) jumlah bulan basah kurang dari 4 bulan (Soepraptohardjo dan Suwardjo 1988). Di samping itu, Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian (1998) menyatakan pertumbuhan tanaman pangan memerlukan curah hujan diatas 100 mm/bulan minimal untuk memenuhi keperluan evapotranspirasi. Untuk tanaman padi gogo dibutuhkan curah hujan lebih dari 200 mm/bulan, minimal 4 bulan secara berurutan.

Selain memanfaatkan air hujan secara optimal untuk menghindari resiko kegagalan akibat cekaman kekeringan, maka salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan adalah mengintroduksi varietas unggul (Toha et al. 2009). Menurut Bambang et al.(2009) Varietas Situ Bagendit merupakan salah satu varietas unggul padi gogo yang tahan terhadap blas dan hawar daun bakteri strain III dan IV, memiliki potensi produksi 4 ton/ha untuk pertanian lahan kering dan dipanen setelah tanaman mencapai umur 110-120 hari (Lampiran 1).

8

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini meliputi dua kegiatan, yaitu percobaan lapangan dan analisis laboratorium terhadap beberapa sifat kimia tanah. Percobaan lapangan dilakukan di Desa Latdalam, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Provinsi Maluku. Analisis sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB Bogor. Penelitian berlangsung pada bulan Maret hingga November 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan pertanian, benih padi gogo (Oryza sativa) varietas Situ Bagendit yang diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten MTB, serasah jagung yang berasal dari sisa pertanaman penduduk Desa Latdalam, Urea, TSP, KCl, Dolomit, furadan, karpet plastik (farlak), alumunium foil, sampel air dan sedimen, serta bahan kimia untuk analisis laboratorium.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak penampung aliran permukaan dan erosi, alat untuk membuat petakan erosi, penakar hujan, meteran, bor biopori, cangkul, timbangan, oven, ember, ajir, gelas ukur, kertas saring, alat tulis, kamera digital, labu Kjeldhal/digestion, destilator dan labunya, buret, tabung reaksi, spectrophotometer, dan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer).

Prosedur Percobaan Lapangan

a. Perlakuan

Percobaan lapangan dilakukan untuk mengukur aliran permukaan dan erosi pada plot erosi menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK). Petakan erosi dibuat pada lahan pertanian dengan ukuran 10 m x 2 m dan jarak antar petak 0.5 m. Perlakuan yang diujikan adalah :

1) T0: tanpa perlakuan teknik konservasi tanah dan air.

2) T1: bedengan selebar 180 cm dengan saluran menurut kontur (lebar 20 cm dan kedalaman 15 cm).

3) T2: perlakuan T1 dengan Saluran Peresapan Biopori (SPB). SPB adalah saluran yang diisi dengan serasah jagung sebanyak 3 ton/ha sebagai mulsa vertikal.

4) T3 : perlakuan T1 dengan Lubang Resapan Biopori (LRB). Pada dasar saluran dibuat 2 LRB dengan diameter lubang 10 cm dan kedalaman 100 cm, jarak antar lubang 100 cm. kemudian lubang diisi dengan serasah jagung sebanyak 3 ton/ha.

9 5) T4 : kombinasi perlakuan T2 dan perlakuan T3.

Untuk mencegah keluar-masuknya air dari dan ke petakan, maka setiap petak dibatasi dengan pembatas (karpet plastik/farlak) setinggi 20 cm di atas permukaan tanah dan 30 cm tertanam dalam tanah (Lampiran 26). Pada ujung bawah petakan dibuat bak penampung aliran permukaan dan erosi yang ditutup dengan karpet plastik agar air hujan yang jatuh tidak langsung masuk ke dalam bak penampung. Sebelum perlakuan diujikan sampel tanah diambil secara komposit pada kedalaman 0 - 5 cm untuk analisis pendahuluan.

b. Penanaman dan Pemeliharaan

Setiap petakan ditanami padi gogo varietas Situ Bagendit dengan metode baris ganda dan sistem pengolahan tanah minimum. Jarak tanam dalam baris ganda 20 cm x 15 cm dan jarak antar baris ganda 33 cm. Benih dimasukkan bersamaan dengan furadan ke dalam lubang tanam yang telah dibuat dengan tugal sebanyak 3 biji per lubang. Pupuk dasar diberikan 2 hari sebelum tanam dan 6 Minggu Setelah Tanam (6 MST), dengan cara ditaburkan pada alur yang telah dibuat di tengah baris ganda sedalam 5 cm, kemudian ditutup dengan tanah. Dosis pupuk yang diberikan adalah Urea 100 kg/ha, TSP 200 kg/ha, KCl 100kg/ha, dan Dolomit 1 ton/ha pada pemupukan pertama. Dosis pupuk yang sama tanpa Dolomit diberikan pada pemupukan kedua. Pemeliharaan meliputi penyulaman yang dilakukan pada saat tanaman berumur 6 hari setelah tanam, penyiangan dari gulma dan pengendalian hama dengan pestisida nabati. Tanaman dipanen setelah mencapai umur 120 hari.

c. Pengamatan

Parameter yang diamati:

