• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contribution of Organic Material from White Mangrove (Avicennia marina) as Evaluation of Mangrove Ecosystem Management: Case Study of Labuhan Maringgai, East Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contribution of Organic Material from White Mangrove (Avicennia marina) as Evaluation of Mangrove Ecosystem Management: Case Study of Labuhan Maringgai, East Lampung"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE

API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

(Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)

YULMA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul ―Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten

Lampung Timur)‖adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.

Bogor, November 2012

(3)

ABSTRACT

YULMA. Contribution of Organic Material from White Mangrove (Avicennia marina) as Evaluation of Mangrove Ecosystem Management: Case Study of Labuhan Maringgai, East Lampung. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA and YUSLI WARDIATNO.

The purpose of this study was to determine the potential contribution of organic matter (C, N and P) of mangrove forest litter production in Labuhan Maringgai to marine environment as well as evaluating the mangrove rehabilitation program conducted by the University of Lampung, Lampung program Mangrove Center. Lampung Mangrove Centre providing litter

productivity of 4.53 g/m2/day with the biggest contributor from leaf litter and

twigs, while flowers and fruit not found. Dry weight of the remaining mangrove leaf litter on day 56 ranged between 5-2.5 g. Lampung Mangrove Centre has the potential production of organic material that can be used litter amounted to

0.76164 GC/m2/day; 0.00628 GN/m2/day; 0.00331 GP/m2/day. Mangrove

rehabilitation that involves three parties including the Government of East Lampung regency, Lampung University and the community is very effective in conservation of mangrove forests in Lampung Mangrove Centre with an area of 1000 ha of mangrove ranges.

(4)

RINGKASAN

YULMA. Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Di bimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA dan YUSLI WARDIATNO.

Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi potensi bahan organik (C, N dan P) dari produksi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai ke lingkungan perairan serta mengevaluasi program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh Universitas Lampung dalam program Lampung Mangrove Center.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – April 2012 di kawasan

Lampung Mangrove Center (LMC) Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu 1) Analisis vegetasi, 2) Analisis laju dekomposisi serasah, 3) Analisis produksi potensial bahan organik serasah 4) Analisis karakteristik fisika kimia perairan dengan PCA dan 5) Analisis evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove. Data dikumpulkan melalui pengambilan sampel dan pengukuran langsung di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran di laboratorium.

Hasil analisis data principal component analysis (PCA) bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 64.10% dan satu komponen utama sebesar 84.40%. Matriks korelasi data fisika kimia perairan Lampung Mangrove Centre memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Stasiun 3 (3.1 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1 dan 2.2) dikarakteristikkan oleh suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, TSS dan TOM yang cukup tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.1 dan 1.2) dicirikan oleh kandungan DO dan pH.

Produksi serasah Lampung Mangrove Centre sebesar 4,53 g/m2/hari

dengan penyumbang terbesar berasal dari serasah daun dan ranting, sedangkan komponen dari buah/bunga tidak ditemukan. Produktivitas serasah terbesar

berasal dari stasiun 2 sebesar 270 g/m2/56 hari kemudian stasiun 3 sebesar 257

g/m2/56 hari dan yang paling sedikit dihasilkan dari stasiun 1 sebesar 233 g/m2/56

hari. Stasiun 1 memiliki kerapatan pohon paling tinggi tetapi tergolong masih muda sehingga produksi serasah yang dihasilkan sedikit. Sedangkan stasiun 2 memiliki kerapatan pohon paling rendah tetapi memiliki pohon yang lebih tinggi dan tajuk yang lebih rimbun sehingga produksi serasah yang dihasilkan lebih banyak.

(5)

mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Stasiun 1 yang terletak di Muara Kali Kepinding mengalami proses dekomposisi paling cepat karena adanya asupan air tawar dan lama waktu pasang surut. Sedangkan stasiun 3 mengalami proses dekomposisi paling lama karena waktu terkena pasang surut hanya terjadi pada saat pasang tertinggi yaitu pada musim timur sekitar bulan Mei - Juni.

Lampung Mangrove Centre memiliki produksi potensial bahan organik

serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,76164 g-C/m2/hari;

0,00628 g-N/m2/hari; 0,00331 g-P/m2/hari. Kandungan bahan organik serasah

pada stasiun 1 menunjukkan nilai yang paling tinggi yaitu 1,21890 g-C/m2/hari;

0,00938 g-N/m2/hari; 0,00520 g-P/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh substrat

mangrove di stasiun 1 lebih banyak mendapatkan bahan organik dari kolom air melalui mekanisme pasang surut yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove hingga terjadinya guguran serasah.

Pengelolaan Lampung Mangrove Centre melibatkan tiga pihak yang terdiri dari masyarakat, pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Universitas Lampung. Kondisi hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai menunjukkan hasil semakin baik dan bertambah luas menjadi 1.000 ha pada tahun 2012. Selain itu, keberhasilan lain yang ditunjukkan yaitu mendapatkan penghargaan pada tahun 2004 dan tahun 2011 dalam kategori pelestarian hutan mangrove tingkat nasional. Estimasi produksi ikan berdasarkan jumlah produksi serasah, diperkirakan Lampung Mangrove Centre dapat menghasilkan produksi ikan sebesar 1.083 kg/th dan dengan luas sekitar 1.000 ha akan mampu menyumbang produksi ikan sebesar 1.083,33 ton/th. Sedangkan berdasarkan luasan, Lampung Mangrove Centre dengan luas 1.000 ha diperkirakan dapat

menghasilkan produksi ikan dan udang sebesar 430,46–596,60 ton/th atau 430–

596 kg/ha/th.

Kata Kunci: bahan organik, Avicennia marina, pengelolaan ekosistem mangrove,

(6)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE

API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

(Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)

YULMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api

(Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)

Nama : Yulma

NIM : C252100011

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(10)

PRAKATA

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, Penulis ucapkan atas limpahan rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulisan Tesis ―Kontribusi Bahan Organik dari

Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten

Lampung Timur)‖ dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini Penulis

ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing dan

Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan selama proses penyusunan dan penulisan tesis.

2. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, yang telah bersedia menjadi penguji

luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

3. Bapak dan Ibu staf pengajar PS Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

(PS-SPL) IPB yang telah banyak memberikan pemikiran-pemikirannya kepada penulis selama menempuh proses pendidikan.

4. Ayahanda Mawardi dan Ibunda Zarni tercinta yang senantiasa mencurahkan

kasih sayang, doa, semangat dan keteladanan hingga Ananda dapat menyelesaikan penulisan tesis.

5. Saudara tercinta Aida Marliza, Aktos, Aldes serta keponakan tersayang Okta

Ilmawan Mahgenta, Merchytio Larichie, Denendra Kenzie dan Akio Alfan Alfarizki, terima kasih buat dorongan dan semangatnya.

6. Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) beserta staf yang telah

membantu penyelesaian penelitian.

7. Masyarakat Desa Margasari, Universitas Lampung, Pemerintah Kabupaten

Lampung Timur serta pihak-pihak yang telah membantu pengambilan data di Lampung Mangrove Centre.

8. Teman-teman SPL 2010 (PS-SPL) atas kebersamaan dan kerjasamanya yang

baik.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya kepada penulis sendiri dan kepada semua pihak.

Bogor, November 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balai Tengah, Kabupaten Tanah Datar – Sumatera

Barat pada tanggal 11 Juli tahun 1986, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari ayahanda Mawardi dan ibunda Zarni. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 12 Patar pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan di MTsN Bukit Surungan, Padang Panjang. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Lintau Buo selesai pada tahun 2005. Melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2005 penulis diterima di Universitas Riau, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan dan lulus tahun 2009.

Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut

(12)

DAFTAR ISI

Produktivitas dan Serasah Mangrove ... 9

Proses Dekomposisi Serasah ... 11

Bahan Organik (C, N dan P) ... 12

Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 14

METODOLOGI PENELITIAN

Pengambilan Sampel Untuk Analisis Vegetasi Mangrove ... 20

Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall) ... 22

Pengkuran Laju Dekomposisi Serasah Daun ... 23

Pengambilan Sampel Air... 23

Pengukuran Bahan Organik Kontrol (C, N dan P) Air Laut ... 24

Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 24

Analisis Data ... 24

Analisis Vegetasi Mangrove ... 24

Analisis Laju Dekomposisi Serasah ... 25

Produksi Potensial Bahan Organik Serasah ... 25

Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Variabel

Sebaran Parameter Fisika Kimia Perairan ... 32

Gambaran Umum Kondisi ekosistem Mangrove ... 33

(13)

Produktivitas Serasah Mangrove ... 35

Dekomposisi Serasah Mangrove ... 41

Produksi Potensial Bahan Organik (C, N dan P) ... 45

Kandungan Bahan Organik (C, N dan P) Pada Air Laut ... 47

Keterkaitan antar Parameter ... 48

Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 51

Keterkaitan Produksi Perikanan Dengan Ekosistem Mangrove ... 56

Kesimpulan dan Saran ... 59

Kesimpulan ... 59

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Letak geografis lokasi pengamatan ... 20

2 Nilai rata-rata parameter fisika-kimia perairan Lampung Mangrove

Centre ... 31

3 Vegetasi mangrove di setiap stasiun pengamatan ... 33

4 Produksi total serasah Avicennia marina di Lampung Mangrove

Centre selama 56 hari ... 37

5 Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian ... 39

6 Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala... 43

7 Produksi potensial bahan organik serasah Lampung Mangrove Centre ... 45

8 Kontribusi produksi potensial bahan organik serasah Lampung

Mangrove Centre dan beberapa kawasan mangrove lain ... 46

9 Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan

karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove... 49

10 Produksi perikanan Lampung Mangrove Centre (kg/hari) ... 57

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 5

2 Peta stasiun penelitian kawasan hutan Lampung Mangrove Centre ... 19

3 Transek garis dengan plot dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove ... 21

4 Ilustrasi petak contoh (plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat semai, anakan dan pohon ... 21

5 Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove ... 22

6 Litter-bag yang diikatkan pada batang mangrove ... 23

7 Bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut ... 24

8 Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air ... 33

9 Jumlah tegakan vegetasi mangrove tiap stasiun ... 34

10 Produktivitas serasah tiap stasiun penelitian selama 56 hari ... 35

11 Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 Stasiun Penelitian setelah 56 hari ... 42

12 Estimasi laju dekomposisi serasah daun 100% ... 43

13 Kandungan bahan organik (C, N dan P) air laut tiap stasiun pengamatan ... 47

14 Kandungan bahan organik kontrol air lauthari ke- ... 48

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil pengukuran parameter fisika kimia air tiap sub stasiun... 72

2 Data hasil principal component analysis (PCA) ... 73

3 Jumlah tegakan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m... 75

4 Produktifitas serasah selama pengamatan ... 76

5 Produktifitas serasah daun dan ranting selama pengamatan ... 76

6 Bobot kering serasah daun mangrove ... 77

7 Laju dekomposisi serasah daun mangrove ... 78

8 Persentase daun mangrove yang terdekomposisi ... 78

9 Sumbangan produksi potensial bahan organik serasah di lokasi pengamatan ... 80

10 Sejarah perkembangan Lampung Mangrove Centre ... 82

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove sebagai ekosistem khas daerah pantai tropik, mempunyai

fungsi strategis sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut.

Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransferke arah darat atau laut

melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan

(spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai daerah mencari

makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, kerang serta spesies lainnya (Bengen

2004). Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya

yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan serta bahan organik yang sangat

menentukan produktivitas perikanan laut (Mahmudi et al. 2008).

Mangrove sebagai ekosistem produktif di pesisir menghasilkan serasah

sebagai potensi hara yang mendukung produktivitas primer tinggi di ekosistem

ini. Produksi serasah mangrove yang tinggi secara langsung berhubungan dengan

struktur komunitas mangrove yang juga didukung oleh faktor-faktor lingkungan

antara lain musim dan suhu udara (Soenardjo 1999). Struktur komunitas yang

terdiri dari banyak jenis mangrove akan menghasilkan serasah dalam jumlah yang

besar dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai jenis mangrove sedikit,

hal ini dikarenakan tegakan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi akan

menghasilkan produksi serasah yang tinggi pula. Demikian juga dengan

dekomposisi, hasil dekomposisi yang berupa bahan organik tergantung pada

jumlah serasah yang ada. Jumlah serasah yang besar akan menghasilkan

dekomposisi yang tinggi dan ini didukung oleh kondisi lingkungan seperti

lamanya genangan, salinitas dan temperatur air. Kerapatan mangrove yang tinggi

akan menghalangi intensitas cahaya matahari masuk ke dasar hutan karena

terhalang oleh rimbunnya tajuk daun mangrove, hal ini menyebabkan kelembaban

di permukaan tanah tinggi, sehingga meningkatkan laju dekomposisi oleh bakteri

dan jamur.

Hutan mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat

tinggi, namun hanya sekitar 5% dari total produksi daunnya yang dapat langsung

dimakan oleh herbivora, sedangkan sisanya masuk kedalam ekosistem dalam

(18)

dimanfaatkan oleh bakteri, algae dan protozoa sebagai detritus atau bahan organik

mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun dan melalui

aktivitas mikroba dekomposer dan hewan-hewan pemakan detritus kemudian

diproses menjadi partikel-partikel halus (Odum dan Heald 1975). Selanjutnya

detritus tersebut merupakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang

terdapat di ekosistem mangrove dan estuaria. Partikel-partikel organik tersebut

menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang

merupakan sumber makanan utama bagi organisme omnivora seperti udang,

kepiting dan sejumlah ikan (Saparinto 2007).

Serasah mangrove yang tertimbun di dasar hutan mengalami dekomposisi

oleh jasad renik untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah

serta sumber bagi kehidupan fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen

primer. Zooplankton, ikan dan krustasea memanfaatkan fitoplankton dan detritus

sebagai sumber energi dalam kedudukannya sebagai konsumen primer pada siklus

makanan, sebelum manusia sebagai konsumen puncak memanfaatkannya

(Soenardjo 1999).

Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove antara lain

mengandung N (Nitrogen), P (Fosfor) dan C (Karbon) yang tinggi dan akan

terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton.

Oleh karenanya, diduga terdapat hubungan yang erat antara N dan P serasah

dengan N dan P yang terdapat di dalam air, produktivitas perairan dan jumlah

individu fitoplankton, zooplankton dan makroorganisme (Mahmudi et al. 2008).

Fitoplankton sebagai produsen utama (autotrof) di perairan memfiksasi C

(karbon) lewat fotosintesis dan sekaligus menyediakan energi bagi organisme

konsumen (heterotrof). Pada jenjang trofik (trophic level) berikutnya yang lebih

tinggi, konsumen primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumen

sekunder dan seterusnya sampai pada konsumen puncak. Proses tersebut apabila

berjalan dengan baik merupakan kemampuan daya dukung ekosistem mangrove

terhadap perikanan melalui fungsinya sebagai penyedia sumber energi dan habitat

nursery. Dengan mengetahui laju dekomposisi serasah (pelepasan bahan organik

dan nutrien), dapat digunakan untuk mengestimasi daya dukung ekosistem

(19)

Status kawasan hutan mangrove di Pantai Timur Lampung merupakan

hutan negara yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu:

pemerintah (BKSDA/Taman Nasional Way Kambas), swasta (hutan produksi

tetap dan tambak), masyarakat (hutan produksi yang dapat dikonversi dan APL),

dan perguruan tinggi negeri (Universitas Lampung). Vegetasi mangrove yang ada

di Kabupaten Lampung Timur memiliki ketebalan yang bervariasi antara 50

hingga 400 meter. Hutan mangrove di daerah ini membujur dari daerah Way

Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Kuala Penet (perbatasan

kawasan Taman Nasional Way Kambas).

Penurunan kualitas mangrove di Pantai Timur Lampung sudah sampai

pada tingkat mengkhawatirkan dari luasan 17.000 ha dan sekarang tersisa lebih

kurang 3.000 ha dengan presentase penurunan 82% (Kustanti 2011). Hutan

mangrove di Lampung Timur salah satunya di Kecamatan Labuhan Maringgai,

merupakan hutan mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung

pada tahun 1995 dan 1997 dengan luas hutan mangrove 700 ha. Jenis mangrove

yang ditanam adalah Avicennia marina, Rhizophora mucronata dan Nypa

fruticans. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Kecamatan Labuhan

Maringgai sekitar tahun 1987 sampai tahun 1994 disebabkan oleh pembukaan

lahan tambak, areal pertanian dan pemukiman penduduk.

Pengelolaan terpadu hutan mangrove berbasis masyarakat secara

kolaboratif dengan melibatkan peran masyarakat, pemerintah daerah Kabupaten

Lampung Timur dan Universitas Lampung di Lampung Mangrove Centre (LMC)

telah berjalan selama 5 tahun (2005-2010). Faktor kekuatan dalam pengelolaan

terpadu meliputi keberadaan lahan 700 ha, dukungan masyarakat, adanya dasar

hukum pengelolaan dan pengelolaan terpadu. Namun, masih ada dijumpai

beberapa kelemahan dalam pengelolaan terpadu yaitu tidak keseluruhan program

yang disepakati dilaksanakan stakeholder, kurangnya koordinasi dan kurangnya

dukungan perkembangan ilmu dan teknologi.

Perumusan Masalah

Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus

bahan organik dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang

(20)

yang terkait dalam rantai makanan pada ekosistem mangrove yaitu: gugur serasah

mangrove, bakteri, kepiting, detritus, fitoplankton, zooplankton dan ikan pelagis.

Boonruang (1984) menjelaskan bahwa produktivitas mangrove merupakan

sumber bagi produktivitas perikanan di estuari dan penyumbang unsur hara pada

perairan pantai terdekat. Hal ini menjadikan mangrove memegang peranan yang

unik dan tidak dapat digantikan oleh hutan maupun ekosistem lainnya, yaitu

sebagai mata rantai siklus unsur hara yang penting artinya bagi organisme

perairan (Amarangsinghe dan Balasubramanian, 1992 in Feliatra 2001).

Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial dalam berbagai

bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan

ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem

mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari

tumbuhan mangrove (Bengen 2004).

Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan

organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah

mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik

bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan.

Hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai didominasi oleh

Avicennia marina, A. alba, Rhizopora mucronata dan Nypa fruticans. Seiring

dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan

pembangunan di sekitar daerah Labuhan Maringgai bagi berbagai peruntukan

seperti pertambakan, areal pertanian dan pemukiman maka tekanan ekologis

terhadap ekosistem mangrove di kawasan Labuhan Maringgai juga meningkat.

Meningkatnya tekanan ini terlihat dari penurunan produksi perikanan tahun 2004

sebesar 42.159,8 ton menjadi 39.028,5 ton pada tahun 2005 (Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Lampung Timur 2006). Jumlah total rata-rata produksi

serasah mangrove jenis Avicennia marina di hutan mangrove Labuhan Maringgai

adalah 1,36 gram/m2/hari, penyumbang terbesar adalah serasah yang berasal dari

bunga dan buah yaitu 1,09 gram/m2/hari (Annas 2004). Rehabilitasi hutan

mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai yang telah dilakukan oleh Dinas

Kehutanan akan mempengaruhi produktivitas serasah mangrove. Penelitian untuk

(21)

mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan tersebut belum pernah dilakukan,

sehingga peneliti mencoba menganalisis hal tersebut. Secara umum kerangka

pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Produksi Serasah Laju Dekomposisi Serasah

(22)

Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

a) Menghitung produktivitas, laju dekomposisi dan potensi bahan organik (C, N

dan P) dari serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai ke

lingkungan perairan.

b) Mengevaluasi program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh

Universitas Lampung dalam program Lampung Mangrove Center.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberi informasi tentang produktivitas dan

dekomposisi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai serta

sebagai salah satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus bahan

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove

Ada beberapa definisi tentang mangrove yang disajikan oleh beberapa ahli,

diantaranya menurut Bengen (2004) yang mendefinisikan mangrove sebagai

komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa

jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

surut pantai berlumpur. Hogarth (1999) mendefinisikan mangrove sebagai

tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat

dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang.

LPP Mangrove (2008) menyatakan bahwa ciri-ciri dari hutan mangrove,

terlepas dari habitatnya yang unik adalah: memiliki jenis pohon yang relatif

sedikit; memiliki akar yang unik misalnya seperti jangkar melengkung dan

menjulang pada bakau Rhizophora spp, serta akar yang mencuat vertikal seperti

pensil pada pidada Sonneratia spp dan pada api-api Avicennia spp; memiliki biji

(propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya

pada Rhizophora; memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. Sedangkan

tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri

khusus, diantaranya adalah: tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap

hari atau hanya tergenang pada saat pasang; tempat tersebut menerima pasokan air

tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus

pasang surut yang kuat; air bersalinitas payau (2-22‰) hingga asin (mencapai

38‰).

Spesies Avicennia marina yang sering disebut api-api merupakan

tumbuhan mangrove pada substrat berpasir atau berlumpur tipis, dengan salinitas

relatif tinggi (salinitas laut) pada kisaran yang sempit. Pohonnya dapat mencapai

tinggi 12 m. Daun Avicennia marina dilihat dari sisi sebelah atas berwarna hijau

muda, sedangkan pada sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan atau putih.

Daunnya berbentuk elips, panjang daun berkisar 5-11 cm. Buah berbentuk bulat

dan agak berbulu dengan panjang 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau. Kulit batang

(24)

putih keabu-abuan hingga hijau dan akar berbentuk cakar ayam berpneumatofora

untuk pernafasan (Bengen 2001).

Arief (2003) membagi zonasi mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang

mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut:

1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada

zona ini, tanah berlumpur lembek dan bergaram tinggi. Jenis Avicennia banyak

ditemukan berasosiasi dengan Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut,

jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari

hempasan ombak laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pioner,

karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran

tumbuhan jenis ini.

2. Zona Rhizophora, terletak di belakang Avicennia dan Sonneratia. Pada zona

ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam lebih rendah. Perakaran

tanaman tetap terendam selama air laut pasang.

3. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini, tanah

berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta hanya terendam

pasang naik dua kali sebulan.

4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini

sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir

(sungai) ke laut.

Kegunaan daun Avicennia marina yang muda dapat dimakan/disayur,

polen dari bunganya dapat untuk menarik koloni-koloni kumbang penghasil madu

yang diternakkan dan abu dari kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam

pembuatan sabun cuci. Selain itu, Jenis Avicennia marina banyak digunakan

untuk kayu bakar, bahan bangunan kapal, balok, pancang, kayu untuk ikan asap

dan kertas (Saparinto 2007).

Ekosistem mangrove berbeda dengan ekosistem lainnya, komponen dasar

dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove

itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting,

buah dan batang). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan

fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh

(25)

fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh

ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2004).

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber unsur hara untuk

kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang

diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat

pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove

juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri

(Yunasfi 2006).

Produktivitas dan Serasah Mangrove

Produktivitas mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan

dengan beberapa ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas

laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan pantai.

Produktivitas mangrove dapat mencapai 5.000 g-C/m2/th (Lugo dan Snedaker

1974).

Mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada

ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada

detritus atau serasah. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem

mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk

menggambarkan produktivitas (Chapman 1976).

Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu lapisan

bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan

tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan (Yunasfi 2006). Serasah

merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi

dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan,

terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arief 2003).

Produksi primer potensial hutan mangrove di Indonesia sekitar 40,40

sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora mucronata produksi

primer bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Selanjutnya Sukardjo

(2002) menyatakan hutan mangrove di Indonesia melalui produktivitas serasah

sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun mensuplai makanan bagi

(26)

Serasah dari pohon mangrove adalah sebagai sumber bahan organik yang

penting. Selanjutnya bahan organik tersebut melalui proses dekomposisi akan

dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti

karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain (Alrasjid 1988).

Serasah adalah bahan organik dari berbagai pohon yang mati yang jatuh di

dasar hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah

berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah

tanah pada suatu waktu. Kusmana et al. (2000) menyatakan bahwa besarnya

produktivitas serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

 Besarnya diameter pohon

 Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat

fluktuasi pasang surut

 Keterbukaan dari pasang surut dimana semakin terbuka semakin optimal.

Produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda.

Perbedaan jumlah serasah ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan

yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah,

kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan

morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis

penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan Snedaker 1974).

Lebih lanjut berdasarkan penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) ditunjukkan

bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan

mangrove. Brown (1984) membedakan antara serasah pada suatu area

(litter-layer) dan yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) sebagai

berikut:

Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan

dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal g/m2,

Kcal/ha).

 Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu

(misal g/m2/hari, Kcal/ha/tahun).

Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat

total dari sejumlah zat yang dilepas atau dimasukkan dalam suatu bagian untuk

(27)

tingkat atau nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem.

Turnover rate didefenisikan oleh Brown (1984), sebagai rasio dari kandungan

yang ada (misal rasio produksi serasah litter-layer).

Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan bahan dasar

nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun

mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan

mikroba (Odum 1993). Daun-daun mangrove yang gugur dan telah mengalami

penguraian akan menjadi makanan bagi organisme perairan. Serasah yang telah

terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen dan fosfor baik untuk

ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. Dengan demikian

mangrove berperan langsung dalam rantai perputaran energi dan zat-zat hara yang

penting artinya bagi kelangsungan hidup sumberdaya hayati perairan.

Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove memungkinkan

sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan dari

beberapa ikan atau hewan air tertentu. Ekosistem mangrove merupakan tempat

hidup sejumlah besar hewan-hewan air seperti kepiting, moluska dan invertebrata

lainnya. Selain itu ada pula diantara hewan-hewan air tertentu seperti

udang-udangan dan ikan yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama

arus pasang surut (Suprihartono 2000).

Proses Dekomposisi Serasah

Ekosistem mangrove memiliki komponen-komponen sebagaimana

ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik yang

berperan di dalam suatu ekosistem adalah tumbuhan hijau sebagai produsen,

bermacam-macam kelompok hewan sebagai konsumen dan bakteri serta fungi

sebagai dekomposer (Collier et al. 1973). Terdapat tiga proses dasar yang

menyusun komponen biotik pada suatu ekosistem yaitu (a) proses produksi (b)

proses konsumsi dan (c) proses dekomposisi. Komponen abiotik meliputi unsur

hara dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa

temperatur, oksigen, nutrien dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi

kehidupan. Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan

komponen lain dalam bentuk ekosistem. Agen utama dalam dekomposisi adalah

(28)

Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan

bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian yang hancur. Dekomposisi bisa

berarti mekanisme penghancuran stuktur tanaman mati dari tahap masih melekat

pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan stuktur sel yang

kasar menjadi bentuk yang hancur (Satchell 1974). Proses dekomposisi adalah

gabungan dari proses fragmentasi, perubahan stuktur fisik dan kegiatan enzim

yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa

anorganik. Definisi-definsi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi

bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan

agen-agen fisika (Smith 1980).

Menurut Anderson dan Swift (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi

dekomposisi serasah adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik),

(2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan

dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia. Keadaan lingkungan

ekosistem mangrove yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi

sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung sangat

cepat sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan

dengan proses mineralisasi (Manan 1978).

Crawford dan Rosenberg (1984) menyatakan laju dekomposisi tergantung

pada proses pencucian dari senyawa yang terdapat dalam subtrat, aktivitas bakteri,

fungi dan penghancuran serasah oleh makro invertebrata. Keberadaan bakteri dan

fungi dalam perairan mangrove mampu mengubah senyawa karbon dalam serasah

daun menjadi nutrisi secara enzimatik (Pascoal dan Cassio 2004).

Bahan Organik (C, N dan P)

Bahan organik merupakan suatu elemen yang masuk di dalam proses

kehidupan organisme. Bahan organik utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar

adalah Karbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O2), Silikat (Si),

Magnesium (Mg), Potassium (K) dan Kalsium (Ca). Sedangkan untuk trace

element dibutuhkan dalam konsentrasi yang sangat kecil, yakni Besi (Fe),

Tembaga (Cu), dan Vanadium (V). Lebih lanjut Parsons et al. (1984) menyatakan

bahwa elemen-elemen C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca juga termasuk dalam

(29)

Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam proses berasal dari atmosfir.

Nitrogen dari atmosfir yang difiksasi oleh makhluk hidup berada dalam

kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada proses

dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH2) dan nitrat (NH3)

sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea.

Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut maupun partikulat

adalah hasil metabolisme bahari dan hasil proses pembusukan (Effendi 2003).

Serasah tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan

mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada

keadaan aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen

seperti jerami, tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami

dekomposisi secara lambat dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa

50-60% dari bobot awal setelah 3-10 bulan terdekomposisi (Moore-Landecker

1990).

Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan tinggi kandungan

fenol dan tinggi nisbah C : N yang cenderung membuat serasah tidak disukai dan

tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh hewan tanah. Berdasarkan hasil

percobaan diketahui bahwa, cacing tanah lebih menyukai daun-daun dengan

kandungan polifenol rendah dan nisbah C : N rendah (Dix dan Webster 1995).

Dekomposisi maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur

hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah

berlimpah.

Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh

dekomposer karena lebih mudah dicerna (Choong et al. 1992 in Pribadi 1998).

Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah. Menurut

Ashton et al. (1999) nilai nutrisi dapat ditentukan dengan rasio C : N, dimana nilai

rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang lebih tinggi serta

kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi. Kualitas nutrisi yang tinggi umumnya akan

mengakibatkan proses dekomposisi yang lebih cepat.

Kumar et al. (2011) menyatakan bahwa mangrove dari jenis Avicennia

marina menyumbang nutrien lebih tinggi dari pada Rhizophora, yaitu nitrogen

(30)

Avicennia marina mempunyai kandungan nutrien lebih tinggi dari pada daun

Rhizophora spp yang tinggi kadar taninnya, sehingga hutan mangrove di wilayah

pesisir lebih subur dari pada hutan tropis dilihat dari sumbangan nutrien dari

serasahnya.

Daun mangrove yang berwarna coklat dari jenis R. apiculata, S. caseolaris

dan A. alba lebih disukai oleh kepiting Perisesarma spp dan E. singaporense

daripada jenis daun berwarna hijau dan kuning. Hal ini menandakan bahwa daun

yang disukai oleh kepiting ditandai dengan jumlah kandungan nitrogen dan

komposisi kimia yang tinggi (Nordhaus 2011).

Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan salah satu upaya untuk

memelihara, melindungi, dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap

ekosistem ini dapat berkelanjutan. Saenger et al. (1983) menyatakan pengelolaan

hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut

sehingga secara ideal merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek

sosial dan ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari

pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal

tempat sumberdaya alam itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan

demikian tidak boleh mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membuka

akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung

maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat

menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan

menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.

Bengen (2001) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu

unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat

membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berada di

sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian hutan mangrove pada

dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan berbagai kepentingan. Sifat

akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada

(31)

besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai

komponen penggerak pelestarian mangrove.

Kemudian Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna

mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara

seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka

pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang

beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk

terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.

Kerangka dasar dalam pengelolaan hutan mangrove terdapat dua konsep

utama yang diterapkan. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan

mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Kedua konsep ini pada dasarnya

memberikan legitimasi dan pengertian bahwa sangat memerlukan pengelolaan

dalam perlindungan agar dapat terus lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang

dapat dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap keberadaan hutan

mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai

kawasan hutan konservasi dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan

tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan ini cukup efektif dilakukan dan membawa

hasil yang baik.

1) Perlindungan Hutan Mangrove

Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya

pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan

dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai

suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Konservasi

merupakan pemanfaatan biosfir oleh manusia sehingga dapat memberikan

manfaat yang sangat besar bagi generasi sekarang, juga menjaga potensinya agar

bisa digunakan dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Konservasi bersifat

positif yang mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan yang lestari,

pemulihan dan peningkatan lingkungan alami. Secara fungsional, konservasi

merupakan suatu proses dimana spesies dan habitat dikelola guna mendukung

eksplotasi lestari dan spesies tertentu tanpa melenyapkan kualitas atau

(32)

Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama

Menteri Pertanian dan Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/1984 dan Nomor:

082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1964, dimana diantaranya disebutkan lebar

sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat

selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan

hutan mangrove, juga dibuat menyelaraskan peraturan mengenai areal

perlindungan hutan mangrove diantara instansi-instansi terkait.

Penentuan sabuk hijau di atas dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden

No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan hutan lindung. Dalam Keppres tersebut

ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk

melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai.

Kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang

lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari titik

pandang ke arah darat. Selanjutnya peraturan mengenai konservasi ini dituangkan

dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya.

Dahuri (1998) menyatakan bahwa dalam pengembangan wilayah pantai

yang lestari harus diperhatikan aspek daya dukung. Menurut persetujuan

internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:

a) Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan hutan

mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber

makanan dan daerah berbiak bagi biota laut. Zona ini juga melindungi daerah

pantai dari angin, badai dan erosi tanah.

b) Zona perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan

mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah,

ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga

biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal.

c) Zona pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan

mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghijauan

kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.

Sebagai layaknya kawasan konservasi di daratan, konservasi di wilayah

(33)

pada kawasan pesisir dan laut ada dua dimensi fisik yang cukup berbeda, yaitu

tanah (pantai) dan air (laut) dengan meliputi segenap flora dan fauna ikutannya.

2) Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan

dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih

stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem

atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,

rehabitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove

atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang

memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem.

Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove

sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis spesies).

Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi

ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan

yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam

kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al. 2002).

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang mempunyai

potensi hutan mangrove di wilayah pesisir. Panjang Pantai Timur Lampung yang

ditumbuhi oleh vegetasi mangrove berkisar antara 7,5–50 km (total 242,5 km)

dengan ketebalan jalur hijau bervariasi antara 50–400 m. Vegetasi mangrove

memanjang dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga utara sampai

perbatasan Taman Nasional Way Kambas (Kustanti 2011).

Pantai Timur Lampung secara umum mengalami kerusakan yang sangat

parah. Awal kerusakan hutan ini dimulai dari usaha pertambakan secara

besar-besaran pada akhir tahun 1980-an. Hasil penelitian dari Universitas Lampung

pada tahun 1993 (Kustanti dan Yulia 2010 ) menunjukkan bahwa 90% hutan

mangrove di Pantai Timur Lampung sudah beralih fungsi menjadi tambak. Dari

14 desa pada empat kecamatan yang diteliti, ditemukan perkembangan tambak

dari puluhan hektar hanya dalam waktu 2-3 tahun bertambah menjadi 3.749 ha

lebih. Melihat kondisi yang makin memprihatinkan tersebut, pada tahun 1995

(34)

Kehutanan Provinsi Lampung melakukan rehabilitasi di pesisir Pantai Timur

Lampung.

Kecamatan Labuhan Maringgai merupakan salah satu kecamatan pesisir

yang mendapat perhatian dari institusi pengelolaan Dinas Kehutanan Provinsi

Lampung, melalui proyek rehabilitasi pada tahun 1995 dan 1996 oleh Lembaga

Pengkajian dan Penelitian (LPP) Mangrove dengan bantuan dari Jepang. Setelah

adanya rehabilitasi tahun 1995 sampai dengan tahun 1996 tersebut, kondisi hutan

mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai menunjukkan semakin baik dan

bertambah luas, hal ini ditunjukkan dengan data luasan mangrove tahun 1999

sampai dengan 2005 sekitar 700 ha (Watala 2005). Luasan mangrove pada tahun

2012 berkisar 1.000 ha, hal ini menunjukkan penambahan luasan setelah

dilakukan beberapa kali penanaman dan mangrove yang tumbuh secara alami

(Syarief 2012).

Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis-jenis pionir yang mampu

bertahan pada kondisi salin/bergaram, yaitu jenis api-api (Avicennia marina) dan

bakau (Rhizophora mucronata). Tahun 1995 dilakukan penanaman mangrove

jenis Avicennia marina, Rhizophora spp, Nypa fruticans, Excoecaria agallocha

dan Hisbiscus tiliaceus. Sedangkan tahun 1997 dilakukan penanaman kembali

dari jenis Ceriops tagal dan Aegiceras comiculata. Jarak tanam bibit mangrove

yang dilakukan yaitu 1 x 1 meter. Pada tahun 2004, pertumbuhan jenis-jenis yang

ditanam mencapai ketinggian 9 meter. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi

(35)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Februari – April 2012 di kawasan

Lampung Mangrove Center (LMC) Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten

Lampung Timur. Penelitian dilakukan dalam dua bagian, yaitu: pengambilan

sampel serasah mangrove, air dan pengujian laju dekomposisi serasah. Analisis

sampel (C, N dan P) dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan

(Proling), Departemen MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut

Pertanian Bogor.

(36)

Prosedur Penelitian

Penentuan Stasiun Penelitian

Jumlah stasiun yang diamati di Lampung Mangrove Centre terdiri dari 3

stasiun dan masing-masing stasiun terdiri dari 2 sub stasiun. Stasiun 1 terletak di

mulut teluk dekat muara Kali Kepinding yang dipengaruhi oleh masukkan air

tawar sedangkan stasiun 2 terletak di mulut teluk bagian dalam yang masih

dipengaruhi oleh masukkan air tawar. Stasiun 3 berbatasan dengan Laut Jawa

yang memiliki arus yang kuat. Letak geografis ketiga stasiun pengamatan tersebut

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Letak geografis lokasi pengamatan

No. Lokasi Pengamatan Letak Geografis

Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) 1. Stasiun 1 105050’ 56,29‖ 5016’ 33,54‖ 2. Stasiun 2 105051’ 23,87‖ 5016’ 11,49‖ 3. Stasiun 3 105051’ 25,79‖ 5016’ 26,12‖

Pengambilan Sampel dan Data

Pengambilan Sampel Untuk Analisis Vegetasi Mangrove

Sampel vegetasi mangrove dibagi atas tiga kategori, yakni Semai

(seedling), Anakan (sapling) dan Pohon (tree) dengan kriteria sebagai berikut

(Bengen 2004):

Semai : Tinggi < 1 m

Anakan : Diameter < 1 cm dan tinggi > 1 m

Pohon : Diameter > 4 cm

Pengambilan sampel untuk vegetasi mangrove dilakukan dengan

menggunakan metoda plot transek garis dari arah perairan ke arah darat di daerah

intertidal (Bengen 2004). Jarak antar transek garis sekitar 100 meter, sedangkan

panjang transek dari pinggir perairan kearah darat bergantung kepada ketebalan

mangrove pada tiap-tiap stasiun. Transek garis berada pada posisi dari arah

perairan kearah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur

sangkar dengan ukuran 10 x 10 m2 untuk pohon; 5 x 5 m2 untuk anakan dan 1 x 1

(37)

Untuk setiap transek garis ditentukan dua petak contoh, dimana pada

setiap petak contoh dilakukan perhitungan jumlah individu dan pengukuran

diameter batang pohon. Pengukuran diameter batang dilakukan setinggi dada

(DBH = Diameter Breast High) atau sekitar 1,3 m dari permukaan tanah (English

et al. 1994). Untuk semai, pengukuran diameter dilakukan di bawah bagian mulai

ditemukannya bakal cabang. Rancangan plot transek garis untuk pengamatan

vegetasi mangrove disajikan pada Gambar 3 dan ilustrasi petak contoh (plot)

pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat semai, anakan dan pohon

disajikan pada Gambar 4.

Perairan

Gambar 3 Transek garis dengan plot / petak contoh dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove

Plot 1

Plot 2

Plot / Petak contoh

Transek Garis

Transek 1

Plot 1

Plot 2

Transek 2 100 m

Plot 1

Plot 2

10 m

10 m 5 m

5 m 1 m

1 m

(38)

Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall)

Metode umum yang digunakan untuk menangkap guguran serasah di

hutan mangrove dalam waktu tertentu (litter-fall) adalah dengan litter-trap (jaring

penangkap serasah) (Brown 1984). Litter-trap berupa jaring penampung

berukuran 1 x 1 m2, yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring (mesh

size) sekitar 1 mm dan bagian bawahnya diberi pemberat (Gambar 5).

Litter-trap dipasang di tiap sub stasiun masing-masing sebanyak 4 buah

yang diletakkan diantara vegetasi mangrove terdekat dengan ketinggian di atas

garis pasang tertinggi. Litter-trap dipasang pada setiap plot pengamatan di

masing-masing stasiun pengamatan. Pengukuran produktivitas serasah dilakukan

bersamaan dengan mulai dilakukannya penelitian laju dekomposisi selama 2

bulan dengan selang waktu pengambilan selama 14 hari.

Gambar 5 Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove

Serasah yang sudah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan setiap bagiannya

antara daun, ranting dan buah/bunga. Serasah tersebut ditimbang beratnya

kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, untuk

selanjutnya dibawa ke laboratorium. Di laboratorium dilakukan pengukuran berat

kering serasah dengan mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 105 0C

hingga beratnya konstan. Serasah yang sudah dikeringkan ini selanjutnya

(39)

Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Daun

Pengukuran laju dekomposisi serasah dilakukan secara eksperimental di

lapangan, yakni dengan meletakkan serasah daun yang telah dikeringkan

sebanyak 10 g ke dalam kantong serasah (Litter-bag) berukuran 30 x 30 cm2 yang

terbuat dari nylon dengan mesh size 1 mm seperti yang terlihat pada Gambar 6

(Pribadi 1998; Ashton et al. 1999).

Litter-bag dipasang di tiap sub stasiun masing-masing sebanyak 4 buah

dan diikatkan pada batang mangrove agar tidak terbawa air. Litter-bag diambil

dari masing-masing lokasi pengamatan setelah 14, 28, 42, 56 hari (Ashton et al.

1999). Setiap selesai waktu pengambilan, serasah dari Litter-bag dikeluarkan dan

ditiriskan untuk diukur beratnya. Di laboratorium, serasah tersebut dikeringkan

pada suhu 105 0C hingga beratnya konstan, kemudian diukur berat keringnya.

Gambar 6 Litter-bag yang diikatkan pada batang mangrove

Pengambilan Sampel Air

Pengambilan sampel air dilakukan pada saat surut untuk menghindari

pengaruh air laut secara dominan. Sampel air diambil dengan menggunakan water

sampler lalu dimasukkan ke dalam botol berwarna gelap. Sampel selanjutnya

dimasukkan dalam cool box untuk mengurangi aktivitas mikroorganisme dalam

sampel (Hutagalung dan Setiapermana 1991).

Sampel air selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis C, N, P,

TSS dan TOM. Pengukuran parameter lingkungan lainnya seperti suhu, salinitas,

(40)

Pengukuran Bahan Organik Kontrol (C, N dan P) Air Laut

Serasah daun sebanyak 10 g diletakkan dalam tempat percobaan yang

telah diberi substrat sebanyak 1 liter dan air laut sebanyak 3 liter untuk diukur

kandungan bahan organik (C, N dan P) dalam air pada selang waktu pengamatan

14, 28, 42, 56 hari (Gambar 7). Perlakuan tersebut bertujuan untuk meminimalkan

pengaruh dari daratan dan pengaruh dari dinamika perairan seperti arus dan

pasang surut yang dapat mempengaruhi keberadaan bahan organik di perairan.

Gambar 7 Bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut

Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengumpulan data pengelolaan ekosistem mangrove berasal dari hasil

wawancara dengan menggunakan kuisioner yang dilakukan dengan beberapa

pihak yang terkait dengan program pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan

Labuhan Maringgai antara lain: masyarakat, pemerintah Kabupaten Lampung

Timur (Pemkab) dan Universitas Lampung (UNILA).

Analisis Data

Analisis Vegetasi Mangrove

Analisis data vegetasi mangrove meliputi Kerapatan Jenis (K) dimana K

adalah jumlah individu jenis i dalam suatu area (Bengen 2004).

A N

(41)

Dimana K adalah kerapatan jenis i, sedangkan n adalah jumlah total individu dari

jenis i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak

contoh/plot).

Analisis Laju Dekomposisi Serasah

Laju dekomposisi serasah dihitung dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut:

Wt

=

Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)

Persentase penguraian serasah diperoleh dengan menggunakan rumus

(Boonruang 1984) sebagai berikut:

Keterangan:

Y = Persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi

W0 = Berat kering sampel serasah awal (g)

Wt

=

Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)

Produksi Potensial Bahan Organik Serasah

Perhitungan besarnya produksi potensial bahan organik serasah atau

potensi bahan organik yang dapat dimanfaatkan (litter-fall Organic materials)

dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Djamaludin 1995):

Keterangan:

OM = Organic materials/ bahan organik yang dihasilkan (g/m2/hari)

N = Kandungan bahan organik (%)

P

=

Produktivitas serasah (g/m2/hari)

(42)

Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Variabel Fisika Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisika - kimia perairan dilakukan pada tiap sub

stasiun masing-masing dengan 3 kali pengulangan. Ada beberapa parameter

fisika - kimia yaitu: suhu, salinitas, kecerahan, arus, DO, pH, TSS dan TOM.

Parameter-parameter tersebut diduga berpengaruh besar terhadap pola penyebaran

mangrove, proses dekomposisi serasah dan produktivitas mangrove.

Analisis karakteristik variasi variabel fisika kimia perairan antar stasiun

pengamatan dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal

Component Analysis atau PCA) (Bengen 2004). Analisis Komponen Utama

merupakan metoda statistik deskriptif yang dapat digunakan untuk menampilkan

data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu

matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun penelitian sebagai

individu statistik (baris) dan variabel lingkungan (fisik-kimia lingkungan) yang

berbentuk kuantitatif (kolom).

Bengen (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa analisis ini memungkinkan

adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang agar dapat lebih mudah

dibaca dengan kehilangan informasi sedikit mungkin. Metode ini bertujuan

mendeterminasi sumbu-sumbu optimum tempat diproyeksikannya

individu-individu atau variabel-variabel.

Data variabel fisika - kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki

pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data

tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan

pereduksian.

Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan

nilai rata-rata, yakni:

Keterangan:

C = Nilai pemusatan

Ni = Nilai asli variabel

x = Nilai rata-rata variabel

x N

(43)

Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah

dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai

berikut:

Keterangan:

R = Nilai pereduksi

C = Nilai pemusatan

S = Nilai simpangan baku variabel

Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan

matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds 1988)

yaitu:

Keterangan:

= Matriks korelasi ry

= Matriks indeks sintesis ry

= Matriks transpose (pertukaran baris dan kolom) dari matriks A

Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya

merupakan peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini

sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel

kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel

kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari

analisis ini tidak berasal dari variabel-variabel awal (inisial) tetapi dari indeks

sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabel-variabel asal.

Diantara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih

dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini

disebut komponen utama pertama atau sumbu ke-1 (F1), yaitu suatu proporsi

tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama ini.

Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil

dengan F1 dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama kedua

memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama.

(44)

Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, dimana

bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.

Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak

Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang

berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

karakteristik fisika kimia air antar kedua stasiun tersebut dan sebaliknya semakin

besar jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karakteristik

fisika kimia air kedua stasiun tersebut.

Analisis Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove dianalisis secara deskriptif

kemudian data yang diperoleh ditabulasikan dalam bentuk tabel (Lampiran).

Tujuan analisis evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove adalah menggambarkan

secara rinci perkembangan Lampung Mangrove Centre serta stakeholders yang

Gambar

Gambar 2  Peta stasiun penelitian kawasan hutan Lampung Mangrove Centre
Gambar 3 Transek garis dengan plot / petak contoh dari pinggir perairan ke arah
Gambar 5  Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove
Gambar 8  Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dalam penelitian ini penulis berhipotesis, “Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara program religious

penyiaran; Informasi yaitu bahwa lembaga penyiaran (radio) merupakan media informasi dan komunikasi yang mempunyai peran penting dalam penyebaran informasi yang seimbang dan

2. Siswa melakukan pengamatan dan merumuskan jawaban 3. Guru mengajukan pertanyaan sesuai tujuan pembelajaran 4. Siswa melakukan pengamatan dan merumuskan jawaban 5. Siswa

Suatu gambaran tegakan hutan rakyat Kecamatan Cikalong saat ini, menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara proporsi jumlah batang yang siap tebang dengan jumlah batang

Terdapat lima judul pemberitaan Dahlan Iskan yang ditampilkan dalam teks- teks media Harian Fajar Makassar yang menunjukkan bahwa realitas yang muncul dalam pemberitaan

Hasil yang diperoleh dari uji hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi sederhana didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan

data dan informasi serta bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan pembiayaan pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Peserta didik merupakan komponen utama

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun perusahaan sudah menerapakan konsep HACCP dalam mencipatakan sistem keamanan