• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bakteriofage

Bakteriofage merupakan virus yang menginfeksi bakteri, ditemukan secara terpisah oleh Frederick W. Twort di Inggris pada tahun 1915 dan oleh Felix d’Herelle di Institut Pasteur di Paris pada tahun 1917. Twort mengamati bahwa koloni-koloni bakteri kadang-kadang mengalami lisis (menjadi larut dan lenyap) dan bahwa efek litik ini dapat ditularkan dari satu koloni ke koloni lainnya. Filtrat koloni yang diencerkan dan difiltrasi dengan membran filter tetap saja dapat melisiskan koloni, akan tetapi bila filtrat ini dipanaskan maka sifat litiknya rusak. Twort berkesimpulan bahwa agen penyebab lisis ialah virus. D’Herelle menemukan hal yang sama pada tahun 1917, sehingga diberi nama fenomena

Twort-d’Herella (Pelczar et al. 2006).

Bakteriofage merupakan virus spesifik yang hanya menyerang bakteri target saja dan tidak dapat menginfeksi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan diri di dalam sel bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik sel inang. Seperti halnya semua virus, fage mengandung asam nukleat DNA atau RNA yang diliputi selubung protein atau kapsid. Kapsid ini tersusun atas subunit- subunit morfologis yang disebut kapsomer, sedangkan kapsomer terdiri atas sejumlah subunit atau molekul protein yang disebut protomer. Untuk bereplikasi virus perlu menginfeksi sel inang untuk mensintesis komponen virion baru. Komponen kemudian dirakit membentuk virion baru lalu melepaskan diri dari sel inang dan menginfeksi sel lain. Fage merupakan virus yang menginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik dan lisogeni. Cara reproduksi bakteriofage litik terdiri atas beberapa tahap, yaitu: adsorpsi, tahap penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Fage litik yang menginfeksi sel bakteri akan mengakibatkan fage bereplikasi di dalam sel inang dan membentuk sejumlah fage baru, kemudian akan membuat sel inang pecah dan akan menginfeksi sel inang

lainnya. Pada tahap adsorpsi, ujung ekor fage melekat pada dinding sel melalui reseptor khusus pada permukaan sel. Proses pelekatan ini bersifat spesifik yang berarti bahwa reseptor dan fage bersifat seperti pasangan. Reseptor dapat berupa lipopolisakarida, flagella, pili, karbohidrat, atau protein membran dinding sel. Tanpa reseptor spesifik, virus tidak dapat mangadsorpsi dan menginfeksi, apabila situs reseptor berubah karena mutasi maka inang menjadi resisten terhadap infeksi virus namun mutan virus dapat melekat pada inang yang resisten. Pelekatan virus pada sel dapat mengakibatkan perubahan pada virus dan atau sel inang yang mengakibatkan terjadinya penetrasi. Penetrasi fage ke dalam sel inang bersifat mekanis. Proses ini dimudahkan oleh adanya suatu enzim yaitu lisozim, yang dibawa pada ekor fage. Aktivitas enzim ini dapat membuat lubang kecil pada peptidoglikan (Madigan et al. 2000). Pada tahap penetrasi asam nukleat virus masuk ke dalam sel inang. Tahap transkripsi fage terjadi dalam beberapa tahap melalui gen yang disebut sebagai: 1) protein awal, 2) protein tengah, dan 3) protein akhir. Protein awal dan protein tengah merupakan enzim primer yang terlibat dalam replikasi DNA dan transkripsi, sedangkan protein akhir merupakan protein kepala dan ekor serta enzim yang terlibat dalam pelepasan partikel fage matang (Snyder et al. 2003).

Beberapa menit setelah menginfeksi, virus memasuki fase eklips, yaitu periode asam nukleat terpisah dari selubung protein dan virion bukan merupakan komponen yang utuh. Pada periode pematangan diawali dengan pengemasan asam nukleat yang baru diseintesis di dalam selubung protein. Pada fase ini titer virus yang aktif di dalam sel meningkat secara drastis meskipun virion belum terlihat berada di luar sel. Fase antara eklips dan pematangan disebut periode laten. Pada akhir fase pematangan, virion matang keluar dengan mengakibatkan lisis sel inang. Jumlah virion yang dilepaskan disebut ukuran ledakan (burn size). Siklus replikasi pada fage dapat berlangsung selama 20-60 menit (Madigan et al. 2000).