1) aliran permukaan diperoleh dengan mengukur volume air yang tertampung dalam bak penampung,

2) erosi diukur dengan menimbang bobot kering sedimen yang keluar petakan dan bak penampung,

3) kehilangan unsur hara diperoleh dengan menganalisis konsentrasi hara pada contoh air dan tanah hasil aliran permukaan dan erosi,

4) sedimen terselamatkan diukur pada akhir musim tanam dengan menimbang bobot sedimen yang tertampung dalam saluran dan lubang resapan biopori. Sedimen yang berada dalam saluran diambil dengan cangkul sampai batas dasar saluran yang ditandai dengan tali rafia. Sedimen yang berada dalam lubang resapan diambil menggunakan bor tanah. Contoh sedimen diambil secara komposit pada saluran bagian atas, tengah, dan bawah untuk analisis konsentrasi N-total, P-tersedia, C-organik, dan K-dd,

5) kadar air tanah dilakukan dengan mengambil contoh tanah pada kedalaman 5 cm (pagi hari pukul 07.00 WIT dan siang hari pukul 14.00 WIT) yang mewakili bedengan bagian atas, tengah, dan bawah beberapa hari tidak hujan secara berurutan saat pertumbuhan maksimum.

10

Pengukurannya dilakukan secara gravimetri dan dinyatakan dalam persen berat. Tujuannya untuk memonitor perubahan kelembaban tanah pada setiap perlakuan.

6) pertumbuhan dan produksi tanaman dilakukan dengan mengambil 6 tanaman contoh secara acak (bukan tanaman pinggiran) mewakili bedengan bagian atas, tengah, dan bawah dengan mengukur tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada 3 sampai 11 MST (Minggu Setelah Tanam), jumlah anakan produktif, menimbang bobot gabah kering panen dan jerami kering. Untuk mendapatkan bobot kering dilakukan pengeringan sampel dengan penjemuran langsung dibawah sinar matahari selama 7 s/d 8 hari.

Analisis Sifat Kimia Tanah

Analisis sifat kimia tanah dilakukan pada beberapa sifat kimia tanah yang hilang melalui aliran permukaan dan erosi serta unsur yang dapat diselamatkan bersama sedimen. Sifat kimia tanah yang dianalisis meliputi: N-total, C-organik, P-tersedia, dan K-dd, dengan jenis analisis dan metode yang tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan metode analisis laboratorium

Jenis analisis Metode analisis Pengekstrak

N-Total Micro-Kjeldhal H2SO4

C-organik Walkley-Black K2Cr2O7 N

P-tersedia Bray-1 Bray-1

K-dd AAS NH4OAc pH7

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Model matematika yang digunakan, dapat ditulis sebagai berikut :

Yij = u + αi + βj + εij Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j u = rataan umum

αi = pengaruh perlakuan ke-i (i = 0,1,2,3,4) βj = pengaruh ulangan ke- j (j = 1,2,3)

εij = galat acak

Analisis ragam (Anova) dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diteliti dan analisis beda nyata terkecil (BNT) untuk mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan. Di samping itu, analisis regresi dilakukan dengan program Minitab 16 untuk menduga hubungan fungsi antara curah hujan dan aliran permukaan, curah hujan dan erosi, serta aliran permukaan dan erosi.

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Tanah Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dulunya berupa hutan hujan tropis, namun sejak 15 tahun yang lalu sebagian hutan tersebut kemudian diolah dan dialihgunakan oleh masyarakat setempat menjadi ladang dengan tanaman utama adalah kelapa. Selain kelapa pola penanamannya juga berupa umbi-umbian, pisang, singkong, jagung, kacang-kacangan, dan tanaman lainnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Karena sistem pertaniannya masih berupa ladang berpindah, akibatnya lahan yang digunakan untuk penelitian sudah dibiarkan terlantar berupa semak belukar selama 3 tahun. Sementara itu berdasarkan kondisi di lapang, lokasi penelitian memiliki bentuk lahan cembung dengan lereng agak datar dan elevasi ± 100 m dpl. Untuk mengetahui jenis tanah pada lokasi penelitian dilakukan pengamatan terhadap karakteristik tanah. Karakteristik tanah yang diamati dengan profil tanah meliputi horison (susunan dan ketebalan), warna, tekstur tanah, struktur tanah, dan konsistensi tanah (Tabel 2).

Menurut Laumonier et al. (2005) jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) berkembang dari limestone (bahan induk kapur) dan local soil groups (kelompok tanah asal). Berdasarkan Peta Geologi semi detil skala 1:25 000 dalam Laumonier et al. (2005), daerah penelitian tersusun atas batuan kapur sehingga dapat dikatakan bahwa tanah di lokasi penelitian seluruhnya berkembang dari bahan induk kapur. Jumlah curah hujan rata-rata tahunan di lokasi penelitian sebesar 2000 mm/thn dengan suhu udara berkisar antara 30-32 ˚C.

