KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE
API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)
YULMA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul ―Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten
Lampung Timur)‖adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.
Bogor, November 2012
ABSTRACT
YULMA. Contribution of Organic Material from White Mangrove (Avicennia marina) as Evaluation of Mangrove Ecosystem Management: Case Study of Labuhan Maringgai, East Lampung. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA and YUSLI WARDIATNO.
The purpose of this study was to determine the potential contribution of organic matter (C, N and P) of mangrove forest litter production in Labuhan Maringgai to marine environment as well as evaluating the mangrove rehabilitation program conducted by the University of Lampung, Lampung program Mangrove Center. Lampung Mangrove Centre providing litter
productivity of 4.53 g/m2/day with the biggest contributor from leaf litter and
twigs, while flowers and fruit not found. Dry weight of the remaining mangrove leaf litter on day 56 ranged between 5-2.5 g. Lampung Mangrove Centre has the potential production of organic material that can be used litter amounted to
0.76164 GC/m2/day; 0.00628 GN/m2/day; 0.00331 GP/m2/day. Mangrove
rehabilitation that involves three parties including the Government of East Lampung regency, Lampung University and the community is very effective in conservation of mangrove forests in Lampung Mangrove Centre with an area of 1000 ha of mangrove ranges.
RINGKASAN
YULMA. Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Di bimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA dan YUSLI WARDIATNO.
Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi potensi bahan organik (C, N dan P) dari produksi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai ke lingkungan perairan serta mengevaluasi program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh Universitas Lampung dalam program Lampung Mangrove Center.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – April 2012 di kawasan
Lampung Mangrove Center (LMC) Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu 1) Analisis vegetasi, 2) Analisis laju dekomposisi serasah, 3) Analisis produksi potensial bahan organik serasah 4) Analisis karakteristik fisika kimia perairan dengan PCA dan 5) Analisis evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove. Data dikumpulkan melalui pengambilan sampel dan pengukuran langsung di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran di laboratorium.
Hasil analisis data principal component analysis (PCA) bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 64.10% dan satu komponen utama sebesar 84.40%. Matriks korelasi data fisika kimia perairan Lampung Mangrove Centre memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Stasiun 3 (3.1 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1 dan 2.2) dikarakteristikkan oleh suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, TSS dan TOM yang cukup tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.1 dan 1.2) dicirikan oleh kandungan DO dan pH.
Produksi serasah Lampung Mangrove Centre sebesar 4,53 g/m2/hari
dengan penyumbang terbesar berasal dari serasah daun dan ranting, sedangkan komponen dari buah/bunga tidak ditemukan. Produktivitas serasah terbesar
berasal dari stasiun 2 sebesar 270 g/m2/56 hari kemudian stasiun 3 sebesar 257
g/m2/56 hari dan yang paling sedikit dihasilkan dari stasiun 1 sebesar 233 g/m2/56
hari. Stasiun 1 memiliki kerapatan pohon paling tinggi tetapi tergolong masih muda sehingga produksi serasah yang dihasilkan sedikit. Sedangkan stasiun 2 memiliki kerapatan pohon paling rendah tetapi memiliki pohon yang lebih tinggi dan tajuk yang lebih rimbun sehingga produksi serasah yang dihasilkan lebih banyak.
mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Stasiun 1 yang terletak di Muara Kali Kepinding mengalami proses dekomposisi paling cepat karena adanya asupan air tawar dan lama waktu pasang surut. Sedangkan stasiun 3 mengalami proses dekomposisi paling lama karena waktu terkena pasang surut hanya terjadi pada saat pasang tertinggi yaitu pada musim timur sekitar bulan Mei - Juni.
Lampung Mangrove Centre memiliki produksi potensial bahan organik
serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,76164 g-C/m2/hari;
0,00628 g-N/m2/hari; 0,00331 g-P/m2/hari. Kandungan bahan organik serasah
pada stasiun 1 menunjukkan nilai yang paling tinggi yaitu 1,21890 g-C/m2/hari;
0,00938 g-N/m2/hari; 0,00520 g-P/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh substrat
mangrove di stasiun 1 lebih banyak mendapatkan bahan organik dari kolom air melalui mekanisme pasang surut yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove hingga terjadinya guguran serasah.
Pengelolaan Lampung Mangrove Centre melibatkan tiga pihak yang terdiri dari masyarakat, pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Universitas Lampung. Kondisi hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai menunjukkan hasil semakin baik dan bertambah luas menjadi 1.000 ha pada tahun 2012. Selain itu, keberhasilan lain yang ditunjukkan yaitu mendapatkan penghargaan pada tahun 2004 dan tahun 2011 dalam kategori pelestarian hutan mangrove tingkat nasional. Estimasi produksi ikan berdasarkan jumlah produksi serasah, diperkirakan Lampung Mangrove Centre dapat menghasilkan produksi ikan sebesar 1.083 kg/th dan dengan luas sekitar 1.000 ha akan mampu menyumbang produksi ikan sebesar 1.083,33 ton/th. Sedangkan berdasarkan luasan, Lampung Mangrove Centre dengan luas 1.000 ha diperkirakan dapat
menghasilkan produksi ikan dan udang sebesar 430,46–596,60 ton/th atau 430–
596 kg/ha/th.
Kata Kunci: bahan organik, Avicennia marina, pengelolaan ekosistem mangrove,
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE
API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)
YULMA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api
(Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)
Nama : Yulma
NIM : C252100011
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
PRAKATA
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, Penulis ucapkan atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulisan Tesis ―Kontribusi Bahan Organik dari
Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten
Lampung Timur)‖ dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini Penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan selama proses penyusunan dan penulisan tesis.
2. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, yang telah bersedia menjadi penguji
luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.
3. Bapak dan Ibu staf pengajar PS Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(PS-SPL) IPB yang telah banyak memberikan pemikiran-pemikirannya kepada penulis selama menempuh proses pendidikan.
