• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tumbuhan Umbi Ganyong

Di Indonesia tumbuhan ganyong dikenal dengan nama bunga tasbeh, ganyong, dan ubi pikul (Flach & Rumawas 1996). Umbi ganyong telah lama diolah oleh masyarakat menjadi tepung, pengolahan ganyong menjadi tepung merupakan alternatif proses yang dianjurkan, karena lebih tahan lama untuk disimpan, mudah dicampur (dibuat composite), diperkaya zat gizi (fortifikasi), dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai dengan tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Jika dibandingkan dengan pembuatan pati, tepung ganyong dinilai lebih ekonomis karena tidak memerlukan banyak air dalam prosesnya, terutama dalam skala industri (Lingga et al. 1986).

Umbi dan tepung ganyong jika dibandingkan dengan umbi-umbi yang lain memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi, terutama kandungan Fe. Secara lengkap komposisi nutrisi beberapa umbi dan tepungnya bis dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia umbi ganyong serta umbi-umbian lain dan tepungnya

(dalam 100 g bahan)

Komposisi kimia ganyong singkong kentang Tepung

singkong Tepung kentang Air (g) Protein (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vit A (UI) Vit B (UI) Vit C (mg) 75 1,0 0,1 21 70 20,0 0 0,1 10 63 1,2 0,3 33 40 0,7 0 0,06 30 78 2,0 0,1 11 56 0,7 0 0,11 0,17 9 1,1 0,5 84 125 1,0 0 0,4 0 13 0,3 0,1 20 30 0,5 0 0,04 0 Sumber : Departemen Kesehatan (1996)

Secara fisik tepung ganyong yang dihasilkan berwarna putih kecoklatan. Widowati (2000) menyatakan bahwa tepung ganyong yang dibuat dengan penambahan natrium bisulfit belum menghasilkan tepung yang sesuai dengan Standar nasional Indonesia (SNI). Warna coklat yang masih terlihat karena ganyong merupakan umbi yang cepat mengalami reaksi enzimatis. Meskipun demikian, warna kecoklatan pada tepung hasil perendaman dengan natrium bisulfit lebih bagus jika umbi tidak diberi pemutih ataupun direndam dengan

larutan NaCl .Varietas ganyong yang banyak dibudidayakan di Indonesia ada dua yaitu ganyong merah dan ganyong putih (Gambar 1). Sedangkan perbedaan keduanya ditunjukkan pada Tabel 2.

Gambar 1 perbandingan umbi ganyong merah(a); dan umbi ganyong putih (b)

Tabel 2 Perbedaan ganyong merah dan ganyong putih

Perbedaan Ganyong merah Ganyong putih

Warna batang, daun dan pelepah

Merah atau ungu Hijau dan sisik umbi kecoklatan

Ukuran batang Lebih besar dan tinggi Lebih kecil dan pendek Ketahanan Agak tahan terhadap sinar,

tidak tahan terhadap kekeringan

Tahan terhadap sinar, tahan terhadap kekeringan

Menghasilkan biji Sulit Selalu

Kegunaan umbi Dimakan segar (direbus) Diambil patinya Sumber: Lingga et al. (1986)

Masa panen tumbuhan ganyong yaitu selama 4 bulan setelah penanaman, tetapi pemanenan setelah 8 bulan akan memberikan produktivitas yang tinggi karena rhizoma mengalami perbesaran maksimum. Umbi akan menjadi keras apabila lebih dari 10 bulan tidak dipanen. Hal ini juga akan menyebabkan kandungan pati berkurang (Flach dan Rumawas 1996). Umbi yang telah dipanen kemudian dapat disimpan selama beberapa minggu tanpa mengalami kerusakan dengan menjaganya dalam keadaan dingin dan kering (Kay 1973). Selama ini sebagai bahan pangan ganyong diambil patinya untuk dibuat tepung dan makanan selingan, sisa umbi dari pati digunakan sebagai kompos. Umbi yang masih muda

a1 a2

bisa dimakan dengan cara dibakar atau direbus dan terkadang juga disayur. Tumbuhan ganyong juga berfungsi untuk makanan ternak dengan memanfaatkan daun atau batangnya (Lingga et al. 1986).

