• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

Torbangun merupakan suatu tanaman jenis perdu, yang memiliki batang tebal, berdaging lunak, dan agak berkayu dengan cabang-cabang yang mencapai ketinggian satu meter. Pada bagian batang terdapat ruas-ruas yang bila menyentuh tanah, maka bisa keluar akar pada bagian tersebut. Torbangun umumnya ditanam di kebun-kebun di daerah dataran rendah dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Batang torbangun memiliki karakteristik lunak dan berair, sementara daun torbangun berwarna hijau muda, berbentuk lonjong serta bergerigi kasar dan tebal. Daun torbangun memiliki bau yang khas dan bermanfaat untuk pengobatan. Pengembangbiakan tanaman ini dapat dilakukan dengan cara stek dan dapat ditanam dalam pot maupun ditanam langsung di tanah. Torbangun tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan mengandung cukup air atau tidak terlalu kering (Tanaman Obat Indonesia 2005).

Asal usul tanaman torbangun ini tidak diketahui secara pasti, namun torbangun dikenal sebagai tanaman tahunan di daerah tropis, hidup di dataran rendah hingga ketinggian kira-kira 1100 m di atas permukaan laut. Batangnya berbentuk bulat dan sedikit berambut dan pada kakinya seringkali agak seperti kayu. Jarang berbunga (warnanya ungu putih) namun mudah sekali dibiakkan dengan stek dan cepat berakar didalam tanah (Heyne 1987).

Gambar 1 Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

Daun torbangun (coleus amboinicus Lour) memiliki daun tunggal berwarna hijau dengan ukuran panjang 6-7 cm, lebar 5-6 cm. Daging daun torbangun tebal

dan letak satu daun berhadapan dengan daun yang lainnya. Daun torbangun memiliki tangkai dan berbentuk bulat telur berujung runcing dengan tepian bergerigi. Tulang daun nampak menonjol seperti jala dan jika diremas daun akan mengeluarkan aroma yang khas (Tanaman Obat Indonesia 2005).

Daun torbangun merupakan salah satu sumber bahan pangan yang secara turun temurun dipercaya oleh ibu-ibu suku Batak di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki khasiat sebagai menstimulasi produksi air susu ibu menyusui (Laktagogum). Masyarakat Batak khususnya Batak Karo biasa mengkonsumsi sayur daun torbangun untuk menu sehari-hari dan terutama disajikan untuk ibu yang baru melahirkan. Daun torbangun dikonsumsi secara khusus oleh wanita batak yang sedang menyusui yang diyakini dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air susu (ASI) (Damanik 2009; Damanik et al 2001) dan dapat meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Selain berkhasiat sebagai lactagogum, masyarakat Batak juga meyakini khasiat daun torbangun sebagai pembersih rahim ibu yang baru melahirkan (uterine cleansing agent), penambah tenaga (tonikum), pengurang rasa nyeri (analgesik), penawar racun (antimikroba/antibakteri) dan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti sariawan dan batuk (Damanik et al 2004). Disamping itu hasil suatu penelitian menunjukkan bahwa konsumsi daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam ASI serta mengakibatkan peningkatan berat badan bayi secara nyata (Damanik et al 2005).

Daun torbangun juga dapat dijumpai di hampir semua daerah di Indonesia dengan penamaan yang berbeda. Di Sumatera Utara selain nama torbangun, masyarakat juga menyebutnya sebagai daun Jinten, daun Hati-hati, atau Sukan. Orang Sunda di Jawa Barat menamakannya Ajeran atau Acerang, di Jawa dikenal sebagai daun Kucing sedangkan di Madura dikenal sebagai Majha Nereng atau daun Kambing. Masyarakat Bali menyebutnya sebagai Iwak, sedangkan masyarakat Timor menyebutnya Kumuetu.