Lokasi : Bersorak, Desa Latdalam, Kec. Tan-Sel, Kab. MTB Bahan induk : Batu kapur

Fisiografi : Elevasi sekitar 100 m dpl Topografi : Datar dengan lereng ± 2 % Kelas drainase : Baik

Vegetasi : Kelapa, semak belukar Kedalaman efektif : 34 cm

Tabel 2 Sifat-sifat morfologi tanah Simbol Uraian

Ao 0-4 cm. Hitam (10 YR 2/1); lempung berdebu; struktur granular, sangat halus, tanpa struktur; sangat gembur (lembab); banyak akar halus dan sedang; batas baur, rata.

Ap 4-29 cm. Hitam (10 YR 2/1); lempung berliat; struktur granular, halus, lemah; sangat gembur (lembab); banyak akar; batas baur tidak teratur.

A1 29-54 cm. Coklat abu-abu sangat gelap (10 YR 3/2); lempung liat berdebu; struktur gumpal membulat, halus, sedang; gembur (lembab), agak lekat ; batas jelas, berombak.

C > 54 cm. Abu-abu putih. Tidak berstruktur dan merupakan bahan induk tanah.

12

Tabel 3 Sifat kimia tanah dan beberapa sifat fisik tanah sebelum percobaan Jenis analisis Hasil analisis Kriteria PPT (1983)

pH H2O (1:1) 5.50 Masam pH KCl 4.80 C-organik (%) 3.27 Tinggi N-total (%) 0.30 Sedang P Bray-1 (ppm) 19.47 Sedang P HCl 25% (ppm) 82.5 KTK (me/100g) 33.97 Tinggi Ca (me/100 g) 14.52 Tinggi Mg (me/100g) 6.53 Tinggi K (me/100g) 0.58 Sedang Na (me/100g) 0.78 Sedang Al (me/100g) - H (me/100g) 0.20 KB (%) 65.97 Tinggi Fe (ppm) 0.29 Cu (ppm) 0.03 Zn (ppm) 0.77 Mn (ppm) 5.49 Pasir (%) 13.03 Debu (%) 15.86 Liat (%) 71.11

Ket: (-) tidak terukur

Berdasarkan hasil pengamatan profil tanah tersebut, dapat dikatakan bahwa jenis tanah pada lokasi penelitian adalah Renzina (berdasarkan Sistem Klasifikasi PPT 1983) atau Rendoll berdasarkan Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 1994), yang tergolong ke dalam order Mollisol. Hal ini juga disampaikan oleh Jewel et al. (2006) bahwa jenis tanah yang dominan di Desa Latdalam adalah Rendoll.

Renzina merupakan tanah dengan epipedon mollik (warna gelap, kandungan bahan organik > 1 %, kejenuhan basa (KB) > 50 % dan berada di atas batuan kapur (Hardjowigeno 1985; Hardjowigeno 2003). Mollisol merupakan tanah yang subur dengan hanya sedikit pencucian sehingga memiliki kejenuhan basa tinggi (Rachim dan Suwardi 1999). Warna tanah yang hitam disebabkan oleh tingginya kandungan Ca dalam tanah dan kandungan lignin yang tinggi, lignin tersebut berasal dari akar rumput yang merupakan sumber bahan organik pada tanah Mollisol (Fanning dan Faning 1985 dalam Prasetyo et al. 1999).

Ada pun hasil analisis laboratorium terhadap sifat kimia tanah dan beberapa sifat fisik tanah sebelum percobaan disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3, tanah di lokasi penelitian termasuk tanah yang subur karena memiliki sifat kimia tanah yang baik diantaranya: (1) kandungan C-organik yang tinggi yaitu sebesar 3.27 %; (2) nilai kejenuhan basa (KB) tinggi yaitu sebesar 65.97 %; (3) nilai kapasitas tukar kation (KTK) tinggi yaitu sebesar 33.97 %; (4) kadar N-total dan K-dd tergolong sedang yaitu sebesar 0.30 % dan 0.58 me/100g; (5) P-tersedia juga termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 19.47 ppm; dan (6) Al tidak terukur. Akan tetapi, yang sering menjadi kendala

13 utama pada tanah ini adalah faktor iklim terutama kurangnya ketersediaan air. Walau demikian jenis tanah ini sangat berarti untuk pengembangan pertanian di daerah ini. Jika tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan penurunan produksi dan menimbulkan kerusakan lahan.

Curah hujan, Aliran permukaan, dan Erosi

Laimeheriwa et al. (2002) menyatakan iklim di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) termasuk Zona C3 yaitu bulan basah 5-6 bulan dan bulan kering 4-5 bulan dengan curah hujan yang berkisar antara 1000-2000 mm/thn berdasarkan klasifikasi Oldeman (1975). Secara administrasi Desa Latdalam termasuk dalam wilayah Kecamatan Tanimbar Selatan Kabupaten MTB sehingga iklimnya termasuk dalam Zona C3 dengan bulan basah 6 bulan dan bulan kering 5 bulan. Pola curah hujannya termasuk pola hujan bimodal atau memiliki dua puncak hujan yang terjadi pada bulan Desember dan bulan Mei.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan jumlah curah hujan pada bulan Mei tergolong tinggi sebesar 351.1 mm (Lampiran 25). Jumlah dan lamanya curah

Dokumen terkait