• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman kelapa sawit menurut klasifikasi tanaman dimasukkan dalam Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Monocotyledonae, Ordo : Palmales, Famili : Palmae, Sub famili : Cocoideae, Genus : Elaeis, Spesies : Elaeis gueneensis Jacq (Corley, 2003).

Akar tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai penyerap unsur hara di dalam tanah dan respirasi tanaman, selain itu juga sebagai penyangga berdirinya tanaman padaketinggian yang mencapai puluhan meter sampai tanaman berumur 25 tahun. Sistem perakaran kelapa sawit merupakan sistem akar serabut, terdiri dari akar primer, sekunder, tersier dan kuarter. Akar primer umumnya berdiameter 6–10 mm keluar dari pangkal batang dan menyebar secara horisontal dan menghujam kedalam tanah dengan sudut yang beragam. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder yang diameternya 2-4 mm. Akar sekunder bercabang membentuk akar tersier yang berdiameter 0,7-1,2 mm dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuarter (Pahan. 2008).

Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus (phototropi) dan pelepah daun (Frond base) menempel membalut batang. Pada tanaman dewasa diameternya dapat mencapai 40 cm–60 cm, bagian bawah batangnya lebih gemuk disebut bongkol bawah (bowl).Kecepatan tumbuh berkisar35 cm–75 cm/tahun. Sampai tanaman berumur 3 tahun batang belum terlihat karena masih terbungkus pelepah yang belum ditunas.Karena sifatnya yang Phototropi danHeliotropi (menuju cahaya dan arah matahari) maka pada keadaan terlindung, tumbuhnyaakan lebih

cepat akan tetapi diameter (tebal) batang lebih kecil (Mangoensoekarjodan Semangun. 2005).

Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil yaitu tanaman yang batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai struktur yang mendukung daun, bunga, dan buah, sebagai sistem pembuluh yang mengangkut air dan hara mineral dari akar ke atas serta hasil fotosintesis (fotosintat) dari daun ke bawah serta kemungkinan juga berfungsi sebagai organ penimbunzat makanan. Batang tanaman berbentuk silinder dengan diameter 20 cm–75 cm. Tanamankelapa sawit yang masih muda, batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan batang tanaman kelapa sawit terlihat jelas setelah tanaman berumur empat tahun (Pahan, 2008).

Daun kelapa sawit mirip kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap dan bertulang sejajar. Daun-daun membentuk satu pelepah yang panjangnya mencapai lebih dari 7,5 m -9 m. Jumlah anak daun disetiap pelepah berkisar antara 250- 400 helai, daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah yang subur, daun cepat membuka sehingga makin efektif melakukan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dan sebagai alat respirasi. Semakin lama proses fotosintesis berlangsung, semakin banyak bahan makanan yang dibentuk sehingga produksi akan meningkat. Jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun tergantung pada umur tanaman. Tanaman yang berumur tua, jumlah pelepah dan anak daun lebih banyak. Begitu pula pelepahnya akan lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda (Fauzidkk. 2008).

Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai dalam satu tandan. Rangkaian bunga jantan terpisah dengan bunga betina. Setiap rangkaian bunga muncul dari pangkal pelepah daun. Sebelum bunga mekar dan masih diselubungi seludang, bunga dapat dibedakan antara bunga jantan dan bunga betina dengan melihat bentuknya (Lubis. 1992).

Pada tanaman dewasa satu tandan mempunyai ± 200 cabang bunga. Setiap cabang bunga mengandung 700–1200 bunga jantan. Bunga jantan terdiri dari 6 helai benang sari dan 6 perhiasan bunga. Hari pertama kelopak terbuka dan mengeluarkan tepung sari dari ujung tandan bunga, pada hari kedua bagian tengah dan hari ketiga di bagian bawahtandan yang akan keluar serbuk sari. Serbuk sari berwarna kuning pucat dan berbau spesifik. Satu tandan bunga jantan dapat menghasilkan 25–50 gram tepung sari. Setiap bunga akan dibuahi dengan serbuk sari yang menghasilkan buah tersusun pada tandan (Sastrosayono. 2003).

Buah kelapa sawit termasuk jenis buah keras (drupe), menempel dan bergerombol pada tandan buah. Jumlah per tandan dapat mencapai 1.600, berbentuk lonjong sampai membulat. Panjang buah 2-5 cm, beratnya 15-30 gram. Bagian-bagian buah terdiri atas kulit buah (exocarp), sabut dan biji (mesocarp). Eksokarp dan mesokarp disebut perikarp (pericarp). Biji terdiri atas cangkang (endocarp) dan inti (kernel), sedangkan untuk inti sendiri terdiri atas endosperm atau putih lembaga dan embrio. Dalam embrio terdapat bakal daun (plumula), bakal akar (radicula) dan haustorium (Mangoensoekarjo dan Semangun. 2005).

Syarat Tumbuh

Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit antara 5-7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm, temperatur optimal 24-28oC. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80-90% dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan (Mangoensoekarjo dan Semangun. 2005).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0- 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15º (Kiswanto, 2008).

Klon Kelapa Sawit

Salah satu yang umum ditemukan pada klon kelapa sawit yang dihasilkan dari kultur jaringan adalah terjadinya perubahan 10- 40% ke arah abnormalitas pada organ reproduktif yaitu bunga dan buah. Dalam proses abnormalitas ini terjadi konversi satu atau lebih primordial anter menjadi karpel tambahan yang lunak dan berkembang menjadi buah mantel (Corley et al., 1986).

(Hutami et al.,) menyatakan bahwa tanaman yang diperbanyakmelalui kultur in-vitro dapat menyebabkan variasisomaklonal pada setiap planletnya. Keragamansomaklonal berasal dari keragaman genetik eksplan dankeragaman genetik yang terjadi di dalam kultur in-vitro.

Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya abnormalitas pada tanaman kelapa sawit hasil kultur jaringan, perubahan tersebut dapat bersifat genetik (Rao dan Danough, 1990), gangguan ekspresi gen diakibatkan fitohormon, struktur kalus, lamanya subkultur dan umur kalus (Paranjothy et al., 1993), tekanan seleksi yang dipakai, jenis eksplan yang digunakan, level ploidi sumber eksplan dan kecepatan proliferasi kalus. Larkin & Scowcroft (1991) menyatakan bahwa variasi pada tanaman yang diregenerasi dari kultur jaringan disebut sebagai variasi somaklonal.

Keragaman Genetik

Informasi parameter genetik sangat diperlukanuntuk kegiatan seleksi dan penapisan. Kegiatan seleksimembutuhkan karakter yang tepat agar dapat berjalan efisien. Hasil (produksi minyak) merupakan perhatianyang paling penting dalam program pemuliaan sawit,tetapi hasil merupakan karakter yang diwariskan secara kompleks dan melibatkan beberapa komponen terkait (Putri, et al., 2009).

Keragaman genetik merupakan landasan bagi pemulia untuk memulai suatu kegiatan perbaikan tanaman. Besarnya keragaman genetik dapat menjadi dasar untuk menduga keberhasilan perbaikan genetik didalam program pemuliaan. Keragaman genetik yang luas merupakan syarat berlangsungnya proses seleksi yang efektif karena memberikan keleluasan dalam proses pemilihan suatu genotipe. Selain itu populasi dengan keragaman genetik yang lebih luas akan memberikan peluang yang lebih besar diperolehnya karakter-karakter yang diinginkan (Mulyadiana, 2010).

Keragaman genetik dalam suatu populasi tanaman sangat penting, agar seleksi dengan maksud mendapatkan karakter- karakter unggul dapat dilakukan.

Makin tinggi keragaman genetik maka peluang untuk mendapatkan genotipe unggul semakin besar (Greech and Reich, 1971), dan menunjukkan besarnya pengaruh genetik terhadap sifat yanag diekspresikan (Knight, 1979). Jika keragaman genetik suatu tanaman sangat sempit sehingga sehingga seleksi sulit dilakukan maka, salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik adalah melalui mutasi. Mutasi adalah terjadinya perubahan materi genetik pada tingkat genom, kromosom, DNA atau gen sehingga mengakibatkan terjadinya keragaman genetik (Soeranto, 2003). Dalam bidang pemuliaan tanaman, teknik mutasi dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga memungkinkan pemulia melakukan seleksi genotipe tanaman sesuai dengan tujuan pemuliaan yang dikehendaki (Pandi, 2010).

Keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor penting untuk merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia dialam dan dapat pula dengan melakukan persilangan. Sifat-sifat tertentu sering tidak ditemukan pada sumber gen yang ada sehingga teknologi lainnya perlu diterapkan (Hutami et al.,2005).

Dalam pemuliaan tanaman, keragaman genetik dalam populasi tanaman mempunyai arti yang sangat penting (Mangoendidjojo, 2003) untuk pengembangan sumber genetik yang diperlukan dalam pemuliaan tanaman (Karsinah et al., 2002). Tingkat keragaman individu dalam populasi menggambarkan status keberadaan spesies tersebut di alam. Populasi dengn keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik karena mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk berdadaptasi dengan lingkungan.