Mikroskop elektron telah memungkinkan ditentukan ciri-ciri struktural virus bakterial. Semua fage mempunyai inti asam nukleat yang ditutupi oleh selubung protein atau kapsid. Virus bakteri dapat dikelompokkan ke dalam enam tipe morfologis yaitu : 1) Tipe A adalah tipe yang paling rumit. Fage mempunyai kepala heksagonal, ekor, yang kaku dengan seludang kontraktil, dan serabut ekor.

2) Tipe B serupa dengan tipe A, tipe ini mempunyai kepala heksagonal, tetapi tidak mempunyai seludang kontraktil, ekornya kaku, dan mengenai serabut ekor, ada yang mempunyai dan ada yang tidak. 3) Tipe C adalah tipe yang dicirikan dengan sebuah kepala heksagonal dan sebuah ekor yang lebih pendek dari kepalanya. Ekornya ini tidak mempunyai seludang kontraktil dan mengenai serabut ekor, ada yang mempunya dan ada yang tidak, 4) Tipe D adalah tipe yang memiliki sebuah kepala tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari kapsomer- kapsomer besar. 5) Tipe E adalah tipe fage yang memiliki sebuah kepala tanpa ekor, dan kepalanya tersusun dari kapsomer-kapsomer kecil, dan 6) Tipe F adalah tipe yang berbentuk filamen (Pelczar et al. 2006).

Bakteriofage Sebagai Agen Biokontrol Biologi

Pada tahun 1980-an, Smith melakukan berbagai percobaan terapi fage. Berdasarkan hasil penelitian Smith et al. (1987) menunjukkan bahwa fage memiliki potensi yang cukup potensial untuk mengendalikan penyakit infeksi E. coli pada ternak. Bielke et al. (2007) meneliti bahwa bakteriofage dapat mengendalikan Salmonella dan Klebsiella oxytoca pada produk peternakan. Penelitian ini didasari oleh keprihatinan para peneliti di Amerika bahwa produk peternakan tercemar oleh Salmonella yang membahayakan bagi kesehatan manusia apabila produk peternakan tersebut dikonsumsi. Penelitian diawali dengan mengisolasi bakteriofage dari limbah buangan air, kemudian dilanjutkan dengan uji kisaran inang dengan menggunakan beberapa bakteri seperti:

Escherichia, Citrobacter, Klebsiella, Kluyvera, dan Salmonella, dilanjutkan dengan amplifikasi bakteriofage dan bakteri Salmonella, dan yang terakhir adalah menginokulasikan Salmonella dan bakteriofage pada produk hasil peternakan ayam. Higgins et al. (2005) telah mengisolasi bakteriofage dari limbah buangan air. Fage ini dapat mereduksi Salmonella enteritidis pada ayam. Beberapa penelitian lainnya yang menggunakan bakteriofage sebagai biokontrol pada produk pangan telah dilakukan oleh Flyn et al., 2004; Fiorentin et al (2005). Pada tahun 2004, Flynn et al. telah menyeleksi bakteriofage yang dapat mereduksi jumlah E. coli O157:H7 pada daging. Produk fage yang telah dikomersialkan dan

penggunaanya telah diizinkan oleh Food Drug Association (FDA) adalah LISTEXTM P100. Produk ini telah diaplikasikan di Netherland, Eropa, dan Amerika Serikat pada produk makanan keju, daging unggas, ikan, sayuran, mentega, serta produk lainnya. Soni et al. (2010) menggunakan LISTEXTM P100 untuk mereduksi Listeria monocytogenes pada ikan salmon.

Kestabilan Bakteriofage

Beberapa faktor fisik dan kimia seperti, suhu, pH, dan ion diduga berpengaruh terhadap kestabilan bakteriofage. Berdasarkan penelitian Olson et al. (2004), Yates et al. (1985) suhu merupakan faktor penting yang berperan terhadap kestabilan bakteriofage. Penelitian kestabilan fage terhadap suhu telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa peneliti tersebut diantaranya adalah Atamer et al. (2008). Pada penelitian tersebut, sebanyak 40% fage Lactococcus lactic dapat bertahan selama pemanasan pada suhu 80°C dalam suspensi susu, akan tetapi hampir semua fage menjadi tidak aktif ketika suhu dinaikkan menjadi 95°C. Suhu selama penyimpanan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan fage. Jepson et al.(2004) meneliti pengaruh waktu penyimpanan fage λ

terhadap suhu yang berbeda. Mereka melihat tidak aktifnya fage yang disimpan dalam bufer SM pada suhu 42°C setelah 84 hari. Fage tersebut lebih stabil pada suhu penyimpanan 4°C selama 6 bulan.