4. Ayahanda Mawardi dan Ibunda Zarni tercinta yang senantiasa mencurahkan
kasih sayang, doa, semangat dan keteladanan hingga Ananda dapat menyelesaikan penulisan tesis.
5. Saudara tercinta Aida Marliza, Aktos, Aldes serta keponakan tersayang Okta
Ilmawan Mahgenta, Merchytio Larichie, Denendra Kenzie dan Akio Alfan Alfarizki, terima kasih buat dorongan dan semangatnya.
6. Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) beserta staf yang telah
membantu penyelesaian penelitian.
7. Masyarakat Desa Margasari, Universitas Lampung, Pemerintah Kabupaten
Lampung Timur serta pihak-pihak yang telah membantu pengambilan data di Lampung Mangrove Centre.
8. Teman-teman SPL 2010 (PS-SPL) atas kebersamaan dan kerjasamanya yang
baik.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya kepada penulis sendiri dan kepada semua pihak.
Bogor, November 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balai Tengah, Kabupaten Tanah Datar – Sumatera
Barat pada tanggal 11 Juli tahun 1986, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari ayahanda Mawardi dan ibunda Zarni. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 12 Patar pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan di MTsN Bukit Surungan, Padang Panjang. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Lintau Buo selesai pada tahun 2005. Melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2005 penulis diterima di Universitas Riau, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan dan lulus tahun 2009.
Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut
DAFTAR ISI
Produktivitas dan Serasah Mangrove ... 9
Proses Dekomposisi Serasah ... 11
Bahan Organik (C, N dan P) ... 12
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 14
METODOLOGI PENELITIAN
Pengambilan Sampel Untuk Analisis Vegetasi Mangrove ... 20
Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall) ... 22
Pengkuran Laju Dekomposisi Serasah Daun ... 23
Pengambilan Sampel Air... 23
Pengukuran Bahan Organik Kontrol (C, N dan P) Air Laut ... 24
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 24
Analisis Data ... 24
Analisis Vegetasi Mangrove ... 24
Analisis Laju Dekomposisi Serasah ... 25
Produksi Potensial Bahan Organik Serasah ... 25
Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Variabel
Sebaran Parameter Fisika Kimia Perairan ... 32
Gambaran Umum Kondisi ekosistem Mangrove ... 33
Produktivitas Serasah Mangrove ... 35
Dekomposisi Serasah Mangrove ... 41
Produksi Potensial Bahan Organik (C, N dan P) ... 45
Kandungan Bahan Organik (C, N dan P) Pada Air Laut ... 47
Keterkaitan antar Parameter ... 48
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 51
Keterkaitan Produksi Perikanan Dengan Ekosistem Mangrove ... 56
Kesimpulan dan Saran ... 59
Kesimpulan ... 59
Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 61
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Letak geografis lokasi pengamatan ... 20
2 Nilai rata-rata parameter fisika-kimia perairan Lampung Mangrove
Centre ... 31
3 Vegetasi mangrove di setiap stasiun pengamatan ... 33
4 Produksi total serasah Avicennia marina di Lampung Mangrove
Centre selama 56 hari ... 37
5 Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian ... 39
6 Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala... 43
7 Produksi potensial bahan organik serasah Lampung Mangrove Centre ... 45
8 Kontribusi produksi potensial bahan organik serasah Lampung
Mangrove Centre dan beberapa kawasan mangrove lain ... 46
9 Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan
karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove... 49
10 Produksi perikanan Lampung Mangrove Centre (kg/hari) ... 57
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian ... 5
2 Peta stasiun penelitian kawasan hutan Lampung Mangrove Centre ... 19
3 Transek garis dengan plot dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove ... 21
4 Ilustrasi petak contoh (plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat semai, anakan dan pohon ... 21
5 Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove ... 22
6 Litter-bag yang diikatkan pada batang mangrove ... 23
7 Bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut ... 24
8 Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air ... 33
9 Jumlah tegakan vegetasi mangrove tiap stasiun ... 34
10 Produktivitas serasah tiap stasiun penelitian selama 56 hari ... 35
11 Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 Stasiun Penelitian setelah 56 hari ... 42
12 Estimasi laju dekomposisi serasah daun 100% ... 43
13 Kandungan bahan organik (C, N dan P) air laut tiap stasiun pengamatan ... 47
14 Kandungan bahan organik kontrol air lauthari ke- ... 48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil pengukuran parameter fisika kimia air tiap sub stasiun... 72
2 Data hasil principal component analysis (PCA) ... 73
3 Jumlah tegakan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m... 75
4 Produktifitas serasah selama pengamatan ... 76
5 Produktifitas serasah daun dan ranting selama pengamatan ... 76
6 Bobot kering serasah daun mangrove ... 77
7 Laju dekomposisi serasah daun mangrove ... 78
8 Persentase daun mangrove yang terdekomposisi ... 78
9 Sumbangan produksi potensial bahan organik serasah di lokasi pengamatan ... 80
10 Sejarah perkembangan Lampung Mangrove Centre ... 82
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove sebagai ekosistem khas daerah pantai tropik, mempunyai
fungsi strategis sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut.
Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransferke arah darat atau laut
melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan
(spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai daerah mencari
makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, kerang serta spesies lainnya (Bengen
2004). Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya
yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan serta bahan organik yang sangat
menentukan produktivitas perikanan laut (Mahmudi et al. 2008).