Penganekaragaman pengolahan umbi ganyong perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai ganyong. Umbi ganyong merupakan salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan sebagai sumber karbohidrat pendamping beras dan terigu (Widowati, 2000). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tepung ganyong mampu sebagai pensubstitusi terigu karena memiliki sifat fisikokimia yang mirip terigu (kunia, 2004), daya cerna tinggi (Flach & Rumawas 1996), kandungan karbohidrat setara dengan umbi-umbi yang lain, begitu juga dengan kandungan mineral kalsium,phospor dan zat besi (Lingga

et al. 1993).

Tabel 3 Komposisi kimia umbi ganyong

Komponen (%) Ganyong a) Ganyong b)

Air 75,0 72,6 Karbohidrat 22,6 24,6 Protein 1,0 1,0 Lemak 0,1 0,1 Abu - 1,4 Serat kasar - 0,6

Sumber: a) Depkes RI (1992), b) Kay (1973)

Menurut Flach dan Rumawas (1996), kandungan karbohidrat umbi ganyong sekitar 22,6% hingga 24,6%, serat kasar 0,6%, dan kadar gula 10% sehingga umbi ganyong itu rasanya tidak terlalu manis, selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Ropiq (1988) melaporkan bahwa kandungan karbohidrat umbi ganyong cukup tinggi, setara dengan umbi-umbi yang lain sehingga cocok dijadikan sebagai sumber energi. Umbi ganyong juga termasuk umbi yang mengandung kalsium, fosfor dan besi, walaupun dalam jumlah sedikit.

Karakteristik Tumbuhan Umbi Garut

Tumbuhan garut mempunyai nama latin Maranta arundinacea, termasuk kedalam famili Marantaceae. Secara umum tumbuhan garut dikenal dengan nama

Arrowroot. Tepung garut telah lama digunakan sebagai salah satu bahan untuk mensubstitusi tepung terigu (Gambar 2) (Rukmana 2000).

Gambar 2 Umbi Garut

Umbi garut galur Banana mempunyai mempunyai kandungan air dan protein yang lebih tinggi dibandingkan galur Creole,dengan kandungan serat dan pati lebih rendah. Namun pati dari galur Banana lebih mudah diekstrak dan mempunyai viskositas maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur

Creole (Tabel 4) (Lingga et al. 1989).

Tabel 4 Komposisi kimia umbi garut per 100 gram Komposisi

Kultivar Creole Kultivar Banana

Lingga et al. (1989 ) DKBM* (1990) Lingga et al. (1989 ) Villamayor dan Jukema (1996) Pati Protein Lemak Serat Air Abu 21.7 1.0 0.1 1.3 69.1 1.4 - 2.2 0.1 - 70.0 - 19.4 7.2 0.1 0.6 72.0 1.3 19.4 - 21.7 1-2.2 0.1 0.6-1.3 69-72 1.3-1.4 * Direktorat Gizi dan Kesehatan RI (1990)

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya dalam proses pengolahan roti tawar, tepung garut dapat mensubstitusi sebesar 10-20% sedangkan pada pembuatan mi kering dapat mensubstitusi tepung terigu hingga 20% (Widowati et al. 1999). Selanjutnya, tepung garut yang dimodifikasi

terigu sebesar 30% dalam pembuatan mi instan (Naryanto & Kumalaningsih 1999).

Pati yang diperoleh dari umbi garut mempunyai rendemen sebesar 16-18% (Villamayor dan Jukema 1996). Pemanfaatan pati garut dalam bidang pangan antara lain sebagai bahan pensubstitusi tepung terigu sebesar 30% dalam pembuatan mi (Komari et al. 2000) dan cookies yang mudah dicerna (Palomar et al. 1992), bahan baku glukosa cair (Richana et al. 2000), dan sebagai bahan membuat makanan bayi yang mudah dicerna dan mudah larut (Villamayor & Jukema 1996). Tepung garut memiliki kandungan karbohidrat dan zat besi lebih tinggi dibandingkan terigu dan beras giling (Tabel 5).

Tabel 5 Perbandingan kandungan gizi tepung garut terhadap beras giling dan tepung terigu

Kandungan gizi Unit Kandungan

Beras giling Tepung terigu Tepung garut Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air

Bagian yang dapat dimakan Kal g g g Mg Mg Mg Iu Mg Mg g % 360,0 6,8 0,7 78,9 6,0 140,0 0,8 0,0 0,12 0,0 13,0 100,0 365,0 8,9 1,3 77,3 16,0 106,0 1,2 0,0 0,12 0,0 12,0 100,0 355,0 0,7 0,2 85,2 8,0 22,0 1,5 0,0 0,09 0,0 13,6 100,0 Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1981

Karakteristik Tumbuhan Jagung

Daerah-daerah penghasil utama jagung di Indonesia adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara. Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tumbuhan jagung dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhan, di daerah tersebut

khususnya Madura jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno 1998). Menurut Lorenz dan Karel (1991), pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin, serta kandungan gula berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada daerah lembaga. Penyusun asam lemak terdiri atas asam lemak jenuh berupa palmitat dan stearat, serta asam lemak tidak jenuh yang berupa oleat dan linoleat. Kandungan vitamin pada jagung terdiri dari tiamin, niasin, riboflavin dan piridoksin. Komposisi kimia dari jagung dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi kimia rata-rata biji jagung

Komponen Jumlah (%)

Pati Protein Lemak Serat Lain-lain

Endosperm 86.4 8.0 0.8 3.2 0.4

Lembaga 8.0 18.4 33.2 14.0 26.4

Kulit 7.3 3.7 1.0 83.6 4.4

Tip cap 5.3 9.1 3.8 77.7 4.1

Sumber: Lorenz dan Karel (1991)

Jagung merupakan serealia yang kaya akan protein dan lemak yang telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi manusia dan pakan ternak. Di Indonesia, jagung banyak dikonsumsi oleh manusia dan hanya sedikit yang digunakan untuk makanan ternak (unggas). Oleh karena itu, jagung menempati urutan kedua setelah beras dalam menghasilkan kalori dan protein yang dikonsumsi rakyat banyak. Secara garis besar butir biji jagung dibagi atas 2% bagian kulit luar, 5 % kulit ari, 12 % lembaga dan 82 % endosperm, terdiri dari pati lunak dan keras. Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung dari umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, gula, serat kasar dan pentosan (Lorenz dan Karel 1991).

Karakteristik Kacang Tunggak

Kacang tunggak merupakan bahan makanan yang sangat bergizi tinggi dan relatif bebas dari metabolit atau senyawa racun lain. Komposisi bijinya sebagian besar terdiri dari pati, protein, dan vitamin B. Kandungan gizi kacang tunggak

secara umum dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar protein kacang tunggak berkisar antara 18–29% (Kay 1979) nilai tersebut lebih besar daripada kadar protein pada jenis kacang lainnya (Depkes RI 1995).

Tabel 7 Kandungan zat gizi kacang tunggak (per 100 gram)

Kandungan Gizi Kacang Tunggak

Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Kalium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Karoten total (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (g) 331 24,4 1,9 56,6 1,6 3,6 481 399 13,9 15 0 0,06 0 13,5 Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1995)

Kacang tunggak (Vigna unguiculata) merupakan sayuran polong dataran rendah, selama ini hanya dimanfaatkan bijinya dalam keadaan tua atau kering (Gambar 3). Polong tua tidak pernah dimanfaatkan sebagai sayuran atau lalapan mentah, karena kulitnya yang alot dan banyak mengandung serat (Soedomo 1987).

