• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kebijakan Moneter Triwulan I 201

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Kebijakan Moneter Triwulan I 201"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

1

RINGKASAN EKSEKUTIF

Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2014 menunjukkan stabilitas ekonomi semakin terjaga dan ditopang penyesuaian ekonomi yang tetap terkendali.

Perkembangan tersebut tidak terlepas dari konsistensi kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan 2013 untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan mengelola pertumbuhan ekonomi agar bergerak secara seimbang dan berkesinambungan. Pada triwulan I 2014 dan April 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan ini dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015 sekaligus menurunkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Kebijakan tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah baik dalam konteks kebijakan siklikal mengelola permintaan domestik maupun kebijakan yang bersifat struktural dan jangka menengah.

Pada triwulan I 2014, permintaan domestik terkelola dengan baik, meskipun pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2014 menurun akibat kontraksi ekspor riil.

Permintaan domestik yang terkendali ditopang konsumsi rumah tangga yang tumbuh cukup tinggi, antara lain didorong peningkatan keyakinan konsumen, dan dampak aktivitas pemilu legislatif. Investasi juga mulai meningkat ditopang oleh investasi nonbangunan yang kembali tumbuh positif, sedangkan investasi bangunan menurun. Namun demikian, permintaan domestik yang terkendali tersebut belum dapat menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi, yang pada triwulan I 2014 menurun lebih rendah dari perkiraan. Penurunan pertumbuhan ekonomi disebabkan kontraksi ekspor riil terutama dari komoditas pertambangan seperti batubara dan konsentrat mineral, antara lain karena melemahnya permintaan terutama dari Tiongkok, menurunnya harga, serta pengaruh temporer dari kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Kontraksi ekspor tersebut cukup besar karena mengakibatkan ekspor neto juga menurun, meskipun pada sisi lain impor menurun sejalan dengan tren moderasi permintaan domestik.

Pengaruh signifikan kontraksi ekspor riil terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi juga tergambar pada pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh wilayah. Penurunan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di wilayah yang banyak ditopang sektor pertambangan yakni di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2014 tercatat 4,6% (yoy), menurun tajam dari 6,6% (yoy) pada triwulan IV 2013, sejalan penurunan produksi sektor pertambangan sebagai dampak implementasi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Berbeda dengan KTI, wilayah Jawa dan Sumatera mencatat pertumbuhan di atas pertumbuhan nasional yakni masing-masing 5,8% (yoy) dan 5,4% (yoy). Bahkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta meningkat dari 5,6% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 6,0% (yoy) pada triwulan I 2014. Kenaikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta banyak ditopang kenaikan sektor perdagangan dan sektor pengangkutan.

(3)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

2

Defisit transaksi berjalan triwulan I 2014 tercatat 2,06% dari PDB, menurun dari defisit pada triwulan IV 2013 sebesar 2,12% dari PDB. Perbaikan defisit transaksi berjalan terutama dipengaruhi oleh penurunan defisit neraca jasa, khususnya jasa pengangkutan, sejalan dengan menurunnya kegiatan impor yang menurun akibat tren moderasi permintaan domestik. Sementara itu, aliran masuk modal asing, baik dalam bentuk investasi langsung maupun investasi portofolio, yang meningkat dipengaruhi sentimen positif terhadap fundamental perekonomian Indonesia yang membaik. Peningkatan aliran masuk modal asing pada gilirannya mendorong transaksi modal dan finansial mencatat surplus sebesar USD7,83 miliar. Perkembangan positif pada kinerja NPI pada gilirannya berkontribusi pada cadangan devisa yang meningkat. Pada Maret 2014, cadangan devisa Indonesia tercatat 102,6 miliar dolar AS dan kembali meningkat pada April 2014 menjadi 105,6 miliar dolar AS, atau setara 6,1 bulan impor atau 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Fundamental ekonomi yang membaik dan diikuti penguatan kinerja NPI mendorong nilai tukar rupiah dalam tren menguat pada triwulan I 2014, sebelum kemudian sedikit terkoreksi pada April 2014. Pada akhir triwulan I 2014, rupiah menguat 7,13% dibandingkan dengan level akhir 2013. Penguatan terutama terjadi sejak Februari 2014 sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal asing. Namun penguatan rupiah sedikit terkoreksi pada bulan April 2014 dipengaruhi pernyataan The Fed yang lebih hawkish, kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Tiongkok, dan eskalasi ketegangan geopolitik di perbatasan Ukraina-Rusia. Pada April 2014, rupiah ditutup di level Rp11.562 per dolar AS, melemah 1,74% dibandingkan dengan level akhir Maret 2014. Secara rata-rata, rupiah pada April 2014 tercatat Rp11.439 per dolar AS, melemah 0,17% dari bulan sebelumnya. Perkembangan nilai tukar rupiah sampai April 2014 tersebut juga diikuti dengan perkembangan positif pada struktur mikro pasar valas seperti volume transaksi valas yang meningkat dan selisih bid-ask yang menipis sehingga menunjukkan kondisi pasar valas domestik yang semakin likuid.

