• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sejarah hutan rakyat

Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir merupakan tiga desa di Kecamatan Cikalong yang paling banyak ditanami jenis sengon yang dijadikan lokasi penelitian, yaitu masing-masing seluas 857,10 ha, 552,48 ha, dan 681,47 ha. Jenis sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) pada dasarnya sudah lama tahun 1990 dikenal dan terdapat di lahan-lahan milik warga Kecamatan Cikalong dengan sebutan kayu albiso.

Sebelum maraknya penanaman sengon ini, pada tahun 1987 warga ramai menanam jenis cengkeh yang merupakan salah satu program yang dicanangkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warganya. Bibit cengkeh dibagikan kepada warga secara gratis, akan tetapi pada perkembangannya, jenis cengkeh ini kurang memberikan hasil yang diharapkan, sehingga kemudian ditinggalkan dan kembali pada sistem lama yaitu menanami lahan-lahan dengan jenis tanaman pertanian yang menurut warga menguntungkan seperti kelapa, pisang, dan pepaya.

Sejak tahun 1990-an berawal dari pendatang (pengepul/tengkulak) yang mencari kemungkinan tersedianya kayu sengon di areal penelitian, membawa informasi tentang usaha di bidang usaha kayu sengon yang menjanjikan, dimana diterangkan bahwa bibit jenis sengon cukup mudah diperoleh, sederhana dalam pengelolaannya, tumbuh dengan cepat sehingga dapat dipanen antara umur tiga sampai lebih dari lima tahun sesuai kebutuhan (daur butuh), dan tersedia pasar serta harga yang dianggap layak oleh petani untuk memperoleh keuntungan usaha. Kondisi tersebut mendorong petani untuk mulai mencoba menanam jenis sengon pada lahan kebun miliknya.

5.2 Kondisi Tegakan Hutan Rakyat

Kondisi hutan rakyat sengon di tiga desa contoh pada umumnya masih terbilang muda. Hal ini dapat ditunjukkan oleh jumlah pohon yang memiliki diameter kurang dari 10 cm didominasi jumlah batang per hektar paling banyak.

(2)

Sebaran jumlah batang per hektar per kelas diameter serta bentuk struktur tegakannya disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 3.

Tabel 13 Sebaran rata-rata jumlah batang pada setiap kelas diameter di Desa Cikalong

Nama Desa/ Dusun

Jumlah Batang per Hektar dalam Kelas Diameter

< 10 cm 11 – 15 cm 16 – 20 cm 21 – 25 cm 26 – 30 cm > 30 cm Desa Cikalong Cilutung 271 25 13 5 4 9 Desakolot 258 52 21 5 5 1 Borosole 230 64 17 3 3 1 Cikalong 250 30 20 10 0 0 Pangapekan 296 27 9 4 1 3 Sindanghurip 306 50 40 24 3 1 Cisodong 316 76 12 9 4 0 Cikaret 221 47 27 14 3 1 Cipondoh 317 51 10 0 0 0 Rata-rata 274 47 19 8 3 2 Desa Tonjongsari Sukahurip 345 23 4 1 0 0 Pareang 293 2 17 1 3 2 Tonjong 306 29 12 2 1 1 Cigorowong 304 24 4 3 0 1 Jodang 289 51 12 3 1 0 Bojongnangka 310 18 24 12 10 2 Pamijahan 266 18 26 12 10 2 Rata-rata 302 24 14 5 4 1 Desa Singkir Ciheulang 261 39 15 8 6 3 Singkir 2 258 18 17 7 3 2 Jadimulya 237 55 31 8 2 0 Singkir 1 282 26 8 13 1 3 Desakolot 354 25 9 7 0 0 Rata-rata 278 33 16 9 2 2

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Diameter pohon dibawah 10 cm rata-rata sekitar 75,59% dan jumlah pohon siap tebang dengan ukuran 30 cm up 0,16% di Desa Cikalong; 86,46% diameter <10 cm dan 0,33% diameter 30 cm up di Desa Tonjongsari; 81,98% diameter < 10 cm dan 0,47% diameter 30 cm up untuk Desa Singkir. Banyaknya jumlah pohon pada diameter kurang dari 10 cm, kemungkinan disebabkan oleh jumlah penanaman pada dua tahun terakhir (dengan asumsi riap diameter 5 cm/tahun) mulai dilakukan secara besar-besaran setelah mereka merasakan manfaat dari usaha dibidang kayu rakyat yang dapat menunjang kebutuhan insidsentil mereka selama dua dasawarsa terakhir sejak penanaman sengon.

Untuk mengetahui tipe struktur tegakan masing-masing desa berdasarkan karakteristik penyebaran jumlah batang per kelas diameter didekati dengan

(3)

persamaan N = k.e-aD, dikenal dengan Negative Exponential Distribution Meyer (1952) dalam Davis dan Johnson (2001) yang dipakai sebagai penentuan kriteria kenormalan bagi hutan tidak seumur dan persamaan tersebut dikenal juga dengan istilah kurva J terbalik.

Selanjutnya berdasarkan hasil uji anova pada tingkat α = 0.05 %, terhadap

ketiga persamaan Struktur tegakan dari ketiga desa contoh yang digambarkan dalam bentuk persamaan diatas, menunjukkan perbedaan dari nilai konstanta “k” yang mengambarkan tingkat kerapatan tegakan, sedangkan bentuk slope kurva J terbaliknya yang digambarkan oleh nilai konstanta “a” relatif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kondisi tersebut dapat dijelaskan melalui Gambar 3, Tabel 14 dan Tabel 15.

Kurva yang menggambarkan hubungan antara jumlah batang dengan kelas diameter dari tegakan sengon di ketiga desa contoh dapat dapat dilihat pada Gambar 3. y = 844.4e-0.18x R² = 0.964 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 Jum la h ba ta ng (N ) Diameter (cm) Struktur Tegakan Sengon

y = 239.1e-0.15x R² = 0.874 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 Jum la h ba ta ng (N ) Diameter (cm) Struktur Tegakan Sengon

y = 188.9e-0.15x R² = 0.786 0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40 Jum la h ba ta ng (N ) Diameter (cm) Struktur Tegakan Sengon

Gambar 3 Struktur tegakan sengon di (a) Desa Cikalong, (b) Desa Tonjongsari, dan (c) Desa Singkir.

(c)

(4)

Tabel 14 Hasil uji kurva estimation distribusi eksponensial negatif dari ketiga desa contoh Nama Desa K A R2 Desa Cikalong 844,40 -0,18 0,96 Desa Tonjongsari 239,10 -0,15 0,87 Desa Singkir 188,90 -0,15 0,79

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Dari perolehan persamaan yang disajikana pada Gambar 3 yaitu Y = 844,4

e-0,18x untuk Desa Cikalong, Y = 239,1e-0,15x untuk Desa Tonjongsari, dan Y =

188,9e-0,15x untuk Desa Singkir, berdasarkan uji estimasi kurva eksponensial terhadap ketiga persamaan tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 13, menerangkan bahwa ketiga persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara jumlah batang terhadap kelas diameter cukup erat, dimana nilai R2 yang diperoleh

dari ketiga persamaan tersebut lebih besar dari 75% pada nilai α = 0,05.

Nilai konstanta “k” dari ketiga persamaan tersebut secara umum menggambarkan bahwa tegakan sengon dari ketiga desa contoh lebih didominansi oleh jumlah pohon dengan diameter kecil. Nilai konstanta “k” yang cukup besar untuk Desa Cikalong menunjukkan kerapatan pada tegakan sengon di Desa Cikalong lebih banyak dikuasai pohon-pohon yang lebih kecil yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan kedua desa lainnya, yaitu hampir empat kali lebih besar dibanding kedua desa lainnya, yaitu Desa Tonjongsari dan Desa Singkir.

Bentuk slope dari ketiga persamaan relatif tidak berbeda, ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien “a” yang berbeda tipis diantara ketiga desa tersebut sehingga secara umum ketiga desa tersebut dapat dikatakan struktur tegakannya tidak banyak berbeda. Dengan melakukan uji anova satu arah terhadap jumlah perkelas diameter dari ketiga desa contoh, dapat memperkuat pernyataan sebelumnya, untuk lebih jelas hasil pengujian tersebut dapat disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Hasil uji anova satu arah terhadap jumlah batang perkelas diameter dari ketiga desa contoh

Sumber Jumlah Db Kuadrat Tengah F hit Sig.

Antar desa 31.583 2 15.792 1.841 .166

Galat 591.917 69 8.579

Total 623.500 71

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, karena nilai sig = 0,166 >

(5)

dari segi jumlah batang, artinya struktur tegakan sengon yang ada di Desa Cikalong, Desa Tonjong sari dan Desa Singkir adalah sama.

5.3 Sediaan Tegakan Sengon

Sediaan tegakan sengon dari ketiga desa cukup bervariasi. Berdasarkan hasil perhitungan pendugaan potensi (Tabel 16), dengan menggunakan selang duga pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai dugaan volume per hektar yaitu antara (18,29 - 29,90) m3/ha di Desa Cikalong; (11,54 - 19,18) m3/ha di Desa Tonjongsari; dan (13,90 - 25,45) m3/ha di Desa Singkir. Dugaan total volume untuk Desa Cikalong berkisar antara (15.676,36 - 25.627,29) m3; (6.357,62 -10.596,57) m3di Desa Tonjongsari dan (9.472,43 - 17.343,41) m3di Desa singkir. Tabel 16 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan volume

Nama Desa Luas Hutan Rakyat (ha) Rata-rata V/ha (m3/ha) Dugaan volume total (m3)

Cikalong 857,10 24,11 20.664,68

Tonjongsari 552,48 15,36 8.486,09

Singkir 681,47 19,70 13.424,96

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Total volume dari ketiga desa menunjukkan bahwa Desa Tonjongsari memiliki jumlah volume paling kecil (8.486,09 m3), sedangkan di Desa Cikalong 20.664,68 m3 dan Desa Singkir 13.424,96 m3. Hal tersebut dikarenakan luas dan rata-rata volume per hektar Desa Tonjongsari paling kecil.

Sumarna (1961), menyatakan besarnya volume produksi tergantung dari banyaknya bibit yang ditanam dan kualitas tempat tumbuh. Pada tempat tumbuh yang berkualitas bagus di Indonesia, tanaman sengon dapat mencapai riap volume tahunan rata-rata maksimum sebesar 67 m3/ha pada umur 6 tahun dengan total volume produksi yang dihasilkan sebesar 403 m3/ha sampai akhir daur. Hasil penelitian Prabowo (2000) dalam Suharjito (2000), potensi tegakan hutan rakyat untuk jenis yang sama di Desa Sumberejo adalah sebesar 84,71 m3/ha dan taksiran volume totalnya sebesar 10.602,11 m3.

Bila dibandingkan dengan kedua hasil penelitian Sumarna dan Prabowo (2000) sebagaimana dijelaskan sebelumnya sediaan hutan rakyat sengon di ketiga desa contoh pada penelitian ini relatif rendah sehingga perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan yang ada secara optimal melalui penyesuaian jarak tanam

(6)

yang lebih seragam dan sesuai kapasitas luas lahan. Perbandingan produksi yang dicapai terhadap luas lahan menunjukkan kondisi masyarakat tani Desa Sumber Rejo lebih optimal dalam memanfaatkan luas lahannya.