Pada keadaan segar, helaian daun torbangun bertekstur tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol sehingga membentuk bangunan menyerupai jala, permukaan atas berbungkul-bungkul,

berwarna hijau muda dan kedua permukaan berambut halus berwarna putih. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol (Depkes RI 1989).

Komposisi kandungan kimia daun torbangun secara ilmiah juga belum banyak diketahui. Beberapa yang sudah pernah diteliti oleh Dr. Boorsma (Heyne 1987, Depkes RI 1989) dan Mardisiswojo et al (1985) menunjukkan bahwa dalam daun torbangun terdapat banyak kalium (6,46 persen dari berat kering pada K2O) dan minyak atsiri (0,043 persen pada daun segar atau 0,2 persen daun kering). Menurut Heyne (1987), dari 120 kg daun segar terdapat sekitar 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopopyl-O-kresol) dan atas dasar hal tersebut daun torbangun dianggap sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun torbangun juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al 2000). Selain itu, menurut Mardisiswojo et al (1985) daun dan buah torbangun mengandung zat lemak dan protein.

Komposisi zat gizi daun torbangun menunjukkan bahwa dalam 100 g daun torbangun, kandungan kalsium, besi dan karoten total lebih tinggi dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun torbangun dan daun katuk disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun dan Katuk dalam 100 g Berat Basah

Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun Katuk

Energi (kal) 27 59 Protein (g) 1.3 6.4 Lemak (g) 0.6 1.0 Hidrat arang (g) 4.0 9.9 Serat (g) 1.0 1.5 Abu (g) 1.6 1.7 Kalsium (mg) 273.86 233 Phosfor (mg) 40 98 Besi (mg) 21.37 3.5 Karoten total (µg) 13288 10020 Vitamin A (mg) 0 0 Vitamin B1 (mg) 0.16 0 Vitamin C (mg) 5.1 164 Air (g) 92.5 81

Berat dapat dimakan (%) 66 42

Manfaat lain dari daun torbangun adalah dapat dimasak sebagai sayur ataupun sebagai lalapan. Di pulau Jawa, daun torbangun seringkali digunakan untuk memberi aroma tajam pada masakan daging kambing. Selain itu daun ini juga bermanfaat sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian ditempelkan pada daerah luka, atau dibuat jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan (Heyne 1987).

Di daerah China Penisula, jus daun torbangun dengan ditambahkan gula, seringkali digunakan sebagai obat batuk untuk anak-anak. Di Indo China, daun torbangun seringkali dimanfaatkan sebagai obat asma dan bronkitis (Burkill 1996). Di Malaysia daun torbangun juga dimanfaatkan untuk jamu-jamuan yang direbus dan diberikan setelah melahirkan (Burkill 1996). Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa daun torbangun memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.

Gizi Ibu Menyusui

Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI eksklusif. Selanjutnya ASI diteruskan hingga berusia 2 tahun dengan penambahan makanan lunak/padat yang disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup dalam jumlah maupun mutunya (WHO 2002).

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik dan alamiah untuk bayi. Produksi ASI yang cukup dipengaruhi oleh konsumsi makanan ibu menyusui yang harus dapat memenuhi kebutuhan ganda. Selain untuk memenuhi kebutuhan ibu juga untuk produksi ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi baru lahir karena ASI mengandung gizi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan bayi. ASI juga mengandung antibodi yang dapat melindungi bati dari infeksi dan penyakit tertentu (Soetjiningsih, 1997).

Pada saat menyusui ibu harus makan makanan yang cukup agar mampu menghasilkan ASI yang cukup bagi bayinya, memulihkan kesehatan setelah melahirkan dan memenuhi kebutuhan gizi yang meningkat karena kegiatan sehari-hari yang bertambah. Ibu menyusui memerlukan zat gizi dan minuman lebih banyak daripada saat hamil, banyaknya makanan ibu menyusui disesuaikan

dengan kebutuhan gizi ibu (Depkes RI, 2005). Prinsip makanan ibu menyusui sama dengan makanan wanita dewasa hanya jumlah lebih banyak dan mutunya lebih baik.

