• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

Menurut Blakely dan Bade, (1991) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle) Group : Taurinae

Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)

Bos indicus (sapi India/sapi Zebu)

Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)

Sapi Brahman Cross (BX)

Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan, karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO‟S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford

4 dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotip sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977).

Sapi Brahman Cross (BX) memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81.2%, (2) rataan bobot lahir 28.4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5.2%, mortalitas sebelum disapih 4.4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1.2% dan mortalitas dewasa sebesar 0.6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Turner, 1977).

Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40.91%, (2) calf crop 42.54%, (3) mortalitas pedet 5.93%, (4) mortalitas induk 2.92%, (5) bobot sapih umur 8-9 bulan 141.5 kg (jantan) dan 138.3 kg (betina), (6) pertambahan bobot badan sebelum disapih sebesar 0.38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994).

Sapi Brahman

Bangsa sapi Brahman dikembangkan di Amerika Serikat dengan mencampurkan darah tiga bangsa sapi India yaitu bangsa-bangsa Gir, Guzerat dan Nellore. Sapi Brahman merupakan bangsa sapi ukuran medium, pedetnya juga berukuran berat medium, namun berat sapi umumnya termasuk ringan. Sapi ini bertanduk dan warnanya bervariasi mulai dari abu-abu muda, totol-totol, sampai hitam. Terdapat punuk pada punggung di belakang kepala, yang merupakan kelanjutan dari otot-otot pundak dengan telinga yang berpendulous panjang, serta adanya pendulous yang longgar sepanjang leher. Sapi Brahman mempunyai sifat-sifat yang hanya dipunyai oleh beberapa bangsa sapi tertentu, yaitu ketahanannya

5 terhadap kondisi tatalaksana yang sangat minimal, toleransi terhadap panas, kemampuannya untuk mengasuh anak, daya tahan terhadap kondisi yang jelek seperti penyakit dan parasit. Sapi Brahman banyak digunakan untuk persilangan dengan sapi-sapi lain. Kelemahan yang dimilki oleh bangsa sapi ini adalah toleransi terhadap suhu udara yang rendah, masak lambat serta rendahnya fertilitas (Blakely dan Bade, 1991).

Sapi Simmental

Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss. Sapi Simmental berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anaknya dengan baik serta pertumbuhannya cepat, badannya panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991). Sapi Simmental berukuran besar, lebih besar dari pada bangsa sapi yang terdapat di Inggris. Pertumbuhan ototnya sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak dibawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecoklatan hingga sedikit merah dan warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor warna bulunya putih. Tanduknya tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapihnya tinggi demikian pula pertambahan berat badannya setelah sapih. Produksi susunya tinggi (rata-rata 3.900 kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kira-kira 1.150 kg dan yang betina kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna), diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986).

Produktivitas Sapi Potong di Indonesia

Ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah rendahnya populasi dan tingkat produksi ternak sapi. Segi kualitas daging sapi yang ada pada umumnya berkualitas rendah, dipengaruhi oleh umur sapi, jenis kelamin dan kondisi tubuh.

6

Produksi Sapi Potong

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker) dan penggemukan (finisher).

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performanya, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan maka ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong. Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat, karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan di kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993).

Reproduksi Sapi Potong

Aspek reproduksi merupakan dasar utama di dalam peternakan dan menentukan tingkat prestasi produksi. Semakin tinggi tingkat reproduksi yang dicapai, maka produksi yang dicapai akan meningkat pula (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979). Sistem reproduksi jantan dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak kelamin (pubertas), yakni umur pada saat dicapai dewasa kelamin. Umur pada saat tercapainya masak kelamin, bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur 8-18 bulan (Blakely dan Bade, 1991). Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat menyolok karena timbul secara tiba-tiba. Umumnya sapi-sapi Brahman dan Zebu mencapai pubertas 6-12 bulan lebih lambat daripada bangsa-bangsa sapi Eropa. Ternak sapi betina bangsa Eropa pubertas mulai timbul pada umur 6-18 bulan, sedangkan sapi Brahman dan Zebu pada umur 12-30 bulan. Penurunan tingkat makanan pada sapi potong pada umumnya dapat memperlambat pubertas (Toelihere, 1979). Umur pubertas lebih awal dapat terjadi pada perkembangan sapi dara yang dipelihara dengan baik atau memilki kondisi badan yang baik.

