• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioavailability of Calcium and Iron in Various Cooking Methods of Torbangun Dishes as Part of Diet for Lactating Mothers

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioavailability of Calcium and Iron in Various Cooking Methods of Torbangun Dishes as Part of Diet for Lactating Mothers"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)

BIOAVAILABILITAS KALSIUM DAN ZAT BESI

PADA BERBAGAI PROSES PENGOLAHAN

SAYUR DAUN TORBANGUN SEBAGAI BAGIAN

MENU MAKANAN IBU MENYUSUI

ROMYUN ALVY KHOIRIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Kalsium dan Zat Besi pada Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun

sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui adalah karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2011

Romyun Alvy Khoiriyah

(3)

ROMYUN ALVY KHOIRIYAH. Bioavailability of Calcium and Iron in Various Cooking Methods of Torbangun Dishes as Part of Diet for Lactating Mothers. Under direction of M. RIZAL M. DAMANIK and LEILY AMALIA.

The purpose of this study was to analyze bioavailability of calcium and iron of torbangun dishes in three cooking methods namely boiling, steaming, and stir-frying. The study also aimed to analyze the bioavailability of those minerals in the dishes when combined with carbohydrate and protein food sources namely fried chicken, catfish (Clarias batrachus), or tempe (fermented soybean) using in vitro

analysis method. The results of the study showed that there were significant differences among three methods used in this study on the bioavailability of calcium. Further analysis showed that the steaming method had the highest score of calcium bioavailability (p<0,05). In addition, combination of torbangun dishes with carbohydrate and protein sources namely chicken-rice, catfish-rice and

tempe-rice showed no significant differences on bioavailability of calcium and iron. Protein in the dishes that cooked with three cooking methods had positive correlation with the bioavailabilty of calcium, while the bioavailability of iron, positive correlation was only shown on the boiling method. Pearson Correlation analysis showed that tannins, oxalate and phytate had negative correlation with calcium bioavailability of the dishes, whereas phytate had negative correlation with the bioavailability of iron only on the boiling and steaming dishes.

(4)

Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui. Dibimbing oleh M. RIZAL M. DAMANIK dan LEILY AMALIA.

Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Ibu menyusui merupakan salah satu kelompok rawan gizi dan memerlukan zat gizi dalam jumlah yang relatif besar.

Banyak ibu yang percaya bahwa mengkonsumsi bahan makanan tertentu dapat meningkatkan sekresi atau produksi air susu ibu yang merupakan kebiasaan turun temurun pada masyarakat Indonesia. Salah satu kebiasaan tersebut yaitu mengkonsumsi daun Torbangun dalam bentuk sayur yang biasa dikonsumsi bersama dengan makanan pokok. Tanaman ini dikonsumsi secara khusus oleh wanita batak yang sedang menyusui yang diyakini dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air susu (ASI) (Damanik et al 2009; Damanik et al 2001) dan dapat meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005).

Manfaat sayur torbangun tersebut selain sebagai laktagogum juga dapat berperan sebagai sayuran sumber kalsium dan zat besi untuk ibu menyusui dikarenakan kandungan kalsium dan zat besi daun torbangun yang cukup tinggi. Konsumsi sayur daun torbangun pada umumnya dikombinasikan dengan sumber makanan pokok lainnya seperti lauk pauk. Sehingga dimungkinkan terjadi interaksi zat-zat gizi baik pada bahan pangan tersebut maupun pada saluran pencernaan. Selain itu, umumnya sayur daun torbangun ini dikonsumsi dengan cara dimasak terlebih dahulu. Beberapa cara pengolahan sayuran yang umum dilakukan adalah dengan cara direbus, dikukus dan ditumis. Sehingga melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun yang diolah dengan cara direbus, dikukus dan ditumis yang masing-masing diwakili oleh sayur lodeh, sayur pecel dan sayur tumis torbangun, serta bagaimana bioavailabilitasnya jika dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein yaitu nasi, daging ayam, ikan lele dan tempe.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium sayur daun torbangun dalam bentuk sayur lodeh, sayur pecel dan sayur tumis torbangun berbeda nyata (p<0,05) khususnya sayur pecel torbangun. Sedangkan bioavailabilitas zat besi sayur torbangun dalam ketiga bentuk tersebut tidak berbeda. Rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun paling tinggi adalah yang diolah dengan cara dikukus yaitu sayur pecel torbangun. Demikian juga dengan hasil analisis zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin C dan protein yang paling tinggi terdapat pada sayur pecel Torbangun yang diolah dengan cara dikukus.

(5)

dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein menunjukkan bahwa baik bioavailabilitas kalsium maupun zat besi pada berbagai kombinasi tidak berbeda. Hal ini diduga karena konsumsi sayur daun torbangun bersamaan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein dapat meningkatkan penyerapan zat gizi pada pangan tersebut.

Hasil analisis korelasi Pearson kandungan zat gizi lain menunjukkan bahwa kandungan protein dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada kelompok sayur lodeh torbangun, sedangkan pada kelompok sayur pecel dan tumis torbangun hanya pada bioavailabilitas kalsium. Selain itu, kandungan tanin, oksalat dan fitat dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada kelompok sayur lodeh torbangun. Pada kelompok sayur pecel torbangun, kandungan tanin dan oksalat hanya dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium, sedangkan bioavailabilitas zat besi berhubungan dengan kandungan oksalat, fitat dan serat. Pada kelompok sayur tumis torbangun menunjukkan bahwa kandungan tanin dan oksalat hanya berhubungan dengan bioavailabilitas kalsium, dimana kandungan tanin dan oksalat dapat menurunkan bioavailabilita kalsium, sedangkan pada bioavailabilitas zat besi tidak berhubungan dengan kandungan zat lain.

Kata kunci: torbangun, Coleus amboinicus Lour, pengolahan sayuran,

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

SAYUR DAUN TORBANGUN SEBAGAI BAGIAN

MENU MAKANAN IBU MENYUSUI

ROMYUN ALVY KHOIRIYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama :

NIM :

Pengolahan Sayur Daun Torbangun sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui

Romyun Alvy Khoiriyah I 151090151

Disetujui

Komisi Pembimbing

Drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSc,PhD Ketua

Leily Amalia, STP, Msi Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSc,PhD

Tanggal Ujian: 31 Oktober 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(9)

salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini adalah tentang penyerapan kalsium dan zat besi sayur daun torbangun dengan judul Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi pada Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc dan Ibu Leily Amalia, STP, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran serta menyediakan waktu di tengah kesibukan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orangtuaku tercinta Bapak Drs. KH. Ahmad Fauzi Effendi dan Ibunda Hj

Chamidah, Spd, Bapak Drs. Timan, Mpd dan Ibunda Sujati, Spd atas dukungan, cinta, dan doa. Semoga ini dapat menjadi persembahan terbaik dari ananda

2. Suamiku tercinta Muhammad Taufik Cahyono, S.Kom atas dukungan dan

kesabarannya selama adinda belajar di kota yang berbeda

3. Adikku Ahmad Syihab Fahmi QRM, STP yang telah banyak membantu dan

memberikan dukungan.

4. Bapak Mashudi sebagai teknisi laboratorium yang telah memberikan masukan

dan arahannya yang sangat berharga

5. Teman-teman di laboratorium A’immatul Fauziyah, Rahmi Khalida, Tien,

Panji, Lina, Mahmud, Suprapti, dan semua yang telah memberikan bantuan, motivasi dan saran yang berarti bagi penulis

6. Teman-teman pasca GMS 2009: Bu Any, Eka, Prita, mbak Erny, Zulya, Mbak

Yayuk, Mbak Yuni, Dian, Tari, Aris, Pak Ismanto, Pak Ferry, atas kebersamaan dan dukungannya.

7. Teman-Teman Ar-Riyadh: Tari, Lili, Laswi, Nita, Maya, Ziah, Belinda, Ririn, Gita, Pipit, Isna, Firas, Nisa atas semua bantuan, dukungan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk semua.