Faktor lainnya yang ikut berpengaruh terhadap kestabilan bakteriofage adalah pH lingkungan. Beberapa penelitian efek pH terhadap kestabilan fage sudah banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian Yang et al. (2010) fage litik AB1 yang menginfeksi Acinetobacter baumannii dapat stabil pada kisaran pH 5-9. Fage tersebut lebih stabil pada suasana pH asam dibandingkan dengan pH basa. Verthe et al. (2004) melakukan penelitian terhadap fage litik yang menginfeksi

Enterobacter aerogenes mengalami penurunan jumlah fage secara signifikan ketika diinkubasi pada pH 2. Hal ini menandakan fage sangat tidak stabil pada lingkungan asam. Berdasarkan penelitian Carrillo et al. (2006) fage litik yang menginfeksi Campylobacter jejuni stabil pada kisaran pH antara 4 hingga 9, akan tetapi kehilangan aktifitasnya pada pH 2.2.

Faktor kimia seperti ion yang terkandung di dalam bufer berpengaruh terhadap kestabilan fage. Mylon et al. (2009) meneliti kestabilan fage MS2 pada cairan dari LiCl, NaCl, KCl, dan CaCl2 pada kisaran 0.01 hingga 1.0 mol/L. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa garam monovalen tidak berpengaruh terhadap perkembangan fage, hal ini berbeda dengan garam kalsium yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan fage.

METODE

Metode Penelitian

Alur penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada gambar 1. Metode tersebut terdiri atas 9 tahapan.

Gambar 1 Diagram alir tahapan metode penelitian.

Peremajaan Isolat Salmonella sp. 38, 19, dan 84

Perbanyakan Fage Litik Salmonella sp. FR38, FR19, dan FR84

Kuantifikasi Bakteriofage dengan Plaque Forming Units

(PFU/ml)

Pemurnian Bakteriofage

Efek Kondisi pH terhadap Kestabilan Bakteriofage

Efek Kondisi Suhu terhadap Kestabilan Bakteriofage

Efek Bufer terhadap Kestabilan Bakteriofage

Pengamatan Morfologi Fage dengan Transmission Electron Microscope (TEM)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan April 2012, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hewan, IPB Darmaga dan Laboratorium TEM Eijkman Jakarta.

Bahan

Bakteri yang digunakan ialah Salmonella sp. 38, 19, dan 84 yang merupakan koleksi Dr. dr. Sri Budiarti. Bakteriofage yang digunakan ialah fage litik Salmonella sp FR38, FR19, dan FR84 yang diisolasi dari limbah cair rumah tangga (LCRT) di daerah Babakan, Darmaga (Sunarti 2011).

Peremajaan Isolat Bakteri

Bakteri Salmonella nomer 38, 19, dan 84 resisten antibiotik hasil isolasi dari feses penderita diare di Puskesmas Sindang Barang Bogor ditumbuhkan dengan metode kuadran pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Koloni tunggal yang terbentuk diambil dan ditumbuhkan pada media agar-agar miring SSA lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 12 jam. Hasil biakan disimpan untuk digunakan sebagai stok bakteri. Perbanyakan Bakteriofage

Sebanyak 10 ml kultur bakteri Salmonella 38 OD600=1 ditumbuhkan pada media Nutrient Broth (NB) dengan jumlah bakteri Salmonella sp. 108 CFU/ml. Kultur disentrifugasi pada kecepatan 1052 × g, suhu 4°C selama 20 menit. Pelet yang terbentuk diinfeksikan dengan 100 µl fage FR38, campuran diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang, lalu campuran tersebut ditambahkan 10 ml media Nutrient Broth (NB), dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Sebanyak 3 ml supernatan diambil dengan syringe dan difiltrasi dengan membran filter 0,22 µm. Supernatan yang telah difiltrasi dimasukkan ke dalam tabung steril. Hal yang sama pun dilakukan untuk bakteri Salmonella 19 dan 84.

Kuantifikasi Bakteriofage dengan Plaque Forming Units (PFU/ml).

Plaque Forming Units (PFU) ditentukan berdasarkan metode Foschino et al. (1995), yaitu 100 µl larutan fage ditambahkan dengan 100 µl kultur

Salmonella yang telah diinkubasi selama 4-5 jam pada media Nutrient Broth

(NB). Suspensi diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang kemudian dicampurkan dengan 6 ml molten top agar yang masih bersuhu 45°C, setelah itu suspensi dituang ke atas permukaan media cawan agar-agar. Inkubasi dilakukan pada suhu 37°C, plak-plak yang terbentuk dihitung setelah diinkubasi semalam. Pemurnian Bakteriofage

Pemurnian fage dilakukan dengan memindahkan plak yang terisolasi dengan baik menggunakan pipet Pasteur, kemudian plak tersebut dicampurkan dengan 2-3 ml 25% pelarut Ringers. Suspensi fage dikocok dengan vortex dan dibiarkan selama 5-10 menit pada suhu ruang kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1052 × g suhu 4°C sebanyak 3 kali ulangan. Suspensi tersebut kemudian difiltrasi menggunakan membran filter milipore 0,45 µl. Supernatan hasil sentrifugasi yang mengandung fage disaring kembali dengan filter milipore

0,22 µl. Filtrat diambil dan disimpan untuk bahan produksi (Goodridge et al.

2003).

Efek Kondisi pH terhadap Kestabilan Bakteriofage

Filtrat fage (106 pfu/ml) diinkubasi selama 30 menit pada media Nutrient Broth (NB) dengan pH 4, 5, 7, 9, dan 11 dan suhu 37°C. Sebanyak 100 µl fage diambil dari masing-masih pH yang berbeda dan diinfeksikan dengan 100 µl bakteri Salmonella, lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang, kemudian diperiksa PFU (Plaque Forming Units) menggunakan Double Layer Plaque Technique.

Efek Kondisi Suhu terhadap Kestabilan Bakteriofage

Filtrat fage (106 pfu/ml) diinkubasi masing-masing pada suhu 27°C, 37°C, 45°C, 55°C, dan 60°C pada media NB. Setelah diinkubasi masing-masing selama 30, 60, dan 90 menit sebanyak 100 µl fage diambil dan diinfeksikan dengan 100 µl bakteri Salmonella dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang, kemudian diperiksa PFU (Plaque Forming Units) menggunakan Double Layer Plaque Technique.

Efek Bufer terhadap Kestabilan Bakteriofage

Plak fage yang terbentuk dimurnikan dengan cara memindahkan plak yang terisolasi dengan baik menggunakan pipet Pasteur, kemudian plak tersebut dicampurkan dengan 2-3 ml 25% bufer Ringer. Hal yang sama pun dilakukan dengan menggunakan bufer SM dan Phosphate Buffer Saline (PBS). Media

Nutrient Broth (NB) digunakan sebagai kontrol. Suspensi fage divortex dan dibiarkan selama 5-10 menit pada suhu ruang. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1052 × g suhu 4°C, kemudian difiltrasi menggunakan membran filter milipore 0,45 µl (Phumkhachorn et al 2010). Supernatan hasil sentrifugasi yang mengandung fage (106 pfu/ml) diambil dan difiltrasi kembali menggunakan membran filter milipore 0,22 µl. Stabilitas Fage terhadap bufer dilihat tiap minggunya menggunakan Double Layer Plaque Technique.

Pengamatan Morfologi Fage dengan Transmission Electron Microscope

(TEM)

Preparasi untuk pengamatan sampel dengan menggunakan TEM dilakukan berdasarkan metode Carey et al. (2006) dengan modifikasi. Stok fage diteteskan sebanyak 10 µl pada grid menggunakan mikropipet, ditunggu selama 30 detik, selanjutnya dikeringkan dengan kertas saring. Sebanyak 5µl uranil asetat 2% diteteskan ke atas grid, ditunggu selama 1 menit. Grid dikeringkan dengan menggunakan kertas saring dan dibiarkan ± 60 menit agar benar-benar kering.

Grid-grid EM diletakkan pada holder, dibiarkan kering selama beberapa jam, setelah spesimen kering, diperiksa dengan menggunakan Mikroskop Elektron Transmisi model JEOL JEM-1010 yang dioperasikan 80kV pada perbesaran 80000x-100000x.