Berdasarkan pendugaan jumlah batang per hektar diketahui bahwa sediaan tegakan (jumlah batang per hektar) berkisar antara 333 batang/ha – 337 batang/ha di Desa Cikalong; 310 batang/ha – 387 batang/ha di Desa Tonjongsari; dan 324 batang/ha – 362 batang/ha di Desa Singkir. Total sediaan jumlah batang masing-masing desa berkisar antara 285.414 batang – 323.984 batang di Desa Cikalong, 171.269 batang 213.810 batang di Desa Tonjongsari dan 220.796 batang -246.692 batang di Desa Singkir. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan jumlah batang

Nama Desa Luas Hutan

Rakyat (ha) Rata-rata jumlah batang/ha Dugaan total jumlah batang

Cikalong 857,10 356 304.870

Tonjongsari 552,48 349 192.594

Singkir 681,47 244 166.415

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Desa Singkir memiliki nilai dugaan jumlah batang yang paling kecil diantara Desa Cikalong dan Desa Tonjongsari. Rata-rata sedian jumlah batang per hektar di Desa Singkir 224 batang/ha, sedangkan di Desa Tonjongsari 349 batang/ha dan Desa Cikalong 3556 batang/ha. Total jumlah batang di Desa Singkir diduga sebesar 166.415 batang, Desa Tonjongsari 192.595 batang dan Desa Cikalong 304.871 batang.

Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Suharjito (2000), jumlah batang per hektar dari hasil penelitian sangat jauh terhadap jumlah batang per hektar di Wonosobo (600 – 800) batang/ha, sedangkan dibandingkan dengan potensi jumlah batang di Banjarnegara antara (20 – 80) batang/ha bahkan lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa variasi jumlah batang per ha ditentukan oleh jarak tanam, serta kombinasi antara proporsi jenis tanaman pertanian dan jenis tanaman kayu, lama waktu pengalaman mengelola hutan rakyat, serta pangsa pasar.

Petani hutan rakyat di Wonosobo lebih lama berpengalaman dalam mengelola usaha kayu rakyat dan penyebarannya secara total luasan lebih besar dibandingkan dengan di Kecamatan Cikalong, serta ditunjang dengan pesatnya

(7)

pengembangan industri perkayuan dari skala kecil sampai skala cukup besar didaerahnya. Lain halnya dengan di Banjarnegara, petani hutan rakyat lebih mementingkan proporsi lebih besar untuk jenis tanaman penghasil buah salak pondoh dimana salak sudah sejak lama merupakan sumber pendapatan utamanya dibandingkan dari kayu rakyat.

Pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Cikalong dirasa belum berkembang secara optimal. Hal ini dibuktikan dari kondisi proporsi antara pohon-pohon yang berdiameter kecil lebih banyak dibandingkan pohon-pohon yang siap tebang. Walaupun demikian dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai merasakan manfaat menanam jenis kayu dalam hal penghasilan tambahan sebagai bentuk tabungan yang dapat diperoleh dan digunakan untuk menutupi kebutuhan insidentil keluarga, seperti biaya anak masuk sekolah dan sebagainya.

Oleh karena belum adanya sistem kelembagaan dan kebijakan yang secara serius dalam menunjang usaha hutan rakyat, baik dalam aspek produksi, pengolahan maupun pemasaran, masyarakat tani hutan rakyat di Kecamatan Cikalong masih lemah dalam hal posisi tawar sehingga perlu penyempurnaan sistem kelembagaan yang lebih profesional melalui seperangkat kebijakan yang tepat guna dan mampu mendukung terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif dengan harapan petani hutan rakyat selaku produsen mampu bernegosiasi dalam menentukan posisi tawar yang lebih baik dari saat ini.

5.4 Pengaturan Hasil

Dalam menyelesaikan perhitungan jatah tebang tahunan diasumsikan: 1. Riap rata-rata diameter 5 cm/th

2. Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (11-15) cm sebesar 20% Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (16-20) cm sebesar 10%. Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (21-25) cm sebesar 10% Persen kematian untuk mencapai kelas diameter (25-30) cm sebesar 0%

(8)

Contoh pengaturan hasil untuk dusun Cilutung, desa Cikalong: Tabel 18 Kondisi jumlah batang tegakan hutan rakyat Dusun cilutung,

Desa Cikalong Nama Desa/

Dusun Tahun ke- Luas (ha) < 10 Jumlah batang per kelas diameter

cm 11 – 15 cm 16 – 20 cm 21 – 25 cm 26 – 30 cm > 30 cm

Cikalong 271/ha 25/ha 13/ha 5/ha 4/ha 9/ha

Cilutung 33,92 9192 848 441 170 136 305 Periode I 1 76 7354 763 397 170 136 2 91 61 6618 687 397 170 3 111 73 55 5956 687 397 4 183 89 66 50 5956 687 5 309 146 80 60 50 5956 Periode II 6 1733 247 131 72 60 50 7 1724 1386 222 118 72 60 8 1801 1379 1247 200 118 72 9 1962 1441 1241 1122 200 118 10 2472 1570 1297 1117 1122 200 Periode III 11 3550 1978 1413 1167 1117 1122 Dan seterusnya

Tabel 19 Penentuan jatah tebang tahunan untuk hutan rakyat Dusun Cilutung, Desa Cikalong

Nama

Dusun Tahunke- Luas (ha) JPLT JTT Sisa Keterangan Cilutung 33,92

Periode I 1 305 76 229 Tahun 1 penebangan = penanaman = 76 2 365 91 274 Tahun 2 penebangan = penanaman = 91 3 444 111 333 Tahun 3 penebangan = penanaman = 111 4 730 183 547 Tahun 4 penebangan = penanaman = 183 5 1234 309 925 Tahun 5 penebangan = penanaman = 309 Periode

II

6 6931 1733 5198 Tahun 6 penebangan = penanaman = 1733 7 6894 1724 5170 Tahun 7 penebangan = penanaman = 1724 8 7205 1801 5404 Tahun 8 penebangan = penanaman = 1801 9 7846 1962 5884 Tahun 9 penebangan = penanaman = 1962 10 9887 2472 7415 Tahun 10 penebangan = penanaman =

2472 Periode

III 11 14199 3550 10649 Tahun 11 penebangan = penanaman = 3550 Dan seterusnya

Penerapan cara pengaturan hasil berdasarkan riap dan jumlah batang untuk periode lima tahun pertama kegiatan penebangan dianggap sebagai jangka waktu penyesuaian, dan periode penebangan lima tahun berikutnya sudah menunjukkan kondisi fluktuasi jatah tebang tahunan yang relatif stabil dimana jumlah pohon yang ditebang meningkat dibandingkan hasil jatah tebang lima tahun pertama, apalagi bila pohon yang ditanam kembali setelah penebangan sebagai salah satu

(9)

syarat mempertahankan kelestarian hasil, jumlahnya lebih dari jatah yang ditebang, maka kemungkinan produksi tahunannya akan lebih besar lagi.

Hal yang harus diperhatikan adalah jumlah penanaman tersebut juga harus memperhatikan kapasitas kemampuan lahan yang ada (daya dukung lahan), serta ditambah dengan usaha kegiatan pemeliharaan yang tepat seperti kegiatan penjarangan yang tujuannya selain demi meningkatkan kondisi pertumbuhan tegakan yang lebih baik, juga memberikan nilai tambah sebagai hasil antara, jadi tidak mustahil untuk memperoleh peningkatan yang signifikan bagi keberlanjutan produksi kayu yang ada.

Laju kegiatan penanaman hutan rakyat di Pulau Jawa dan Madura antara Tahun 2003- 2010 (Dephut dan BPS 2004; Pusat P2H 2010) adalah 20.000 hektar per tahun (Nugroho 2010), maka timbul pertanyaan apakah kondisi tersebut merupakan jaminan bahwa hasil produksinya sudah lestari. Jawabannya kembali kepada bagaimana suatu sistem pengaturan hasil tersebut dapat diterapkan untuk mengantisipasi budaya daur butuh yang selama ini dianut masyarakat petani HR yang memiliki ciri sosial budaya cukup beragam dan untuk semua ini perlu dibuktikan melalui serangkaian penelitian lebih lanjut.

Sistem pengaturan hasil dalam penelitian ini merupakan suatu konsep sederhana yang diharapkan dapat diterima dan sesuai dengan pengetahuan masyarakat tani HR yang telah dimilikinya secara turun temurun (local knowledge). Selain itu, merupakan salah satu bentuk pengaturan hasil yang mungkin bisa ditawarkan dalam usaha menuju sertifikasi.

Dari tiga tipe sertifikasi yang bisa dikeluarkan FSC mungkin yang cocok diterapkan untuk hutan rakyat di Kecamatan Cikalong adalah Sertificat Controlled Wood yang diberikan hanya untuk pengelola hutan dengan bentuk sertifikasi kelompok. Kelima kriteria sebagai syarat dalam bentuk sertifikasi kelompok tersebut berdasarkan kondisi umum hutan rakyat sengon di Kecamatan Cikalong tidak menjadi permasalahan yang menyulitkan, namun secara teknis didalam menuju keaarah tujuan sertifikasi harus melalui tahapan proses cukup panjang yaitu:

1) perlu diawali kegiatan sosialisasi secara partisipatif kolaborasi dari berbagai pihak stakeholder yang terkait dengan usaha dalam peningkatan atau

(10)

pengembangan kegiatan usaha kayu rakyat yang pada kenyataannya untuk hutan rakyat di Kecamatan Cikalong masih murni bergerak atas inisiatif masyarakat tani secara swadaya dan belum tersentuh bantuan apapun baik dari Pemda dalam hal ini Dinas Kehutanan maupun pihak-pihak swasta yang berkepentingan,

2) perlu menggali inisiatif dan persepsi serta motivasi masyarakat petani hutan untuk meningkatkan animo yang ada dalam tujuan mencapai manfaat pengelolaan hutan rakyat secara lestari,

3) perlu peningkatan kapasitas lokal petani hutan saat ini khususnya dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka melalui pelnyuluhan dan pelatihan yang tepat guna.

Semua ini merupakan tahapan awal dalam persiapan menuju perolehan sertifikasi baik menurut prinsip dan kriteria LEI ataupun FSC.

Suatu gambaran tegakan hutan rakyat Kecamatan Cikalong saat ini, menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara proporsi jumlah batang yang siap tebang dengan jumlah batang berdiameter dibawah 10 cm. Hal ini dapat diakibatkan karena tidak adanya aturan penebangan yang memperhatikan ketersediaan jumlah batang dengan ukuran diameter di bawah 30 cm yang siap ditebang untuk periode penebangan berikutnya. Selama ini penebangan dilakukan atas dasar asas kebutuhan sesaat atau dikenal dengan istilah daur butuh, sedangkan kegiatan penanaman setelah penebangan kondisinya tidak selalu teratur karena tergantung kondisi kemampuan petani, yang mungkin hal ini dikarenakan usaha di bidang hutan rakyat ini masih bersifat usaha sampingan. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai merasakan manfaat dari hasil kayu sengon tersebut, maka para petani hutan mulai serentak menanam secara bersamaan. 5.5 Kontribusi Hutan Rakyat

Sumber pendapatan petani responden di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir berasal dari hutan rakyat, pertanian, peternakan, perdagangan, dan lain-lain.Berdasarkan hasil penelitian yang tersaji dalam Tabel 20, diketahui bahwa kontribusi terbesar berasal dari pertanian yaitu 40,82% di Desa Cikalong, 48,48% di Desa Tonjongsari, dan 36,98% di Desa Singkir. Kontribusi hutan

(11)

rakyat terhadap pendapatan total petani masih dikatakan kecil yaitu sekitar 14,54% di Desa Cikalong; 20,65% di Desa Tonjongsari; dan 11,00%; atau kalau dilihat dari rata-rata kontribusi pendapatan dari hutan rakyat tersebut sebesar 15,38%.