Mangrove sebagai ekosistem produktif di pesisir menghasilkan serasah
sebagai potensi hara yang mendukung produktivitas primer tinggi di ekosistem
ini. Produksi serasah mangrove yang tinggi secara langsung berhubungan dengan
struktur komunitas mangrove yang juga didukung oleh faktor-faktor lingkungan
antara lain musim dan suhu udara (Soenardjo 1999). Struktur komunitas yang
terdiri dari banyak jenis mangrove akan menghasilkan serasah dalam jumlah yang
besar dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai jenis mangrove sedikit,
hal ini dikarenakan tegakan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi akan
menghasilkan produksi serasah yang tinggi pula. Demikian juga dengan
dekomposisi, hasil dekomposisi yang berupa bahan organik tergantung pada
jumlah serasah yang ada. Jumlah serasah yang besar akan menghasilkan
dekomposisi yang tinggi dan ini didukung oleh kondisi lingkungan seperti
lamanya genangan, salinitas dan temperatur air. Kerapatan mangrove yang tinggi
akan menghalangi intensitas cahaya matahari masuk ke dasar hutan karena
terhalang oleh rimbunnya tajuk daun mangrove, hal ini menyebabkan kelembaban
di permukaan tanah tinggi, sehingga meningkatkan laju dekomposisi oleh bakteri
dan jamur.
Hutan mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat
tinggi, namun hanya sekitar 5% dari total produksi daunnya yang dapat langsung
dimakan oleh herbivora, sedangkan sisanya masuk kedalam ekosistem dalam
dimanfaatkan oleh bakteri, algae dan protozoa sebagai detritus atau bahan organik
mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun dan melalui
aktivitas mikroba dekomposer dan hewan-hewan pemakan detritus kemudian
diproses menjadi partikel-partikel halus (Odum dan Heald 1975). Selanjutnya
detritus tersebut merupakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang
terdapat di ekosistem mangrove dan estuaria. Partikel-partikel organik tersebut
menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang
merupakan sumber makanan utama bagi organisme omnivora seperti udang,
kepiting dan sejumlah ikan (Saparinto 2007).
Serasah mangrove yang tertimbun di dasar hutan mengalami dekomposisi
oleh jasad renik untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah
serta sumber bagi kehidupan fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen
primer. Zooplankton, ikan dan krustasea memanfaatkan fitoplankton dan detritus
sebagai sumber energi dalam kedudukannya sebagai konsumen primer pada siklus
makanan, sebelum manusia sebagai konsumen puncak memanfaatkannya
(Soenardjo 1999).
Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove antara lain
mengandung N (Nitrogen), P (Fosfor) dan C (Karbon) yang tinggi dan akan
terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton.
Oleh karenanya, diduga terdapat hubungan yang erat antara N dan P serasah
dengan N dan P yang terdapat di dalam air, produktivitas perairan dan jumlah
individu fitoplankton, zooplankton dan makroorganisme (Mahmudi et al. 2008).
Fitoplankton sebagai produsen utama (autotrof) di perairan memfiksasi C
(karbon) lewat fotosintesis dan sekaligus menyediakan energi bagi organisme
konsumen (heterotrof). Pada jenjang trofik (trophic level) berikutnya yang lebih
tinggi, konsumen primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumen
sekunder dan seterusnya sampai pada konsumen puncak. Proses tersebut apabila
berjalan dengan baik merupakan kemampuan daya dukung ekosistem mangrove
terhadap perikanan melalui fungsinya sebagai penyedia sumber energi dan habitat
nursery. Dengan mengetahui laju dekomposisi serasah (pelepasan bahan organik
dan nutrien), dapat digunakan untuk mengestimasi daya dukung ekosistem
Status kawasan hutan mangrove di Pantai Timur Lampung merupakan
hutan negara yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu:
pemerintah (BKSDA/Taman Nasional Way Kambas), swasta (hutan produksi
tetap dan tambak), masyarakat (hutan produksi yang dapat dikonversi dan APL),
dan perguruan tinggi negeri (Universitas Lampung). Vegetasi mangrove yang ada
di Kabupaten Lampung Timur memiliki ketebalan yang bervariasi antara 50
hingga 400 meter. Hutan mangrove di daerah ini membujur dari daerah Way
Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Kuala Penet (perbatasan
kawasan Taman Nasional Way Kambas).
Penurunan kualitas mangrove di Pantai Timur Lampung sudah sampai
pada tingkat mengkhawatirkan dari luasan 17.000 ha dan sekarang tersisa lebih
kurang 3.000 ha dengan presentase penurunan 82% (Kustanti 2011). Hutan
mangrove di Lampung Timur salah satunya di Kecamatan Labuhan Maringgai,
merupakan hutan mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
pada tahun 1995 dan 1997 dengan luas hutan mangrove 700 ha. Jenis mangrove
yang ditanam adalah Avicennia marina, Rhizophora mucronata dan Nypa
fruticans. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Kecamatan Labuhan
Maringgai sekitar tahun 1987 sampai tahun 1994 disebabkan oleh pembukaan
lahan tambak, areal pertanian dan pemukiman penduduk.
Pengelolaan terpadu hutan mangrove berbasis masyarakat secara
kolaboratif dengan melibatkan peran masyarakat, pemerintah daerah Kabupaten
Lampung Timur dan Universitas Lampung di Lampung Mangrove Centre (LMC)
telah berjalan selama 5 tahun (2005-2010). Faktor kekuatan dalam pengelolaan
terpadu meliputi keberadaan lahan 700 ha, dukungan masyarakat, adanya dasar
hukum pengelolaan dan pengelolaan terpadu. Namun, masih ada dijumpai
beberapa kelemahan dalam pengelolaan terpadu yaitu tidak keseluruhan program
yang disepakati dilaksanakan stakeholder, kurangnya koordinasi dan kurangnya
dukungan perkembangan ilmu dan teknologi.
Perumusan Masalah
Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus
bahan organik dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang
yang terkait dalam rantai makanan pada ekosistem mangrove yaitu: gugur serasah
mangrove, bakteri, kepiting, detritus, fitoplankton, zooplankton dan ikan pelagis.
Boonruang (1984) menjelaskan bahwa produktivitas mangrove merupakan
sumber bagi produktivitas perikanan di estuari dan penyumbang unsur hara pada
perairan pantai terdekat. Hal ini menjadikan mangrove memegang peranan yang
unik dan tidak dapat digantikan oleh hutan maupun ekosistem lainnya, yaitu
sebagai mata rantai siklus unsur hara yang penting artinya bagi organisme
perairan (Amarangsinghe dan Balasubramanian, 1992 in Feliatra 2001).
Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial dalam berbagai
bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan
ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem
mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari
tumbuhan mangrove (Bengen 2004).
Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan
organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah
mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik
bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan.
Hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai didominasi oleh
Avicennia marina, A. alba, Rhizopora mucronata dan Nypa fruticans. Seiring
dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan
pembangunan di sekitar daerah Labuhan Maringgai bagi berbagai peruntukan
seperti pertambakan, areal pertanian dan pemukiman maka tekanan ekologis
terhadap ekosistem mangrove di kawasan Labuhan Maringgai juga meningkat.
Meningkatnya tekanan ini terlihat dari penurunan produksi perikanan tahun 2004
sebesar 42.159,8 ton menjadi 39.028,5 ton pada tahun 2005 (Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Lampung Timur 2006). Jumlah total rata-rata produksi
serasah mangrove jenis Avicennia marina di hutan mangrove Labuhan Maringgai
adalah 1,36 gram/m2/hari, penyumbang terbesar adalah serasah yang berasal dari
bunga dan buah yaitu 1,09 gram/m2/hari (Annas 2004). Rehabilitasi hutan
mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai yang telah dilakukan oleh Dinas
Kehutanan akan mempengaruhi produktivitas serasah mangrove. Penelitian untuk
mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan tersebut belum pernah dilakukan,
sehingga peneliti mencoba menganalisis hal tersebut. Secara umum kerangka
pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Produksi Serasah Laju Dekomposisi Serasah
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
a) Menghitung produktivitas, laju dekomposisi dan potensi bahan organik (C, N
dan P) dari serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai ke
lingkungan perairan.
b) Mengevaluasi program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh
Universitas Lampung dalam program Lampung Mangrove Center.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberi informasi tentang produktivitas dan
dekomposisi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai serta
sebagai salah satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus bahan
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove
Ada beberapa definisi tentang mangrove yang disajikan oleh beberapa ahli,
diantaranya menurut Bengen (2004) yang mendefinisikan mangrove sebagai
komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa
jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut pantai berlumpur. Hogarth (1999) mendefinisikan mangrove sebagai
tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat
dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang.
LPP Mangrove (2008) menyatakan bahwa ciri-ciri dari hutan mangrove,
terlepas dari habitatnya yang unik adalah: memiliki jenis pohon yang relatif
sedikit; memiliki akar yang unik misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau Rhizophora spp, serta akar yang mencuat vertikal seperti
pensil pada pidada Sonneratia spp dan pada api-api Avicennia spp; memiliki biji
(propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya
pada Rhizophora; memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. Sedangkan
tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri
khusus, diantaranya adalah: tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap
hari atau hanya tergenang pada saat pasang; tempat tersebut menerima pasokan air
tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus
pasang surut yang kuat; air bersalinitas payau (2-22‰) hingga asin (mencapai
38‰).
Spesies Avicennia marina yang sering disebut api-api merupakan
tumbuhan mangrove pada substrat berpasir atau berlumpur tipis, dengan salinitas
relatif tinggi (salinitas laut) pada kisaran yang sempit. Pohonnya dapat mencapai
tinggi 12 m. Daun Avicennia marina dilihat dari sisi sebelah atas berwarna hijau
muda, sedangkan pada sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan atau putih.
Daunnya berbentuk elips, panjang daun berkisar 5-11 cm. Buah berbentuk bulat
dan agak berbulu dengan panjang 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau. Kulit batang
putih keabu-abuan hingga hijau dan akar berbentuk cakar ayam berpneumatofora
untuk pernafasan (Bengen 2001).
Arief (2003) membagi zonasi mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang
mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut:
1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada
zona ini, tanah berlumpur lembek dan bergaram tinggi. Jenis Avicennia banyak
ditemukan berasosiasi dengan Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut,
jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari
hempasan ombak laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pioner,
karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran
tumbuhan jenis ini.
2. Zona Rhizophora, terletak di belakang Avicennia dan Sonneratia. Pada zona
ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam lebih rendah. Perakaran
tanaman tetap terendam selama air laut pasang.
3. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini, tanah
berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta hanya terendam
pasang naik dua kali sebulan.
4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini
sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir
(sungai) ke laut.
Kegunaan daun Avicennia marina yang muda dapat dimakan/disayur,
polen dari bunganya dapat untuk menarik koloni-koloni kumbang penghasil madu
yang diternakkan dan abu dari kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam
pembuatan sabun cuci. Selain itu, Jenis Avicennia marina banyak digunakan
untuk kayu bakar, bahan bangunan kapal, balok, pancang, kayu untuk ikan asap
dan kertas (Saparinto 2007).
Ekosistem mangrove berbeda dengan ekosistem lainnya, komponen dasar
dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove
itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting,
buah dan batang). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan
fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh
ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2004).
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber unsur hara untuk
kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang
diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat
pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove
juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri
(Yunasfi 2006).
Produktivitas dan Serasah Mangrove
Produktivitas mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan beberapa ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas
laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan pantai.
Produktivitas mangrove dapat mencapai 5.000 g-C/m2/th (Lugo dan Snedaker
1974).
Mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada
ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada
detritus atau serasah. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem
mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk
menggambarkan produktivitas (Chapman 1976).
Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu lapisan
bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan
tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan (Yunasfi 2006). Serasah
merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi
dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan,
terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arief 2003).
Produksi primer potensial hutan mangrove di Indonesia sekitar 40,40
sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora mucronata produksi
primer bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Selanjutnya Sukardjo
(2002) menyatakan hutan mangrove di Indonesia melalui produktivitas serasah
sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun mensuplai makanan bagi
Serasah dari pohon mangrove adalah sebagai sumber bahan organik yang
penting. Selanjutnya bahan organik tersebut melalui proses dekomposisi akan
dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti
karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain (Alrasjid 1988).
Serasah adalah bahan organik dari berbagai pohon yang mati yang jatuh di
dasar hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah
berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah
tanah pada suatu waktu. Kusmana et al. (2000) menyatakan bahwa besarnya
produktivitas serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
Besarnya diameter pohon
Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat
fluktuasi pasang surut
Keterbukaan dari pasang surut dimana semakin terbuka semakin optimal.
Produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda.
Perbedaan jumlah serasah ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan
yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah,
kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan
morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis
penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan Snedaker 1974).
Lebih lanjut berdasarkan penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) ditunjukkan
bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan
mangrove. Brown (1984) membedakan antara serasah pada suatu area
(litter-layer) dan yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) sebagai
berikut:
Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan
dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal g/m2,
Kcal/ha).
Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu
(misal g/m2/hari, Kcal/ha/tahun).
Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat
total dari sejumlah zat yang dilepas atau dimasukkan dalam suatu bagian untuk
tingkat atau nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem.
Turnover rate didefenisikan oleh Brown (1984), sebagai rasio dari kandungan
yang ada (misal rasio produksi serasah litter-layer).
Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan bahan dasar
nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun
mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan
mikroba (Odum 1993). Daun-daun mangrove yang gugur dan telah mengalami
penguraian akan menjadi makanan bagi organisme perairan. Serasah yang telah
terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen dan fosfor baik untuk
ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. Dengan demikian
mangrove berperan langsung dalam rantai perputaran energi dan zat-zat hara yang
penting artinya bagi kelangsungan hidup sumberdaya hayati perairan.
Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove memungkinkan
sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan dari
beberapa ikan atau hewan air tertentu. Ekosistem mangrove merupakan tempat
hidup sejumlah besar hewan-hewan air seperti kepiting, moluska dan invertebrata
lainnya. Selain itu ada pula diantara hewan-hewan air tertentu seperti
udang-udangan dan ikan yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama
arus pasang surut (Suprihartono 2000).
Proses Dekomposisi Serasah
Ekosistem mangrove memiliki komponen-komponen sebagaimana
ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik yang
berperan di dalam suatu ekosistem adalah tumbuhan hijau sebagai produsen,
bermacam-macam kelompok hewan sebagai konsumen dan bakteri serta fungi
sebagai dekomposer (Collier et al. 1973). Terdapat tiga proses dasar yang
menyusun komponen biotik pada suatu ekosistem yaitu (a) proses produksi (b)
proses konsumsi dan (c) proses dekomposisi. Komponen abiotik meliputi unsur
hara dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa
temperatur, oksigen, nutrien dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi
kehidupan. Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan
komponen lain dalam bentuk ekosistem. Agen utama dalam dekomposisi adalah
Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan
bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian yang hancur. Dekomposisi bisa
berarti mekanisme penghancuran stuktur tanaman mati dari tahap masih melekat
pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan stuktur sel yang
kasar menjadi bentuk yang hancur (Satchell 1974). Proses dekomposisi adalah
gabungan dari proses fragmentasi, perubahan stuktur fisik dan kegiatan enzim
yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa
anorganik. Definisi-definsi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi
bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan
agen-agen fisika (Smith 1980).
Menurut Anderson dan Swift (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi
dekomposisi serasah adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik),
(2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan
dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia. Keadaan lingkungan
ekosistem mangrove yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi
sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung sangat
cepat sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan
dengan proses mineralisasi (Manan 1978).
Crawford dan Rosenberg (1984) menyatakan laju dekomposisi tergantung
pada proses pencucian dari senyawa yang terdapat dalam subtrat, aktivitas bakteri,
fungi dan penghancuran serasah oleh makro invertebrata. Keberadaan bakteri dan
fungi dalam perairan mangrove mampu mengubah senyawa karbon dalam serasah
daun menjadi nutrisi secara enzimatik (Pascoal dan Cassio 2004).
Bahan Organik (C, N dan P)
Bahan organik merupakan suatu elemen yang masuk di dalam proses
kehidupan organisme. Bahan organik utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar
adalah Karbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O2), Silikat (Si),
Magnesium (Mg), Potassium (K) dan Kalsium (Ca). Sedangkan untuk trace
element dibutuhkan dalam konsentrasi yang sangat kecil, yakni Besi (Fe),
Tembaga (Cu), dan Vanadium (V). Lebih lanjut Parsons et al. (1984) menyatakan
bahwa elemen-elemen C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca juga termasuk dalam
Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam proses berasal dari atmosfir.
Nitrogen dari atmosfir yang difiksasi oleh makhluk hidup berada dalam
kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada proses
dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH2) dan nitrat (NH3)
sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea.
Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut maupun partikulat
adalah hasil metabolisme bahari dan hasil proses pembusukan (Effendi 2003).
Serasah tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan
mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada
keadaan aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen
seperti jerami, tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami
dekomposisi secara lambat dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa
50-60% dari bobot awal setelah 3-10 bulan terdekomposisi (Moore-Landecker
1990).
Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan tinggi kandungan
fenol dan tinggi nisbah C : N yang cenderung membuat serasah tidak disukai dan
tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh hewan tanah. Berdasarkan hasil
percobaan diketahui bahwa, cacing tanah lebih menyukai daun-daun dengan
kandungan polifenol rendah dan nisbah C : N rendah (Dix dan Webster 1995).
Dekomposisi maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur
hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah
berlimpah.
Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh
dekomposer karena lebih mudah dicerna (Choong et al. 1992 in Pribadi 1998).
Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah. Menurut
Ashton et al. (1999) nilai nutrisi dapat ditentukan dengan rasio C : N, dimana nilai
rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang lebih tinggi serta
kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi. Kualitas nutrisi yang tinggi umumnya akan
mengakibatkan proses dekomposisi yang lebih cepat.
Kumar et al. (2011) menyatakan bahwa mangrove dari jenis Avicennia
marina menyumbang nutrien lebih tinggi dari pada Rhizophora, yaitu nitrogen
Avicennia marina mempunyai kandungan nutrien lebih tinggi dari pada daun
Rhizophora spp yang tinggi kadar taninnya, sehingga hutan mangrove di wilayah
pesisir lebih subur dari pada hutan tropis dilihat dari sumbangan nutrien dari
serasahnya.
Daun mangrove yang berwarna coklat dari jenis R. apiculata, S. caseolaris
dan A. alba lebih disukai oleh kepiting Perisesarma spp dan E. singaporense
daripada jenis daun berwarna hijau dan kuning. Hal ini menandakan bahwa daun
yang disukai oleh kepiting ditandai dengan jumlah kandungan nitrogen dan
komposisi kimia yang tinggi (Nordhaus 2011).
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan salah satu upaya untuk
memelihara, melindungi, dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap
ekosistem ini dapat berkelanjutan. Saenger et al. (1983) menyatakan pengelolaan
hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut
sehingga secara ideal merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek
sosial dan ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal
tempat sumberdaya alam itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan
demikian tidak boleh mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membuka
akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat
menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan
menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.
Bengen (2001) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu
unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat
membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berada di
sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian hutan mangrove pada
dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan berbagai kepentingan. Sifat
akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada
besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai
komponen penggerak pelestarian mangrove.
Kemudian Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna
mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara
seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka
pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang
beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk
terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Kerangka dasar dalam pengelolaan hutan mangrove terdapat dua konsep
utama yang diterapkan. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan
mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Kedua konsep ini pada dasarnya
memberikan legitimasi dan pengertian bahwa sangat memerlukan pengelolaan
dalam perlindungan agar dapat terus lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang
dapat dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap keberadaan hutan
mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai
kawasan hutan konservasi dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan
tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan ini cukup efektif dilakukan dan membawa
hasil yang baik.
1) Perlindungan Hutan Mangrove
Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya
pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan
dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai
suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Konservasi
merupakan pemanfaatan biosfir oleh manusia sehingga dapat memberikan
manfaat yang sangat besar bagi generasi sekarang, juga menjaga potensinya agar
bisa digunakan dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Konservasi bersifat
positif yang mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan yang lestari,
pemulihan dan peningkatan lingkungan alami. Secara fungsional, konservasi
merupakan suatu proses dimana spesies dan habitat dikelola guna mendukung
eksplotasi lestari dan spesies tertentu tanpa melenyapkan kualitas atau
Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama
Menteri Pertanian dan Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/1984 dan Nomor:
082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1964, dimana diantaranya disebutkan lebar
sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat
selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan
hutan mangrove, juga dibuat menyelaraskan peraturan mengenai areal
perlindungan hutan mangrove diantara instansi-instansi terkait.
Penentuan sabuk hijau di atas dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden
No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan hutan lindung. Dalam Keppres tersebut
ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk
melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai.
Kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari titik
pandang ke arah darat. Selanjutnya peraturan mengenai konservasi ini dituangkan
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
Dahuri (1998) menyatakan bahwa dalam pengembangan wilayah pantai
yang lestari harus diperhatikan aspek daya dukung. Menurut persetujuan
internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:
a) Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan hutan
mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber
makanan dan daerah berbiak bagi biota laut. Zona ini juga melindungi daerah
pantai dari angin, badai dan erosi tanah.
b) Zona perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan
mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah,
ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga
biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal.
c) Zona pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan
mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghijauan
kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.
Sebagai layaknya kawasan konservasi di daratan, konservasi di wilayah
pada kawasan pesisir dan laut ada dua dimensi fisik yang cukup berbeda, yaitu
tanah (pantai) dan air (laut) dengan meliputi segenap flora dan fauna ikutannya.
2) Rehabilitasi Hutan Mangrove
Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan
dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih
stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,
rehabitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove
atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang
memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem.
Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove
sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis spesies).
Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi
ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan
yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam
kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al. 2002).
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang mempunyai
potensi hutan mangrove di wilayah pesisir. Panjang Pantai Timur Lampung yang
ditumbuhi oleh vegetasi mangrove berkisar antara 7,5–50 km (total 242,5 km)
dengan ketebalan jalur hijau bervariasi antara 50–400 m. Vegetasi mangrove
memanjang dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga utara sampai
perbatasan Taman Nasional Way Kambas (Kustanti 2011).
Pantai Timur Lampung secara umum mengalami kerusakan yang sangat
parah. Awal kerusakan hutan ini dimulai dari usaha pertambakan secara
besar-besaran pada akhir tahun 1980-an. Hasil penelitian dari Universitas Lampung
pada tahun 1993 (Kustanti dan Yulia 2010 ) menunjukkan bahwa 90% hutan
mangrove di Pantai Timur Lampung sudah beralih fungsi menjadi tambak. Dari
14 desa pada empat kecamatan yang diteliti, ditemukan perkembangan tambak
dari puluhan hektar hanya dalam waktu 2-3 tahun bertambah menjadi 3.749 ha
lebih. Melihat kondisi yang makin memprihatinkan tersebut, pada tahun 1995
Kehutanan Provinsi Lampung melakukan rehabilitasi di pesisir Pantai Timur
Lampung.
Kecamatan Labuhan Maringgai merupakan salah satu kecamatan pesisir
yang mendapat perhatian dari institusi pengelolaan Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung, melalui proyek rehabilitasi pada tahun 1995 dan 1996 oleh Lembaga
Pengkajian dan Penelitian (LPP) Mangrove dengan bantuan dari Jepang. Setelah
adanya rehabilitasi tahun 1995 sampai dengan tahun 1996 tersebut, kondisi hutan
mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai menunjukkan semakin baik dan
bertambah luas, hal ini ditunjukkan dengan data luasan mangrove tahun 1999
sampai dengan 2005 sekitar 700 ha (Watala 2005). Luasan mangrove pada tahun
2012 berkisar 1.000 ha, hal ini menunjukkan penambahan luasan setelah
dilakukan beberapa kali penanaman dan mangrove yang tumbuh secara alami
(Syarief 2012).
Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis-jenis pionir yang mampu
bertahan pada kondisi salin/bergaram, yaitu jenis api-api (Avicennia marina) dan
bakau (Rhizophora mucronata). Tahun 1995 dilakukan penanaman mangrove
jenis Avicennia marina, Rhizophora spp, Nypa fruticans, Excoecaria agallocha
dan Hisbiscus tiliaceus. Sedangkan tahun 1997 dilakukan penanaman kembali
dari jenis Ceriops tagal dan Aegiceras comiculata. Jarak tanam bibit mangrove
yang dilakukan yaitu 1 x 1 meter. Pada tahun 2004, pertumbuhan jenis-jenis yang
ditanam mencapai ketinggian 9 meter. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari – April 2012 di kawasan
Lampung Mangrove Center (LMC) Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur. Penelitian dilakukan dalam dua bagian, yaitu: pengambilan
sampel serasah mangrove, air dan pengujian laju dekomposisi serasah. Analisis
sampel (C, N dan P) dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan
(Proling), Departemen MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.
Prosedur Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Jumlah stasiun yang diamati di Lampung Mangrove Centre terdiri dari 3
stasiun dan masing-masing stasiun terdiri dari 2 sub stasiun. Stasiun 1 terletak di
mulut teluk dekat muara Kali Kepinding yang dipengaruhi oleh masukkan air
tawar sedangkan stasiun 2 terletak di mulut teluk bagian dalam yang masih
dipengaruhi oleh masukkan air tawar. Stasiun 3 berbatasan dengan Laut Jawa
yang memiliki arus yang kuat. Letak geografis ketiga stasiun pengamatan tersebut
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Letak geografis lokasi pengamatan
No. Lokasi Pengamatan Letak Geografis
Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) 1. Stasiun 1 105050’ 56,29‖ 5016’ 33,54‖ 2. Stasiun 2 105051’ 23,87‖ 5016’ 11,49‖ 3. Stasiun 3 105051’ 25,79‖ 5016’ 26,12‖
Pengambilan Sampel dan Data
Pengambilan Sampel Untuk Analisis Vegetasi Mangrove
Sampel vegetasi mangrove dibagi atas tiga kategori, yakni Semai
(seedling), Anakan (sapling) dan Pohon (tree) dengan kriteria sebagai berikut
(Bengen 2004):
Semai : Tinggi < 1 m
Anakan : Diameter < 1 cm dan tinggi > 1 m
Pohon : Diameter > 4 cm
Pengambilan sampel untuk vegetasi mangrove dilakukan dengan
menggunakan metoda plot transek garis dari arah perairan ke arah darat di daerah
intertidal (Bengen 2004). Jarak antar transek garis sekitar 100 meter, sedangkan
panjang transek dari pinggir perairan kearah darat bergantung kepada ketebalan
mangrove pada tiap-tiap stasiun. Transek garis berada pada posisi dari arah
perairan kearah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur
sangkar dengan ukuran 10 x 10 m2 untuk pohon; 5 x 5 m2 untuk anakan dan 1 x 1
Untuk setiap transek garis ditentukan dua petak contoh, dimana pada
setiap petak contoh dilakukan perhitungan jumlah individu dan pengukuran
diameter batang pohon. Pengukuran diameter batang dilakukan setinggi dada
(DBH = Diameter Breast High) atau sekitar 1,3 m dari permukaan tanah (English
et al. 1994). Untuk semai, pengukuran diameter dilakukan di bawah bagian mulai
ditemukannya bakal cabang. Rancangan plot transek garis untuk pengamatan
vegetasi mangrove disajikan pada Gambar 3 dan ilustrasi petak contoh (plot)
pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat semai, anakan dan pohon
disajikan pada Gambar 4.
Perairan
Gambar 3 Transek garis dengan plot / petak contoh dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove
Plot 1
Plot 2
Plot / Petak contoh
Transek Garis
Transek 1
Plot 1
Plot 2
Transek 2 100 m
Plot 1
Plot 2
10 m
10 m 5 m
5 m 1 m
1 m
Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall)
Metode umum yang digunakan untuk menangkap guguran serasah di
hutan mangrove dalam waktu tertentu (litter-fall) adalah dengan litter-trap (jaring
penangkap serasah) (Brown 1984). Litter-trap berupa jaring penampung
berukuran 1 x 1 m2, yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring (mesh
size) sekitar 1 mm dan bagian bawahnya diberi pemberat (Gambar 5).
Litter-trap dipasang di tiap sub stasiun masing-masing sebanyak 4 buah
yang diletakkan diantara vegetasi mangrove terdekat dengan ketinggian di atas
garis pasang tertinggi. Litter-trap dipasang pada setiap plot pengamatan di
masing-masing stasiun pengamatan. Pengukuran produktivitas serasah dilakukan
bersamaan dengan mulai dilakukannya penelitian laju dekomposisi selama 2
bulan dengan selang waktu pengambilan selama 14 hari.
Gambar 5 Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove
Serasah yang sudah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan setiap bagiannya
antara daun, ranting dan buah/bunga. Serasah tersebut ditimbang beratnya
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, untuk
selanjutnya dibawa ke laboratorium. Di laboratorium dilakukan pengukuran berat
kering serasah dengan mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 105 0C
hingga beratnya konstan. Serasah yang sudah dikeringkan ini selanjutnya
Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Daun
Pengukuran laju dekomposisi serasah dilakukan secara eksperimental di
lapangan, yakni dengan meletakkan serasah daun yang telah dikeringkan
sebanyak 10 g ke dalam kantong serasah (Litter-bag) berukuran 30 x 30 cm2 yang
terbuat dari nylon dengan mesh size 1 mm seperti yang terlihat pada Gambar 6
(Pribadi 1998; Ashton et al. 1999).
Litter-bag dipasang di tiap sub stasiun masing-masing sebanyak 4 buah
dan diikatkan pada batang mangrove agar tidak terbawa air. Litter-bag diambil
dari masing-masing lokasi pengamatan setelah 14, 28, 42, 56 hari (Ashton et al.
1999). Setiap selesai waktu pengambilan, serasah dari Litter-bag dikeluarkan dan
ditiriskan untuk diukur beratnya. Di laboratorium, serasah tersebut dikeringkan
pada suhu 105 0C hingga beratnya konstan, kemudian diukur berat keringnya.
Gambar 6 Litter-bag yang diikatkan pada batang mangrove
Pengambilan Sampel Air
Pengambilan sampel air dilakukan pada saat surut untuk menghindari
pengaruh air laut secara dominan. Sampel air diambil dengan menggunakan water
sampler lalu dimasukkan ke dalam botol berwarna gelap. Sampel selanjutnya
dimasukkan dalam cool box untuk mengurangi aktivitas mikroorganisme dalam
sampel (Hutagalung dan Setiapermana 1991).
Sampel air selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis C, N, P,
TSS dan TOM. Pengukuran parameter lingkungan lainnya seperti suhu, salinitas,
Pengukuran Bahan Organik Kontrol (C, N dan P) Air Laut
Serasah daun sebanyak 10 g diletakkan dalam tempat percobaan yang
telah diberi substrat sebanyak 1 liter dan air laut sebanyak 3 liter untuk diukur
kandungan bahan organik (C, N dan P) dalam air pada selang waktu pengamatan
14, 28, 42, 56 hari (Gambar 7). Perlakuan tersebut bertujuan untuk meminimalkan
pengaruh dari daratan dan pengaruh dari dinamika perairan seperti arus dan
pasang surut yang dapat mempengaruhi keberadaan bahan organik di perairan.
Gambar 7 Bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengumpulan data pengelolaan ekosistem mangrove berasal dari hasil
wawancara dengan menggunakan kuisioner yang dilakukan dengan beberapa
pihak yang terkait dengan program pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan
Labuhan Maringgai antara lain: masyarakat, pemerintah Kabupaten Lampung
Timur (Pemkab) dan Universitas Lampung (UNILA).
Analisis Data
Analisis Vegetasi Mangrove
Analisis data vegetasi mangrove meliputi Kerapatan Jenis (K) dimana K
adalah jumlah individu jenis i dalam suatu area (Bengen 2004).
A N
Dimana K adalah kerapatan jenis i, sedangkan n adalah jumlah total individu dari
jenis i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak
contoh/plot).
Analisis Laju Dekomposisi Serasah
Laju dekomposisi serasah dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:
Wt
=
Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)Persentase penguraian serasah diperoleh dengan menggunakan rumus
(Boonruang 1984) sebagai berikut:
Keterangan:
Y = Persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi
W0 = Berat kering sampel serasah awal (g)
Wt
=
Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)Produksi Potensial Bahan Organik Serasah
Perhitungan besarnya produksi potensial bahan organik serasah atau
potensi bahan organik yang dapat dimanfaatkan (litter-fall Organic materials)
dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Djamaludin 1995):
Keterangan:
OM = Organic materials/ bahan organik yang dihasilkan (g/m2/hari)
N = Kandungan bahan organik (%)
P
=
Produktivitas serasah (g/m2/hari)Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Variabel Fisika Kimia Perairan
Pengukuran parameter fisika - kimia perairan dilakukan pada tiap sub
stasiun masing-masing dengan 3 kali pengulangan. Ada beberapa parameter
fisika - kimia yaitu: suhu, salinitas, kecerahan, arus, DO, pH, TSS dan TOM.
Parameter-parameter tersebut diduga berpengaruh besar terhadap pola penyebaran
mangrove, proses dekomposisi serasah dan produktivitas mangrove.
Analisis karakteristik variasi variabel fisika kimia perairan antar stasiun
pengamatan dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal
Component Analysis atau PCA) (Bengen 2004). Analisis Komponen Utama
merupakan metoda statistik deskriptif yang dapat digunakan untuk menampilkan
data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu
matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun penelitian sebagai
individu statistik (baris) dan variabel lingkungan (fisik-kimia lingkungan) yang
berbentuk kuantitatif (kolom).
Bengen (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa analisis ini memungkinkan
adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang agar dapat lebih mudah
dibaca dengan kehilangan informasi sedikit mungkin. Metode ini bertujuan
mendeterminasi sumbu-sumbu optimum tempat diproyeksikannya
individu-individu atau variabel-variabel.
Data variabel fisika - kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki
pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data
tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan
pereduksian.
Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan
nilai rata-rata, yakni:
Keterangan:
C = Nilai pemusatan
Ni = Nilai asli variabel
x = Nilai rata-rata variabel
x N
Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah
dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai
berikut:
Keterangan:
R = Nilai pereduksi
C = Nilai pemusatan
S = Nilai simpangan baku variabel
Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan
matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds 1988)
yaitu:
Keterangan:
= Matriks korelasi ry
= Matriks indeks sintesis ry
= Matriks transpose (pertukaran baris dan kolom) dari matriks A
Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya
merupakan peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini
sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel
kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel
kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari
analisis ini tidak berasal dari variabel-variabel awal (inisial) tetapi dari indeks
sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabel-variabel asal.
Diantara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih
dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini
disebut komponen utama pertama atau sumbu ke-1 (F1), yaitu suatu proporsi
tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama ini.
Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil
dengan F1 dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama kedua
memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama.
Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, dimana
bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.
Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak
Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang
berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
karakteristik fisika kimia air antar kedua stasiun tersebut dan sebaliknya semakin
besar jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karakteristik
fisika kimia air kedua stasiun tersebut.
Analisis Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove dianalisis secara deskriptif
kemudian data yang diperoleh ditabulasikan dalam bentuk tabel (Lampiran).
Tujuan analisis evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove adalah menggambarkan
secara rinci perkembangan Lampung Mangrove Centre serta stakeholders yang