Bogor, Desember 2011

(10)

KH. Ahmad Fauzi Effendi dan Ibu Hj. Chamidah, Spd. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

(11)

Halaman

Faktor Yang Berhubungan dengan Bioavailabilitas Ca dan Fe ... 19

Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun ... 22

Pangan Sumber Karbohidrat: Nasi (Oryzae sativa) ... 24

Analisis Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi ... 33

Analisis Kadar Kalsium ... 35

Analisis Kadar Zat Besi ... 36

(12)

Analisis Vitamin C ... 40

Analisis Kadar Protein ... 41

Rancangan Percobaan ... 42

Analisis Data ... 43

Definisi Operasional ... 44

HASIL dan PEMBAHASAN ... 47

Sayur Daun Torbangun ... 47

Kandungan Kalsium dan Zat Besi ... 47

Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi ... 47

Komponen Zat Gizi Lain ... 49

Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ... 51

Kandungan Kalsium dan Zat Besi ... 51

Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi ... 51

Komponen Zat Gizi Lain ... 53

Interaksi Sayur Daun Torbangun dan Kombinasi Pangan ... 54

Kandungan Kalsium... 54

Bioavailabilitas Kalsium ... 55

Kandungan Zat Besi... 56

Bioavailabilitas Zat Besi ... 57

Komponen Zat Gizi Lain ... 58

Sayur Lodeh Torbangun dan Kombinasi Pangan ... 58

Sayur Pecel Torbangun dan Kombinasi Pangan ... 61

Sayur Tumis Torbangun dan Kombinasi Pangan ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN... 67

Kesimpulan... 67

Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(13)

1. Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun dan Katu ... 9

2. Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Ibu Menyusui (per Orang per Hari) ... 11

3. Kandungan Gizi Nasi ... 24

4. Kandungan Gizi Daging Ayam ... 26

5. Kandungan Gizi Ikan Lele ... 28

6. Kandungan Gizi Tempe Kedelai Goreng ... 29

7. Kombinasi Perlakuan Bioavailabilitas Sayur daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 43

8. Rata-Rata Kandungan Kalsium dan Zat Besi Sayur Torbangun pada Berbagai Proses Pengolahan ... 47

9. Kandungan Zat Lain Sayur Daun Torbangun pada Berbagai Proses Pengolahan... 50

10. Rata-Rata Kandungan Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ... 51

11. Kandungan Zat Lain Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ... 53

12. Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Lodeh Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 59

13. Korelasi Pearson Kelompok Sayur Lodeh Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 60

14. Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Pecel Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 61

15. Korelasi Pearson Kelompok Sayur Pecel Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 62

16. Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Tumis Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 63

(14)

1. Tanaman Torbangun ... 7

2. Diagram Alir Penelitian ... 46

3. Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Sayur Daun

Torbangun... 48

4. Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Kombinasi

Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ... 52

5. Rata-Rata Kadar Kalsium Kombinasi Sayur

Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein ... 54

6. Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Sayur

Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein... 55

7. Rata-Rata Kadar Zat Besi Kombinasi Sayur

Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein ... 57

8. Bioavailabilitas Zat Besi Interaksi Sayur Daun Torbangun

(15)

1. Bioavailabilitas Kalsium Sayur Torbangun ... 77

2. Bioavailabilitas Zat Besi Sayur Torbangun ... 78

3. Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ... 79

4. Bioavailabilitas Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 80

5. Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat Dan Protein... 81

6. Bioavailabilitas Zat Besi Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 82

7. Korelasi Pearson Kelompok Sayur Lodeh Torbangun ... 83

8. Korelasi Pearson Kelompok Sayur Pecel Torbangun... 84

9. Korelasi Pearson Kelompok Sayur Tumis Torbangun ... 85

10. Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium dan Zat Besi Sayur Torbangun Pada Berbagai Proses Pengolahan ... 86

11. Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein... 87

12. Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium Sayur Daun Torbangun dengan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein .. 88

13. Analisis Ragam Anova Kandungan Zat Besi Sayur Daun Torbangun dengan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein .. 89

14. Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Lodeh Torbangun ... 90

15. Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Pecel Torbangun ... 91

16. Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Tumis Torbangun ... 92

(16)

Latar Belakang

Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup

bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Sejak lahir

bayi hanya diberikan ASI hingga usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI eksklusif.

Selanjutnya ASI diteruskan hingga berusia 2 tahun dengan penambahan makanan

lunak/padat yang disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup dalam

jumlah maupun mutunya (WHO 2002).

Ibu menyusui merupakan salah satu kelompok rawan gizi dan memerlukan

zat gizi dalam jumlah yang relatif besar, karena pada saat menyusui ibu sedang

mengalami pemulihan, menstruasi, disamping memenuhi kebutuhan gizi bagi bayi

yang sedang disusui juga untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya sendiri. Selain itu,

pada saat ibu menyusui, ibu mengalami banyak kehilangan zat-zat gizi mikro

maupun makro seperti zat besi dan kalsium yang dikeluarkan melalui ASI.

Ibu menyusui perlu mendapatkan perhatian asupan makanan yang baik

untuk pemenuhan zat gizi di dalam tubuhnya. Zat gizi tersebut selain untuk

memenuhi kandungan zat gizi pada air susu ibu, juga untuk menjalankan fungsi

fisiologis pada tubuh ibu. Apabila kebutuhan gizi ibu menyusui tidak diperhatikan

dengan baik, maka keadaan seperti ini memungkinkan ibu mudah menderita

berbagai penyakit defisiensi yang akut. Seringkali ibu-ibu yang menyusui anaknya

terlihat pucat, lesu dan kurus (Moehji 1991). Meskipun ibu menyusui dianjurkan

untuk mengonsumsi suplemen untuk memenuhi kebutuhan gizinya, akan tetapi

seringkali ibu tidak patuh dalam mengkonsumsinya. Untuk itu cara yang tepat

untuk memenuhi kebutuhan ibu menyusui akan zat gizi adalah dengan

mengkombinasikan beraneka sumber makanan yang secara alami menyediakan

zat gizi mikro maupun makro.

Banyak ibu yang percaya bahwa mengonsumsi bahan makanan tertentu

dapat meningkatkan sekresi atau produksi air susu ibu yang merupakan kebiasaan

turun temurun pada masyarakat Indonesia. Salah satu kebiasaan tersebut adalah

mengonsumsi daun torbangun dalam bentuk sayur yang biasa dikonsumsi

(17)

wanita Batak yang sedang menyusui dan diyakini dapat meningkatkan kualitas

dan kuantitas air susu (ASI) (Damanik 2009; Damanik et al 2001) dan dapat

meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Selain berkhasiat

sebagai lactagogum, masyarakat Batak juga meyakini khasiat daun torbangun

sebagai pembersih rahim ibu yang baru melahirkan (uterine cleansing agent),

penambah tenaga (tonikum), pengurang rasa nyeri (analgesik), penawar racun

(antimikroba/antibakteri) dan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti

sariawan dan batuk (Damanik et al 2004). Selain dari manfaat tersebut, daun

torbangun diketahui juga mengandung lebih banyak kalsium, zat besi total

dibandingkan dengan daun Katuk, dimana kalsium dan zat besi pada daun

torbangun segar masing-masing sebesar 273,86 mg/100 gr dan 21,37 mg/100 gr

(Devi 2009).

Menurut Hardinsyah et al (2004), angka kecukupan gizi ibu menyusui pada

wanita dewasa untuk kalsium adalah sebesar 950 mg/orang/hari, dan zat besi

sebesar 35 mg/orang/hari. Menurut AKE kebutuhan konsumsi sayuran untuk ibu

menyusui dalam sehari adalah sebesar 350 gram. Maka dapat disimpulkan bahwa

konsumsi daun torbangun sebanyak 350 gram per hari dapat mencukupi seratus

persen kebutuhan kalsium dan zat besi ibu menyusui menurut jumlah

ketersediaannya. Sehingga apabila secara tradisional bagi ibu yang mengonsumsi

daun torbangun sebagai sayuran sehari-hari selama menyusui, maka selain

memberi manfaat untuk peningkatan kualitas dan kuantitas ASI, sayuran tersebut

juga bermanfaat sebagai salah satu sumber mineral kalsium dan zat besi yang

diperlukan oleh ibu menyusui.

Konsumsi sayur daun torbangun sebagai bagian dari makanan pokok tak

terlepas dari kombinasi dengan sumber makanan pokok lainnya. Pada umumnya

menu makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah makanan yang

mengandung pangan sumber karbohidrat dan protein dalam porsi yang lebih besar

dibandingkan dengan pangan sumber vitamin dan mineral yaitu sayuran dan

buah-buahan. Adanya kombinasi konsumsi pangan sayur daun torbangun bersamaan

dengan makanan pokok lainnya menyebabkan kemungkinan terjadinya interaksi

antar zat gizi dari masing-masing pangan tersebut. Interaksi dapat terjadi antara

(18)

interaksi antar zat gizi juga dapat terjadi dalam bahan pangan itu sendiri, serta

pada saluran pencernaan. Semua hasil interaksi tersebut pada akhirnya akan

mempengaruhi hasil akhir penyerapan zat gizi oleh tubuh, dimana dalam kajian

penelitian ini akan secara spesifik membahas tentang interaksi mineral kalsium

dan zat besi pada sayur daun torbangun dengan zat gizi lain terhadap

bioavailabilitasnya.

