• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan munculnya cabang anakan pada beberapa genotipe dan lingkungan tertentu. Batang jagung terdiri atas buku dan ruas. Daun jagung tumbuh pada setiap buku, berhadapan satu sama lain. Bunga jantan terletak pada bagian terpisah pada satu tanaman hari pendek, jumlah daunnya ditentukan pada saat inisiasi bunga jantan, dan dikendalikan oleh genotipe, lama penyinaran, dan suhu (Subekti et al, 2008).

Sistem perakaran jagung dapat dibagi menjadi sistem perakaran embrio yang terdiri dari akar tunggal utama dan akar seminal, dan sistem perakaran pasca-embrio yang dibentuk oleh akar adventif. Akar adventif dibentuk pada node di bawah tanah yang disebut akar mahkota, sedangkan akar lainnya dibentuk pada node di atas tanah disebut akar pengait. Akar lateral yang muncul dari semua jenis akar utama juga termasuk ke dalam sistem perakaran pasca-embrio (Hochholdinger et al, 2004).

Akar merupakan salah satu faktor dari morfologi tanaman. Dengan perakaran yang sehat, tanaman jagung akan lebih kokoh dan dapat menyerap unsur hara yang ada di dalam tanah lebih banyak lagi, sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman lebih maksimal (Hayati et al, 2011).

Batang tanaman yang kaku tingginya berkisar antara 1.5 m dan 2.5 m dan terbungkus oleh pelepah daun yang berselang-seling yang berasal dari setiap buku. Buku batang mudah terlihat. Pelepah daun terbentuk pada buku dan

membungkus rapat-rapat panjang batang utama. Sering melingkupi hingga buku berikutnya. Setiap pelepah daun kemudian membengkok menjauhi batang sebagian daun panjang luas dan melengkung. Ligula ini melekat kuat melingkupi batang pada ujung pelepah. Lembar daun berselang-seling dan bentuknya lir rumput. Daun panjang ini memiliki lebar agak seragam. Dan tulang daunnya terlihat jelas. Dengan banyak tulang daun kecil sejajar dengan panjang daun dan tidak jarang. Sebelum bibit mencapai tinggi 20 cm seluruh tunas daun dan pembungaan akhir sudah terbentuk (Rubattzky dan Yaguchi, 1998).

Keunikan jagung di antara rumput padi-padian penting dunia terletak pada sifat perbungaannya. Jagung merupakan tanaman berumah satu. Jagung menghasilkan bunga-bunga jantannya dalam suatu perbungaan terminal (malai) dan bunga-bunga betinanya pada tunas-tunas samping (tongkol). Jadi, tidak seperti setiap tanaman padi-padian utama lainnya, jagung memproduksi hasil ekonominya (bijinya) pada suatu tunas samping. Jagung adalah protandrus, yaitu mekarnya bunga jantan (pelepasan tepung sari) biasanya terjadi satu atau dua hari sebelum munculnya tangkai putik (umumnya dikenal sebagai rambut). Karena pemisahan tongkol dan malai bunga jantan serta protandri pembungaannya, jagung merupakan suatu spesies yang terutama menyerbuk silang. Produksi tepung sari melimpah, dan ada taksiran-taksiran bahwa 25.000 sampai 50.000

butir tepung sari dihasilkan untuk setiap biji yang potensial (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Tipe biji jagung berhubungan dengan letak pati lunak atau soft starch dan pati keras atau horny starch dalam endosperm biji jagung. Pati lunak yaitu pati yang bercampur dengan protein dalam bentuk matriks dan terpecah selama

pengeringan sehingga membentuk rongga-rongga kosong, sedangkan pati keras yaitu pati yang bercampur dengan protein tersusun secara matriks tebal dan tidak terpecah selama pengeringan (Koswara, 2009).

Pemahaman morfologi dan fase pertumbuhan jagung sangat membantu dalam mengidentifikasi pertumbuhan tanaman, terkait dengan optimasi perlakuan agronomis. Cekaman air (kelebihan dan kekurangan), cekaman hara (defisiensi dan keracunan), terkena herbisida atau serangan hama dan penyakit akan menyebabkan tanaman tumbuh tidak normal, atau tidak sesuai dengan morfologi tanaman (Subekti et al, 2008).

Karakteristik Tanah Masam

Tanah-tanah masam di Indonesia terdiri atas Podsolik, Latosol, Podsol, Organosol dan bagian terbesar tanah Aluvial Hidromorf. Tanah Podsolik dan Podsol bersifat masam karena berasal dari bahan induk masam dan telah mengalami pelapukan intensif yang disertai pelindian kuat. Tanah Latosol bersifat masam karena telah mengalami pelapukan intensif dan pelindian kuat. Kemasaman tanah Organosol ditimbulkan oleh perombakan bahan organik yang menghasilkan berbagai asam organik. Banyak tanah Aluvial Hidromorf menjadi luar biasa masam (pH 3,5 atau kurang) karena senyawa pirit yang dikandungnya teroksidasi menjadi asam sulfat, disamping jarosit yang terbentuk. Karena itu tanah semacam ini dinamakan tanah Sulfat Masam atau Sulfurik. Hampir semua tanah masam berada di luar Jawa, sehingga mau tidak mau perluasan lahan pertanian ke luar Jawa harus berurusan dengan tanah masam itu. 54% luas daratan Indonesia tertutup oleh tanah-tanah masam. Di antaranya tanah Podsolik

merupakan bagian yang terluas yaitu 27% luas daratan Indonesia (Notohadiprawiro, 2006).

Tanah-tanah di Indonesia sebagian besar berkembang pada iklim tropika basah dengan curah hujan >200 mm/bulan dan karena didukung pula oleh temperatur yang tinggi maka proses pelapukan berjalan lebih cepat bila dibandingkan dengan daerah-daerah beriklim kering. Proses pelapukan ini menghasilkan penciri-penciri spesifik sehingga memberikan nama tersendiri pada masing-masing jenis tanah mineral masam. Curah hujan yang tinggi menyebabkan proses pencucian yang intensif, sehingga kation-kation basa (Ca,Mg, K, dan Na) hilang dari pelapisan tanah, dan tanah memiliki kejenuhan basa yang rendah. Pencucian dari mineral liat pada lapisan atas menyebabkan terjadinya penumpukan mineral liat pada horizon di bawahnya sehingga terbentuk horizon argilik, tanah yang terbentuk adalah Ultisol (Barchia, 2009).

Tanah ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari total daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Tanah podsolik merah-kuning secara umum masuk dalam ordo ultisol. Dikatakan secara umum karena pada dasarnya nama tanah yang berasal dari sistem klasifikasi yang berbeda tidak mungkin dipadankan secara langsung dan lengkap. Hal ini disebabkan karena setiap sistem klasifikasi menggunakan seperangkat kriteria kelas yang berbeda. Andaipun kriteria sama akan tetapi

hierarki penerapannya berbeda, hasil pembentukan kelas berbeda pula (Notohadiprawiro, 2006)

Ultisol memiliki kelas besar butir yang bervariasi dari berlempung halus (17-35% liat) sampai berliat (37-55% liat). Reaksi tanah sangat masam (pH 4,1-4,8). Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8–12 cm), umumnya rendah sampai sedang, dan lapisan bawahnya sebagian besar sangat rendah dengan rasio C/N tergolong rendah (5–10). Kandungan P-potensial sangat rendah, dan K-potensial bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa dapat tukar tergolong sangat rendah di seluruh lapisan, terkecuali di lapisan atas umumnya rendah. Kandungan K dapat tukar hanya berkisar dari 0,00 sampai 0,1 cmol (+)/kg tanah. KTK tanah di semua lapisan termasuk rendah, dan KB sebagian besar sangat rendah (20% atau kurang), terkecuali lapisan atas termasuk rendah sampai sedang (21-51%). Potensi kesuburan alami Ultisol dengan demikian disimpulkan sangat rendah sampai rendah (Subagyo et al, 2000).

Pengaruh Tanah Masam Terhadap Tanaman

Kemasaman tanah yang dinyatakan dengan pH dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimia tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah. Kemasaman tanah sangat mempengaruhi ketersediaan N anorganik dimana pada pH rendah, aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi N organik menjadi terhambat. N anorganik pada tanah mineral masam hasil dekomposisi lebih banyak terakumulasi dalam bentuk NH4+, karena proses nitrifikasi membentuk NO3- terhambat pada pH < 5.39, dan akan optimum ketersediaan N dalam bentuk NO3- pada pH > 6.0. Selanjutnya, bentuk ion

H2PO4-1 dan pada tanah mineral masam kelarutan PO4-3 sulit terjadi, bahkan P dimungkinkan akan mengendap membentuk H3PO4 (Barchia, 2009).

pH tanah dapat mempengaruhi ketersediaan hara tanah dan bisa menjadi faktor yang berhubungan dengan kualitas tanah. pH sangat penting dalam menentukan aktivitas dan dominasi mikroorganisme tanah yang berhubungan dengan proses-proses yang sangat erat kaitannya dengan siklus hara, penyakit tanaman, dekomposisi dan sintesa senyawa kimia organik dan transport gas ke atmosfer oleh mikroorganisme (Sudaryono, 2009).