Tabel 20 Kontribusi pendapatan dari berbagai sektor usaha Sumber

pendapatan Pendapatan Desa Cikalong Desa Tonjongsari

rata-rata (Rp) Kontribusi (%) rata-rata (Rp)Pendapatan Kontribusi (%)

Hutan rakyat 1.701.801 14,54 1.924.017 20,65 Pertanian 4.777.480 40,82 4.517.743 48,48 Peternakan 1.058.889 9,05 1.418.571 15,22 Perdagangan 1.218.222 10,41 850.571 9,13 lain-lain 2.947.778 25,19 608.571 6,53 Total 11.704.170 100,00 9.319.473 100,00

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010) Tabel 20 Lanjutan

Sumber pendapatan Desa Singkir

Pendapatan rata-rata (Rp) Kontribusi (%)

Hutan rakyat 1.287.497 11,00 Pertanian 4.326.552 36,98 Peternakan 1.274.000 10,89 Perdagangan 780.000 6,67 lain-lain 4.032.000 34,46 Total 11.700.049 100,00

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang sama dari hutan rakyat sengon di Desa Wates dan Tambah Rejo (Dewi et al.2004) menunjukkan bahwa besarnya kontribusi terhadap total pendapatan petani hutan rakyat di Desa Wates dan Tambah Rejo sebesar 29,41%, memberikan gambaran bahwa secara relatif tidak jauh berbeda. Demikian juga bila dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 21 pengelolaan hutan rakyat di ketiga desa contoh sudah dianggap cukup baik sebagai pemula.

Tabel 21 Kontribusi pendapatan dari hutan rakyat di berbagai lokasi penelitian

No Lokasi Kontribusi (%) Sumber

1 Sumberejo, Wonogiri 21,05 Subaktini et al.2002

2 Sub Das Temon 23,87 Cahyono et al.2002

3 Wonosobo 33,00 Supangat et al.2003

4 Maros, Sulawesi Selatan 7,61 Hasnawir dan Yusran 2000 5 Zone atas Das Cimanuk Hulu 31,50 Hardjanto 2001

Kontribusi suatu sumber pendapatan akan menentukan keputusan petani dalam mengembangkan hutan rakyat. Semakin besar sumbangan suatu sumber pendapatan terhadap total pendapatan rumah tangga akan mendorong petani untuk

(12)

lebih mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya untuk kegiatan tersebut. Sumbangan yang mampu diberikan oleh hutan rakyat terhadap ekonomi rumah tangga relatif besar. Banyak kajian dan laporan yang menunjukkan kontribusi yang signifikan dari pendapatan yang diperoleh petani dengan mengembangkan hutan rakyat (Cahyono et al.2002)

Kontribusi pendapatan dari hutan rakyat cukup bervariasi tergantung pada kondisi tegakan, komposisi tanaman, jenis komoditi yang ditanam, intensifikasi, peluang pasar dan sebagainya. Meskipun terdapat hutan rakyat yang relatif kecil kontribusinya pada pendapatan bukan berarti tidak mendorong pengembangan hutan rakyat. Selain keuntungan, kelayakan, dan kesinambungan hasil yang di dapat petani akan juga mempengaruhi keputusan pengembangan hutan rakyat. (Cahyono et al.2002)

5.6 Analisis finansial

Untuk menghitung nilai finansial di ketiga desa contoh ini didasarkan pada beberapa asumsi, sebagai berikut:

a) Daur 5 tahun b) Suku bunga BI 7% c) Tahun 0 = 2011

d) Harga per batang kayu ditentukan atas dasar harga lokal yang berlaku Rp 500.000,00 per m3. Diasumsikan setiap pohon masak tebang memiliki rata-rata diameter 30 cm, tinggi bebas cabang rata-rata 11 m, angka bentuk (0,7) diperoleh volume 0,56 m3 per batang sehingga harga per batng kayu sebesar Rp 282.600,00.

e) Perhitungan biaya tenaga kerja semua kegiatan dalam pengelolaan dilakukan oleh petani pemilik. Perhitungannya didasarkan pada kemampuan banyaknya kuantitas hasil setiap kegiatan yang dapat diselesaikan per hari. Dengan upah per HOK sebesar Rp 40.000,- di Desa Tonjong dan Rp 25.000,- di Desa Cikalong dan Desa Singkir.

f) Biaya pembangunan tanaman terdiri dari biaya pembelian bibit, biaya persiapan lapangan tanaman: biaya pembersihan lahan, pembuatan lubang tanaman, pemupukan dan biaya penanaman

(13)

g) Sistem pengelolaan dianggap akan berulang dengan kondisi kegiatan yang sama dengan saat prhitungan nilai finansial saaat penelitian.

Tabel 22 Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Cikalong Nama dusun

Luas HR dusun (ha)

Rata-rata luas kepemilikan

(ha) Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) NPV (Rp)

Cilutung 33,92 0,40 28.397.297 271.687 28.125.610 Desakolot 65,43 0,41 29.907.454 281.781 29.625.672 Borosole 132,96 0,30 20.896.939 220.438 20.676.501 Cikalong 70,35 0,27 17.961.268 220.784 17.740.484 Pangapekan 27,02 0,30 22.412.999 223.681 22.189.318 Sindanghurip 78,36 0,54 44.238.594 428.424 43.810.171 Cisodong 185,02 0,30 25.377.249 259.628 25.117.621 Cikaret 200,02 0,38 22.680.792 232.852 22.447.940 Cipondoh 73,74 0,30 22.545.306 219.540 22.325.767

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Tabel 23 Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Tonjongsari Nama Dusun Luas HR dusun

(ha)

Luas kepemilikan

(ha) Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) NPV (Rp)

Sukahurip 10,37 0,33 26.344.808 277.502 26.067.306 Pareang 36,73 0,36 28.702.753 312.811 28.389.943 Tonjong 118,66 0,30 25.385.874 275.192 25.110.683 Cigorowong 48,14 0,33 25.594.647 286.965 25.307.682 Jodang 127,04 0,33 26.625.291 324.032 26.301.260 Bojongnangka 79,64 0,32 26.228.849 315.222 25.913.627 Pamijahan 132,4 0,32 23.954.382 307.365 23.647.017

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Tabel 24 Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Singkir Nama dusun dusun (ha)Luas HR Luas kepemilikan

(ha) Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) NPV (Rp)

Ciheulang 232,94 0,45 33.026.916 332.313 32.694.603

Singkir 2 62,82 0,26 16.732.402 205.466 16.526.936

Jadimulya 64,30 0,25 17.076.629 198.114 16.878.515

Singkir 1 181,62 0,36 24.036.961 229.014 23.807.947

Desakolot 139,99 0,36 29.628.159 286.537 29.341.622

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Perhitungan finansial dilakukan pada masing-masing dusun sebagai unit pengelolaan skala kecil didasarkan pada kondisi rata-rata penyebaran jumlah batang per kelas diameter dari luas lahan milik petani saat penelitian. Tabel 22, Tabel 23 dan Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai NPV terkecil di Desa Cikalong terdapat di Dusun Cikalong yaitu sebesar Rp 17.740.484.- dengan luas lahan 0,25 ha, di Desa Tonjongsari terdapat di Dusun Pamijahan sebesar Rp

(14)

23.647.017,-dengan luas lahan 0,32 ha, dan di Desa Singkir terdapat di Dusun Jadimulya sebesar Rp.16.8768.515,- dengan luas lahan 0,25 ha.

Nilai NPV terbesar di Desa Cikalong terdapat di Dusun Sindanghurip sebesar Rp. 43.810.171,- dengan luas lahan 0,54 ha, di Desa Tonjongsari terdapat di Dusun Pareang sebesar Rp.28.389.943,- dengan luas 0,36 ha, dan di Desa Singkir terdapat di Dusun Ciheulang sebesar Rp. 32.694.603,- dengan luas 0,45 ha.

Berdasarkan hasil NPV masing-masing petani pemilik di ketiga desa contoh semuanya menunjukkan nilai NPV > 1, berarti usaha di bidang hutan rakyat bagi ketiga desa contoh untuk tingkat petani adalah layak untuk dilanjutkan sehingga di dalam menentukan luasan suatu unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil ini berdasarkan sebuah dusun, maka skala luas minimal untuk Desa Cikalong 27,02 ha pada Dusun Pangapekan, untuk Desa Tonjongsari 10,37 ha pada Dusun Sukahurip dan untuk Desa Singkir 62,82 ha pada Dusun Singkir 2. Secara umum berarti minimal skala luas unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil adalah 10,37 ha. Luas unit pengelolaan terkecil terdiri dari jumlah luas usaha petani HR dari dusun tersebut yang berdasarkan skala usaha layak secara finansial (nilai NPV > 0).

5.7 Analisis sosial

Untuk menekan biaya pengelolaan, petani hutan rakyat dalam kegiatan pengadaan tanaman, seperti pada kegiatan membersihkan lahan, membuat lubang tanam dan melakukan penanaman serta pemeliharaan sampai tanaman cukup kuat dilakukan sendiri karena memang mata pencaharian mereka secara harfiah adalah sebagai petani.

Kecenderungan mereka dalam mengelola hutan rakyat memiliki tujuan yang kuat bahwa dengan membangun hutan takyat, secara finasial merupakan sumbangan cukup berarti yang telah dirasakan secara positif. Kontribusi pendapatan dari usaha kayu rakyat tersebut dianggap sebagai tabungan pendapatan yang pada saat-saat tertentu dimana dibutuhkan biaya yang cukup besar dapat merupakan sumbangan yang cukup nyata, seperti saat merencanakan naik haji, kenduri pernikahan atau khinatan anak bahkan menyekolahkan anaknya

(15)

sampai kejenjang lebih tinggi, sehingga dengan pencapaian ini secara tidak langsung dapat menaikkan status sosial mereka.

Kondisi tersebut secara sadar atau tidak jelas menggambarkan bahwa mereka telah merasakan manfaat keberadaan hutan rakyat yang dibangunnya secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Untuk mengetahui besarnya motivasi masyarakat tani HR terhadap ketiga aspek jaminan kelestarian hutan tersebut tersebut, didekati melalui besarnya pengaruh faktor-faktor karakteristik internal dan ekternal petani HR terhadap motivasi manfaat ekonomi, manfaat ekologi, dan manfaat sosial. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise (stepwise regression), yang diterangkan melalui persamaan-persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dan yang disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Hasil Analisa Motivasi Ekonomi, Ekologi, dan Sosial berdasarkan Karakteristik Internal dan Eksternal masyarakat petani hutan rakyat di

Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir (pada tingkat nyata 5%):

Motivasi Model Persamaan Regresi Sig. r2 Sig. r

Ekonomi (1) Y1= 60,395 + 2,123 X14 + 6,723 X23 – 1,405 X24 X14 = 0,000X23 = 0,008 X24 = 0,000 0,260 0,000 0.008 0,000 Ekologi (2) Y2 = 39,831 + 1,648 X15 – 0,485 X24 X15 = 0,031X24 = 0,003 0,055 0,0310,003 Sosial (3) Y3= 32,910 + 3,015 X23 – 0,249 X24 X23 = 0,041X24 = 0,003 0,046 0,0080.041

Dari model-model persamaan regresi linier berganda yang disajikan pada Tabel 25, secara umum dapat diterangkan bahwa dari 12 faktor, baik dari karakteristik internal maupun eksternal hanya faktor pendapatan yang mampu menjelaskan ketiga faktor motivasi, sedangkan hanya faktor luas yang mampu menjelaskan faktor motivasi ekonomi dan faktor motivasi sosial. Faktor jumlah tanggungan keluarga hanya mampu menjelaskan faktor motivasi ekologi, sedangkan faktor kebutuhan rumah tangga hanya mampu menjelaskan faktor motivasi ekonomi. Walaupun persamaan tersebut memiliki nilai r2 yang kecil, berarti menunjukkan kesanggupan dari keempat faktor karakteristik petani tersebut dalam menerangkan ketiga faktor motivasi sangat lemah, tapi bila pengaruh masing-masing faktor tersebut dilakukana secara terpisah menunjukkan

(16)

Dari hasil analisis tersebut dapat di terangkan bahwa luas lahan merupakan faktor pembatas bagi unit skala usaha HR, yaitu memiliki rata-rata luas lahan kepemilikan sebesar kurang dari 0,25 ha sehingga petani sejak dua puluh dekade terakhir telah berusaha mengoptimalkan lahan usahanya dengan menerapkan sistem agroforestri, demi meningkatkan pendapatan untuk menutupi kebutuhan jumlah tanggungan rumah tangganya. Usaha petani di bidang kayu rakyat sampai saat ini masih bersifat sampingan, terlihat bahwa rata-rata kontribusi pendapatan dari HR baru mencapai 15,40% dari total pendapatan petani dan nilai tersebut lebih kecil dibandingkan nilai kontribusi dari usaha pertanian yang masih merupakan usaha pokok dari petani HR rata-rata sebesar 38,76% pada lahan usaha yang luasnya sangat kecil rata-rata dibawah 0,25 ha.

Selanjutnya dengan semakin besar faktor kebutuhan rumah tangga petani HR, maka semakin besar pula motivasi petani terhadap aspek manfaat ekonomi, ini dapat diterangkan bahwa besarnya tanggungan keluarga petani memberi dampak pada dorongan untuk meningkatkan jumlah tambahan pendapatan demi memenuhi kebutuhan keluarganya dan jika dipertimbangkan nilai kontribusi usaha dibidang HR paling tinggi bila dibandingkan nilai kontribusi dari sektor usaha non pertanian yang lain, maka nilai tambah ini menunjukkan bahwa dorongan motivasi ekonomi terhadap pengelolaan hutan rakyat menjadi tinggi. Besarnya motivasi ekonomi tersebut jelas berpengaruh terhadap pentingnya mempertahankan keberadaan hutan rakyat yang secara sadar atau tidak menunjukkan motivasi petani terhadap manfaat ekologi juga tinggi, salah satu dampak secara langsung yang paling dirasakan adalah terciptanya iklim mikro yang dihasilkan tegakan HR sengon yang telah memberikan rasa nyaman serta lebih asri secara alami terhadap lingkungan hidup mereka dibanding sebelumnya dan secara tidak langsung tegakan sengon dapat membantu kesuburan lahan kebun mereka secara tidak langsung melalui sistem pemupukan alami disamping pupuk buatan yang mereka biasa gunakan.

Selain itu semakin kecil pendapatan maka makin tinggi motivasi petani HR terhadap manfaat sosial. Meningkatnya pendapatan tambahan dari sektor HR memberikan dorongan untuk lebih mengembangkan usaha HR dan kesejahteraan masyarakat secara sosial akan meningkat karena uasaha dibidang HR secara multi

(17)

efek memberi peluang bagi penyerapan tenaga kerja mulai dari kegiatan penebangan, tenaga pengepul, jasa angkutan, jasa pemasaran, dan kegiatan mulai dari industri hulu sampai industri hilir.

Untuk mengukur apakah pengelolaan hutan rakyat yang telah berkembang di ketiga wilayah lokasi penelitian, yaitu Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir dengan mempertimbangkan aspek manfaat ekonomi, manfaat ekologi, dan manfaat sosial, maka dibuat model nilai komposit ketiga aspek tersebut dengan sediaan tegakan (jumlah batang sengon per kelas diameter pada setiap lahan petani HR). Model komposit kelestarian HR yang diperoleh adalah HtLst = 0,655 Y1 + 0,127 Y2 + 0,243 Y3, dimana Y1 adalah aspek ekonomi, Y2 adalah aspek ekologi, dan Y3 adalah aspek sosial. Dari ketiga aspek tersebut yang paling signifikan adalah aspek ekonomi (sig. 0,000 < α = 0,05), aspek ekologi (Sig. 0,243 >α = 0,05), dan aspek sosial (sig. 0,252 >α = 0.05).

Berdasarkan analisis statistik dari regresi linier berganda tersebut, ketiga peubah bebas yaitu motivasi ekonomi, ekologi, dan sosial hanya mampu menjelaskan sebesar 23% terhadap peubah tidak bebas terhadap kelestarian (sig.F = 0,000). Model regresi berganda tersebut dapat diandalkan untuk mengetahui besarnya pengaruh ketiga peubah motivasi terhadap tingkat kelestarian. Faktor motivasi ekonomi menunjukkan pengaruh paling besar dibandingkan faktor motivasi ekologi dan sosial terhadap kelestarian hutan. Hal yang dapat diterangkan dari analisis tersebut, yaitu menggambarkan masyarakat petani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir tidak atau belum memahami akan prinsip-prinsip kelestarian dalam tujuan kegiatan pengelolaan HR, sadar atau tidak pengalaman yang telah dicapai dalam dua dekade terakhir sejak HR pertama kali dibangun, menunjukkan motivasi terhadap aspek ekonomi cukup tinggi dengan harapan nilai tambah dari pendapatan melalui peningkatan kontribusi HR dapat meningkatkan kesejahteraan sosial petani HR.

Suatu bukti bahwa masyarakat tani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir menunjukkan motivasi positif secara ekonomi, walaupun motivasi ekologi dan sosial belum terlihat secara signifikan. Kegiatan penanaman oleh petani HR sampai saat ini masih terus dilakukan, walaupun skala waktu kegiatan penanamannya masih belum teratur karena tergantung ketersediaan

(18)

biaya, mungkin kondisi inilai yang menyebabkan kondisi sebaran jumlah batang per kelas diameter (standing stock) yang ada di lokasi penelitian belum bisa dikatakan memenuhi kriteria lestari.