Karena adanya berbagai macam zat gizi yang dapat berinteraksi pada bahan

pangan, maka perlu dilakukan penelitian tentang pemanfaatan sayur daun

torbangun terhadap kombinasi dengan pangan sumber karbohidrat seperti nasi dan

pangan sumber protein hewani (daging ayam, ikan) dan protein nabati seperti

tempe. Sehingga dapat diperoleh informasi tentang zat gizi dan anti gizi yang

berinteraksi baik didalam bahan pangan maupun selama proses pencernaan yang

dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi khususnya kalsium dan zat besi yang

sangat diperlukan bagi ibu menyusui.

Pada masyarakat umumnya jenis proses pengolahan yang dilakukan pada

sayuran juga beragam, sehingga untuk dapat memberikan hasil penelitian yang

dapat mewakili masing-masing jenis proses pemasakan tersebut dan pengaruhnya

terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun maka peneliti

juga memberikan perlakuan terhadap metode pemasakan sayur yang bervariasi

yaitu dengan cara direbus, dikukus dan ditumis. Menurut Lowe (1963), pada

sayuran, adanya proses pemanasan dapat menyebabkan rusaknya dinding sel

sayuran yaitu selulosa dan hemiselulosa yang mengakibatkan zat besi yang

bersifat larut, keluar dari sel tanaman dan masuk ke dalam cairan pemasak.

Proses penyerapan zat gizi juga dipengaruhi oleh kondisi pencernaan pada

masing-masing individu yang bervariasi. Meskipun demikian, dengan

mempertimbangkan efisiensi teknis, untuk dapat memberikan gambaran secara

umum hasil interaksi antara sayur daun torbangun dengan sumber makanan pokok

lainnya, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode in vitro,

dimana kondisi pencernaan pada setiap orang dianggap sama. Menurut Roig et al

(1998) metode pengukuran bioavailabilitas secara in vitro merupakan simulasi

dari sistem pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal dalam kondisi yang

(19)

Tujuan

Konsumsi sayur daun torbangun pada ibu menyusui telah dilakukan secara

turun-temurun dan terbukti dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI, selain

itu kandungan mineral kalsium dan zat besi pada sayur daun torbangun juga

cukup tinggi, maka perlu dilakukan adanya pengkajian terhadap hasil interaksi zat

gizi dari sayur daun torbangun yang dikonsumsi sebagai bagian dari menu makan

ibu menyusui, dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun

dengan berbagai cara pengolahan (direbus, dikukus, ditumis)

2. Menganalisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi pangan sumber karbohidrat

yang dikombinasikan dengan pangan sumber protein tanpa sayur daun

torbangun

3. Menganalisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun

dengan berbagai cara pengolahan yang dikombinasikan dengan pangan

sumber karbohidrat dan protein

4. Menganalisis kandungan zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin

C dan kadar protein yang diduga berhubungan dengan bioavailabilitas kalsium

dan zat besi

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun

torbangun dengan berbagai cara pengolahan

2. Terdapat perbedaan bioavailabilitas kalsium dan zat besi dari sayur daun

torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan

protein

3. Terdapat hubungan antara kandungan zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat,

serat, vitamin C dan kadar protein dengan bioavailabilitas kalsium dan zat

(20)

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

gambaran bagi masyarakat secara umum maupun ibu menyusui tentang manfaat

yang bisa diperoleh dari mengonsumsi sayur daun torbangun, selain untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI, juga sebagai sayuran yang dapat

menyumbangkan mineral kalsium dan zat besi yang diperlukan oleh ibu menyusui

serta bagaimana penyerapan sayur daun torbangun jika dikombinasikan bersama

(21)
(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

Torbangun merupakan suatu tanaman jenis perdu, yang memiliki batang

tebal, berdaging lunak, dan agak berkayu dengan cabang-cabang yang mencapai

ketinggian satu meter. Pada bagian batang terdapat ruas-ruas yang bila menyentuh

tanah, maka bisa keluar akar pada bagian tersebut. Torbangun umumnya ditanam

di kebun-kebun di daerah dataran rendah dengan ketinggian 1000 meter di atas

permukaan laut. Batang torbangun memiliki karakteristik lunak dan berair,

sementara daun torbangun berwarna hijau muda, berbentuk lonjong serta bergerigi

kasar dan tebal. Daun torbangun memiliki bau yang khas dan bermanfaat untuk

pengobatan. Pengembangbiakan tanaman ini dapat dilakukan dengan cara stek

dan dapat ditanam dalam pot maupun ditanam langsung di tanah. Torbangun

tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan

mengandung cukup air atau tidak terlalu kering (Tanaman Obat Indonesia 2005).

Asal usul tanaman torbangun ini tidak diketahui secara pasti, namun

torbangun dikenal sebagai tanaman tahunan di daerah tropis, hidup di dataran

rendah hingga ketinggian kira-kira 1100 m di atas permukaan laut. Batangnya

berbentuk bulat dan sedikit berambut dan pada kakinya seringkali agak seperti

kayu. Jarang berbunga (warnanya ungu putih) namun mudah sekali dibiakkan

dengan stek dan cepat berakar didalam tanah (Heyne 1987).

Gambar 1 Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

Daun torbangun (coleus amboinicus Lour) memiliki daun tunggal berwarna

(23)

dan letak satu daun berhadapan dengan daun yang lainnya. Daun torbangun

memiliki tangkai dan berbentuk bulat telur berujung runcing dengan tepian

bergerigi. Tulang daun nampak menonjol seperti jala dan jika diremas daun akan

mengeluarkan aroma yang khas (Tanaman Obat Indonesia 2005).

Daun torbangun merupakan salah satu sumber bahan pangan yang secara

turun temurun dipercaya oleh ibu-ibu suku Batak di Provinsi Sumatera Utara yang

memiliki khasiat sebagai menstimulasi produksi air susu ibu menyusui

(Laktagogum). Masyarakat Batak khususnya Batak Karo biasa mengkonsumsi

sayur daun torbangun untuk menu sehari-hari dan terutama disajikan untuk ibu

yang baru melahirkan. Daun torbangun dikonsumsi secara khusus oleh wanita

batak yang sedang menyusui yang diyakini dapat meningkatkan kualitas dan

kuantitas air susu (ASI) (Damanik 2009; Damanik et al 2001) dan dapat

meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Selain berkhasiat

sebagai lactagogum, masyarakat Batak juga meyakini khasiat daun torbangun

sebagai pembersih rahim ibu yang baru melahirkan (uterine cleansing agent),

penambah tenaga (tonikum), pengurang rasa nyeri (analgesik), penawar racun

(antimikroba/antibakteri) dan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti

sariawan dan batuk (Damanik et al 2004). Disamping itu hasil suatu penelitian

menunjukkan bahwa konsumsi daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap

peningkatan kadar beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium

dalam ASI serta mengakibatkan peningkatan berat badan bayi secara nyata

(Damanik et al 2005).

Daun torbangun juga dapat dijumpai di hampir semua daerah di Indonesia

dengan penamaan yang berbeda. Di Sumatera Utara selain nama torbangun,

masyarakat juga menyebutnya sebagai daun Jinten, daun Hati-hati, atau Sukan.

Orang Sunda di Jawa Barat menamakannya Ajeran atau Acerang, di Jawa dikenal

sebagai daun Kucing sedangkan di Madura dikenal sebagai Majha Nereng atau

daun Kambing. Masyarakat Bali menyebutnya sebagai Iwak, sedangkan

masyarakat Timor menyebutnya Kumuetu.

Pada keadaan segar, helaian daun torbangun bertekstur tebal, sangat

berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol sehingga

(24)

berwarna hijau muda dan kedua permukaan berambut halus berwarna putih. Pada

keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar,

warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang

daun kurang menonjol (Depkes RI 1989).

Komposisi kandungan kimia daun torbangun secara ilmiah juga belum

banyak diketahui. Beberapa yang sudah pernah diteliti oleh Dr. Boorsma (Heyne

1987, Depkes RI 1989) dan Mardisiswojo et al (1985) menunjukkan bahwa dalam

daun torbangun terdapat banyak kalium (6,46 persen dari berat kering pada K2O)

dan minyak atsiri (0,043 persen pada daun segar atau 0,2 persen daun kering).