Pada pH rendah terjadi kekahatan (deficiency) unsur-unsur hara makro dan bersamaan dengan itu terjadi peningkatan ketersediaan unsur-unsur hara mikro, yang dapat melampaui batas sehingga bersifat meracun. Pada pH tinggi hampir semua unsur hara mikro bersifat kahat. Dengan kata lain, pH tanah merupakan salah satu faktor penting yang mengatur keadaan lingkungan ion dalam tanah. Persoalan yang biasanya timbul dalam tanah masam ialah: (1) kekahatan Ca, Mg dan P, (2) kekahatan Cu dan Mo, (3) keracunan Al dan Mn; kadang-kadang juga keracunan Fe, (4) laju penguraian bahan organik sangat lambat (daur nitrogen dalam sistem tanah tanaman terganggu, kemampuan bahan organik dalam ameliorasi struktur tanah menurun) (Notohadiprawiro, 2006).

Konsentrasi aluminium yang cukup tinggi pada tanah asam (yang pHnya di bawah 4,7) dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak ketersediaan fosfat, tapi tampaknya jika karena penghambatan penyerapan besi dan karena efek beracun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995).

Gejala pertama yang tampak dari keracunan Al adalah sistem perakaran yang tidak berkembang (pendek dan tebal) sebagai akibat penghambatan perpanjangan sel. Beberapa pengaruh buruk keberadaan Al tersebut antara lain terjadi gangguan penyerapan hara, bergabung dengan dinding sel, dan menghambat pembelahan sel (Hanum, 2013).

Studi fisiologi efisiensi hara N, P, K diarahkan kepada dasar fisiologik efisiensi pada kondisi tercekam Al dan unsur hara kurang. Hasil percobaan kultur hara menunjukkan bahwa, baik pada N, P, maupun K, galur yang efisien mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan unsur dalam pembentukan bahan kering dibandingkan dengan galur inefisien. Disamping itu, dalam hal efisiensi N, galur efisien mempunyai kemampuan yang lebih dalam menyerap dan mengasimilasi nitrat dibandingkan dengan ammonium. Sedangkan dalam hal efisiensi K, ada petunjuk bahwa galur efisien, sebagian fungsi K dapat digantikan oleh Mg. Juga pentunjuk bahwa galur-galur yang tenggang Al juga efisien N, P, K (Makmur, 2003).

Gejala keracunan Al yang paling mudah dilihat adalah penghambatan pertumbuhan akar. Penghambatan pertumbuhan akar telah banyak dilaporkan seperti pada padi, kedelai, gandum, dan jagung. Oleh karena itu parameter panjang akar biasanya dapat digunakan untuk menilai ketenggangan tanaman terhadap keracunan Al (Hanum, 2013).

Pendugaan Parameter Genetik

Heritabilitas adalah perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan besaran total ragam fenotipe dari suatu karakter. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Faktor

genetik tidak akan memperlihatkan karakter yang dibawanya, kecuali dengan adanya faktor lingkungan yang diperlukan. Sebaliknya, bagaimana pun orang mengadakan manipulasi dan perbaikan-perbaikan terhadap faktor-faktor lingkungan, tak akan menyebabkan perkembangan suatu karakter, kecuali kalau faktor genetik yang diperlukan terdapat pada individu-individu atau populasi tanaman yang bersangkutan (Syukur et al, 2015).

Nilai dugaan heritabilitas suatu karakter perlu diketahui untuk menduga kemajuan dari suatu seleksi, apakah karakter tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan karena heritabilitas dalam arti luas merupakan proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipiknya. Dalam hal ini, ragam genetik merupakan ragam genetik total yang mencakup ragam dominan, ragam aditif, dan ragam epistasis. Ragam genetik dan lingkungan berimplikasi pada penampilan fenotipik tanaman yang diekspresikan pada masing-masing karakternya (Martono, 2009).

Sesuai dengan komponen ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) (h2(BS)) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability) (h2(NS)). Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe (h2(BS) = σ2

G / σ2

P). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa ragam genetik terdiri dari ragam genetik aditif (σ2

A), ragam genetik dominan (σ2 D) dan ragam genetik epistasis (σ2

I). Heritabilitas dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2(NS) = σ2

A / σ2 P) (Syukur et al, 2015).

Suatu karakter memiliki keragaman fenotipe dan genotipe luas apabila ragam fenotipe dan genotipe karakter tersebut lebih besar dua kali simpangan bakunya dan keragaman sempit apabila ragam fenotipe dan genotipenya lebih kecil dua kali simpangan bakunya. Keragaman fenotipe dan genotipe yang luas dari karakter yang diamati ini memberikan peluang berhasilnya seleksi (Barmawi et al, 2013).

Variabilitas yang luas merupakan salah satu syarat keberhasilan seleksi terhadap karakter yang diinginkan, juga nilai rata-rata yang tinggi. Keefektifan program seleksi akan semakin efisien apabila nilai duga heritabilitas sifat tersebut cukup tinggi. Nilai heritabilitas yang tinggi untuk suatu sifat menggambarkan bahwa karakter tersebut penampilannya lebih ditentukan oleh faktor genetik. Sifat yang demikian akan mudah diwariskan pada generasi berikutnya, sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Alnopri, 2004).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait