• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi tanaman kedelai Glycine max (L.)Merill adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae; Divisi : Spermatophyta; Subdivisio: Angiospermae; Kelas: Dicotyledonae; Ordo: Rosales; Famili: Papilionaceae; Genus: Glycine; Species : Glycine max (L.) Merill (Steenis, 2005).

Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar misofil. Pertumbuhan akar tunggang dapat mencapai panjang sekitar 2 m atau lebih pada kondisi yang optimal, namun demikian, umumnya akar tunggang hanya tumbuh pada kedalaman lapisan tanah olahan yang tidak terlalu dalam, sekitar 30-50 cm. Sementara akar serabut dapat tumbuh pada kedalaman tanah sekitar 20-30 cm. Akar serabut ini mula-mula tumbuh di dekat ujung akar tunggang, sekitar 3-4 hari setelah berkecambah dan akan semakin bertambah banyak dengan pembentukan akar-akar muda yang lain (Wawan, 2006).

Batang berbentuk pesergi dengan rambut coklat yang menjauhi batang atau mengarah ke bawah. Pertumbuhan batang terdiri dari dua tipe yaitu determinate dan interdeterminate yang didasarkan keberadaan bunga pada pucuk batang (Irwan, 2006).

Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto, 2005).

Bentuk daun kedelai yaitu bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh selepas masa pertumbuhan. Daun mempunyai bulu dengan warna cerah dan jumlahnya bervariasi (Irwan, 2006).

Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia. Jumlah bunga pada tipe batang determinate umumnya lebih sedikit dibandingkan pada batang tipe indeterminate. Warna bunga yang umum pada berbagai varietas kedelai hanya dua, yaitu putih dan ungu. Setiap ketiak tangkai daun yang mempunyai kuncup bunga dan dapat berkembang menjadi polong disebut sebagai buku subur. Tidak setiap kuncup bunga dapat tumbuh menjadi polong, hanya berkisar 20-80% (Wawan, 2006).

Polong biasanya bewarna hijau. Polongnya yang berkembang dalam kelompok, biasanya mengandung 2-3 biji yang berbentuk bundar atau pipih, dan sangat kaya akan protein dan minyak (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji bermacam-macam ada yang kuning, hitam, hijau dan coklat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi tergantung varietas. Di Indonesia besar biji bervariasi dari 6 gram – 30 gram (Suprapto, 2001).

Kotiledon merupakan endosperm yang dihasilkan dari pembuahan antara gamet jantan yang bersifat haploid dengan inti kandung lembaga yang bersifat

diploid, sehingga kotiledon akan bersifat triploid. Hasil yang diperoleh dalam kultur in vitro ini hanya berupa sel-sel kalus. Jadi penelitian ini mengindikasi perbedaan genetik yang akan mengakibatkan perbedaan kemampuan kompetensi regenerasi atau kondisi fisiologis dari jaringan eksplant (Fernando et al., 2002). Kultur Kalus

Salah satu teknik perbanyakan tanaman adalah dengan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan, organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sangat berbeda dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional karena perbanyakan melalui kultur jaringan memungkinkan perbanyakan tanaman dalam skala besar dengan waktu yang relatif lebih cepat (Nursyamsi, 2010).

Kultur adalah budidaya, dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Kultur jaringan merupakan metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman, seperti sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Dasar orientasi kultur jaringan adalah teori totipotensi sel, yang ditulis oleh Schleiden dan Schwann, bahwa bagian tanaman yang hidup mempunyai totipotensi, kalau dibudidayakan di lingkungan yang sesuai, dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Henuhili, 2013).

Kultur in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi potongan jaringan tanaman dari kondisi alami pada media nutrisi dalam kondisi aseptik, dimana

potongan jaringan yang diambil mampu mengadakan perbesaran, perpanjangan, dan pembelahan sel dan membentuk suatu massa sel yang belum terdiferensiasi yang disebut kalus serta membentuk shootlet (tunas), rootlet (akar), atau planlet (tanaman lengkap). Manfaat dari kultur in vitro ini antara lain menyediakan bibit tanaman yang sehat dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, dalam areal yang kecil, tidak tergantung pada musim dan memungkinkan manipulasi genetic (Azriati et al., 2008).

Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur jaringan antara lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (mother stock) sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya. Untuk mendapatkan hasil yang optimum maka penggunaan media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat merupakan faktor yang penting. Kombinasi media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat akan meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan organogenesis (Lestari, 2011).

Kultur jarinngan memiliki 2 prinsip dasar yang jelas yaitu bahan tanaman yang bersifat totipotensi dan budidaya yang terkendali. Konsep dasar ini adalah mutlak dalam pelaksanaan kultur jaringan karena hanya dengan sifat totipotensi ini, sel, jaringan, organ yang digunakan akan mampu tumbuh dan berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro yang dilakukan. Sifat bahan yang totipotensi saja tidak cukup untuk kesuksesan kegiatan kultur jaringan. Keadaan media tempat tumbuh, lingkungan yang mempengaruhinya (kelembaban, temperatur, cahaya) serta keharusan sterilisasi adalah hal mutlak yang harus terkendali (Nopriani et al., 2010).

Kultur kalus selain dapat digunakan untuk teknik perbanyakan tanaman juga merupakan salah satu cara untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder (George dan Sherington, 1994). Pada kultur kalus, pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) baik auksin maupun sitokinin sangat diperlukan. Penggunaan ZPT tersebut secara tunggal atau kombinasi dengan konsentrasi yang tepat diharapkan dapat menginduksi dan meningkatkan pertumbuhan kalus sehingga didapatkan biomassa yang besar.

Terbentuknya kalus yang bertekstur kompak dipacu oleh adanya hormon auksin endogen yang diproduksi secara internal oleh eksplan yang telah tumbuh membentuk kalus tersebut. Pemberian zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi produksi metabolit sekunder, hal ini disebabkan ZPT yang ditambahkan dapat menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia tumbuhan melalui pengaturan kerja enzim. ZPT berperan dalam pengikatan membran protein yang berpotensi untuk aktivitas enzim. Hasil pengikatan ini mengaktifkan enzim tersebut dan mengubah substrat menjadi beberapa produk baru. Produk baru yang terbentuk ini menyebabkan serentetan reaksi-reaksi sekunder salah satunya adalah pembentukan metabolit sekunder (Nur dan Dini, 2013).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam teknik kultur sangat nyata pengaruhnnya, teknik kultur pada upaya perbanyakan tanaman sulit diterapkan jika tidak melibatkan ZPT, dalam teknik kultur ada dua golongan ZPT yang sering digunakan yaitu auksin dan sitokinin. 2,4-Diklorofenoksiasetat acid (2,4 D) dan Benzylaminopurine (BAP) merupakan ZPT sintetis yang mempunyai sifat stabil

yakni tidak mudah terurai oleh pemanasan pada proses sterilisasi dan harganya relatif murah (Nurfadilah, 2013).

Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis. ZPT dalam tanaman bekerja saling berinteraksi sehingga merupakan suatu sistem yang digunakan dalam perkembangan tanaman, namun pengaruhnya tidak dapat digeneralisasikan. ZPT yang umum digunakan untuk menumbuhkan organ-organ baru dalam kultur in-vitro adalah golongan auksin dan sitokinin (Wattimena et al., 1992).

Pada tahap induksi kalus perlu ada penambahan ZPT seperti auksin. Kalus dapat diinduksi dari eksplan potongan daun yang dikulturkan pada perlakuan 2,4 D. Induksi kalus diawali dengan penebalan eksplan pada bagian potongan dan di daerah yang mengalami pelukaan. Penebalan tersebut merupakan interaksi eksplan dengan media tumbuh, zat pengatur tumbuh dan lingkungan tumbuh sehingga ekspan bertambah besar (Yelnititis dan Komar, 2010).

Pendekatan yang umum digunakan dalam menginduksi embrio somatik adalah mengkulturkan jaringan tanaman dalam medium yang mengandung auksin, misalnya 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Respon awal eksplan terhadap 2,4-D adalah pembentukan kalus sebagai wujud dediferensiasi. Kalus merupakan massa sel yang tidak terorganisir yang awalnya merupakan jaringan penutup luka, dimana sel-sel yang pada awalnya dorman (quiescent) terdiferensiasi kembali (dediferensiasi). Dediferensiasi terjadi karena sel-sel tumbuhan (jaringan), yang

secara alamiahnya bersifat autotrof dikondisikan menjadi heterotrof dengan cara memberikan nutrisi yang cukup kompleks di dalam medium kultur, sehingga sel-sel membelah secara tidak terkendali membentuk massa sel-sel yang tidak terorganisir (kalus) (Rusdianto dan Indrianto, 2012).

Menurut Jimnez and Bangerth (2001) selain auksin, sitokinin juga berfungsi untuk menstimulasi pembelahan pada massa pro-embriogenik sel. Keduanya dibutuhkan untuk inisiasi kalus embriogenik. Penambahan auksin-sitokinin ke dalam medium tumbuh adalah untuk mengatur pembelahan, pemanjangan, diferensiasi sel, dan pembentukan organ. Dengan mengetahui pengaruh auksin dan sitokinin dalam menginduksi kalus embriogenik pada kultur meristem.

Umumnya spesies tanaman membutuhkan konsentrasi auksin yang tinggi (biasanya 2,4-D) untuk induksi embriogenesis somatik, sedangkan sitokinin tidak dibutuhkan. Tetapi pada spesies tertentu dari tanaman monokotil dibutuhkan sitokinin (Laublin et al., 1991). Pada umumnya pemberian auksin ke dalam medium padat tanpa sitokinin dapat menginduksi kalus embriogenik, tetapi dengan ditambahkan sitokinin akan meningkatkan proliferasi kalus embriogenik. Kalus Embriogenik

Pada hakekatnya pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan (endogen) dengan zat pengatur tumbuh yang diserap dari media tumbuh (eksogen). Dimana bentuk keseimbangan yang terjadi akan menentukan arah dan bentuk pertumbuhan, seperti: membentuk kalus, shootlet (tunas), rootlet (akar), atau planlet (tanaman lengkap) . Zat pengatur tumbuh yang

sering ditambahkan pada media kultur in vitro adalah ZPT golongan auksin dan sitokinin. ZPT sintetik golongan auksin seperti NAA, dan 2,4-D, NAA lebih sering digunakan karena lebih stabil dari yang lain. ZPT sintetik golongan sitokinin yang sering digunakan seperti BAP dan 2-iP (Azriati et al., 2008).

Menurut Lestari (2007) zat pengatur tumbuh merupakan salah satu faktor penting dalam induksi kalus dan penentuan arah regenerasi kalus menjadi tanaman. Zat pengatur tumbuh paling penting yang terlibat dalam arah regenerasi kalus menjadi tanaman pada kultur in vitro adalah auksin, sitokonin dan giberelin eksogen yang terkandung dalam media.

Kalus adalah jaringan meristematik yang merupakan wujud dari dediferensiasi. Dalam kultur jaringan menginduksi terbentuknya kalus merupakan langkah yang penting. Setelah terbentuknya kalus baru diberikan perlakuan rangsangan untuk berdiferensiasi membentuk akar atau tunas. Secara histologi, kalus berasal dari pembelahan berkali – kali sel – sel parenkim di sekitar berkas pengangkut dan beberapa elemen penyusun berkas pengangkut kecuali xilem. Dalam teknik kultur jaringan (in vitro), kalus dapat diinduksi dengan menambahkan zat pengatur tumbuh yang sesuai pada media kultur. Selain zat pengatur tumbuh atau hormon pertumbuhan, penambahan vitamin dan protein juga diperlukan untuk pertumbuhan kalus. Induksi kalus dalam teknik kultur jaringan tanaman diperlukan untuk memunculkan keragaman sel somatik di dalam kultur in vitro dan meregenerasikan sel tersebut menjadi embrio somatik (Nanang, 2009).

Terdapat lima fase pertumbuhan kalus, yaitu: 1) fase lag, yaitu fase persiapan pembelahan sel, 2) fase eksponensial yaitu fase di mana laju

pembelahan sel tertinggi, 3) fase linier, yaitu fase dari pembelahan sel mulai melambat tetapi laju dari perkembangan sel meningkat, 4) fase perlambatan, di mana laju pembelahan sel dan pemanjangan sel menurun, 5) fase stasioner, di mana jumlah dan ukuran sel konstan stabil (Purnamaningsih dan Misky, 2011).

Pertumbuhan adalah peningkatan permanen ukuran organisme atau bagian dari tumbuhan yang merupakan hasil dari peningkatan jumlah dan ukuran sel. Pertumbuhan dicirikan dengan bertambahnya berat yang irreversible, sehingga pengukuran berat segar kalus dapat mewakili variabel pertumbuhan kalus. Berat segar secara fisiologis terdiri dari dua kandungan yaitu air dan karbohidrat. Berat segar kalus yang besar ini disebabkan karena kandungan airnya yang tinggi. Berat basah yang dihasilkan sangat tergantung pada kecepatan sel-sel tersebut membelah diri, memperbanyak diri dan dilanjutkan dengan membesarnya kalus (Nur dan Dini, 2013).

Sifat kompetensi sel merupakan sifat yang dimiliki setiap sel untuk melakukan interaksi terhadap kondisi lingkungan dan menghasilkan proses fisiologis yang dapat memacu pertumbuhan sel. Sel - sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel – sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet. Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur

yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah – pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil, seperti warna kekuning – kuningan, putih, hijau, atau kuning kejingga – jingaan (Sari, 2009).

Warna kalus yang masih menunjukkan warna kekuningan menunjukkan bahwa kalus tersebut masih aktif berdiferensiasi, kalus tersebut diduga juga mengandung klorofil dan menunjukkan adanya trikoma glandular yang merupakan tempat terakumulasinya artemisinin, sehingga pada fase akhir eksponensial masih dimungkinkan terjadinya aktivitas sintesis artemisinin. Jika sebaliknya terjadi perubahan wama kalus menjadi kecoklatan/browning, kemungkinan besar pertumbuhan dan perkembangan kalus tersebut telah memasuki fase stasioner (penuaan) sehingga menyebabkan produksi metabolit sekunder menurun (Purnamaningsih dan Misky, 2011).

Indikator pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro berupa warna dan tekstur kalus menggambarkan penampilan visual kalus sehingga dapat diketahui kalus yang masih memiliki selsel yang aktif membelah atau telah mati. Jaringan kalus yang dihasilkan dari suatu eksplan biasanya memunculkan warna yang berbeda-beda. Kualitas kalus yang baik sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder yaitu mempunyai ciri-ciri warna dan tekstur yang sesuai dengan metabolit sekunder yang diinginkan. Tekstur kalus merupakan salah satu penanda yang dipergunakan untuk menilai pertumbuhan suatu kalus. Kalus yang baik untuk digunakan sebagai bahan penghasil metabolit sekunder yaitu memiliki

tekstur kompak (non friable). Tekstur kalus yang kompak dianggap baik karena dapat mengakumulasi metabolit sekunder lebih banyak (Nur dan Dini, 2013). Varietas

Program pemuliaan tanaman di Indonesia didasarkan atas petimbangan untuk mendapatkan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi, memiliki mutu yang baik serta mempunyai sifat-sifat unggul lainnya seperti toleran terhadap kekeringan, lahan masam, salinitas tinggi, tahan rebah, hama dan penyakit. Kombinasi teknik seleksi dengan iradiasi secara in vitro telah terbukti dapat lebih efektif dan efisien untuk mendapatkan keragaman genetik yang inginkan. Dalam hal ini, iradiasi akan meningkatkan keragaman genetik populasi sel somatik, melalui seleksi menggunakan metode tertentu akan menyingkirkan mutasi yang tidak diinginkan sehingga populasi somaklon yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan (Lestari, 2007).

Varietas adalah kelompok tanaman dalam jenis atau spesies tertentu yang dapat dibedakan dari kelompok lain berdasarkan suatu sifat atau sifat-sifat tertentu. Pada umumnya tanaman memiliki perbedaan fenotip dan genotip yang sama. Perbedaan varietas cukup besar mempengaruhi perbedaan sifat dalam tanaman. Keragaman penampilan tanaman terjadi akibat sifat dalam tanaman (genetik) atau perbedaan lingkungan kedua-duanya. Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab keragaman penampilan tanaman (Liptan, 2000).

Pengaruh Penggenangan Terhadap Fisiologis Tanaman

Perihal membantu proses uji coba varietas kedelai yang tahan terhadap fase penggenangan, Kultur jaringan merupakan teknik yang dipromosikan, karena

dengan adanya metode melalui seleksi in vitro akan menghasilkan varietas baru yang tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik dengan sifat yang diwariskan. Selain itu teknik ini lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen, tempatnya relatif lebih sedikit, dan efektif selesi lebih tinggi. Penggunaan teknik in vitro akan menghasilkan populasi sel varian melalui seleksi pada media yang sesuai (Serres and Voesenek, 2008).

Cekaman oksigen rendah (hipoksia) juga memicu respons seluler tanaman seperti penurunan pH. Peristiwa ini diamati pada kebanyakan organisme dan merupakan faktor penting untuk ketahanan (survival) tanaman pada kondisi hipoksia. Penurunan pH sebagai salah satu tanggapan setelah terjadi hipoksia akar. Perubahan pH seluler mengawali kematian sel dan pembentukan aerenkim. Selain itu, perubahan pH juga berhubungan dengan ABA dalam mengatur stomata dan sebagai sinyal selama kekeringan dan cekaman genangan (Jackson and Ram, 2003).

Pada beberapa hasil penelitian dikatakan bahwa hormon tumbuhan dapat menginduksi perubahan peroksidase dan polifenol oksidase seiring dengan adanya regulasi dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dalam hal resistensi terhadap adanya patogen pada tanaman, aktivitas peroksidase akan meningkat pada tanaman yang terserang patogen dan enzim ini akan membentuk suatu ketahanan internal yang dapat meningkatkan resistensi dari tanaman (Arora dan Bajaj, 1981).

Kondisi tergenang menyebabkan terjadinya penurunan proses pertukaran gas antara jaringan tanaman dan atmosfer disekitarnya, karena gas (khususnya oksigen) berdifusi 10.000 kali lebih lambat di dalam air dibandingkan dengan di

udara. Kondisi ini menyebabkan terjadinya hipoksia atau anoksia di sekitar perakaran. Oksigen sangat berperan dalam proses metabolisme yang menghasilkan energi di dalam sel, sehingga konsentrasi oksigen yang sangat rendah di perakaran menyebabkan terganggunya aktivitas metabolik dan produksi energi (Sutrian, 2004).

Oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron dalam jalur fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ATP yang merupakan sumber energi utama dalam metabolisme seluler. Dalam kondisi anoksia, jaringan padi mensintesis lebih banyak solubel protein. Sebagian besar anaerobik protein ini adalah enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat (alkohol dehidrogenase, aldolase, glukosa phosphat isomerase, sukrosa synthase, piruvat decarboksilase, gliserol phosphat dehidrogenase). Protein tersebut akan diproduksi beberapa jam setelah anoksia. Seperti telah disebutkan di atas bahwa oksigen berfungsi sebagai akseptor penghasil energi dalam proses respirasi. Pada tanaman yang tidak toleran genangan atau bila tanaman terendam semua, kontak antara tanaman dengan oksigen menjadi terhambat sehingga proses respirasi tersebut tidak dapat dilangsungkan (Tabin, 2010).

Tingkat toleransi tanaman terhadap kondisi kekurangan oksigen pada dasarnya berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk mengatasi keberlangsungan tiga tahapan tersebur di atas. Tanaman yang biasa hidup di air pada umumnya mempunyai kemampuan untuk membentuk jaringan aerenchima, sehingga oksigen di perakaran dapat disuplai dari bagian atas tanaman. Namun demikian, bila keseluruhan tanaman terendam maka tidak ada bagian tanaman yang dapat mensuplai oksigen. Nitrogen juga sangat berperan sebagai penyusun

senyawa protein dalam sel. Nitrogen merupakan komponen utama protein sel yang merupakan bagian dasar kehidupan organisme dan berfungsi untuk menyokong unsur dari sel serta membentuk senyawa penting di dalam sel, termasuk protein dan merupakan bagian penting dari klorofil (Dwidjoseputro, 1987).

Sistem antioksidan di dalam sel tumbuhan menyediakan perlindungan melawan pengaruh racun dari oksigen spesies yang aktif. Komponen penting dari sistem pelindungan itu adalah pertahanan secara enzimatis, seperti SOD dan katalase yang dapat menghindari O2 - dan H2O2 selain metabolit seperti askorbat, glutation dan tokoperol yang berfungsi untuk mengatur tingkat keaktifan oksigen pada jaringan tanaman. Tanaman dapat bertahan apabila enzim SOD dan katalase dapat melindungi jaringan tanaman dalam kondisi cekaman oksidatif (Bosch and Alegre, 2002)

Penggunaan mutagen dapat menyebabkan perubahan genetik pada tanaman. Perubahan genetik akan berpengaruh terhadap proses fisiologis terutama metabolisme sel. Metabolisme berkaitan erat dengan aktivitas dan distribusi dari beberapa enzim pada tanaman seperti peroksidase dan polifenol oksidase. Kedua enzim ini pada tumbuhan terdapat pada organ, jaringan, sel serta komponen terkecil dari sel seperti organel serta bagian interselulernya. Peranan dari peroksidase dan polifenol oksidase yaitu berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dan juga dapat meningkatkan resisten ketahanan dari tumbuhan tersebut (Widiyanto, 1992).

Peroksidase terdistribusi luas pada banyak jenis tanaman dan luas pada banyak bagian dari tanaman antara lain terdapat pada bagian organ tanaman,

jaringan tanaman, sel serta komponen subselulernya termasuk organel sel Peroksidase merupakan anggota dari enzim reduktase yang dianggap memiliki hubungan nyata dengan penyebab perubahan pada rasa, warna, tekstur dan kandungan gizi buah-buahan dan sayur-sayuran yang belum diolah. Peroksidase pada tanaman merupakan isozim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan pertahanan. Aktivitas isozim peroksidase dapat dideteksi karena adanya aktivitas yang luar biasa pada jaringan. Peroksidase mengkatalisis H2O2 menjadi H2 dan O2 (Gaspar et al., 1980).

Klorofil adalah pigmen hijau yang ada dalam kloroplastida. Pada umumnya klorofil terdapat pada kloroplas sel-sel mesofil daun, yaitu pada sel-sel parenkim palisade dan atau parenkim bunga karang. Dalam kloroplas, klorofil terdapat pada membran thylakoid grana. Pada tumbuhan tingkat tinggi terdapat dua jenis klorofil yaitu klorofil-a dan klorofil-b. Pada keadaan normal, proporsi klorofil-a jauh lebih banyak dari pada klorofil-b. Selain klorofil, pada membran

Dokumen terkait