Karakterisasi Protein

Stok fage diukur kadar proteinnya dengan menggunakan metode Bradford (1976). Langkah awal untuk menentukan konsentrasi protein sampel ialah membuat serial konsentrasi standar Bovine Serum Albumin (BSA) dari 0.1 hingga 1.0 mg/ml. Masing-masing konsentrasi standar protein dan sampel diambil sebanyak 200 µl dan ditempatkan pada tabung reaksi. Masing-masing tabung ditambahkan 2 ml pereaksi Bradford (Lampiran 2). Campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 595 nm.

Nilai absorbansi dan konsentrasi protein dari standard BSA diplotkan pada grafik cartesius dengan konsentrasi protein sebagai absis (sumbu x) dan absorbansi sebagai ordinat (sumbu y), kemudian ditentukan persamaan garis regresinya. Kurva yang terbentuk dijadikan sebagai kurva standar untuk menentukan konsentrasi protein sampel (Lampiran 5).

Berat molekul protein fage yang diperoleh dianalisis dengan Sodium Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) (Laemmli 1970). Marker yang digunakan adalah Spectra TM Multicolor Broad Range Protein Ladder dengan berat molekul berurut-turut adalah 10, 15, 25, 35, 40, 50, 70,100, 140, dan 260 kDa.

Konsentrasi gel pemisah sebesar 12% poliakrilamida yang ditempatkan pada bagian bawah. Konsentrasi gel pengumpul sebesar 7.5% poliakrilamida yang diletakkan di bagian atas setelah gel pemisah sudah menjadi benar-benar padat. Komposisi bahan untuk membuat gel pemisah maupun gel pengumpul tertera pada Lampiran 3.

Stok fage dan molecular weight marker, masing-masing dicampurkan dengan bufer sampel dengan perbandingan 4:1 (4 bagian sampel dan 1 bagian buffer sampel). Campuran disentrifugasi dengan sentrifuse ukuran kecil pada

kecepatan 1000 rpm, suhu ruang, selama 20 menit dan dipanaskan dalam air mendidih selama 5-10 menit, dimasukkan ke dalam sumur gel dengan volume 45µl. Elektroforesis dijalankan dengan arus 20 mA dan tegangan 65 volt selama 3,5 jam. Elektroforesis diakhiri pada saat pewarna sampel mencapai batas 0.5 cm hingga 1 cm dari bagian bawah gel. Setelah elektroforesis berakhir, gel diangkat dari lempengan kaca dan dilakukan pewarnaan perak (silver stain). Bahan dan prosedur untuk pewarnaan silver stain dapat dilihat pada Lampiran 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Efek pH terhadap Kestabilan Bakteriofage

Kestabilan fage terhadap pH ditentukan dengan cara memeriksa fage pada berbagai kondisi pH (4-11). Ketiga fage FR38, FR19, dan FR84 memiliki kondisi optimum pada pH 7 (Gambar 2), hal ini dapat dilihat dari jumlah plak. Fage FR38 memiliki kestabilan terbaik terhadap pH dibandingkan dengan fage FR19 dan FR84. Fage FR38 cenderung stabil pada kondisi asam, hal ini dapat terlihat dari penurunan jumlah plak pada pH 5 dan pH 4 sebesar 24.23% dan 32.7%. Pada kondisi basa, yaitu pH 9 dan pH 11 terjadi penurunan jumlah plak yang lebih besar yaitu sebesar 35% dan 64.6%.

Fage FR19 dan FR84 memiliki karakteristik yang sama dengan fage FR 38. Kedua fage tersebut cenderung stabil pada kondisi asam. Pada FR19 terjadi penurunan jumlah plak pada pH 5 dan pH 4 sebesar 27.7% dan 48.8%, sedangkan pada kondisi basa, yaitu pH 9 dan pH 11 terjadi penurunan jumlah plak yang lebih besar yaitu 52.3% dan 73.3%.

Fage FR 19 memiliki kestabilan terendah dibandingkan dengan FR38 dan FR19. Pada FR84 terjadi penurunan jumlah plak pada pH 5 dan pH 4 sebesar 42.7% dan 62.7%, serta pada pH 9 dan pH 11 terjadi penurunan jumlah plak yang lebih besar yaitu 46.7% dan 77.3%.

(a) (b) (c)

Gambar 2 Kestabilan fage FR38 (a), FR19 (b), dan FR84 (c) terhadap pH inkubasi 4, 5, 7, 9, dan 11.

Efek Suhu terhadap Kestabilan Bakteriofage

Fage FR38, FR19, dan FR84 cenderung stabil pada suhu 27°C dan 37°C. Pada Fage FR38 yang diinkubasi selama 30 menit pada suhu 27°C jumlah plak lebih kecil dibandingkan dengan fage yang diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37°C, akan tetapi jumlah plak tetap stabil setelah diinkubasi selama 60 dan 90 menit. Jumlah plak tertinggi terjadi pada suhu 37°C setelah inkubasi 30 menit, tetapi jumlah plak tidak stabil setelah inkubasi 60 dan 90 menit. Terjadi penurunan plak sebesar 7.5% setelah inkubasi 90 menit. Fage FR38 tidak stabil pada suhu 45°C, dan 55°C, dan 60°C. Ketidakstabilan fage terlihat dari penurunan jumlah plak atau sama sekali tidak terbentuk plak. Fage FR19 dan FR84 memiliki karakteristik yang sama dengan fage FR38 yaitu tidak stabil pada suhu 45°C, 55°C, dan 60°C (Gambar 3). 0 50 100 150 200 250 300 4 5 7 9 11 Ju m lah Fage ( 10 8 p fu/ m l) pH 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 4 5 7 9 11 Ju m lah Fage ( 10 8p fu/ m l) pH 0 10 20 30 40 50 60 70 80 4 5 7 9 11 Ju m lah Fage ( 10 8 p fu/ m l) pH

(a) (b)

(c)

Gambar 3 Kestabilan fage FR38 (a), FR19 (b), dan FR84 (c) terhadap suhu inkubasi 27, 37, 45, 55, dan 60°C, masing-masing diinkubasi selama 30 (■), 60 (■), dan 90 (■) menit.

Efek Bufer terhadap Kestabilan Bakteriofage

Pengujian efek bufer terhadap stabilitas bakteriofage bertujuan untuk mengetahui bufer terbaik untuk penyimpanan bakteriofage. Perlakuan penyimpanan fage dilakukan pada tiga bufer yang berbeda, yaitu: SM (NaCl,

0 50 100 150 200 250 300 27 37 45 55 60 J u m la h F a g e ( 10 8pfu/ m l) Suhu ( C) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 27 37 45 55 60 J u m la h F a g e ( 10 8 pfu/ m l) Suhu ( C) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 27 37 45 55 60 J u m la h F a g e ( 10 8pfu/ m l) Suhu ( C)

MgSO4.7H2O, Gelatin, Tris-Cl), Ringer (NaCl, KCl, CaCl2, MgCl2.6H2O, NaH2PO4, dan glukosa), dan PBS (NaCl, KCl, NaH2PO4, dan KH2PO4) pada dua suhu yang berbeda, yaitu: suhu ruang (27°C) dan suhu dingin (4°C). Penyimpanan fage di dalam Nutrient Broth (NB) dijadikan sebagai kontrol. Kestabilan terbaik terdapat pada fage yang disimpan dalam bufer SM dan diikuti secara berturut- turut pada bufer Ringer, dan PBS.

Fage FR38 menunjukkan kestabilan terbaik dalam penyimpanan bufer SM pada suhu 27°C maupun 4°C, hal ini terlihat dari hanya terjadi penurunan jumlah plak masing-masing sebesar 10,2% setelah penyimpanan selama 8 minggu (Gambar 4). Pada Fage FR38 yang disimpan di dalam bufer Ringer pada suhu 27°C maupun suhu 4°C menunjukkan penurunan plak yang sama, yaitu sebesar 11,9% pada minggu ke 8. Penurunan jumlah plak pada penyimpanan bufer Ringer masih relatif kecil dibandingkan pada penyimpanan dalam bufer PBS. Fage FR38 yang disimpan di dalam bufer PBS pada suhu 27°C maupun suhu 4°C selama 8 minggu terjadi penurunan jumlah plak sebesar 32,2%. Pada Fage FR38 yang disimpan di dalam NB pada suhu 27°C, terjadi penurunan jumlah plak sebesar 76,3% pada minggu pertama, sedangkan fage FR38 yang disimpan dalam media NB pada suhu 4°C terjadi penurunan jumlah plak yang lebih tinggi, yaitu sebesar 81,3%.