Gambar 3 Kacang tunggak

Ekstrusi adalah suatu satuan proses yang memaksa suatu bahan untuk mengalir pada suatu ruangan yang sempit dan keluar melalui bukaan yang sempit juga, sehingga bahan mengalami beberapa satuan proses sekaligus meliputi proses pencampuran, pengadukan, pemasakan, pengulian, pembentukan pengembangan atau pengeringan tergantung dari desain ekstruder dan kondisi proses (Dziezak 1989). Proses ekstrusi digunakan untuk memproduksi beberapa produk seperti pasta, sereal sarapan, biskuit, crakers, makanan bayi, makanan ringan (snack),

produk-produk konfeksioneri (Dziezak 1989).

Ruang lingkup teknik ekstrusi meliputi penggilingan pencampuran, pemasakan, sterilisasi, pembentukan, dan pengeringan (Harper 1981), serta pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering (puff-dry) (Muchtadi et al. 1988). Proses ekstrusi memberi manfaat untuk mengubah flavor, mengubah protein (denaturasi) dan pati (gelatinisasi dan dekstrinisasi) menghasilkan makanan yang lebih mudah dicerna, merusak enzim yang merugikan, memperbaiki bentuk bahan dan menciptakan tekstur yang dikehendaki. Pemasakan dengan ekstrusi mempunyai banyak keuntungan, diantaranya: (1) parameter fisik (suhu, tekanan) dapat diubah-ubah sehingga dengan mesin yang sama dapat memasak dan mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda, (2) memberi bentuk dan tekstur pada hasil produk, (3) kemampuan produk kontinu, (4) pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energi dan luas pabrik, (5) pasteurisasi produk akhir dan (6) proses dalam keadaan kering (Harper 1981)

Alat atau mesin yang digunakan untuk melakukan proses ekstrusi disebut dengan ekstruder. Alat pemasak ekstruder terdiri atas tiga bagian yaitu: bagian pengisian, kompresi dan pemanasan. Menurut Muchtadi et al. (1988), ekstruder termasuk alat pengolahan bahan pangan yang menggunakan aplikasi suhu tinggi dengan waktu pengolahan yang singkat, disebut juga high temperature short time

(HTST). Umumnya dilakukan pada suhu sekitar 120-280°C dalam waktu 5-10 detik dengan tekanan bervariasi antara 70-800 psi atau lebih sesuai keperluan (Harper 1981). Matz (1984) membagi ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang digunakan dalam proses ekstrusi, yaitu ekstruder ulir tunggal (Single Screw Extruder) dan ekstruder ulir ganda (Twin Screw Extruder). Ekstruder berulir

tunggal banyak digunakan dalam pengembangan produk baru seperti makanan ringan, makanan bayi, makanan ternak, breakfast cereal atau produk modifikasi pati (Mercier & Feillet 1975). Selain itu, ekstruder juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta, cookies atau permen (Linko et al. 1981). Sedangkan ekstruder ulir ganda terdiri dari dua ulir yang sama panjang dan terletak berdampingan dalam satu barel.

Gambar 4 Penampang ekstruder ulir tunggal (Harper 1981)

Pengoperasian alat ekstruder ulir tunggal sangat sederhana, karena umumnya tidak disertai dengan unit-unit injeksi air maupun uap pada bagian larasnya. Ekstruder berulir tunggal juga memiliki suhu dalam barrel (laras) yang tidak dapat diatur dan divariasikan. Pengaturan suhu pada eksktruder berulir tunggal dilakukan dengan menggunakan elemen (listrik) pemanas yang ditempatkan pada bagian die. Oleh karena itu untuk mencapai derajat mutu atau kemasakan produk yang diinginkan, pengguna harus mengatur kondisi bahan bakunya. Penampang dari ekstruder ulir tunggal dapat dilihat pada Gambar 4.

Sedangkan ekstruder ulir ganda memiliki kecanggihan yang lebih tinggi, yaitu larasnya seringkali dilengkapi mantel pemanas dan atau pendingin. Dalam beberapa jenis, suhu proses dalam ekstruder berulir ganda, dapat berganti-ganti (berselang-seling sepanjang laras). Ekstruder berulir ganda juga seringkali dilengkapi dengan alat pengukuran suhu dan tekanan, lubang untuk penyuntikkan air atau uap, dan atau unit penambahan ingredien cair, seperti minyak atau sirup (Ahza 1996).

Mekanisme alat tersebut sangat sederhana, pertama sekali bahan dimasukan ke dalam bagian pengisi, pada tahap ini udara didorong keluar dan bahan dimampatkan hingga masak, dan mengisi seluruh ruangan diantara screw dan

barrel. Kemudian bahan didorong ke dalam bagian kompresi, di tempat ini bahan mendapat tekanan cukup tinggi. Tekanan timbul disebabkan terjadi penyempitan ruangan, akibatnya terjadi peningkatan terhadap energi mekanis dan gaya geser bahan. Keadaan demikian berakibat suhu bahan mulai naik. Di bagian dalam alat pemanas, kecepatan geser (shear rate) sangat tinggi disertai kenaikan suhu dengan cepat. Suhu mencapai maksimum sebelum bahan disemprotkan melalui lubang-lubang kecil atau lubang-lubang pelepas di ujung selubung (die). Kenaikan suhu yang tinggi dapat menyebabkan bahan mengalami perubahan fisiko kimia (Soewarno 1978).

Bahan yang telah mengalami pemasakan didorong keluar melalui die. Pada saat terlepasnya bahan di ujung die, bahan mengalami perubahan tekanan yang demikian besar dalam waktu yang singkat. Keadaan demikian menyebabkan bahan menjadi mekar, kering dengan tekstur produk yang berongga. Pemotongan, dan pembentukan makanan dilakukan segera pada saat bahan keluar dari ujung die

(Soewarno 1978). Perubahan sifat fisiko-kimiawi komponen bahan pada proses rnanufaktur pangan di dalam ekstruder melibatkan operasi yang rumit. Pati akan mengalami gelatinisasi dan terjadi modifikasi struktur protein dengan bantuan proses-proses hidrasi dan pemanasan, sehingga produk tersebut menjadi plastis, meleleh dan dapat dibentuk dan direstrukturisasi (Ahza 1996).

Kadar air bahan baku memegang peranan penting pada proses ekstrusi, karena menentukan sifat plastisitas dan elastisitas produk, yang merupakan ukuran mutu hasil olahan. umumnya kadar air bahan baku berkisar antara 10-40 persen (Harper 1981). Agar bentuk hasil olahan menjadi mekar, diperlukan kadar air optimum, waktu pemasakan yang singkat (beberapa detik) dan suhu tinggi (120 - 220°C), serta kecepatan putaran poros sekitar 300 rpm dan tekanan di bawah 136 atm atau 2000 psi (JRossen dan Miller 1973).

Perubahan Komponen Selama Proses Ekstrusi

Pada dasarnya semua bahan yang mengandung karbohidrat dan protein, setelah bentuknya disesuaikan, dapat diproses dan diteksturisasi dengan ekstruder (Ahza 1996). Hampir semua jenis serealia dan biji-bijian dapat dijadikan bahan baku pembuatan produk sereal sarapan dan ekstrudat jenis lainnya. Namun demikian, harus diperhatikan agar produk yang dihasilkan tersebut dapat dimakan dan disukai oleh konsumen. Pada prinsipnya pemasakan ekstrusi akan menyebabkan gelatinisasi pati, denaturasi protein serta inaktivasi enzim yang terdapat pada bahan mentah (Harper 1981).

Perubahan Pati

Pati mempunyai peranan penting bagi produk ekstrusi, selain berpengaruh pada tekstur juga daya mempengaruhi daya tahan produk. Pengaruh tersebut terutama disebabkan pada rasio amilosa-amilopektin dalam pati. Amilopektin diketahui bersifat merangsang terjadinya proses pemekaran (puffing), sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian dengan kandungan amilopektin yang tinggi akan bersifat ringan, porous, kering dan mudah patah (renyah). Sebaliknya, pati dengan kandungan amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekar hanya terjadi secara terbatas (Muchtadi et al. 1988).

Menurut Winarno (1989), pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Berbagai macam pati mempunyai sifat berbeda tergantung dari panjang rantai C-nya, serta lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati dapat dipisahkan dengan macam-macam pelarut dan teknik pengendapan menjadi dua bagian yaitu amilosa dan amilopektin (Hart 1990). Amilosa menyusun sekitar 20% pati, unitunit glukosanya membentuk rantai lurus yang berikatan 1,4 -glikosida. Sedangkan amilopektin disamping memiliki rantai lurus dengan ikatan 1,4- -glikosida, juga memiliki percabangan melalui ikatan 1,6- -glikosida.

Banyaknya gugus hidroksil yang terdapat dalam senyawa polimer glukosa tersebut menyebabkan amilosa bersifat hidrofilik. Sementara itu amilopektin merupakan molekul polisakarida dengan rantai cabang ikatan. Ikatan pada rantai utama adalah α-1,4 sedangkan ikatan pada titik cabang adalah α-1,6. Molekul

amilosa terdiri atas 200 sampai 20000 unit glukosa yang berbentuk heliks pada ujung antara unit-unit glukosa, sedangkan amilopektin terdiri atas lebih dari 2 juta unit glukosa dan setiap 20 sampai 30 unit glukosa terikat dengan α-1,6 (Petersen

et al. 1999).

Amilosa bersifat tidak mudah larut dalam air dingin, tetapi kelarutannya akan meningkat bila dilakukan pemanasan. Amilosa dapat mengalami retrogradasi dalam larutan encer. Amilopektin lebih stabil dalam larutan dibandingkan dengan amilosa karena tidak mengalamai retrogradasi dan lebih sukar larut dalam air panas. Hal ini disebabkan ukuran amilopektin yang besar serta adanya rantai cabang yang menyebabkan mobilitas molekul menjadi berkurang sehingga mempengaruhi terbentuknya ikatan hidrogen dan gugus hidroksil molekul amilosa yang berdekatan berikatan dalam larutan (Fleche 1985).

Proses utama yang dialami bahan pati-patian selama ekstrusi adalah adanya perlakuan suhu tinggi, dengan bantuan air mengakibatkan pati mengalami proses gelatinisasi. Tingkat gelatinisasi pati selama proses ekstrusi tergantung pada bahan baku dan kondisi proses ekstrusi serta rasio antara air dan pati bahan (Linko

et al. 1981). Permulaan proses gelatinisasi granula pati mentah yang terdiri dari amilosa dan amilopektin akan menyerap air yang akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa serta mengakibatkan granula membengkak. Dengan adanya penambahan air dan pemanasan, maka amilosa mulai berdifusi keluar butiran akhirnya butiran tersebut hanya akan terdiri sebagian amilopektin, yang kemudian pecah dan membentuk suatu matriks dengan amilosa yang merupakan gel (Harper 1981).

Selanjutnya, isi granula pati akan terlepas dan terjadinya degradasi polisakarida pati menjadi molekul yang lebih kecil dan ringan, seperti dekstrin (Bjorck & Asp 1983). Dalam proses ekstrusi, kondisi ini akan menyebabkan terbentuknya suatu suspensi yang dapat meningkatkan viskositas sehingga semua biopolimer yang ada diubah menjadi suatu larutan kental yang plastis dan meleleh secara homogen, dengan elastisitas yang tinggi, yang hanya memiliki sejumlah air yang cukup untuk dibengkakkan oleh ekstruder (Ahza 1996).

Terjadinya proses gelatinisasi ini, maka kandungan amilosa dan amilopektin suatu bahan berpati akan mempengaruhi sifat fisik produk ekstrusi. Smith (1981)

menyatakan bahwa bahan dengan kandungan amilopektin yang relatif tinggi memungkinkan bahan tersebut untuk dikembangkan lebih besar jika dibandingkan dengan bahan yang kandungan amilosa tinggi, karena amilopektin bersifat lebih lentur dan lengket (Ahza 1996). Dengan demikian produk ekstrusi yang berasal dari pati dengan kandungan amilopektin tinggi akan bersifat ringan, poms, kering dan gampang patah, sedangkan pati dengan amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal karena proses mekar hanya terjadi secara terbatas (Smith 1981).

Perubahan Protein

Selama proses ekstrusi terjadi perlakuan panas dan gesekan putaran ulir menyebabkan protein akan mengalami denaturasi atau terjadi modifikasi pada struktur sekunder, tersier dan kwartenernya, serta terputusnya ikatan hidrogen (Smith 1981). Mekanisme terjadi denaturasi protein dimulai dengan meningkatnya suhu, selanjutnya molekul protein akan terurai dari bentuk awalnya yaitu globular. Ikatan-ikatan ionik, disulfida, hidrogen dan vander wall's akan terputus, sehingga akan dihasilkan molekul yang memanjang. Beberapa molekul akan terpisah sesuai sub unitnya yang bersifat tidak larut, selanjutnya akan terjadi penggabungan molekul-molekul tersebut membentuk agregat (Harper 1981).

Adanya komponen protein dalam bahan baku akan mempengaruhi derajat pengembangan produk ekstrusi yang dihasilkan. Pengaruh protein ini tergantung dari jenis dan konsentrasi protein (Fabion et al. 1982). Bjorck dan Asp (1983), menyatakan bahwa pemasakan ekstrusi merupakan proses yang paling cocok untuk menghasilkan kualitas protein yang optimal. Hal ini disebabkan selama proses ekstrusi terjadi inaktifasi protein inhibitor dan senyawa anti fisiologis lainnya. Kondisi HTST selama pemasakan ekstrusi dan pendinginan secara cepat setelah produk keluar dari cetakan ekstruder, akan meminimumkan kehilangan vitamin dan asam amino esensial yang terdapat pada bahan (Muchtadi et al. 1988)

Perubahan Lemak

Menurut Muchtadi et al. (1988) peranan dan perubahan sifat fisiko kimia lemak selama proses ekstrusi kurang mendapat perhatian khusus dari para peneliti. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bahan baku yang digunakan untuk

pembuatan produk ekstrusi mempunyai kadar lemak yang rendah. Namun lemak juga menentukan proses dan kondisi matriks produk yang dihasilkan. Jika lemak berada dalam kondisi bebas (tidak terikat dengan ingredien lain), maka dapat berfungsi sebagai pelumas di dalam laras sehingga akan mengurangi konversi energi mekanis untuk menaikkan suhu gelatinisasi pati dan sekaligus menurunkan ekspansi produk (Ahza 1996).

Demikian juga bila lemak bersatu dengan ingredien lain berupa terbentuknya ikatan lemak-pati dan atau ikatan lemak-pati-protein, maka akan mempengaruhi proses puffing, yaitu menurunkan ekspansi produk (Mercier et al. 1975). Dalam hal ini lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Akibatnya penetrasi air menjadi lebih sedikit dan menghasilkan derajat geiatinisasi yang rendah. Selain itu menurut Harper (1981), adanya lemak dan minyak pada produk ekstrusi akan mengubah tekstur, rasa dan flavor produk.

METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait