• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekosistem Mangrove

Ada beberapa definisi tentang mangrove yang disajikan oleh beberapa ahli, diantaranya menurut Bengen (2004) yang mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hogarth (1999) mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang.

LPP Mangrove (2008) menyatakan bahwa ciri-ciri dari hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik adalah: memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; memiliki akar yang unik misalnya seperti jangkar melengkung dan

menjulang pada bakau Rhizophora spp, serta akar yang mencuat vertikal seperti

pensil pada pidada Sonneratia spp dan pada api-api Avicennia spp; memiliki biji

(propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya

pada Rhizophora; memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. Sedangkan

tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah: tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang; tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus

pasang surut yang kuat; air bersalinitas payau (2-22‰) hingga asin (mencapai

38‰).

Spesies Avicennia marina yang sering disebut api-api merupakan

tumbuhan mangrove pada substrat berpasir atau berlumpur tipis, dengan salinitas relatif tinggi (salinitas laut) pada kisaran yang sempit. Pohonnya dapat mencapai tinggi 12 m. Daun Avicennia marina dilihat dari sisi sebelah atas berwarna hijau muda, sedangkan pada sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan atau putih. Daunnya berbentuk elips, panjang daun berkisar 5-11 cm. Buah berbentuk bulat dan agak berbulu dengan panjang 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau. Kulit batang halus, berwarna putih keabu-abuan hingga hijau. Kulit batang halus, berwarna

putih keabu-abuan hingga hijau dan akar berbentuk cakar ayam berpneumatofora untuk pernafasan (Bengen 2001).

Arief (2003) membagi zonasi mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut:

1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada

zona ini, tanah berlumpur lembek dan bergaram tinggi. Jenis Avicennia banyak

ditemukan berasosiasi dengan Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut,

jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan ombak laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pioner, karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran tumbuhan jenis ini.

2. Zona Rhizophora, terletak di belakang Avicennia dan Sonneratia. Pada zona

ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam lebih rendah. Perakaran tanaman tetap terendam selama air laut pasang.

3. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini, tanah

berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta hanya terendam pasang naik dua kali sebulan.

4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini

sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir (sungai) ke laut.

Kegunaan daun Avicennia marina yang muda dapat dimakan/disayur,

polen dari bunganya dapat untuk menarik koloni-koloni kumbang penghasil madu yang diternakkan dan abu dari kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam

pembuatan sabun cuci. Selain itu, Jenis Avicennia marina banyak digunakan

untuk kayu bakar, bahan bangunan kapal, balok, pancang, kayu untuk ikan asap dan kertas (Saparinto 2007).

Ekosistem mangrove berbeda dengan ekosistem lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah dan batang). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae, ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses

fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2004).

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber unsur hara untuk kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri (Yunasfi 2006).

Produktivitas dan Serasah Mangrove

Produktivitas mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan pantai.

Produktivitas mangrove dapat mencapai 5.000 g-C/m2/th (Lugo dan Snedaker

1974).

Mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktivitas (Chapman 1976).

Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan (Yunasfi 2006). Serasah merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan, terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arief 2003).

Produksi primer potensial hutan mangrove di Indonesia sekitar 40,40

sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora mucronata produksi

primer bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Selanjutnya Sukardjo (2002) menyatakan hutan mangrove di Indonesia melalui produktivitas serasah sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun mensuplai makanan bagi komunitas laut melaui rantai makanan detritus (detritus food chain).

Serasah dari pohon mangrove adalah sebagai sumber bahan organik yang penting. Selanjutnya bahan organik tersebut melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain (Alrasjid 1988).

Serasah adalah bahan organik dari berbagai pohon yang mati yang jatuh di dasar hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah

tanah pada suatu waktu. Kusmana et al. (2000) menyatakan bahwa besarnya

produktivitas serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

 Besarnya diameter pohon

 Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat

fluktuasi pasang surut

 Keterbukaan dari pasang surut dimana semakin terbuka semakin optimal.

Produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda. Perbedaan jumlah serasah ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan Snedaker 1974). Lebih lanjut berdasarkan penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) ditunjukkan bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Brown (1984) membedakan antara serasah pada suatu area (litter-layer) dan yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) sebagai berikut:

Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan

dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal g/m2,

Kcal/ha).

 Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu

(misal g/m2/hari, Kcal/ha/tahun).

Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat total dari sejumlah zat yang dilepas atau dimasukkan dalam suatu bagian untuk satu periode (misal g/hari). Konsep turnover rate berguna untuk membandingkan

tingkat atau nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem. Turnover rate didefenisikan oleh Brown (1984), sebagai rasio dari kandungan yang ada (misal rasio produksi serasah litter-layer).

Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan bahan dasar nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan mikroba (Odum 1993). Daun-daun mangrove yang gugur dan telah mengalami penguraian akan menjadi makanan bagi organisme perairan. Serasah yang telah terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen dan fosfor baik untuk ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. Dengan demikian mangrove berperan langsung dalam rantai perputaran energi dan zat-zat hara yang penting artinya bagi kelangsungan hidup sumberdaya hayati perairan.

Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove memungkinkan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan dari beberapa ikan atau hewan air tertentu. Ekosistem mangrove merupakan tempat hidup sejumlah besar hewan-hewan air seperti kepiting, moluska dan invertebrata lainnya. Selain itu ada pula diantara hewan-hewan air tertentu seperti udang-udangan dan ikan yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang surut (Suprihartono 2000).

Proses Dekomposisi Serasah

Ekosistem mangrove memiliki komponen-komponen sebagaimana ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik yang berperan di dalam suatu ekosistem adalah tumbuhan hijau sebagai produsen, bermacam-macam kelompok hewan sebagai konsumen dan bakteri serta fungi

sebagai dekomposer (Collier et al. 1973). Terdapat tiga proses dasar yang

menyusun komponen biotik pada suatu ekosistem yaitu (a) proses produksi (b) proses konsumsi dan (c) proses dekomposisi. Komponen abiotik meliputi unsur hara dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa temperatur, oksigen, nutrien dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan komponen lain dalam bentuk ekosistem. Agen utama dalam dekomposisi adalah dekomposer yang umumnya berasal dari kelompok bakteri dan fungi.

Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian yang hancur. Dekomposisi bisa berarti mekanisme penghancuran stuktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan stuktur sel yang kasar menjadi bentuk yang hancur (Satchell 1974). Proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan stuktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik. Definisi-definsi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen-agen fisika (Smith 1980).

Menurut Anderson dan Swift (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi serasah adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik), (2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia. Keadaan lingkungan ekosistem mangrove yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung sangat cepat sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan 1978).

Crawford dan Rosenberg (1984) menyatakan laju dekomposisi tergantung pada proses pencucian dari senyawa yang terdapat dalam subtrat, aktivitas bakteri, fungi dan penghancuran serasah oleh makro invertebrata. Keberadaan bakteri dan fungi dalam perairan mangrove mampu mengubah senyawa karbon dalam serasah daun menjadi nutrisi secara enzimatik (Pascoal dan Cassio 2004).

Bahan Organik (C, N dan P)

Bahan organik merupakan suatu elemen yang masuk di dalam proses kehidupan organisme. Bahan organik utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar

adalah Karbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O2), Silikat (Si),

Magnesium (Mg), Potassium (K) dan Kalsium (Ca). Sedangkan untuk trace

element dibutuhkan dalam konsentrasi yang sangat kecil, yakni Besi (Fe), Tembaga (Cu), dan Vanadium (V). Lebih lanjut Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa elemen-elemen C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca juga termasuk dalam kategori trace element.

Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam proses berasal dari atmosfir. Nitrogen dari atmosfir yang difiksasi oleh makhluk hidup berada dalam kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada proses

dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH2) dan nitrat (NH3)

sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea. Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut maupun partikulat adalah hasil metabolisme bahari dan hasil proses pembusukan (Effendi 2003).

Serasah tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada keadaan aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen seperti jerami, tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami dekomposisi secara lambat dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa 50-60% dari bobot awal setelah 3-10 bulan terdekomposisi (Moore-Landecker 1990).

Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan tinggi kandungan fenol dan tinggi nisbah C : N yang cenderung membuat serasah tidak disukai dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh hewan tanah. Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa, cacing tanah lebih menyukai daun-daun dengan kandungan polifenol rendah dan nisbah C : N rendah (Dix dan Webster 1995). Dekomposisi maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah berlimpah.

Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh

dekomposer karena lebih mudah dicerna (Choong et al. 1992 in Pribadi 1998).

Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah. Menurut Ashton et al. (1999) nilai nutrisi dapat ditentukan dengan rasio C : N, dimana nilai rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang lebih tinggi serta kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi. Kualitas nutrisi yang tinggi umumnya akan mengakibatkan proses dekomposisi yang lebih cepat.

Kumar et al. (2011) menyatakan bahwa mangrove dari jenis Avicennia

marina menyumbang nutrien lebih tinggi dari pada Rhizophora, yaitu nitrogen sebesar 437,05 kg/ha/th dan fosfor sebesar 90,38 kg/ha/th. Hal ini karena daun

Avicennia marina mempunyai kandungan nutrien lebih tinggi dari pada daun Rhizophora spp yang tinggi kadar taninnya, sehingga hutan mangrove di wilayah pesisir lebih subur dari pada hutan tropis dilihat dari sumbangan nutrien dari serasahnya.

Daun mangrove yang berwarna coklat dari jenis R. apiculata, S. caseolaris dan A. alba lebih disukai oleh kepiting Perisesarma spp dan E. singaporense daripada jenis daun berwarna hijau dan kuning. Hal ini menandakan bahwa daun yang disukai oleh kepiting ditandai dengan jumlah kandungan nitrogen dan komposisi kimia yang tinggi (Nordhaus 2011).

Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan salah satu upaya untuk memelihara, melindungi, dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap

ekosistem ini dapat berkelanjutan. Saenger et al. (1983) menyatakan pengelolaan

hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut sehingga secara ideal merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek sosial dan ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan demikian tidak boleh mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.

Bengen (2001) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian hutan mangrove pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih

besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen penggerak pelestarian mangrove.

Kemudian Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.

Kerangka dasar dalam pengelolaan hutan mangrove terdapat dua konsep utama yang diterapkan. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Kedua konsep ini pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa sangat memerlukan pengelolaan dalam perlindungan agar dapat terus lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan konservasi dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil yang baik.

1) Perlindungan Hutan Mangrove

Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Konservasi merupakan pemanfaatan biosfir oleh manusia sehingga dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi generasi sekarang, juga menjaga potensinya agar bisa digunakan dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Konservasi bersifat positif yang mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan yang lestari, pemulihan dan peningkatan lingkungan alami. Secara fungsional, konservasi merupakan suatu proses dimana spesies dan habitat dikelola guna mendukung eksplotasi lestari dan spesies tertentu tanpa melenyapkan kualitas atau biodiversitas habitat (Carter 1994).

Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/1984 dan Nomor: 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1964, dimana diantaranya disebutkan lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara instansi-instansi terkait.

Penentuan sabuk hijau di atas dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan hutan lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari titik pandang ke arah darat. Selanjutnya peraturan mengenai konservasi ini dituangkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Dahuri (1998) menyatakan bahwa dalam pengembangan wilayah pantai yang lestari harus diperhatikan aspek daya dukung. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:

a) Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak bagi biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah.

b) Zona perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal.

c) Zona pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghijauan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.

Sebagai layaknya kawasan konservasi di daratan, konservasi di wilayah pesisir dan laut menerapkan prinsip dan kondisi yang sama, perbedaannya adalah

pada kawasan pesisir dan laut ada dua dimensi fisik yang cukup berbeda, yaitu tanah (pantai) dan air (laut) dengan meliputi segenap flora dan fauna ikutannya. 2) Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis spesies). Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al. 2002).

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang mempunyai potensi hutan mangrove di wilayah pesisir. Panjang Pantai Timur Lampung yang

ditumbuhi oleh vegetasi mangrove berkisar antara 7,5–50 km (total 242,5 km)

dengan ketebalan jalur hijau bervariasi antara 50–400 m. Vegetasi mangrove

memanjang dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga utara sampai perbatasan Taman Nasional Way Kambas (Kustanti 2011).

Pantai Timur Lampung secara umum mengalami kerusakan yang sangat parah. Awal kerusakan hutan ini dimulai dari usaha pertambakan secara besar-besaran pada akhir tahun 1980-an. Hasil penelitian dari Universitas Lampung pada tahun 1993 (Kustanti dan Yulia 2010 ) menunjukkan bahwa 90% hutan mangrove di Pantai Timur Lampung sudah beralih fungsi menjadi tambak. Dari 14 desa pada empat kecamatan yang diteliti, ditemukan perkembangan tambak dari puluhan hektar hanya dalam waktu 2-3 tahun bertambah menjadi 3.749 ha lebih. Melihat kondisi yang makin memprihatinkan tersebut, pada tahun 1995 sampai tahun 1997 Pemerintah Daerah Provinsi Lampung melalui Dinas

Kehutanan Provinsi Lampung melakukan rehabilitasi di pesisir Pantai Timur Lampung.

Kecamatan Labuhan Maringgai merupakan salah satu kecamatan pesisir yang mendapat perhatian dari institusi pengelolaan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, melalui proyek rehabilitasi pada tahun 1995 dan 1996 oleh Lembaga Pengkajian dan Penelitian (LPP) Mangrove dengan bantuan dari Jepang. Setelah adanya rehabilitasi tahun 1995 sampai dengan tahun 1996 tersebut, kondisi hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai menunjukkan semakin baik dan bertambah luas, hal ini ditunjukkan dengan data luasan mangrove tahun 1999

Dokumen terkait