Secara umum, berdasarkan berbagai hasil analisis dapat disusun suatu rumusan tentang unit pengelolaan hutan rakyat skala kecil berdasarkan skala luas dusun, melalui pertimbangan penilaian yang dibatasi skala usaha yang berdasarkan penilaian ekonomi layak secara finansial (nilai NPV > 0). Kontribusi hutan rakyat terhadap total pendapatan petani dan terpeliharanya keberadaan tegakan hutan yang merupakan modal dasar sebagai jaminan produksi tahunan secara berkelanjutan dengan ketentuan jumlah batang berdiameter tertentu sesuai permintaan pasar yang berlaku dalam hal cara penyediaan kayu dari produsen (petani HR) yaitu berdasarkan jumlah batang. Untuk itu tahapan proses implementasinya di lapangan dengan tetap mempertimbangkan kapasitas sosial budaya masyarakat tani hutan yang masih dicirikan perangkat norma sosial budaya tradisional yang masih sederhana, sebagai berikut:

1. Adanya luasan minimal usaha dengan sediaan (standing stock) yang menjamin jumlah tebangan tahunan secara berkelanjutan berdasarkan sistem pengaturan hasil yang tepat dan tetap mempertimbangkan aspek sosial budaya lokal.

2. Petani hutan rakyat memiliki kapasitas tingkat adaptasi, persepsi, dan motivasi tinggi terhadap aspek manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang cukup dan terbuka bagi tujuan peningkatan usaha di bidang kayu rakyat. Kapasitas ini dapat diperoleh melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan.

3. Perlu pendampingan terkait kemungkinan peningkatan usaha pengembangan pengelolaan hutan rakyat, yaitu para stakeholder (Pemda, Penyuluh, LSM, Perguruan Tinggi) yang berdedikasi kuat dan peduli untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani berbasiskan hutan rakyat.

4. Perlu dibangun satu atau lebih kelompok tani hutan pada wilayah skala luas dusun. Jumlah anggota disesuaikan dengan kondisi lingkungan masyarakat dan usahanya. Kelompok dibangun atas dasar adanya kepentingan dan tujuan bersama dengan prinsip dari, oleh, dan untuk petani berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan memilih menjadi anggota kelompok tani. Adanya keterbukaan dan kesetaraan antara penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha;

(19)

kemitraan dibangun atas prinsip saling menghargai, saling membutuhkan, menguntungkan dan memperkuat partisipatif dalam hak dan kewajiban; keswadayaan; mampu menggali potensi diri dalam penyediaan dana dan sarana.

5. Tersedianya kelembagaan yang tepat dan diimbangi suatu perangkat kebijakan yang efektif yang mampu menciptakan iklim usaha hutan rakyat. untuk lebih kondusif dan lebih berpihak pada masyarakat tani hutan rakyat. Perlu informasi tentang tingkat pemahaman organisasi petani; keadaan usaha tani dan kelembagaan yang ada, serta kondisi sebaran, domisili dan jenis usaha tani. Kelembagaan masyarakat yang ada sebagai bahan pertimbangan dalam membangun kelembagaan unit kelompok petani maupun unit pengelolaan skala dusun.

6. Melaksanakan advokasi (saran dan pendapat) kepada para petani khususnya tokoh-tokoh petani setempat tentang pengertian kelompok; proses dan langkah-langkah menuju pembentukan kelompok; kewajiban dan hak setiap petani menjadi anggota kelompok serta para pengurusnya; dan penyusunan rencana kerja serta cara kerja kelompok.

7. Untuk meningkatkan kemampuan kelompok tani dalam melaksanakan fungsi organisasi yang kuat dan mandiri dalam mengembangkan usaha tani dengan sistem agroforestri, harus dicirikan oleh:

a) Adanya pertemuan rutin, memiliki rencana kerja kelompok, memiliki aturan /norma yang disepakati dan ditaati bersama, melakukan pencatatan administrasi organisasi yang rapih, memfasilitasi usaha tani secara komersil dan berorientasi pasar, adanya jalinan kerja sama antar kelompok tani, adanya pemupukan modal usaha baik iuran anggota atau penyisihan hasil usaha/ kegiatan kelompok.

b) Adanya evaluasi yang dilakukan secara partisipasi.

Peran pemerintah terkait dengan kegiatan HR adalah bertindak sebagai fasilitator dan menyusun kebijakan yang lebih memihak kepada kepentingan masyarakat tani hutan rakyat.

c) Memberikan insentif berupa reward bagi petani HR yang berhasil dalam mengembangkan usaha pengelolaannya atau dalam rangka penyelamatan

(20)

lingkungan, bukan berupa disinsentif, misalnya membuat perda yang memberatkan petani HR.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis bertujuan untuk menguji pengaruh secara simultan atau bersama-sama antara variabel independen dalam hal ini yaitu variabel komitmen organisasi dan

Penelitian Elangovan dkk melaporkan bahwa walaupun menggunakan dializer yang luas, kec epatan aliran darah dan aliran dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80 kg

Visi tersebut di atas mencerminkan cita-cita sekolah yang berorientasi ke depan dengan memperhatikan potensi kekinian, sesuai dengan norma dan harapan masayarakat

Berdasarkan pengalaman praktek ada beberapa akseptor kb yang mengeluh pelayanan yang diterima kurang memuaskan karena ada beberapa akseptor yang mengalami abses

Keberadaan mikroorganisme pada suatu tanah dapat diindikasikan dengan populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup di tambah lagi dengan

→ Menjawab pertanyaan tentang materi perbedaan cara pengungkapan dari masing- masing konteks dalam memberi dan meminta informasi terkait jati diri dan hubungan keluarga yang

Dalam penawaran umum perdana saham atau intial public offering (IPO), perseroan akan menawarkan 150 juta saham atau sebanyak-banyaknya 23,07% dari total modal yang