Menurut Heyne (1987), dari 120 kg daun segar terdapat sekitar 25 ml minyak

atsiri yang mengandung fenol (isopopyl-O-kresol) dan atas dasar hal tersebut daun

torbangun dianggap sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari

daun torbangun juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing

(Vasquez et al 2000). Selain itu, menurut Mardisiswojo et al (1985) daun dan

buah torbangun mengandung zat lemak dan protein.

Komposisi zat gizi daun torbangun menunjukkan bahwa dalam 100 g daun

torbangun, kandungan kalsium, besi dan karoten total lebih tinggi dibandingkan

dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Data selengkapnya tentang komposisi

zat gizi daun torbangun dan daun katuk disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun dan Katuk dalam 100 g Berat Basah

Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun Katuk

(25)

Manfaat lain dari daun torbangun adalah dapat dimasak sebagai sayur

ataupun sebagai lalapan. Di pulau Jawa, daun torbangun seringkali digunakan

untuk memberi aroma tajam pada masakan daging kambing. Selain itu daun ini

juga bermanfaat sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian

ditempelkan pada daerah luka, atau dibuat jamu penurun panas, atau langsung

dikunyah untuk obat sariawan (Heyne 1987).

Di daerah China Penisula, jus daun torbangun dengan ditambahkan gula,

seringkali digunakan sebagai obat batuk untuk anak-anak. Di Indo China, daun

torbangun seringkali dimanfaatkan sebagai obat asma dan bronkitis (Burkill

1996). Di Malaysia daun torbangun juga dimanfaatkan untuk jamu-jamuan yang

direbus dan diberikan setelah melahirkan (Burkill 1996). Hal-hal tersebut

menunjukkan bahwa daun torbangun memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.

Gizi Ibu Menyusui

Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan

hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang yang optimal. Sejak lahir bayi hanya

diberikan ASI hingga usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI eksklusif.

Selanjutnya ASI diteruskan hingga berusia 2 tahun dengan penambahan makanan

lunak/padat yang disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup dalam

jumlah maupun mutunya (WHO 2002).

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik dan alamiah untuk bayi.

Produksi ASI yang cukup dipengaruhi oleh konsumsi makanan ibu menyusui

yang harus dapat memenuhi kebutuhan ganda. Selain untuk memenuhi kebutuhan

ibu juga untuk produksi ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi baru lahir karena

ASI mengandung gizi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan bayi. ASI juga

mengandung antibodi yang dapat melindungi bati dari infeksi dan penyakit

tertentu (Soetjiningsih, 1997).

Pada saat menyusui ibu harus makan makanan yang cukup agar mampu

menghasilkan ASI yang cukup bagi bayinya, memulihkan kesehatan setelah

melahirkan dan memenuhi kebutuhan gizi yang meningkat karena kegiatan

sehari-hari yang bertambah. Ibu menyusui memerlukan zat gizi dan minuman lebih

(26)

dengan kebutuhan gizi ibu (Depkes RI, 2005). Prinsip makanan ibu menyusui

sama dengan makanan wanita dewasa hanya jumlah lebih banyak dan mutunya

lebih baik.

Kebutuhan gizi ibu menyusui meningkat dibandingkan dengan ibu yang

tidak menyusui. Bila sebelum menyusui kebutuhan energi dan protein perempuan

usia 19-29 tahun sebesar 1.900 kkal dan 50 g per hari, pada waktu menyusui

kebutuhannya akan meningkat menjadi 2.400 kkal dan 67 g per hari pada enam

bulan pertama, serta 2.450 kkal dan 67 g per hari pada enam bulan kedua.

Demikian juga dengan kebutuhan zat-zat gizi lain, juga akan meningkat selama

menyusui. Kebutuhan lemak ibu menyusui disesuaikan dengan kebutuhan energi,

yaitu seperlima dari total kebutuhan energi (Kurniasih, 2010).

Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Ibu Menyusui (per Orang per Hari)

Kelompok

Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Kuantitas makanan untuk ibu menyusui lebih besar dibanding dengan ibu

hamil, karena metabolisme meningkat akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada

ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi

tinggi untuk kebutuhan diri sendiri dan produksi ASI (Depkes RI, 2005).

Kecukupan gizi ASI juga dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi ibu.

Makanan bagi ibu menyusui harus beragam untuk menjamin konsumsi yang

cukup akan protein, bermacam vitamin, dan makanan yang mengandung gizi

essensial lainnya (Perinasia, 1990).

Zat Besi

Zat besi (Fe) merupakan zat gizi mikro yang essensial dalam memproduksi

hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh

(27)

sintesis enzim yang mengandung zat besi yang dibutuhkan dalam pemanfaatan

oksigen selama proses produksi energi seluler (Linder 1992). Selain itu, zat besi

merupakan salah satu komponen penyusun hemoglobin. Jika tubuh kekurangan

zat besi (defisiensi zat besi), maka pembentukan hemoglobin akan terhambat yang

berakibat pada terhambatnya pembentukan sel darah merah. Selanjutnya timbullah

anemia akibat kekurangan zat besi yang disebut sebagai anemia defisiensi zat besi

(Wijayakusumah 2007).

Daging pangan hewani lengkap dengan residu darah dan sel-sel ototnya,

pada umumnya kaya akan zat besi dalam bentuk heme yang bersifat lebih tersedia

bagi tubuh bila dibandingkan dengan zat besi anorganik dan zat besi dalam bahan

nabati (Linder 1992). Bioavailabilitas zat besi dalam bahan pangan nabati relatif

rendah. Senyawa-senyawa lain yang kemungkinan terkandung dalam bahan nabati

antara lain asam fitat yang terdapat pada biji-bijian, tanin dan oksalat yang

terdapat didalam teh dan beberapa sayuran berdaun hijau, serta pektin yang

banyak terdapat pada buah-buahan.

Zat besi memiliki kemampuan untuk berubah bentuk antara dua keadaan

ionik. Dalam keadaan tereduksi, besi kehilangan dua buah elektron sehingga

mempunyai dua buah muatan positif. Besi dalam keadaan tereduksi disebut besi

ferro (Fe2+). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga buah elektron

sehingga memiliki tiga muatan positif. Besi dalam keadaan teroksidasi disebut

besi ferri (Fe3+). Karena dapat berada dalam keadaan ionik yang berbeda maka besi dapat berfungsi sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi

oksidasi-reduksi (Whitney et al 1998).

Di dalam bahan pangan, terdapat dua macam zat besi yang berpengaruh

terhadap mekanisme penyerapan (absorpsi), yaitu zat besi heme dan non heme.

Zat besi heme berasal dari bahan pangan hewani terutama hemoglobin dan

mioglobin. Sedangkan zat besi non-heme berasal dari serealia, sayur-sayuran,

buah-buahan, kacang-kacangan serta beberapa bahan pangan hewani seperti telur

dan produk-produk susu (Halberg 1981).

Zat besi heme dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk kompleks besi

porfirin. Jumlah zat besi heme yang diabsorpsi lebih tinggi dibandingkan dengan

(28)

diabsorpsi sebesar 15-35 persen, sedangkan zat besi non-heme hanya sekitar 2-20

persen. Pada umumnya 50 persen dari total zat besi dalam daging, ikan serta ayam

berada dalam bentuk heme, dan selebihnya dalam bentuk non heme.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, zat besi non heme sebagian besar

berasal dari bahan pangan nabati. Informasi mengenai bentuk kimia zat besi pada

bahan pangan nabati masih sangat sedikit. Beberapa diantaranya yang telah

diketahui adalah senyawa fitat monoferik yang merupakan bentuk utama zat besi

dalam gandum, dan fitoferritin yang ditemukan dalam kacang-kacangan (Latunde

and Neale1986).

Suhardjo dan Kusharto (1992) menyatakan bahwa pada umumnya dalam

bahan pangan nabati, zat besi berada dalam bentuk ikatan ferri, sedangkan dalam

bahan pangan hewani berada dalam bentuk ikatan ferro. Zat besi yang berbentuk

ferri oleh HCL didalam lambung direduksi menjadi ferro yang lebih mudah

diserap oleh sel-sel mukosa usus. Bentuk ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+) bersifat sukar larut dalam pH netral. Lambung yang mempunyai pH rendah menyebabkan

Fe3+ dapat berdisosiasi dan bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul rendah, seperti fruktosa, asam askorbat, asam sitrat, dan asam-asam

amino untuk membentuk senyawa kompleks yang memungkinkan zat besi tetap

bersifat larut pada pH netral dengan adanya cairan usus. Zat besi heme diserap

terutama di bagian duodenum, sedangkan zat besi non heme juga diserap di

daerah jejenum usus halus (Skikne 1988).

Metabolisme Zat Besi

Zat besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu besi yang

diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil

dari penyimpanan dalam tubuh, dan zat besi yang diserap dari saluran pencernaan

(Winarno 1997).

Sel-sel darah merah yang telah tua didegradasi oleh retikulum endoplasma

yang berlangsung terutama dalam organ hati dan ginjal. Secara cepat zat besi yang

dibebaskan dari hemoglobin dan profirin akan terikat pada protein transferin dan

ferritin serum plasma. Transferin berfungsi untuk mentransfer zat besi kembali ke

(29)

memerlukan, sedangkan ferritin akan dikirim langsung ke organ hati (Linder

1992).

Ferro dioksidasi menjadi ferri di dalam sel mukosa, kemudian bergabung

dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung zat besi yaitu ferritin.

Untuk masuk ke plasma darah, zat besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk

ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk akan kembali lagi kedalam fungsi

semula. Zat besi ferro didalam plasma dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan

dengan protein spesifik yang mengikat zat besi yaitu transferin.

Besi yang ada dalam protein heme harus dibebaskan terlebih dahulu melalui

pencernaan protein sehingga gugus heme terlepas. Proses ini terjadi di dalam

lumen duodenum. Selanjutnya besi dalam gugus heme ini dibebaskan dari

protoforfirin dengan bantuan enzim hemoksigenase yang memecah cincin porfirin

(Fairbanks 1999).

Mekanisme penyerapan zat besi non heme dibagi menjadi tiga tahap utama,

yaitu 1) tahap intraluminal dimana makanan dicerna oleh asam lambung (gastrik)

dan enzim pankreatin dan besi dilepaskan dalam bentuk larutan, 2) tahap mukosa

dimana zat besi diambil oleh sel mukosa dan diangkut pada sisi serosal atau

disimpan sebagai ferritin, dan 3) tahap corporeal, dimana zat besi diambil oleh

transferin dalam plasma pada sisi serosa sel mukosa dan dibawa ke hati dan

jaringan hemopoitetik (Latunde and Neale 1986).

Plasma darah disamping menerima zat besi yang berasal dari penyerapan

makanan, juga menerima zat besi dari simpanan (hati, limpa, dan sumsum tulang

belakang), pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Sebaliknya plasma

harus mengirim zat besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, juga

ke sel endotelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang

mengandung zat besi. Jumlah zat besi yang diganti (turnover) sebanyak 30-40

mg/hari dan dari jumlah itu hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Suhardjo

dan Kusharto 1992).

Selanjutnya dikatakan pula, bahwa banyaknya zat besi yang dimanfaatkan

untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg/hari. Zat besi yang

berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di

(30)

Ekskresi zat besi dari tubuh sebanyak 0,5-1,0 mg/hari, dikeluarkan bersama urin,

keringat dan feses. Disamping itu zat besi dalam bentuk hemoglobin juga dapat

diekskresikan dari dalam tubuh melalui pendarahan dan menstruasi (Suhardjo dan

Kusharto 1992).

Bioavailabilitas Zat Besi

Latunde dan Neale (1986), menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi

diartikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen

usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh kebutuhan gizi

seseorang, kecukupan sekresi enzim pencernaan dan interaksi berbagai macam

komponen dalam bahan pangan yang berperan dalam pelepasan zat besi. Faktor

yang terakhir dapat berupa faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi juga

kandungan zat besi dan bentuk kimianya.

Kebutuhan zat besi seseorang berbeda-beda. Umur, jenis kelamin, kondisi

fisiologis (kehamilan dan menyusui, masa bayi dan remaja), status zat besi

individu, dan penyakit dapat mempengaruhi kebutuhan zat besi seseorang. Wanita

membutuhkan zat besi lebih banyak daripada pria karena wanita mengalami

kehilangan besi selama menstruasi dan membutuhkan lebih banyak besi saat

hamil dan menyusui (Halberg 1988). Dalam keadaan defisiensi, seseorang akan

menyerap zat besi dari makanan lebih banyak dibandingkan dengan orang lain

yang memiliki status besi normal (Husaini et all, 1989). Absorpsi besi non heme

dapat meningkat sampai sepuluh kali bila tubuh kekurangan besi atau karena

kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan (Almatsier 2001).

Zat besi dalam tubuh hanya dapat diserap dalam bentuk ferro (Fe2+). Akan tetapi selama pencernaan, valensi zat besi non heme (Fe3+) dapat berubah dan membentuk kompleks zat besi dengan ligan makanan seperti asam askorbat, fitat,

tanin dan oksalat. Bioavailabilitas zat besi ditentukan oleh tingkat afinitas setiap

ligan terhadap zat besi dan kelarutan kompleks ligan zat besi (Allen et al 1997).

Zat besi heme dan non heme juga memiliki perbedaan dalam

bioavailabilitasnya. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi, yaitu

sekitar 15-30 persen, karena diserap secara utuh dalam cincin profirin dan tidak

(31)

non heme dalam bahan pangan masuk ke dalam pool yang mudah dipertukarkan

(exchangeable pool). Pool ini menyebabkan adanya efek dari ligan-ligan

pendorong dan penghambat, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena

itu hanya 2-20 persen besi non heme yang dapat diserap, tergantung pada ligan

dan status besi seseorang (Hallberg 1988).

Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh,

yaitu 1,5 – 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1,3 kg.

Dari jumlah ini, 99% berada didalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi

terutama dalam bentuk hidroksiapatit 3Ca3(PO4)2Ca(OH)2. Hidroksiapatit

merupakan kristal mineral yang terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi kalsium

fosfat dan kalsium hidroksida. Kristal mineral ini terbentuk melalui proses

klasifikasi matriks tulang yang terdiri atas serabut yang terbuat dari protein

kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Selebihnya kalsium tersebar luas di

dalam tubuh (Almatsier 2001). Mervyn (1989) menyatakan bahwa kalsium

merupakan makroelemen logam yang terdapat dalam skeleton dan gigi (1100 g)

dan sisanya (10 g) berada dalam sel-sel syaraf, otot dan darah.

Fungsi kalsium didalam tubuh antara lain berperan dalam pembentukan

tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi biologik dan

berperan dalam kontraksi otot (Almatsier 2001). Menurut Winarno (1997),

disamping berperan dalam pembentukan trombin dan proses penggumpalan darah,

kalsium juga diperlukan dalam proses penyerapan vitamin B12 serta bermanfaat

dalam struktur dan fungsi membran.

Kebutuhan kalsium dapat dicukupi dengan mengkonsumsi bahan pangan

sumber kalsium. Bahan makanan yang kaya akan kalsium adalah susu dan hasil

olahannya seperti keju dan es krim. Selain itu, ikan, serealia, kacang-kacangan

tahu dan tempe serta sayuran hijau juga merupakan sumber kalsium yang baik

(Almatsier 2001).

Kalsium diabsorpsi dari usus melalui pengangkutan aktif, yaitu melewati

suatu perbedaan konsentrasi dengan suatu proses yang membutuhkan energi.

(32)

Lebih lanjut Muchtadi et al (1993) menjelaskan bahwa absorpsi kalsium terjadi

terutama di dalam duodenum dan jejunum. Penyerapan ini terjadi pada pH 6.

kurang lebih sebanyak 0,5 g kalsium hilang dan disimpan kembali dalam tulang

setiap harinya.

Menurut Weaver et al (1999), kehilangan kalsium dari tubuh dapat melalui

urin, feses dan keringat. Kehilangan kalsium melalui urin mencapai 100-200 mg

per hari, melalui feses mencapai 100-120 mg per hari, dan melalui keringat hanya

16-24 mg, tetapi mencapai 100 mg per hari untuk orang yang bekerja berat.

Konsentrasi kalsium dan feses berhubungan dengan intake kalsium. Sebagian

besar kalsium pada feses adalah kalsium yang tidak dapat diserap dan hanya

sejumlah kecil yang diekskresi dalam tubuh setelah absorpsi, sedangkan sisanya

dibuang melalui keringat.

Metabolisme Kalsium

Kurang lebih sebesar 20% kalsium diserap dari asupan kalsium 800 mg/hari.