7 Umur yang dianjurkan pada perkawinan pertama sapi potong adalah 14-22 bulan. Sapi-sapi dara Eropa yang tumbuh baik tidak dikawinkan sebelum mencapai umur 14-18 bulan, karena pubertas berkembang jauh sebelum dapat terjadi konsepsi, kebutingan dan kelahiran normal. Sapi potong yang kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18-24 bulan (Toelihere, 1979).

Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi

Fertilisasi maksimal akan dihasilkan jika mortalitas dan kesehatan sperma yang dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina berjumlah cukup serta pada tempat dan waktu yang terbaik saat ovulasi (Gomes, 1977). Hal ini menurut Toelihere (1993), memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Puncak keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) tergantung dari penempatan semen berkualitas tinggi yang tepat di dalam alat reproduksi betina (Bearden dan Fuguay, 1997).

Tanda-tanda visual sapi betina menjelang berahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya. Kunci untuk menentukan sedang berahi adalah sapi betina yang akan tetap diam apabila dinaiki (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Frandson (1993), konsepsi masih dapat terjadi pada sapi yang dikawinkan mulai dari 34 jam sebelum ovulasi sampai 14 jam setelah ovulasi. Spermatozoa dari pejantan harus hadir sekurang-kurangnya 6 jam di dalam uterus atau oviduk betina sebelum mampu membuahi sebuah ovum (Frandson, 1993). Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Evaluasi semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade, 1991).

8

Efisiensi Reproduksi

Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception. Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan service per conception (S/C). Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval

(CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6 dan conception rate (CR) 62,5%.

Service per Conception (S/C)

Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor

ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Service per conception

merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga ternak tersebut bunting. Nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1979) berkisar antara 1,6-2,0. Penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi berahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

Conception Rate (CR)

Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai

conception rate atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis

kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45–60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di negara

9 maju dapat berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%.

Calving Interval (CI)

Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang. Umur sapih pedet cenderung memperpanjang jarak beranak. Sapi menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak. Menurut Bowker et al. (1978), faktor -faktor yang mempengaruhi jarak beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak

Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Sapi Potong

Menjaga kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik, maka pemeliharaan dan perawatan harus dilakukan sebaik-baiknya. Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya, sehingga usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan

10 fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda dan sapi dewasa (finishing).

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu intensif, ekstensif dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua yaitu (a) sapi dikandangkan terus-menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif, sedangkan kelemahannya modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakannya (Parakkasi, 1999).

Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Sistem ekstensif biasanya aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Daerah yang luas padang rumputnya, tandus dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian, maka dapat dilakukan usaha peternakan secara ekstensif. Beberapa daerah melepaskan ternaknya di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakannya dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming system atau Sistem Pertanian Terpadu adalah petani biasanya memelihara beberapa ekor ternak sapi dengan maksud digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).

Perkandangan

Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan terhadap binatang buas, pencuri dan kandang juga merupakan salah satu sarana untuk menjaga kesehatan.

11 Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) adalah sebagai berikut:

1. Konstruksi kandang harus kuat

2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup

4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak 6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung

7. Kandang isolasi dibuat terpisah

Manajemen Pemberian Pakan

Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar lebih dari 18%, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993).

Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi, karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya, sebagai contoh sapi dewasa, finish sedang dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999). Office

International des Epizooties (OIE) (2006) menjelaskan bahwa pakan komersial juga

harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar, tanggal kadaluarsa dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording kualitas bahan pakan yang

12 diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan. Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna.

Adaptasi terhadap Iklim dan Topografi

Iklim merupakan perpaduan dari berbagai unsur seperti suhu, curah hujan, kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya dan pengionan. Suhu dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981). Indonesia termasuk daerah tropis, sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim yang berbeda-beda. Negara yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim sangat basah, setengah basah dan kering. Banyak daerah yang memiliki iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) maupun sapi impor dari luar negeri. Salah satu faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum, bila hal ini terus terjadi akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi sapi (Williamson dan Payne, 1993).

Tanah berdasarkan segi topografinya dibedakan menjadi tanah datar dengan kelandaian kurang dari 2o, tanah beralun dengan landaian 2-5o, tanah berombak dengan landaian 5-8o, tanah bergelombang dengan landaian 8-12o , tanah berbukit dengan lereng-lereng 12-23o, tanah curam dengan lereng lebih dari 23o (Tafal, 1981).

13

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten. Pengamatan dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2010. Pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011.

Materi

Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu induk sapi Brahman Cross

(BX) yang diinseminasi buatan dengan bangsa sapi pejantan berbeda dan pedet hasil persilangannya yang terdapat di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Induk sapi Brahman Cross (BX) dibedakan berdasarkan bangsa pejantan yang digunakan pada saat IB (BX x Brahman dan BX x Simmental). Alat-alat yang digunakan adalah alat tulis dan termohygrometer.

Prosedur Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei dengan data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan, wawancara langsung dengan staf dan karyawan PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten, serta pengamatan langsung di daerah penelitian. Data sekunder diperoleh dari PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Data sekunder merupakan data periode tahun 2008-2010 yang terdiri atas sejarah perusahaan, struktur organisasi, SOP (perkandangan, manajemen pemberian pakan, pembersihan kandang, recording ternak, penanganan anak, seleksi ternak, penanganan ternak bunting, penanganan kelahiran, pengawinan ternak dan penanganan kesehatan), populasi sapi bibit, perkawinan, produktivitas, penyapihan, seleksi induk serta recording ternak dan kesehatan.

14

Rancangan Percobaan Perlakuan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Rancangan Acak Lengkap faktorial 2 x 2 dimana faktor A adalah dua semen sapi pejantan yang berbeda bangsa yaitu bangsa Brahman dan Simmental, sedangkan faktor B adalah jenis kelamin pedet yang berbeda, yaitu jantan dan betina. Penelitian ini terdapat kombinasi 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan jumlah ulangan yang tidak sama.

Model matematik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah: Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ εijk

Keterangan :

Yijk = nilai harapan dari perlakuan ke-I pada ulangan ke-j µ = nilai rataan umum dari harapan yang diinginkan AI = pengaruh faktor A ke-i ( i= Brahman, Simmental) Bj = pengaruh faktor B ke-j ( j= jantan, betina)

(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A pada taraf ke-I dan faktor B pada taraf ke-j.

εijk = galat percobaan dari kombinasi perlakuan (ij) pada ulangan ke-k (1,2,3,4)

Analisis Data

1. Analisis deskriptif. Data calving interval, service per conception, conception

rate, dan calving rate yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis

deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten terutama dalam penanganan sapi bibit.

2. Data bobot lahir dan bobot sapih yang diperoleh kemudian dianalisa dengan

analysis of variance (ANOVA), apabila ada perbedaan nyata (P<0,05) dan

sangat nyata (P<0,01) antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji-t tingkat kepercayaan 95%.

15

Peubah yang Diamati 1. Calving Interval (CI)

Calving interval (CI) adalah selang waktu dari beranak sampai beranak

berikutnya (jarak beranak).

CI (bulan) = kelahiran bulan ke-i – kelahiran ke (i-1)

2. Service per conception (S/C)

Service per conception (S/C)adalah jumlah pelayanan IB (jumlah straw)

yang diperlukan untuk menghasilkan kebuntingan seekor sapi.

3. Conception rate (CR)

Conception rate (CR) adalah jumlah positif bunting pada IB pertama dibagi

akseptor yang di IB dkali 100%.

4. Calving rate (C/R)

Calving rate adalah jumlah kelahiran dibagi jumlah akseptor yang di IB di

kali 100%.

5. Bobot lahir

Bobot lahir adalah berat awal pedet pertama kali ditimbang sesaat setelah lahir.

6. Bobot sapih

Bobot sapih adalah berat pada saat pedet pertama kali disapih (dipisahkan dari induknya).

16

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Tata Letak

PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu peternakan sapi potong yang bergerak di bidang breeding, fattening dan trading. Perusahaan ini terletak di Jalan Raya Serang-Pandeglang km 9.6 Desa Sindangsari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten. PT LJP Serang-Banten berada sekitar 200 m dari jalan raya, memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan air laut. Rataan suhu di sekitar lokasi perusahaan adalah 28 ºC

Dokumen terkait