Perkembangan yang membaik juga terlihat pada inflasi triwulan I 2014 dan April 2014 yang terus menurun. Pasca kenaikan harga BBM di pertengahan tahun 2013, penurunan inflasi masih berlanjut di triwulan I-2014 bersumber dari kelompok volatile food dan kelompok inti. Inflasi pada triwulan I 2014 tercatat atau 7,32% (yoy), menurun dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya yaitu 8,38% (yoy). Penurunan laju inflasi kelompok volatile food didukung oleh panen beberapa komoditas, meskipun sempat terganggu oleh cuaca dan bencana alam di awal tahun yang mengganggu produksi sejumlah komoditas. Inflasi inti juga menurun sejalan dengan moderasi perekonomian, minimalnya tekanan eksternal, dan membaiknya ekspektasi inflasi. Penurunan inflasi kelompok volatile food dan kelompok inti masih berlanjut di bulan April 2014, mendorong inflasi IHK kembali menurun. Pada April 2014, inflasi menurun menjadi 7,25% (yoy) dengan inflasi bulanan yang mencatat deflasi sebesar 0,02% (mtm). Kondisi ini semakin mendukung prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1% dan menopang tetap terkendalinya penyesuaian ekonomi.

(4)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

3

permintaan domestik. Sementara itu, kinerja pasar modal pada triwulan I 2014 dan April 2014 juga membaik, tercermin pada IHSG yang berada dalam tren meningkat dan imbal hasil SBN yang menurun. Perbaikan kinerja pasar modal ini didorong meningkatnya optimisme investor terhadap perekonomian domestik.

Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan stabilitas ekonomi akan tetap terjaga dan ditopang penyesuaian perekonomian yang masih tetap terkendali.

Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mencapai5,1-5,5%, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya 5,5-5,9%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh kinerja ekspor yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya akibat dampak kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah serta pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan harga komoditas global yang lebih lemah dari proyeksi semula. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,4-5,8%, meskipun lebih rendah dari proyeksi semula 5,8-6,2%. Inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5+1%. Pada tahun 2015, kebijakan moneter yang terukur dan didukung koordinasi dengan kebijakan Pemerintah diperkirakan dapat mendorong inflasi menurun di kisaran 4,0+1%.

Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko yang berpotensi meningkatkan tekanan pada stabilitas ekonomi dan mengganggu upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke level yang sehat. Dari global, risiko berkaitan dengan potensi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi untuk meningkatkan kembali defisit transaksi berjalan. Risiko ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed juga mendapat perhatian karena dapat mengganggu prospek penanaman modal asing. Dari domestik, risiko yang perlu mendapat perhatian ialah potensi tekanan harga terkait tekanan penyesuaian administered prices dan peningkatan harga pangan akibat efek tunda banjir dan dampak El Nino yang dapat menyebabkan musim kemarau di beberapa daerah.

Dengan mempertimbangkan kondisi terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan, Bank Indonesia pada 8 Mei 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%.

(5)
(6)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

5

PERKEMBANGAN EKONOMI DAN

MONETER TERKINI

Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2014 dan April 2014 menunjukan stabilitas ekonomi yang semakin terjaga dengan ditopang penyesuaian ekonomi yang tetap terkendali. Dalam perkembangan ini, inflasi berada dalam tren menurun dan dibarengi oleh defisit transaksi berjalan yang mengecil. Aliran masuk modal asing juga meningkat sejalan dengan perbaikan fundamental ekonomi tersebut yang pada gilirannya berkontribusi pada nilai tukar rupiah yang berada dalam tren menguat. Sejalan dengan itu, permintaan domestik tetap terkelola dengan baik, meskipun pertumbuhan ekonomi menurun cukup tajam dan lebih rendah dari perkiraan akibat kontraksi ekspor rill dari sektor pertambangan.

Perkembangan tersebut tidak terlepas dari berbagai arah kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan 2013 dan ditopang pemulihan ekonomi global yang membaik, meskipun belum merata. Pada triwulan I 2014 dan April 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga LF dan suku bunga DF masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan ini dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015 sekaligus menurunkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Kebijakan tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah baik dalam konteks kebijakan siklikal mengelola permintaan domestik maupun kebijakan yang bersifat struktural dan jangka menengah.

Perkembangan Ekonomi Dunia

Perbaikan ekonomi global pada triwulan I 2014 terindikasi masih terus berlangsung, meskipun belum merata. Perbaikan terutama ditopang oleh perekonomian negara-negara maju seperti AS dan Eropa sebagai dampak stimulus moneter

yang masih berlanjut. Perbaikan kondisi ekonomi global tersebut berdampak pada

kenaikan volume perdagangan dunia. Namun demikian, dampaknya terhadap kenaikan harga komoditas belum terlalu kuat karena melemahnya permintaan global, khususnya Tiongkok dan pasokan yang meningkat, khususnya pada komoditas karet, tembaga, dan batubara.

Perkembangan ekonomi global diwarnai oleh kondisi negara maju, khususnya AS dan Eropa, yang semakin baik, di tengah kondisi negara berkembang yang masih cenderung menurun. Indikator AS terus menunjukkan perbaikan yang didukung oleh kinerja sektor manufakturnya. Perbaikan juga terjadi di Eropa yang didukung oleh membaiknya indikator manufaktur Perancis. Sebaliknya, perlambatan ekonomi terjadi di Tiongkok didorong oleh penurunan permintaan yang tercermin pada realisasi PDB Tiongkok triwulan I 2014 yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Selain itu, kondisi ekonomi negara berkembang lainnya juga sedikit menurun antara lain dipengaruhi oleh faktor gejolak politik/ekonomi sebagaimana yang terjadi di Rusia, Argentina, dan Thailand, serta faktor harga komoditas yang masih rendah sebagaimana yang terjadi di Argentina, Chile, Peru, dan Venezuela.

(7)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

6 Di AS, momentum perbaikan ekonomi terus berlanjut meskipun data realisasi PDB triwulan I 2014 menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Ekonomi AS pada triwulan I 2014 tumbuh melambat menjadi 2,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya sebesar 2,6% (yoy). Perlambatan tersebut terutama dipengaruhi oleh cuaca dingin ekstrim (Big Freeze) yang menghambat aktivitas produksi dan cenderung melemahnya permintaan dari eksternal. Namun, berbagai indikator ekonomi AS lainnya menunjukkan perkembangan yang positif. Rilis data penjualan ritel semakin kuat sejalan dengan kinerja sisi produksi (manufaktur) yang terus ekspansif. Indikator tenaga kerja juga membaik sejalan dengan tingkat pengangguran yang menurun ke level 6,3% (Grafik 1.1) dan tren peningkatan jumlah daftar gaji (payroll). Positifnya indikator-indikator utama AS tersebut mampu mendongkrak tingkat keyakinan konsumen mencapai titik tertinggi selama 6 tahun terakhir (Grafik 1.2) sehingga mendorong perkiraan ekonomi AS yang akan terus membaik di waktu yang akan datang.

Grafik 1.1

Tingkat Pengangguran AS

Grafik 1.2

Indeks Keyakinan Konsumen AS

Perbaikan ekonomi Eropa juga masih terus berlangsung. Setelah mencatat pertumbuhan positif yang pertama kalinya pada triwulan IV 2013 pasca terkontraksi selama 7 triwulan, perekonomian Eropa terus membaik. Perbaikan tersebut tercermin pada meningkatnya kinerja sektor manufaktur (PMI) dan sektor permintaan (retail sales). Data PMI Eropa bulan April mencapai titik tertinggi dalam 3 bulan terakhir dan meningkat dibandingkan dengan perkembangan bulan sebelumnya (Grafik 1.3). Di sektor tenaga kerja juga terjadi perkembangan yang positif yang ditandai oleh menurunnya tingkat pengangguran di negara-negara Eropa (Grafik 1.4).

Grafik 1.3 PMI Manufaktur Eropa

Grafik 1.4

Keyakinan Konsumen Eropa

ribu

Perubahan bulanan gaji non pertanian (sk.kanan) Tk. pengangguran

Sumber: Bloomberg Data Des 2013

Keyakinan konsumen

Sentimen saat ini (Univ. Michigan)-(sk.kanan)

Sumber: Bloomberg Data April 2014

Indeks % indeks

Indeks, 50=netral PMI Manufaktur

Eropa Jerman Italia Spanyol

Sumber: Bloomberg Data Mar 2014

Pengangguran (sk.kanan)

Total Penjualan Ritel

(8)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

7 Namun, perkembangan sebaliknya terjadi di negara-negara berkembang yang mencatat penurunan. Ekonomi Tiongkok tumbuh melambat seiring dengan proses rebalancing. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada triwulan I 2014 menurun menjadi 7,4% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 7,7% (yoy). Tren perlambatan aktivitas ekonomi Tiongkok tersebut diperkuat perkembangan beberapa indikator terkini yaitu indeks produksi dan investasi aset tetap yang berada pada tren menurun. Kondisi serupa juga dialami oleh beberapa negara emerging market lainnya seperti Rusia, Argentina, Thailand, Chile, Peru, dan Venezuela, yang dipengaruhi oleh faktor gejolak politik yang terjadi di beberapa negara tersebut serta menurunnya kinerja eksternal sebagai dampak dari pelemahan harga komoditas yang masih berlanjut.

Perbaikan kondisi ekonomi global yang berdampak pada kenaikan volume perdagangan dunia terlihat belum kuat mendorong kenaikan harga komoditas seperti yang diharapkan. Sampai dengan triwulan I 2014, pertumbuhan harga komoditas global masih berada pada teritori negatif. Harga komoditas ekspor Indonesia (IHEX) diperkirakan masih rendah karena melemahnya permintaan global, khususnya permintaan dari Tiongkok sejalan dengan proses rebalancing dan meningkatnya pasokan, khususnya pada komoditas karet, tembaga dan batubara (Tabel 1.1). Harga komoditas karet terkoreksi akibat peningkatan pasokan dari Thailand dan Malaysia. Harga batubara juga masih melemah akibat meningkatnya pasokan terutama oleh AS terkait dengan upaya konversi energi dari batubara ke shale gas yang mendorong ekspor batubara dari AS bertambah sehingga meningkatkan pasokan batubara internasional dan selanjutnya memicu turunnya harga batubara. Sementara itu, harga minyak dunia juga masih berada pada tren yang menurun karena pasokan yang bertambah terutama dari negara-negara non-OPEC.

Tabel 1.1

Pertumbuhan Harga Komoditas Ekspor Indonesia

(9)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

8 Grafik 1.5

Perkembangan Bursa Saham Global

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan pada triwulan I 2014 akibat kontraksi ekspor riil. Pada triwulan I 2014, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,21% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan IV 2013 sebesar 5,72% (yoy) dan perkiraan Bank Indonesia sebelumnya (Tabel 1.2). Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh kinerja sektor eksternal yang kurang menguntungkan. Ekspor mengalami kontraksi yang cukup signifikan, khususnya sektor pertambangan. Kontraksi ekspor riil tersebut tercatat cukup besar sehingga kontribusi ekspor neto juga tercatat negatif, meskipun pada sisi lain impor juga mencatat kontraksi 0,7% (yoy) sejalan moderasi permintaan domestik yang sedang terjadi (Grafik 1.6).

Realisasi ekspor mengalami kontraksi yang signifikan pada triwulan I 2014.

Pertumbuhan ekspor tercatat -0,8% (yoy), turun tajam dibandingkan dengan capaian triwulan IV 2013 yang tumbuh 7,4% (yoy). Perlambatan ekspor terutama disebabkan oleh perlambatan ekspor sektor pertambangan akibat masih tertekannya ekspor batubara dan pengaruh temporer terkait kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah (Grafik 1.7). Ekspor batubara tertahan akibat permintaan ekspor yang melemah dari Tiongkok seiring moderasi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Penetapan target produksi batubara di tahun 2014 oleh pemerintah yang lebih rendah dari tahun 2013 untuk tujuan konservasi juga menurunkan ekspor batubara yang pangsanya cukup besar terhadap ekspor nonmigas. Ekspor konsentrat mineral juga belum bisa dilakukan karena masalah teknis di lapangan. Sementara itu, ekspor pertanian tumbuh melambat akibat menurunnya ekspor kakao. Di sisi lain, ekspor manufaktur masih tumbuh solid sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia (Grafik 1.7).