Kalsium diabsorpsi melalui duodenum dan jejenum proksimal oleh protein

pengikat kalsium yang disintesis sebagai respon terhadap kerja

1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D3). Absorpsi dihambat oleh

senyawa-senyawa yang membentuk garam-garam kalsium yang tidak larut

(Martin et al 1987).

Kalsium tulang tersebar di antara: a) pool (cadangan) yang relatif tidak

berubah/stabil, yang tidak dapat digunakan untuk pengaturan jangka pendek

keseimbangan kalsium; dan b) pool yang cepat dan berubah, yang terlibat dalam

kegiatan metabolisme kalsium (kurang lebih 1% kalsium tulang). Komponen yang

dapat berubah ini dapat dianggap sebagai cadangan yang menumpuk bila

makanan cukup kalsium. Cadangan kalsium ini terutama disimpan pada bagian

ujung tulang panjang dalam bentuk kristal yang dinamakan trabekula dan dapat

dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada masa

pertumbuhan, kehamilan dan menyusui. Kekurangan konsumsi kalsium untuk

jangka panjang menyebabkan struktur tulang yang tidak sempurna. Tulang

senantiasa berada dalam keadaan dibentuk dan diresorpsi (diserap kembali).

(33)

dewasa kedua proses berada dalam keadaan seimbang dimana kurang lebih 600

hingga 700 mg kalsium dipertukarkan tiap hari (Almatsier 2001).

Kalsium dalam tulang merupakan sumber kalsium darah. Walaupun

makanan kurang mengandung kalsium, konsentrasinya dalam darah akan tetap

normal (Almatsier 2001). Konsentrasi kalsium plasma dikontrol oleh kombinasi

daya kerja dari hormon paratiroid (PTH), kalsitonin dan metabolit-metabolit aktif

vitamin D. Dalam cakupan konsentrasi kalsium plasma 4-10 mg/dl, kadar PTH

merupakan kebalikan dari kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium plasma

sekalipun dalam jumlah kecil akan mengakibatkan kenaikan sekresi PTH, yang

kemudian merangsang resorbsi tulang secara aktif. PTH juga merangsang

perubahan vitamin D menjadi metabolit yang paling aktif yaitu

1,25-dihidroksivitamin D yang bekerja secara sinergis dengan PTH untuk

meningkatkan resorbsi tulang. Sistem hormonal vitamin D ini juga terlibat dalam

homeostatis kalsium plasma melalui perannya dalam merangsang absorpsi

kalsium di usus. Bila kadar kalsium plasma meningkat lebih dari 9,5 mg/dl,

jumlah kalsitonin yang dilepaskan meningkat secara proporsional dan

menurunkan sekresi PTH yang mengakibatkan turunnya produksi 1,25-(OH)2D3

(Schuette et al 1998).

Bioavailabillitas Kalsium

Walaupun bahan makanan mengandung berbagai mineral untuk keperluan

tubuh, namun tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Hal ini bergantung pada

ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium dapat

diartikan sebagai jumlah kalsium yang tersedia dalam bahan pangan yang dapat

diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Semakin tinggi kebutuhan dan semakin

rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan semakin efisien

absorpsi kalsium (Almatsier 2001).

Secara umum, bioavailabilitas kalsium dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu

faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berkaitan dengan keadaan

fisiologis individu seperti umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, genetik, status

gizi, efisiensi absorpsi dan interaksi metabolisme dalam tubuh. Faktor ekstrinsik

(34)

cerna makanan, keanekaragaman pangan, kelarutan zat gizi, interaksi sinergisme

dan antagonisme dengan zat gizi lain dalam makanan yang berpengaruh terhadap

penyerapan (O’dell et al 1997).

Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium dan

zat besi, yakni secara in vitro ataupun in vivo. Metode in vivo mengukur absorpsi

zat gizi pada manusia atau hewan. Adapun metode in vitro merupakan simulasi

proses pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal pada kondisi tetap (Roig

et al 1998). Prinsip pengukuran bioavailabilitas metode in vitro adalah teknis

dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis digunakan untuk untuk

memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil berdasarkan sifat

membran semi permeabel yang meloloskan molekul-molekul kecil dan menahan

molekul besar (Gilmore 2002).

Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang

mempengaruhi penyerapan kalsium dalam usus, namun tidak dapat mengukur

bioavailabilitas secara tepat dibandingkan dengan metode in vivo. Hal ini

dikarenakan pada metode in vitro enzim yang digunakan hanya dua jenis, yaitu

pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga

kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis.

Pada pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya terdapat dua enzim dimana

aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang

berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mineral, serat

pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan

mineral pada manusia sulit dipelajari secara in vitro. Meskipun demikian, metode

ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis dan

lebih murah. Metode in vitro juga memungkinkan pengontrolan kondisi secara

tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan

secara in vivo (Gueguen et al 2000).

Faktor yang Berhubungan dengan Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi

Faktor pendukung bioavailabilitas zat besi terutama adalah asam askorbat

dan suatu faktor yang belum diketahui didalam bahan pangan daging, ikan dan

(35)

sebagai bahan pereduksi akan melindungi zat besi dari pembentukan ferri

hidroksida yang tidak larut. Selain itu, asam askorbat dapat membentuk kelat

Fe-askorbat yang tetap larut meskipun terjadi kenaikan pH dalam sistem pencernaan

usus halus. Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat bioavailabilitas zat besi

hanya terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Tidak ada pengaruh

pemberian asam askorbat selama empat atau enam jam setelah mengkonsumsi

makanan terhadap bioavailabilitas zat besi (Cook 1977 dalam Monsen 1988).

Dikatakan pula oleh Monsen (1988) bahwa asam askorbat jika dikonsumsi

bersamaan dengan daging dapat memperkuat penyerapan zat besi sebesar 3-6 kali.

Meskipun demikian, asam askorbat yang telah mengalami oksidasi hampir tidak

lagi mempunyai efek memperkuat bioavailabilitas zat besi (Monsen 1988).

Asam-asam organik lain yang juga dapat memperkuat bioavailabilitas zat besi

diantaranya adalah asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat (Latunde and

Neale 1986).

MFP factor dapat memperkuat bioavailabilitas zat besi, yang diduga

karena adanya suatu faktor dalam bahan pangan yang dapat bereaksi

(counteracting) dengan faktor-faktor yang dapat menghambat bioavailabilitas zat

besi, seperti fitat atau ion-ion hidroksi (Lee and Gregor 1983).

Menurut Almatsier (2001), faktor yang mendorong penyerapan kalsium

adalah vitamin D dalam bentuk aktif. Vitamin D akan meningkatkan absorpsi

pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium.

Laktosa juga meningkatkan absorpsi bila tersedia enzim laktase dalam jumlah

yang cukup.

Protein di dalam makanan yang dikonsumsi juga mempengaruhi absorpsi

kalsium. Garam kalsium lebih banyak larut didalam larutan asam amino daripada

air. Penyerapan kalsium akan meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein.

Namun demikian, ekskresi kalsium melalui urin juga akan meningkat dengan

meningkatnya konsumsi protein (Muchtadi dkk 1993).

Komponen yang termasuk sebagai penghambat, kebanyakan membentuk

kelat dengan zat besi yang bersifat tidak larut. Komponen tersebut antara lain

(36)

bahwa senyawa polifenol yang terdapat pada teh dan kopi dapat menghambat

bioavailabilitas zat besi, dimana tanin teh lebih berpotensi sebagai inhibitor.

Penelitian pengaruh oksalat terhadap bioavailabilitas zat besi ternyata

menunjukkan hasil yang kadang-kadang berlawanan. Pertama kali dilaporkan oleh

Forth dan Rummel (1973) dalam Latunde and Neale (1986) bahwa asam oksalat

merupakan penghambat yang potensial terhadap bioavailabilitas zat besi.

Penelitian Gordon et al 1984 dalam Latunde and Neale (1986) menunjukkan

bahwa komponen serat dari gandum dan jagung mengikat zat besi secara in vitro,

namun penambahan serat dedak gandum pada roti dengan kandungan fitat yang

sama tidak berpengaruh terhadap bioavailabilitas zat besi pada tikus. Lignin dan

hemiselulosa menghambat bioavailabilitas zat besi pada manusia, sedangkan

pektin dan selulosa menunjukkan pengaruh yang berlawanan.

Sedangkan faktor yang menghambat penyerapan kalsium diantaranya

adanya oksalat dan asam fitat akan membentuk kalsium oksalat dan kalsium fosfat

yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi. Keberadaan asam fitat

akan membentuk kompleks dengan mineral yang tidak dapat larut sehingga tidak

dapat diabsorpsi (Almatsier 2001).

Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna

hijau. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5 yang

mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun

hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982).

Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan

meningkatkan ekskresinya lewat feses. Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium

oksalat hanya sekitar 10% (Gropper et al 2005).

Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan

mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan

bioavailabilitasnya (Ink 1988). Almatsier (2001) juga menyatakan bahwa serat

juga menurunkan absorpsi kalsium, karena serat menurunkan waktu transit

makanan dalam saluran pencernaan sehingga mengurangi kesempatan untuk

absorpsi. Ekskresi kalsium juga dapat meningkat dengan meningkatnya konsumsi

protein. Oleh karena itu, konsumsi protein yang berlebihan secara terus menerus

(37)

dkk 1993). Konsumsi kafein juga dilaporkan dapat menungkatkan kehilangan

kalsium melalui urin (Abdulla et al 1987).

Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun

Pada dasarnya tujuan pemasakan adalah untuk melunakkan selulosa dan

hemiselulosa sehingga lebih mudah dicerna, mengubah zat gizi yang terkandung

dalam bahan pangan menjadi bentuk yang tersedia bagi tubuh, menambah dan

mengubah cita rasa, memperbaiki warna tekstur serta membunuh organisme

patogenik dan menghilangkan zat-zat yang terdapat pada bahan makanan mentah

(Peckham et al 1969). Disamping itu pemasakan dapat merusak zat gizi makanan.

Hal ini disebabkan karena zat gizi tersebut peka terhadap pH pelarut, oksigen,

cahaya dan panas atau kombinasinya (Harris et al 1989).

Faktor-faktor yang mempengaruhi zat gizi sayuran pada saat pemasakan

adalah metode pemasakan, lama dan suhu pemasakan, volume air, ukuran

sayuran, dan reaksi dengan media pemasak (Lowe 1963). Soedarmo dan

Sediaoetama (1977) mengemukakan bahwa kehilangan zat gizi dapat terjadi

karena pemasakan, dan sayur yang dipotong kecil-kecil. Lund (1977) dalam

Yahya (1990) menyatakan bahwa perebusan dengan air menyebabkan pemasakan

lebih merata, karena sayuran berhubungan langsung dengan panas yang dihasilkan

oleh air mendidih sehingga mengakibatkan dinding parenkhim dan kromoplas

cepat mengalami kerusakan dan proses osmosa. Keadaan ini mengakibatkan

zat-zat gizi keluar dari sayuran dan larut dalam cairan pengolah.

Bender (1978) menemukan bahwa hilangnya zat besi akibat pemasakan

adalah sekitar 32%, sedangkan Lowe (1963) menemukan kehilangan zat besi

sebesar 20-30 persen. Kehilangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh

larutnya besi kedalam air yang digunakan dalam proses pemasakan. Wilmot and

Batjer (1978) menyatakan bahwa pemasakan tidak akan merubah kandungan zat

besi sayuran, sehingga kehilangan zat besi selama pemasakan adalah melalui cara

terlarut dalam cairan pemasak. Zat besi yang terlarut dalam cairan pemasak

disebabkan proses leaching zat besi dari sel tanaman. Pemasakan akan

menyebabkan tekstur sayuran menjadi lunak. Hal ini terjadi karena protein dalam

(38)

hilang. Akibat keluar masuknya air yang tidak legal secara osmosis melainkan

secara difusi (Yahya 1990).

Volume cairan yang digunakan dalam pemasakan sayuran berbanding lurus

dengan tingkat leaching zat besi. Pemasakan sayuran yang direbus dengan santan

merupakan macam pemasakan dengan tingkat leaching tertinggi, dibandingkan

dengan pemasakan sayuran yang direbus dengan air. Selain itu alat masak yang

digunakan juga berpengaruh terhadap tingkat leaching zat besi sayuran

(Hardinsyah 1982).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternyata secara eksplisit proses

leaching zat besi dipengaruhi oleh pemanasan, pemasakan sayuran dengan santan,

lemak atau minyak dan derajat keasaman cairan pemasak (pH). Klorofil yang

terkandung dalam sayuran bersifat larut dalam lemak, dengan demikian klorofil

akan larut dalam santan. Larutnya klorofil dalam santan akan merusak membran

kloroplas yang mengakibatkan cairan enzim dan mineral lebih mudah keluar dan

melepaskan ikatan dari asosiasi dalam kloroplas. Disamping itu lemak yang

dikandung santan kelapa merupakan lemak tak jenuh yang mudah teroksidasi

membentuk asam lemak bebas yang akan mempengaruhi keasaman cairan

pengolah. Cairan pengolah yang semakin asam akan mengakibatkan peningkatan

intensitas kerusakan pada dinding sel sayuran (Sukarni dan Kusno 1980).

Metode pemasakan dengan cara merebus dapat menurunkan kadar vitamin C

bahan pangan karena stabilitas vitamin C dalam cairan pemasak menjadi lebih

rendah (Combs 1992). Menurut Muchtadi dan Astawan (1989) bahwa sayuran

yang direbus mengalami kehilangan vitamin C lebih besar daripada sayuran yang

dikukus.

Perebusan dengan air menyebabkan pemanasan bahan, dalam hal ini

sayuran, lebih merata karena bahan berhubungan langsung dengan panas yang

dihasilkan dari air mendidih, yang mengakibatkan dinding sel parenkim dan

kromoplas cepat mengalami kerusakan dan terjadi proses osmosa. Keadaan ini

mengakibatkan vitamin C keluar dari sel sayuran dan melarut dalam cairan

pengolah. Selanjutnya vitamin C ini akan lebih mudah teroksidasi oleh panas

(39)

Pangan Sumber Karbohidrat: Nasi (Oryza sativa)

Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting, terutama mengacu pada

jenis tanaman budidaya, pemberian nama padi juga untuk mengacu pada beberapa

jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi

padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serelia, setelah jagung dan

gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi

mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras.

Selama ini beras lebih dikenal sebagai bahan pangan sumber energi, bukan

sebagai sumber vitamin A, mineral besi, seng, dan asam amino yang penting bagi

kesehatan, khususnya anak-anak. Penelitian pemuliaan padi saat ini telah sampai

pada pemanfaatan gen-gen yang berkaitan dengan vitamin dan mineral yang telah

berhasil mengembangkan padi kaya besi dan padi kaya beta karoten sebagai

sumber vitamin A (Cantrell and Hettel 2002).

Karbohidrat umumnya merupakan sumber energi utama pada makanan.

Bentuk karbohidrat yang dapat dicerna dalam bahan pangan umumnya adalah pati

dan berbagai jenis gula seperti sukrosa, fruktosa, dan laktosa, sedangkan selulosa,

pektin dan hemiselulosa tersedia dalam jumlah yang cukup tetapi tidak tercerna.

Agar dapat diserap dalam tubuh, alat pencernaan menghidrolisa berbagai bentuk

polimerik dari karbohidrat menjadi monomerik glukosa, yang merupakan

monomerik utama karbohidrat yang dapat digunakan secara langsung sebagai

sumber energi dalam seluruh bagian tubuh. Kelebihan glukosa yang tidak

diperlukan diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam hati dan jaringan otot,

atau diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adiposa (Haryadi 2006).

Tabel 3 Kandungan Gizi Nasi per 100 gram

Komposisi Zat Gizi Jumlah

Air (g)

(40)

Sebagian terbesar bahan pangan pokok penduduk dunia merupakan hasil

dari tanaman yang berpati, meliputi padi-padian, umbi-umbian dan beberapa jenis

buah. Berdasarkan evolusi, secara garis besar dapat dengan mudah dibedakan tiga

cara utama pengolahan pangan pokok, diantaranya yaitu 1) orang kulit putih

umumnya mengolah padian berupa gandum rye menjadi roti, 2) orang kulit

kuning dan orang Asia umumnya mengolah padian berupa beras butiran hanya

dengan menanaknya, yaitu memanaskan bersama air menjadi nasi, 3) meliputi

pembuatan pasta atau bubur dari semua sumber pangan berpati lainnya dengan

cara mengaduk campuran tepung berpati tersebut kedalam air mendidih hingga

membentuk pasta yang kental (Haryadi 2006).

Distribusi kadar abu dalam beras pecah kulit adalah 15% dalam dedak, 10%

dalam lembaga, 11% dalam bekatul, dan 28% dalam beras giling. Distribusi P, Fe,

dan K menunjukkan kesamaan dengan distribusi abu total. Beberapa mineral

lainnya seperti Na dan Ca menunjukkan distribusi yang lebih merata dalam biji.

Pada beras giling, 63% kandungan Na dan 74% kandungan Ca diperkirakan

berada dalam beras pecah kulit. Walaupun demikian, sebagian besar mineral

seperti halnya vitamin dan lipida, terdapat dalam bagian luar biji, terutama di

lapisan aleuron dan lembaga. Makin ke bagian tengah, kandungan mineral makin

menurun (Damardjati 1988).

Sebagian besar mineral dalam abu beras yang terdiri atas P, Mg, dan K

terdapat dalam jumlah yang cukup besar pada abu beras pecah kulit dan beras

giling. Di samping itu juga terdapat Ca, Cl, Na, Si, dan Fe. Fosfor dan K

merupakan mineral utama dalam beras pecah kulit, disusul oleh Si dan Mg

(Damardjati 1988).

Pangan Sumber Protein

Daging Ayam Broiller

Ayam potong atau ayam ras pedaging yang lebih populer disebut broiler,

adalah ternak ayam yang cepat pertumbuhannya, ekonomis dalam pengolahannya

sehingga memberi kepuasan kepada konsumen (Whinter et al 1960). Menurut

Siregar dkk (1982) ayam broiler adalah ayam yang berumur di bawah delapan

(41)

Daging ayam merupakan daging yang memiliki nilai gizi tinggi, dapat

disajikan dengan mudah dan cepat, rendah kalori serta disukai oleh sebagian besar

orang. Zat gizi yang terdapat dalam daging ayam adalah karbohidrat, mineral

berupa sodium, potasium, magnesium, kalsium, zat besi, fosfor, slfur dan yodium,

serta vitamin berupa vitamin A, niacin, riboflavin, thiamin dan asam askorbat

(Mountney 1983). Smith dan Walter (1967) menambahkan, kandungan vitamin

yang terdapat pada daging unggas terdiri dari vitamin A,B,D,E,K dan sedikit

vitamin C.

Perbedaan daging ayam dengan daging ternak lainnya terletak pada

komposisi kandungan protein dan lemak yang ada pada daging tersebut. Pada

daging ayam, sebagian besar lemak berada pada bagian bawah kulit dan setelah

proses pemasakan hanya mengandung 1,3 % lemak.

Tabel 4 Kandungan Gizi Daging Ayam Segar per 100 gram

Komposisi Zat Gizi Jumlah

Energi (kal) 298

Protein (g) 18.2

Lemak (g) 25

Vitamin A (SI) 243

Vitamin B (mg) 0.8

Vitamin C 0

Kalsium (mg) 14

Fosfor (mg) 200

Zat Besi (mg) 1.5

Air (%) 55.9

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008)

Forrest et al (1975) menambahkan bahwa nilai kalori pada daging ayam

sangat rendah, pada daging ayam kandungan kalorinya adalah 200 kal per 100 g

daging sementara pada ayam petelur kalorinya bernilai lebih tinggi yaitu 268 kal

per 100 g daging. Sumber kalori daging secara umum diperoleh dari lemak,

protein dan sedikit karbohitdrat. Karbohidrat pada daging ayam kebanyakan

terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kadar glikogen kurang dari 1%

dan asam laktat sebagai hasil utama glikolisis glikogen pada fase post mortem dan

ketika ayam sekarat.

Kandungan protein pada unggas cukup tinggi dibandingkan dengan hewan

ternak lainnya. Menurut Mountney (1983), kandungan protein daging unggas

(42)

mempunyai seluruh asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh. Pada daging

ayam terdapat tiga kelompok protein, yaitu protein sarkoplasma, protein serabut

otot dan protein jaringan ikat (Pearson dan Tauber 1984). Protein–protein ini

berfungsi menahan daya ikat air pada jaringan yang akan membentuk jaringan

yang rigid selama pemanasan (Haam 1981). Protein pada daging ayam memiliki

kualitas tinggi yang kaya akan asam amino esensial dibandingkan dengan hewan

selain unggas dan mudah dicerna serta diserap oleh tubuh (Muchtadi 1993).

Ikan Lele (Clarias batrachus)

FAO (1995) mendefinisikan ikan sebagai organisme yang hidup di air.

Kelompok organisme yang dikelompokan sebagai ikan adalah ikan bersirip

(finfish), krustasea, moluska, binatang air lainnya dan tanaman air. Ikan termasuk

kelas Pisces yang merupakan kelas terbesar dalam golongan vertebrata (Djuwanah

1996).

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah

dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau

Jawa. Budidaya Ikan lele berkembang pesat dikarenakan dapat dibudidayakan di

lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi budidaya

relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah dan modal

usaha yang dibutuhkan relatif rendah.

Klasifikasi Ikan lele menurut Sunarma (2004) adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Pisces

Sub class : Teleostei

Ordo : Ostariophyci

Subordo : Siluroidea

Famili : Clariidae

Genus : Clarias

Species : Clarias sp

Ikan lele memiliki bentuk tubuh memanjang dan kulit yang licin serta tidak

(43)

Kalang di Padang, Ikan Maut di Gayo dan Aceh, Ikan Pintet di Kalimantan

Selatan, Ikan Keling di Makasar, Ikan Cepi di Bugis, serta Ikan lele atau Lindi di

Jawa Tengah. Ikan lele merupakan jenis ikan yang digemari masyarakat, dengan

rasa yang lezat, daging empuk, duri teratur dan dapat disajikan dalam berbagai

macam menu masakan.

Tabel 5 Kandungan Gizi Ikan Lele per 100 gram

Komposisi Zat Gizi Jumlah

Air (g) 80.1

Protein (g) 17.6

Lemak (g) 2.8

Natrium (mg) 95

Kalium (mg) 280

Kalsium (mg) 20

Magnesium (mg) 27

Fosfor (mg) 180

Klor (mg) 110

Vitamin D (µg) 0.5

Vitamin E (mg) 2.1

Vitamin B (mg) 7.2

Sumber: Holland et al 1997

Ikan lele banyak digemari karena rasa daging yang khas dan lezat. Selain itu,

kandungan gizi pada setiap ekornya cukup tinggi, yaitu protein (17-37%); lemak

(4,8%); mineral (1,2%) yang terdiri dari garam fosfat, kalsium, zat besi, tembaga

dan yodium; vitamin (1,2%) yaitu vitamin B kompleks yang larut dalam air dan

vitamin A, D dan E yang larut dalam lemak (Khairuman dan Amri 2006).

Ditinjau dari aspek gizi, ikan merupakan bahan pangan sumber protein yang

cukup potensial dan dapat dibandingkan dan disejajarkan dengan bahan pangan

hewani lain seperti daging, unggas, telur dan susu.

Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi biji kedelai atau

beberapa bahan lain, menggunakan beberapa spesies kapang Rhizopus, seperti

Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), Rh. Arrhizus,

Mucor rouxii dan mucor javanicus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal

sebagai "ragi tempe". Starter tempe adalah bahan yang mengandung biakan jamur

Gambar

Tabel 1 Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun dan Katuk dalam 100 g Berat Basah
Tabel 5 Kandungan Gizi Ikan Lele per 100 gram
Tabel 7 Kombinasi Perlakuan Bioavailabilitas Sayur daun Torbangun dan Pangan    Sumber Karbohidrat dan Protein
Gambar 2 Diagram alir penelitian sayur daun Torbangun yang dikombinasikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan berfungsi optimal bila penyelenggaraan urusan pemerintahan didukung dengan sumber – sumber penerimaan yang cukup berdasarkan

Mata kuliah Perencanaan Wilayah merupakan mata kuliah yang membahas ; pengertian perencanaan wilayah, landasan/azas, fungsi dan manfaat, factor-faktor yang

Permasalahan lain yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan, dimana pimpinan sangat jarang terlibat langsung untuk mengawasi bawahan dalam bekerja,jadi pimpinan kurang

[r]

(3) Untuk mengetahui berapa besar pengaruh letak lokasi dan kualitas pelayanan terhadap minat beli konsumen di Indomaret Kecamatan Grobogan. Metode yang digunakan dalam penelitian

Menyediakan format yang dibutuhkan peserta didik/konseli yang akan memuat tulisan dan akan disajikan pada papan bimbingan dan konseling. Menyediakan format yang dibutuhkan

Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan