• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik bekatul

Bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses penggilingan padi. Menurut FAO dalam Houston (1972), bekatul adalah hasil samping dari penggilingan padi yang sebenarnya merupakan selaput inti biji padi. Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, seed coat, nucellus, dan aleurone. Proses penggilingan padi menjadi beras menghasilkan beras sebanyak 60-65%. Bekatul yang diperoleh dari penggilingan padi adalah 8-12%. Menurut catatan Pusat Penelitian dan Pengembangan pertanian Bogor dalam Nursalim dan Razali (2007), kegiatan penyosohan beras dapat mengikis 7,5% dari bobot beras awal berupa bekatul yang memiliki kadar selulosa dan hemiselulosa yang paling tinggi dibandingkan dengan beras. Bekatul merupakan dedak yang paling halus dengan komponen utamanya dalah endosperm. Penampang bujur biji gabah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Penampang membujur biji gabah

Menurut David (2008), dedak dihasilkan pada proses penyosohan pertama, sedangkan bekatul pada proses penyosohan kedua. Proses penyosohan merupakan proses penghilangan dedak dan bekatul dari bagian endosperma beras. Menurut Damardjati (1988) proses penggilingan padi menghasilkan bekatul sebesar 13,51%. Tujuan penyosohan untuk menghasilkan beras yang lebih putih dan bersih. Makin tinggi derajat sosoh, semakin putih dan

4  

bersih penampakan beras, tapi semakin miskin zat gizi. Pada penyosohan beras dihasilkan dua jenis hasil samping, yaitu dedak dan bekatul.

Komposisi Kimia dan Kegunaan Bekatul

Bekatul mengandung air, protein, lemak, abu, serat kasar dan selulosa. Komposisi kimia bekatul beragam tergantung pada varietas, proses penggilingan, kondisi lingkungan, penyebaran kandungan kimia dalam butir padi, ketebalan lapisan luar, ukuran dan bentuk butiran padi, ketahanan butir terhadap kerusakan dan metode analisa zat gizi yang digunakan. Jenis padi dan lokasi berpengaruh signifikan terhadap komposisi zat gizi bekatul (Houston 1972). Kisaran kandungan zat gizi makro dan mikro serta komponen kimia lainnya pada bekatul disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia bekatul menurut beberapa penelitian

Komponen Juliano & Bechtel (1985) Luh (1991)

Protein (%) 11.3-14.9 12.0-15.6 Lemak (%) 15.0-19.7 15.0-19.7 Serat kasar (%) 7.0-11.4 7.0-11.4 Karbohidrat (%) 34.1-52.3 34.1-52.3 Abu (%) 6.6-9.9 6.6-9.9 Kalsium (mg/g) - 0.3-1.2 Magnesium (mg/g) - 5.0-13.0 Fosfor (mg/g) - 11.0-25.0 Silika (mg/g) - 5.0-11.0 Seng (μg/g) - 43.0-258.0 Thiamin (μg/g) - 12.0-24.0 Riboflavin (μg/g) - 1.8-4.0 Tokoferol (μg/g) - 149-154

Karbohidrat yang terdapat pada bekatul berupa selulosa, hemiselulosa dan pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperma yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove 1994). Damayanthi et al. (2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan.

Selain zat gizi makro, bekatul juga mengandung zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Vitamin yang terkandung dalam bekatul antara lain karoten (4,2 μg/g), thiamin (10,1-27,9 μg/g), riboflavin (1,7-3,4 μg/g), niacin (236-590 μg/g), piridoksin (10,3-32,1 μg/g), asam pantotenat (27,7-71,3 μg/g), biotin (0,16- 0,60 μg/g), inositol (4,62-9,27 μg/g), kolin (1,28-1,70 μg/g), asam folat (0,5-1,46 μg/g), vitamin B12 (0,005 μg/g) dan tokoferol (149,2 μg/g) (Houston 1972).

5  

Bekatul adalah sumber vitamin B kompleks dan tokoferol, tetapi rendah vitamin A dan vitamin C. Sebagian besar vitamin yang ada dalam padi terdapat pada bagian aleuron dan lembaga. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang kaya akan kandungan vitamin. Vitamin B kompleks dan vitamin E (tokoferol) banyak ditemukan di dalam bekatul (220-320 ppm), sedangkan vitamin A (0.9-1.6 ppm) dan vitamin C hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber 1980).

Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis, di antaranya gamma oryzanol (2200-3000 ppm), tokoferol dan tokotrienol (220-320 ppm), fitosterol (2230-4400 ppm), karotenoid (0.9-1.6 ppm), vitamin B (tiamin,22- 31 ppm) (Helal 2005). Tokoferol (vitamin E) berperan sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah. Oryzanol merupakan fraksi tidak tersabunkan dari minyak bekatul yang dapat membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (Kahlon et al. 1994).

Bakatul mempunyai sifat fungsional penurun kolesterol yang disebut efek hipokolesterolemik. Mekanisme yang mendasari penurunan kolesterol adalah kemampuan serat menyerap lipid pada jalur saluran pencernaan dan peningkatan ekskresi asam empedu (Kahlon et al. 1994). Selain itu, bekatul mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim angiotensin I-converting enzyme (ACE), suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (Ardiansyah 2004).

Bekatul juga mengandung zat anti-gizi dan enzim yang sangat merugikan. Zat anti-gizi dapat menghambat metabolisme tubuh, sedangkan keberadaan enzim menyebabkan ketengikan bekatul. Zat anti-gizi di dalam bekatul meliputi fitin, tripsin inhibitor, dan hemaglutinin. Zat anti-gizi tersebut mempunyai aktivitas yang rendah dan dapat diinaktifkan melalui pemanasan. Fitin yang terdapat pada lapisan aleuron merupakan garam fitin-fosfor sebanyak 2.3-2.6%, sedangkan fitinnya sebesar 1.8%. Tripsin inhibitor berupa protein albumin yang larut dalam air, tetapi tidak menghambat kimotripsin, pepsin dan papain. Hemaglutinin adalah zat yang mampu mengaglutinisasi sel-sel darah merah tipe A, B, AB, dan O (Juliano 1985).

Kandungan lemak dalam bekatul cukup tinggi. Minyak bekatul mengandung asam-asam lemak tidak jenuh mencapai 80% (Ciptadi dan Nasution 1979). Kandungan lemak yang tinggi menyebabkan mudahnya terjadinya ketengikan dalam beberapa jam setelah penggilingan. Ketengikan ini

6  

disebabkan karena hidrolisis oleh enzim lipase pada lapisan biji dan melintang pada gabah serta ketengikan oksidatif. Enzim lipase dapat menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Jika enzim lipase tidak diinaktifkan maka asam lemak bebas akan meningkat satu persen setiap jam pada suhu kamar (Luh 1980). Enzim lipoksigenase mengoksidasi asam lemak bebas menjadi peroksida kemudian menjadi keton dan aldehid. Ketengikan akan mempengaruhi penerimaan bekatul sebagai bahan makanan.

Kandungan protein dalam bekatul dapat mencapai 15,4% (Houston 1972). Protein dedak padi mempunyai asam amino esensial yang lengkap sehingga mempunyai nilai gizi yang tinggi. Nilai gizi protein dedak ternyata tidak berbeda jauh dengan nilai gizi protein pada kacang kedelai (Ciptadi dan Nasution 1979). Komposisi asam amino esensial bekatul lebih baik dibandingkan tepung terigu. Komposisi asam amino esensial bekatul disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi Asam Amino Bekatul, Tepung Terigu dan Beras (g/16 g N) No Asam

amino Bekatul (Juliano 1985)

Tepung Terigu (Suarni & Patong

1999) Beras (Juliano 1985) 1 Alanin 6,5-7,0 0,49 5,6 2 Arginin 8,6-9,1 0,73 9,3 3 Glisin 5,8-6,2 0,56 4,6 4 Isoleusin 2,9-4,5 0,43 4,1 5 Leusin 7,6-8,4 0,88 8,2 6 Lisin 5,3-6,0 0,38 3,9 7 Fenilalanin 4,9-5,3 0,61 5,1 8 Prolin 4,6-6,1 1,51 4,7 9 Serin 5,1-6,0 0,32 5,1 10 Threonin 4,2-4,6 0,36 9,2 11 Tirosin 3,5-3,8 0,39 5,2 12 Valin 5,4-6,6 0,55 5,8

Bekatul mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi mencapai 20,9%. Kandungan serat pangan pada bekatul dapat mencapai empat kali lipat serat kasarnya. Serat pangan sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Serat ini tidak dapat dihidrolisa oleh enzim pencernaan. Bahan yang mengandung banyak serat akan mempercepat transit time sisa makanan di dalam usus sehingga menjadi lebih pendek. Selain itu serat pangan juga dapat menurunkan kolesterol dalam darah.

Bahan pangan yang mempunyai serat yang tinggi juga cenderung mempunyai indeks glikemik yang rendah. Indeks glikemik adalah tingkatan

7  

pangan menurut efeknya terhadap peningkatan kada gula darah. Pangan dengan indeks glikemik yang tinggi cepat menaikkan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian 2004). Serat dalam bentuk utuh bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan sehingga indeks glikemik cenderung rendah. Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat. Dengan demikian respon glukosa darah juga lambat.

Bekatul mempunyai beberapa manfaat bagi kesehatan. Penelitian pada binatang dan manusia, bekatul dan fraksi bekatul menunjukkan potensi efek penurunan level kolesterol. Beberapa senyawa yang mempunyai aktivitas menurunkan kadar koleseterol antara lain orizanol, hemiselulosa, fraksi serat, protein dan komponen lemak tidak jenuh ganda dan tunggal (Saunder dalam Malekian F et.al 2000).

Pemanfaatan Bekatul

Penggunaan bekatul sangat bervariasi, mulai dari bahan bakar sampai bahan makanan, termasuk pupuk, pharmaceutical, sabun dan makanan. Minyak bekatul kasar dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam olet dan asam stearat dan sabun (Salvador B dan Carmen BB 1980). Pemanfaatan bekatul antara lain sebagai bahan bakar, makanan, pupuk, obat- obatan, sabun dan pakan (Barber S dan Barber CB 1980). Selain itu, bekatul juga dapat digunakan untuk minyak salad, bahan baku kosmetik dan suplemen kesehatan (Nursalim dan Razali 2007).

Pangan

Bekatul dapat digunakan sebagai bahan baku pangan. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai bahan pencapur pada pembuatan biskuit dan kue. Pemanfaatan bekatul yang diawetkan dengan ekstruder antara lain dimanfaatkan sebagai sarapan sereal. Perbandingan antara tepung bekatul dengan tepung beras adalah 90:10 sampai dengan 30:70 yang dicampur kemudian diekstruksi pada kadar air 21%. Hasilnya adalah ekstrudat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30%) dan oblonglong rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70%). Peningkatan penambahan bekatul sampai 30% akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air, sebaliknya meningkatkan indeks air larut dan densitas kamba (Damardjati dan Luh dalam damayanthi 2002).

8  

Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 sebesar 45% terhadap tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memiliki penerimaan yang baik sedangkan substitusi pada risoles, nagasari dan cucur masing-masing sebesar 55% juga dapat diterima dengan baik (Damayanthi 2002). Substitusi sebesar 15% pada tepung terigu dilaporkan memberikan hasil yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough sponge dan metode straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat makanan (hemiselulosa, selulosa dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi et al. Dalam Damayanthi 2002). Bekatul juga dapat dikonsumsi dalam bentuk minuman bekatul. Minuman bekatul tersebut terdiri atas campuran bekatul 14 gram dan air sebanyak 220 ml (Damayanthi 2002).

Penemuan lembaga Eykman Jakarta, dedak padi dapat diekstrak menjadi sumber vitamin B. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negri baru pada pengekstrakan dedak untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun (Tangenjaya dalam Damayanthi 2002). Minyak murni yang diekstraksi dari bekatul dapat digunakan untuk memasak. Bekatul juga dapat dikonsumsi secara langsung sebagai minuman dan campuran sup (Nursalim dan Razali 2007). Bekatul juga digunakan sebagai sumber vitamin B15 yang dapat dikonsumsi dalam bentuk kapsul.

Pakan

Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak. Penggunaan bekatul sebagai pakan dapat dikombinasikan dengan pakan lain. Bekatul mempunyai berbagai kelemahan sebagai pakan. Kelemahan tersebut antara lain kandungan serat yang tinggi, kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, proporsi Kalsium dan Fosfor berbeda dari yang disarankan sebagai pakan, kandungan gizi yang bervariasi antar jenis bekatul dan tingkat kestabilan yang rendah (Barber S dan Barber CB 1980).

Industri lainnya

Bekatul dapat digunakan dalam berbagai industri yaitu, industri kosmetik, sabun, pupuk, obat-obatan dan pembuatan kertas karbon. Minyak bekatul yang tidak termurnikan dapat dimanfaatkan untuk produksi sabun dari asam lemak. Minyak bekatul murni dapat digunakan sebagai pupuk pengganti insektisida. Minyak bekatul murni juga dapat dimanfaatkan dalam industri tekstil dan kulit. Produk sisa ekstraksi minyak bekatul yang berupa malam (wax) dapat digunakan dalam pembuatan kertas karbon (Nursalim dan Razali 2007).

9  

Diversifikasi Pangan

Undang-undang No. 7 tahun 1996 yang diatur pelaksanaanya di dalam peraturan pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Dalam kaitannya dengan diversifikasi pangan, dianjurkan untuk menggali potensi tanaman lokal yang sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Selain itu, juga dianjurkan untuk menggali potensi diversifikasi pangan yang dikonsumsi golongan miskin dengan tetap memperhatikan kandungan gizi (Soekartawi 1993 dalam Antara 2001). Salah satu potensi yang dapat digali adalah bekatul. Bekatul mempunyai nilai ekonomi yang rendah tetapi memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan komponen bioaktif oryzanol sehingga para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan pangan dari bekatul yang memiliki palatabilitas tinggi (Damardjati dalam Damayanthi 2002).

Penganekaragaman konsumsi pangan sampai saat ini belum mencapai kondisi yang optimal, yang dicirikan oleh skor pola pangan harapan (PPH) yang belum sesuai harapan (75,7 pada tahun 2009), dan belum optimalnya peran pangan lokal dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan. Peraturan presiden No. 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menjadi acuan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi dan pengendalian percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Padi termasuk sumber daya lokal dengan hasil samping salah satunya adalah bekatul. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan fungsional alternatif pengganti berbagai jenis tepung termasuk tepung terigu.

Kebijakan, strategi dan rencana program aksi diversifikasi pangan dilaksanakan dengan tujuan menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan atas dasar kemampuannya sendiri melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan kemampuannya. Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi

10  

ketergantungan terhadap beras dan impor pangan dengan meningkatkan konsumsi pangan baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal dan olahannya. Diversifikasi pangan dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan dari sektor peraatan, mesin dan kredit penting pada saat tarnsformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan lebih efisien (Suryana 2005).

Menururt Andyana (2005) diversifikasi pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keragaman pola konsumsi pangan dimana terdapat keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan simbang serta keanekaragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis zat gizi, sumber protein dari hewan, ikan maupun nabati dan bersifat spesifik lokal. Menurut Suharjo (1998) menyebutkan bahwa diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang slaing berkaitan, yaitu diversifikasi produksi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan dan diversifikasi konsumsi pangan.

Diversifikasi produksi pangan adalah usaha penganekaragaman usatatani, baik secara vertikal maupun horizontal. Diversifikasi secara horizontal adalah imbangan pengembangan antar berbagai komoditi dan wilayah. Diversifikasi secara vertikal adalah pengembangan produksi setelah panen termasuk kegiatan pengolahan hasil dan hasil samping pertanan yang merupakan inti industrialisasi pertanian (Antara 2001). Diversifikasi konsumsi pangan (derivasi diversifikasi vertikal) mempunyai peranan penting dalam mengurangi beban sumberdaya untuk memproduksi satu atau dua komoditas pangan. Diversifikasi vertikal mempunyai keuntungan tersedianya keanekaragaman berbagai jenis pangan yang dapat meningkatkan nilai bahan pangan tersebut serta merubah selera konsumen. Menurut Effendi yang diacu dalam Antara (2001), salah satu hal yang harus diperhatikan dalam diversifikasi konsumsi pangan adalah penyempurnaan teknologi pangan dapat meghasilkan pangan non beras yang dapat merubah status komoditas pangan dari pangan yang sebelumnya tidak disukai (inferior) menjadi bagian dari pola makan sehari- hari (superior) khususnya kalangan menengah ke atas.

Cookies

Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan apabila dipatahkan penampang potongannya

11  

bertekstur padat (BSN 1992). Menurut Departemen Perindustrian (1990) Biskuit didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Biskuit merupakan produk makanan kering yang mudah dibawa karena volume beratnya kecil dan umur simpannya relatif lama (Whiteley 1971).

Biskuit dibuat dengan bahan dasar tepung (Vail et al 1978). Proses pemanggangan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Kadang-kadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya konvensional relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan, karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971). Menurut Vail et al (1978) mutu cookies tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Syarat mutu cookies menurut SNI No. 01-2973-1992 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat Mutu Cookies Menurut SNI No. 01-2973-1992

Komponen Syarat Mutu

Keadaan (bau, rasa, warna, dan tekstur)

Normal, tidak tengik

Air (% b/b) Maksimum 5,0

Lemak (% bb) Minimum 9,5

Protein (% bb) Minimum 9,0

Abu (%bb) Minimum 1,5

Karbohidrat (%bb) Minimum 1,5

Kalori (kal/100 g) Maksimum 70 Kadar cemaran logam berbahaya Minimum 400

Cemaran mikroba Negatif

TPC (koloni/g) Maksimum 104

Coliform (APM/g) Maksimum 20

E.coli (APM/g) <3

Kapang (koloni/g) Maksimum 102

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992) Bahan Baku Cookies

Thelen dalam Matz (1978) membagi mengelompokkan bahan pembuatan cookies menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikan dan pelembut. Bahan pengikat, yaitu bahan pembentuk adonan yang kompak antara lain tepung, air,

12  

susu, putih telur, dan air. Bahan yang termasuk dalam kategori bahan pelembut yaitu gula, lemak, leavening agent, dan kuning telur. Bahan pelembut berfugsi untuk melembutkan adonan.

Tepung

Tepung berperan dalam membentuk struktur cookies (Matz 1978). Tepung yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu (Sunaryo 1985). Tepung terigu dengan kandungan protein 8-10% (tepung terigu lunak) tepat digunakan untuk pembuatan cookies. Semakin tinggi kadar protein tepung yang digunakan, maka semain banyak shortening dan gula yang diperlukan untuk mendapatkan tekstur yang diterima. Karbohidrat pada tepung berperan dalam meningkatkan cita rasa, mengikat air, dan membentuk tekstur (Parker 2003).

Lemak

Fungsi lemak dalam pembuatan cookies adaah memperbaiki struktur fisik seperti memperngaruhi volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, dan memberi flavor (Matz 1978). Lemak yang digunakan dalam pembuatan cookies dapat berupa margarin (lemak nabati) dan mentega (lemak hewani). Lemak nabati lebih banyak digunakan karena dapat memberikan tekstur yang lembut dan halus. Lemak nabati juga memberikan penampakan yang baik.

Kuning Telur

Kuning telur mengandung lesitin yang berperan sebagai emulsifier dalam pembuatan cookies. Emulsifier adalah bahan aktif yang mempengaruhi pembentukan dan stabilisasi emulsi. Lesitin dalam pembuatan cookies berperan mempengaruhi konsistensi cookies. Lesitin juga membuat adonan menjadi tidak lengket ketika dicampurkan. Lesitin mempercepat disperse lemak dan komponen cairan didalam adonan cookies.Selain didalam kuning telur, lesitin juga terdapat didalam kedelai. Produk yang menggunakan coklat memerlukan lesitin lebih banyak (Matz 1978).

Gula

Gula termasuk dalam kategori bahan pelembut karena membuat susunan dan butiran cookies menjadi halus dan lembut. Selain itu gula juga memberikan rasa manis. Fungsi gula yang lain adalah mengontrol penyebaran (Matz 1978). Gula yang baik untuk pembuatan cookies adalah gula halus karena tidak menyebabkan pelebaran cookies yang terlalu besar. Komposisi gula dalam adonan harus tepat. Jika gula yang ditambahkan terlalu banyak maka adonan

13  

akan menjadi lengket, menempel pada cetakan dan membuat warna coklat. Selain itu, cookies akan menjadi lebih keras dan terlalu manis.

Garam

Garam berfungsi untuk membangkitkan cita rasa bahan yang lain didalam adonan cookies. Sebagian besar formula biscuit termasuk cookies menggunakan garam dengan persentase 1% atau kurang. Penggunaan garam juga disarankan 3% dari berat lemak (Matz 1978). Jumlah garam yang ditambahkan sebenarnya tergantung jenis tepung yang dipakai dan kompleksitas bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies. Garam digunakan lebih banyak pada adonan yang menggunakan tepung dengan kadar protein yang rendah karena diperlukan untuk memperkuat protein dalam tepung.

Bahan Pengembang (Leavening Agent)

Bahan pengebang yang umum dipakai dalam pembuatan cookies adalah baking powder. Bahan pengembang menghasilkan gas karbondioksida yang menyebakan adonan mengembang. Baking powder berasal dari campuran Natrium bikarbonat dengan asam tartarat atau garam fosfat. Pembentukan gas karbondioksida dipengaruhi oleh PH (Matz 1978). PH adonan biasanya adalah berkisar antara 5 sampai 6 sehingga optimum untuk pembentukan gas karbondioksida. Jika PH adonan basa maka pembentukan gas akan berkurang sehingga biasanya juga ditambahkan asam bersama dengan pengembang. Susu

Susu digunakan untuk memperbaiki warna, aroma, menahan penyerapan air, sebagai bahan pengisi dan meningkatkan nilai gizi cokies. Penggunaan susu yang disarankan adalah 5% dari tepung (Matz 1978). Komponen protein dalam susu mengikat air dan membuat adonan lebih kaku dan lengket. Penggunaan susu dalambentuk bubuk lebih menguntungkan daripada susu cair.

Proses Pembuatan Cookies

Pembuatan cookies dikelompokkan menjadi dua berdasarkan metode dasar pencampuran adonan, yaitu metode krim (creaming method) dan metode all in. Pembuatan cookies dengan metode krim dilakukan dengan mencampurkan lemak dan gula terlebih dahulu kemudian ditambahkan pewarna dan essens. Setelah adonan tercampur kemudian ditambahkan susu dan yang terakhir adalah bahan kimia untuk aerasi (Whiteley 1971). Pembuatan cookies dengan metode all in berbeda dengan metode krim. Metode all in dilakukan dengan mencampurkan semua bahan yang digunakan untuk membuat cookies dengan

14  

tepung terigu. Adonan dicampur sampai mengembang (Whiteley 1971). Setelah adonan mengembang kemudian cookies dicetak dengan cetakan dan dipanggang. Pemanggangan cookies dapat dilakukan pada suhu 2200C selama 12-15 menit (Sultan 1983).

Pangan Fungsional

Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (BPOM 2005). Menurut Drummond (2007) dan DeBruyne (2008), pangan fungsional adalah pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan karena kontribusi zat gizi yang dikandungnya. Makanan utuh, makanan fortifikasi, dan makanan yang dimodifikasi termasuk ke dalam pangan fungsional.

Pangan fungsional (functional food) mempunyai kaitan yang erat dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan gaya hidup sehat. Pangan fungsional atau Food for Specified Health Use (FOSHU), didefinisikan sebagai makanan yang berdasarkan pengetahuan (bukti riset ilmiah) tentang hubungan antara makanan atau komponen makanan dan kesehatan yang diharapkan mempunyai manfaat kesehatan tertentu. Karena sebagai makanan, maka pangan fungsional harus memiliki karakteristik sebagai makanan (sensori, warna, tekstur, citarasa, dan mempunyai zat gizi) (Ardiansyah 2004).

Departemen Kesehatan Jepang mendefinisikan pangan fungsional sebagai Foods for Spesified Health Use (FOSHU), yaitu pangan yang diharapkan mempunyai pengaruh khusus terhadap kesehatan karena adanya suatu komponen di dalam pangan serta jenis pangan yang zat alergen di dalamnya telah dihilangkan (Arai et al 2001). Ichikawa (1994) dalam Diana (2010) menyatakan suatu pangan dikatakan sebagai pangan fungsional jika dapat memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan 2. Manfaatnya bagi kesehatan dan pemenuhan gizi harus berdasarkan data

ilmiah

Dokumen terkait