Fage FR19 dan FR84 memiliki kestabilan yang lebih rendah dibandingkan dengan fage FR38. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya plak setelah penyimpanan selama 6 minggu. Fage FR 19 dan 84 menunjukkan kestabilan terbaik dalam penyimpanan dengan bufer SM pada suhu ruang dan diikuti secara berturut-turut pada penyimpanan di dalam bufer Ringer, dan PBS (Gambar 5,6).

(a) (b) Gambar 4 Efek bufer terhadap kestabilan bakteriofage FR38. (a) pada suhu ruang (27°C). (b) pada suhu dingin (4°C).

Fage dalam bufer PBS,

Fage dalam bufer SM ,

Fage dalam bufer Ringer,

×

Fage dalam media NB.

(a) (b)

Gambar 5 Efek bufer terhadap kestabilan bakteriofage FR19. (a) pada suhu ruang (27°C). (b) pada suhu dingin (4°C).

Fage dalam bufer PBS,

Fage dalam bufer SM,

Fage dalam bufer Ringer,

×

Fage dalam media NB. 0 50 100 150 200 250 300 350 0 1 2 3 4 5 6 7 8 J u m la h F a g e ( 10 7pfu/ m l)

Waktu Inkubasi ( minggu)

0 50 100 150 200 250 300 350 0 1 2 3 4 5 6 7 8 J u m la h F a g e ( 10 7 pfu/ m l)

Waktu Inkubasi (minggu)

0 20 40 60 80 100 120 140 0 1 2 3 4 5 6 7 8 J u m la h F a g e ( 10 7pfu/ m l)

Waktu Inkubasi (minggu)

0 20 40 60 80 100 120 140 0 1 2 3 4 5 6 7 8 J u m la h F a g e ( 10 7pfu/ m l)

(a) (b)

Gambar 6 Efek bufer terhadap kestabilan bakteriofage 84. (a) pada suhu ruang (27°C). (b) pada suhu dingin (4°C).

Fage dalam bufer PBS,

Fage dalam bufer SM,

Fage dalam bufer Ringer,

×

Fage dalam media NB.

Hasil Pengamatan Morfologi Fage dengan TEM

Analisis morfologi dengan menggunakan TEM pada Fage FR38 menunjukkan kepala fage yang berbentuk heksagonal ikosahedral. Morfologi fage FR38 lebih besar dibandingkan dengan FR19 dan FR84 (Tabel 1).

Tabel 1 Diameter kepala, panjang ekor, dan diameter ekor fage FR38, FR19, dan FR84

Nama Fage Diameter Kepala Fage (nm)

Panjang Ekor Fage (nm)

Diameter Ekor Fage (nm) FR38 73.3 ± 0.21 93.7 ± 0.21 17.3 ± 0.07 FR19 68.96 ± 0.014 52.41 ± 0.014 16.55 ± 0.02 FR84 47.53 ± 0.028 15.69 ± 0.06 9.64 ± 0.042 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 6 7 8 J u m la h F a g e ( 10 7pfu/ m l)

Waktu Inkubasi (minggu)

0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 6 7 8 J u m la h F a g e ( 10 7pfu/ m l)

Dengan menggunakan dua perbesaran yang berbeda pada TEM yaitu 80000 dan 100000 dapat terlihat morfologi fage FR38, FR19, dan FR84. Fage FR38 (Gambar 7a) dan FR19 (Gambar 7b) dapat dilihat dengan perbesaran 80000, sedangkan FR84 dapat terlihat jelas dengan menggunakkan perbesaran 100000 (Gambar 7c).

Gambar7Morfologi (a) fage FR38 perbesaran 80000×, (b) fage FR19 perbesaran 80000×, (c) fage FR84 perbesaran 100000× (c). Tanda ({) menunjukkan kepala fage. Tanda (←) menunjukkan ekor fage.

Karakteristik Protein

Kadar protein masing-masing fage berbeda satu sama lain. Fage FR38 memiliki konsentrasi protein yang paling tinggi dan dikuti secara berturut-turut oleh FR19, dan FR84 (Tabel 2).

Dokumen terkait