PCR (Polimerase Chain Reaction)

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction / PCR) adalah metode amplifikasi suatu sequen DNA tertentu. PCR merupakan cara yang sensitif, selektif dan sangat cepat untuk memperbanyak sequen DNA yang diinginkan (Murray et al., 2009).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) dna cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipat gandakan, (2) Oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA. Primer yang digunakan adalah PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan sequen pada ujung 3’_OH rantai DNA cetakan yang lain, (3) Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP),yang terdiri atas dATP dCTP dGTP dTTP dan (4) EnzimDNA polimerase yaitu enzim yang berfungsi sebagai katalis dalam reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lainnya yang juga berperan penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006).

Keunggulan PCR (1) Polimerase-DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu. Teknik PCR sebenarnya mengeksploitasi berbgai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase –DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah dilaboratorium melalui pemanasan DNA berserat ganda pendek untuk memulai (prime) proses sintesis. Posisi awal dan akhir sintesis DNA pada PCR dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetkan sesuai dengan keinginan peneliti dan

(2) PCR menghasilkan amlifikasi wilayah DNA tertentu. Serat DNA dapat berfungsi sebagai cetakan untuik mensisntesis bila primer oligonukleotida disediakan untuk masing-masing serat. Sepasang primer dapat dipilih yang membatasi “flanking” wilayah dari DNA yang ingin diperbanyak sehingga serat DNA yang baru disintesis dimulai dari posisi primer, membentang sampai melewati primer dari serat lainnya (Murray et al., 2009).

Primer biasanya terdiri dari 20-2- nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservasif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin spesifik daerah yang diamplifikasikan. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, marka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA, ukuran panjang primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto, 2003).

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Marka RAPD banyak digunakan karena biaya yang murah, serta pengerjaannya yang mudah dan cepat bila dibandingkan marka lainnya (Bardakci, 2001). Teknik ini juga digunakan untuk identifikasi genotip dalam studi taksonomi tanaman (Nezhad et al., 2010) dan dapat melihat perbedaan genetik masing-masing individu. Teknik RAPD memiliki kelemahan yaitu tingkat keberulangannya (reproducibility) yang rendah, namun hal ini dapat diatasi dengan konsistensi kondisi PCR yang sesuai, terutama suhu primer saat menempel pada DNA template (Prana dan Hartati, 2003).

Teknik RAPD membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu organisme. Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknyatidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR (Suryanto,2003).

Faktor lain yang mempengaruhi pola pita DNA hasil RAPD yaitu komponen reaksi PCR (konsentrasi DNA template, konsentrasi enzim polymerase, konsentrasi primer, dan jumlah siklus termal), suhu siklus PCR (denaturation, dan annealing). Konsentrasi praimer acak untuk amplifikasi DNA pada beberapa tanaman bervariasi, bergantung kepada jenis primer dan jenis tanamannya, sehingga diperlukan penelitian tersendiri untuk mendapatkan produk amplifikasi yang optimum (Prana dan Hartati, 2003).

Pada teknik RAPD tingkat kemurnian DNA tidak perlu terlalu tinggi dengan kata lain teknik ini toleran terhadap tingkat kemurnian DNA (Prana dan Hartati, 2003). Keuntungan lain penggunaan metode RAPD adalah kuantitas DNA yang dibutuhkan sedikit yakni sekitar 5 -25 ng DNA dalam setiap rantai PCR (Pandey et al., 1998 di kutip Susantidiana et al., 2009).

Berdasarkan penelitian (Prana dan Hartati 2003) dari 12 primer random (Operon Technologies), dengan dua konsentrasi primer, dan tiga kondisi PCR diperoleh hasil kondisi optimum PCR-RAPD pada tanaman talas yaitu pada

kondisi: 940C selama 5 menit (Initial Denaturation); 940C selama 1 menit (Denaturation); 350C selama 3 menit (Annealing) sebanyak 35 siklus; 720C selama 2 menit (Elongation); 720C selama 7 menit (Final Elongation). Konsentrasi primer yang baik untuk mengamplifikasi DNA talas dalah 3,2 μM.

Primer-primer yang dapat menampilkan pola pita diantara sampel yang diuji adalah OPB- 01, OPB-05, OPB-20, OPB-06, OPB-04, OPB-07, OPB-15.

PENDAHULUAN

Dokumen terkait