Kebutuhan gizi ibu menyusui meningkat dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Bila sebelum menyusui kebutuhan energi dan protein perempuan usia 19-29 tahun sebesar 1.900 kkal dan 50 g per hari, pada waktu menyusui kebutuhannya akan meningkat menjadi 2.400 kkal dan 67 g per hari pada enam bulan pertama, serta 2.450 kkal dan 67 g per hari pada enam bulan kedua. Demikian juga dengan kebutuhan zat-zat gizi lain, juga akan meningkat selama menyusui. Kebutuhan lemak ibu menyusui disesuaikan dengan kebutuhan energi, yaitu seperlima dari total kebutuhan energi (Kurniasih, 2010).

Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Ibu Menyusui (per Orang per Hari)

Kelompok Umur (th) Energi (kkal) Protein (g) Vit C (mg) Ca (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Seng (mg) Wanita: - 19 – 29 - 30 – 49 1900 1800 50 50 75 75 800 800 600 600 26 26 9,3 9,8 Menyusui: - 0 – 6 bln - 7 – 12 bln +500 +550 +17 +17 +25 +25 +150 +150 +0 +0 +6 +6 +4,6 +4,6

Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Kuantitas makanan untuk ibu menyusui lebih besar dibanding dengan ibu hamil, karena metabolisme meningkat akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi tinggi untuk kebutuhan diri sendiri dan produksi ASI (Depkes RI, 2005).

Kecukupan gizi ASI juga dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi ibu. Makanan bagi ibu menyusui harus beragam untuk menjamin konsumsi yang cukup akan protein, bermacam vitamin, dan makanan yang mengandung gizi essensial lainnya (Perinasia, 1990).

Zat Besi

Zat besi (Fe) merupakan zat gizi mikro yang essensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan mengangkut elektron dalam sel. Selain itu zat besi berperan dalam proses

sintesis enzim yang mengandung zat besi yang dibutuhkan dalam pemanfaatan oksigen selama proses produksi energi seluler (Linder 1992). Selain itu, zat besi merupakan salah satu komponen penyusun hemoglobin. Jika tubuh kekurangan zat besi (defisiensi zat besi), maka pembentukan hemoglobin akan terhambat yang berakibat pada terhambatnya pembentukan sel darah merah. Selanjutnya timbullah anemia akibat kekurangan zat besi yang disebut sebagai anemia defisiensi zat besi (Wijayakusumah 2007).

Daging pangan hewani lengkap dengan residu darah dan sel-sel ototnya, pada umumnya kaya akan zat besi dalam bentuk heme yang bersifat lebih tersedia bagi tubuh bila dibandingkan dengan zat besi anorganik dan zat besi dalam bahan nabati (Linder 1992). Bioavailabilitas zat besi dalam bahan pangan nabati relatif rendah. Senyawa-senyawa lain yang kemungkinan terkandung dalam bahan nabati antara lain asam fitat yang terdapat pada biji-bijian, tanin dan oksalat yang terdapat didalam teh dan beberapa sayuran berdaun hijau, serta pektin yang banyak terdapat pada buah-buahan.

Zat besi memiliki kemampuan untuk berubah bentuk antara dua keadaan ionik. Dalam keadaan tereduksi, besi kehilangan dua buah elektron sehingga mempunyai dua buah muatan positif. Besi dalam keadaan tereduksi disebut besi ferro (Fe2+). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga buah elektron sehingga memiliki tiga muatan positif. Besi dalam keadaan teroksidasi disebut besi ferri (Fe3+). Karena dapat berada dalam keadaan ionik yang berbeda maka besi dapat berfungsi sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi (Whitney et al 1998).

Di dalam bahan pangan, terdapat dua macam zat besi yang berpengaruh terhadap mekanisme penyerapan (absorpsi), yaitu zat besi heme dan non heme. Zat besi heme berasal dari bahan pangan hewani terutama hemoglobin dan mioglobin. Sedangkan zat besi non-heme berasal dari serealia, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan serta beberapa bahan pangan hewani seperti telur dan produk-produk susu (Halberg 1981).

Zat besi heme dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk kompleks besi porfirin. Jumlah zat besi heme yang diabsorpsi lebih tinggi dibandingkan dengan zat besi non heme. Monsen (1988) mengemukakan bahwa zat besi heme dapat

diabsorpsi sebesar 15-35 persen, sedangkan zat besi non-heme hanya sekitar 2-20 persen. Pada umumnya 50 persen dari total zat besi dalam daging, ikan serta ayam berada dalam bentuk heme, dan selebihnya dalam bentuk non heme.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, zat besi non heme sebagian besar berasal dari bahan pangan nabati. Informasi mengenai bentuk kimia zat besi pada bahan pangan nabati masih sangat sedikit. Beberapa diantaranya yang telah diketahui adalah senyawa fitat monoferik yang merupakan bentuk utama zat besi dalam gandum, dan fitoferritin yang ditemukan dalam kacang-kacangan (Latunde and Neale1986).

Suhardjo dan Kusharto (1992) menyatakan bahwa pada umumnya dalam bahan pangan nabati, zat besi berada dalam bentuk ikatan ferri, sedangkan dalam bahan pangan hewani berada dalam bentuk ikatan ferro. Zat besi yang berbentuk ferri oleh HCL didalam lambung direduksi menjadi ferro yang lebih mudah diserap oleh sel-sel mukosa usus. Bentuk ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+) bersifat sukar larut dalam pH netral. Lambung yang mempunyai pH rendah menyebabkan Fe3+ dapat berdisosiasi dan bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul rendah, seperti fruktosa, asam askorbat, asam sitrat, dan asam-asam amino untuk membentuk senyawa kompleks yang memungkinkan zat besi tetap bersifat larut pada pH netral dengan adanya cairan usus. Zat besi heme diserap terutama di bagian duodenum, sedangkan zat besi non heme juga diserap di daerah jejenum usus halus (Skikne 1988).

Metabolisme Zat Besi

Zat besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan zat besi yang diserap dari saluran pencernaan (Winarno 1997).

Sel-sel darah merah yang telah tua didegradasi oleh retikulum endoplasma yang berlangsung terutama dalam organ hati dan ginjal. Secara cepat zat besi yang dibebaskan dari hemoglobin dan profirin akan terikat pada protein transferin dan ferritin serum plasma. Transferin berfungsi untuk mentransfer zat besi kembali ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin atau ke bagian tubuh yang

memerlukan, sedangkan ferritin akan dikirim langsung ke organ hati (Linder 1992).

Ferro dioksidasi menjadi ferri di dalam sel mukosa, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung zat besi yaitu ferritin. Untuk masuk ke plasma darah, zat besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk akan kembali lagi kedalam fungsi semula. Zat besi ferro didalam plasma dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat zat besi yaitu transferin.

Besi yang ada dalam protein heme harus dibebaskan terlebih dahulu melalui pencernaan protein sehingga gugus heme terlepas. Proses ini terjadi di dalam lumen duodenum. Selanjutnya besi dalam gugus heme ini dibebaskan dari protoforfirin dengan bantuan enzim hemoksigenase yang memecah cincin porfirin (Fairbanks 1999).

Mekanisme penyerapan zat besi non heme dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu 1) tahap intraluminal dimana makanan dicerna oleh asam lambung (gastrik) dan enzim pankreatin dan besi dilepaskan dalam bentuk larutan, 2) tahap mukosa dimana zat besi diambil oleh sel mukosa dan diangkut pada sisi serosal atau disimpan sebagai ferritin, dan 3) tahap corporeal, dimana zat besi diambil oleh transferin dalam plasma pada sisi serosa sel mukosa dan dibawa ke hati dan jaringan hemopoitetik (Latunde and Neale 1986).

Plasma darah disamping menerima zat besi yang berasal dari penyerapan makanan, juga menerima zat besi dari simpanan (hati, limpa, dan sumsum tulang belakang), pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Sebaliknya plasma harus mengirim zat besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, juga ke sel endotelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung zat besi. Jumlah zat besi yang diganti (turnover) sebanyak 30-40 mg/hari dan dari jumlah itu hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Suhardjo dan Kusharto 1992).

Selanjutnya dikatakan pula, bahwa banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg/hari. Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial, sumsum tulang, hati dan limpa.

Ekskresi zat besi dari tubuh sebanyak 0,5-1,0 mg/hari, dikeluarkan bersama urin, keringat dan feses. Disamping itu zat besi dalam bentuk hemoglobin juga dapat diekskresikan dari dalam tubuh melalui pendarahan dan menstruasi (Suhardjo dan Kusharto 1992).

Bioavailabilitas Zat Besi

Latunde dan Neale (1986), menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi diartikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh kebutuhan gizi seseorang, kecukupan sekresi enzim pencernaan dan interaksi berbagai macam komponen dalam bahan pangan yang berperan dalam pelepasan zat besi. Faktor yang terakhir dapat berupa faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi juga kandungan zat besi dan bentuk kimianya.

Kebutuhan zat besi seseorang berbeda-beda. Umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis (kehamilan dan menyusui, masa bayi dan remaja), status zat besi individu, dan penyakit dapat mempengaruhi kebutuhan zat besi seseorang. Wanita membutuhkan zat besi lebih banyak daripada pria karena wanita mengalami kehilangan besi selama menstruasi dan membutuhkan lebih banyak besi saat hamil dan menyusui (Halberg 1988). Dalam keadaan defisiensi, seseorang akan menyerap zat besi dari makanan lebih banyak dibandingkan dengan orang lain yang memiliki status besi normal (Husaini et all, 1989). Absorpsi besi non heme dapat meningkat sampai sepuluh kali bila tubuh kekurangan besi atau karena kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan (Almatsier 2001).

Zat besi dalam tubuh hanya dapat diserap dalam bentuk ferro (Fe2+). Akan tetapi selama pencernaan, valensi zat besi non heme (Fe3+) dapat berubah dan membentuk kompleks zat besi dengan ligan makanan seperti asam askorbat, fitat, tanin dan oksalat. Bioavailabilitas zat besi ditentukan oleh tingkat afinitas setiap ligan terhadap zat besi dan kelarutan kompleks ligan zat besi (Allen et al 1997).

Zat besi heme dan non heme juga memiliki perbedaan dalam bioavailabilitasnya. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi, yaitu sekitar 15-30 persen, karena diserap secara utuh dalam cincin profirin dan tidak terekspos ligan-ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Zat besi

non heme dalam bahan pangan masuk ke dalam pool yang mudah dipertukarkan (exchangeable pool). Pool ini menyebabkan adanya efek dari ligan-ligan pendorong dan penghambat, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu hanya 2-20 persen besi non heme yang dapat diserap, tergantung pada ligan dan status besi seseorang (Hallberg 1988).

Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5 – 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1,3 kg. Dari jumlah ini, 99% berada didalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit 3Ca3(PO4)2Ca(OH)2. Hidroksiapatit merupakan kristal mineral yang terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi kalsium fosfat dan kalsium hidroksida. Kristal mineral ini terbentuk melalui proses klasifikasi matriks tulang yang terdiri atas serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh (Almatsier 2001). Mervyn (1989) menyatakan bahwa kalsium merupakan makroelemen logam yang terdapat dalam skeleton dan gigi (1100 g) dan sisanya (10 g) berada dalam sel-sel syaraf, otot dan darah.

Fungsi kalsium didalam tubuh antara lain berperan dalam pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi biologik dan berperan dalam kontraksi otot (Almatsier 2001). Menurut Winarno (1997), disamping berperan dalam pembentukan trombin dan proses penggumpalan darah, kalsium juga diperlukan dalam proses penyerapan vitamin B12 serta bermanfaat dalam struktur dan fungsi membran.

Kebutuhan kalsium dapat dicukupi dengan mengkonsumsi bahan pangan sumber kalsium. Bahan makanan yang kaya akan kalsium adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan es krim. Selain itu, ikan, serealia, kacang-kacangan tahu dan tempe serta sayuran hijau juga merupakan sumber kalsium yang baik (Almatsier 2001).

Kalsium diabsorpsi dari usus melalui pengangkutan aktif, yaitu melewati suatu perbedaan konsentrasi dengan suatu proses yang membutuhkan energi. Vitamin D dibutuhkan untuk pengangkutan aktif tersebut (Olson et all 1988).

Lebih lanjut Muchtadi et al (1993) menjelaskan bahwa absorpsi kalsium terjadi terutama di dalam duodenum dan jejunum. Penyerapan ini terjadi pada pH 6. kurang lebih sebanyak 0,5 g kalsium hilang dan disimpan kembali dalam tulang setiap harinya.

Menurut Weaver et al (1999), kehilangan kalsium dari tubuh dapat melalui urin, feses dan keringat. Kehilangan kalsium melalui urin mencapai 100-200 mg per hari, melalui feses mencapai 100-120 mg per hari, dan melalui keringat hanya 16-24 mg, tetapi mencapai 100 mg per hari untuk orang yang bekerja berat. Konsentrasi kalsium dan feses berhubungan dengan intake kalsium. Sebagian besar kalsium pada feses adalah kalsium yang tidak dapat diserap dan hanya sejumlah kecil yang diekskresi dalam tubuh setelah absorpsi, sedangkan sisanya dibuang melalui keringat.

Metabolisme Kalsium

Kurang lebih sebesar 20% kalsium diserap dari asupan kalsium 800 mg/hari. Kalsium diabsorpsi melalui duodenum dan jejenum proksimal oleh protein pengikat kalsium yang disintesis sebagai respon terhadap kerja 1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D3). Absorpsi dihambat oleh senyawa-senyawa yang membentuk garam-garam kalsium yang tidak larut (Martin et al 1987).

Kalsium tulang tersebar di antara: a) pool (cadangan) yang relatif tidak berubah/stabil, yang tidak dapat digunakan untuk pengaturan jangka pendek keseimbangan kalsium; dan b) pool yang cepat dan berubah, yang terlibat dalam kegiatan metabolisme kalsium (kurang lebih 1% kalsium tulang). Komponen yang dapat berubah ini dapat dianggap sebagai cadangan yang menumpuk bila makanan cukup kalsium. Cadangan kalsium ini terutama disimpan pada bagian ujung tulang panjang dalam bentuk kristal yang dinamakan trabekula dan dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan, kehamilan dan menyusui. Kekurangan konsumsi kalsium untuk jangka panjang menyebabkan struktur tulang yang tidak sempurna. Tulang senantiasa berada dalam keadaan dibentuk dan diresorpsi (diserap kembali). Sintesis tulang dominan pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui. Pada orang

dewasa kedua proses berada dalam keadaan seimbang dimana kurang lebih 600 hingga 700 mg kalsium dipertukarkan tiap hari (Almatsier 2001).

Kalsium dalam tulang merupakan sumber kalsium darah. Walaupun makanan kurang mengandung kalsium, konsentrasinya dalam darah akan tetap normal (Almatsier 2001). Konsentrasi kalsium plasma dikontrol oleh kombinasi daya kerja dari hormon paratiroid (PTH), kalsitonin dan metabolit-metabolit aktif vitamin D. Dalam cakupan konsentrasi kalsium plasma 4-10 mg/dl, kadar PTH merupakan kebalikan dari kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium plasma

Dokumen terkait