%Y-o-Y, Tahun Dasar 2000

2014

I II III IV I

Konsumsi Rumah Tangga 5.2 5.1 5.5 5.3 5.3 5.6

Konsumsi Pemerintah 0.4 2.2 8.9 6.4 4.9 3.6

Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 5.5 4.5 4.5 4.4 4.7 5.1

Ekspor Barang dan Jasa 3.6 4.8 5.2 7.4 5.3 -0.8

Impor Barang dan Jasa 0.0 0.7 5.1 -0.6 1.2 -0.7

PDB 6.0 5.8 5.6 5.7 5.8 5.2

Sumber : BPS

Tabel 1.2

Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan

2013 2013

Komponen

Sumber: Bloomberg (diolah)

Indeks indeks

(10)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

9 Grafik 1.6

Kontribusi Pertumbuhan Ekonomi

Grafik 1.7 Ekspor Nonmigas Riil

Perlambatan ekonomi triwulan I 2014 juga disebabkan oleh melambatnya konsumsi pemerintah. Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014 tercatat sebesar 3,6% (yoy), lebih rendah dari triwulan IV 2013 sebesar 6,4% (yoy) dan perkiraan Bank Indonesia sebelumnya. Perlambatan ini sesuai dengan pola serapan belanja pemerintah yang rendah di awal tahun. Kontribusi konsumsi pemerintah yang masih rendah terhadap perekonomian dapat terindikasi dari surplus APBN terhadap PDB yang lebih besar hingga Februari 2014 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 (Tabel 1.3). Namun demikian, perlambatan ini diduga bersifat temporer sebagai dampak penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) yang beralih dari triwulan I menjadi triwulan II 2014.

Tabel 1.3

(11)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

10 Di tengah kinerja sektor eksternal yang menurun, permintaan domestik dari konsumsi rumah tangga dan investasi masih cukup terkendali, sehingga dapat menahan penurunan pertumbuhan ekonomi lebih dalam. Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2014 mampu tumbuh 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan IV 2013 sebesar 5,3% (yoy). Akselerasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga antara lain didorong oleh daya beli konsumen yang terjaga seiring dengan keyakinan konsumen yang meningkat dan inflasi yang mereda. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) BI hingga Maret 2014 menunjukkan tren yang meningkat pada semua kelompok pengeluaran masyarakat (Grafik 1.8). Keyakinan konsumen yang menguat kemudian mendorong masih meningkatnya penjualan eceran. Penjualan mobil sampai dengan Maret 2014 juga meningkat ditopang oleh penjualan varian baru kendaraan, termasuk jenis Low Cost Green Car (LCGC) (Grafik 1.9).

Grafik 1.8

Indeks Ekspektasi Menurut Kelompok Pengeluaran

Grafik 1.9

Penjualan Kendaraan Bermotor

Investasi pada triwulan I 2014 masih tumbuh meningkat, khususnya investasi nonbangunan. Investasi meningkat dari 4,4% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 5,1% (yoy) pada triwulan I 2014. Peningkatan tersebut didorong oleh investasi nonbangunan yang kembali tumbuh positif, terutama investasi mesin, sementara investasi bangunan melambat. Peningkatan investasi nonbangunan terindikasi sebagai respons ekspektasi penguatan konsumsi swasta dan ekspor manufaktur ke depan. Selain itu, utilisasi kapasitas manufaktur yang meningkat ke kisaran atas historis 75% diperkirakan mampu menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi (Grafik 1.10). Sementara itu, investasi bangunan tumbuh lambat merespons pengetatan kebijakan LTV dan kenaikan suku bunga. Kondisi ini tercermin pada pertumbuhan penjualan semen yang lemah (Grafik 1.11). Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit investasi dari perbankan mulai meningkat sehingga memberi dukungan bagi pulihnya investasi.

Grafik 1.10 Utilisasi Kapasitas Manufaktur

Grafik 1.11

(12)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

11 Pengaruh cukup kuat ekspor rill khususnya ekspor komoditas pertambangan terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2014 juga terlihat dari pertumbuhan ekonomi berdasarkan lapangan usaha. Meskipun perlambatan terjadi di hampir semua sektor ekonomi, sektor pertambangan merupakan satu-satunya sektor yang mencatat kontraksi (Tabel 1.3). Pertumbuhan negatif sektor pertambangan bersumber dari lebih dalamnya penurunan produksi, baik pada subsektor migas maupun nonmigas. Penurunan subsektor migas disebabkan oleh menurunnya lifting minyak karena penurunan produksi alamiah dan gangguan produksi akibat faktor cuaca. Sementara itu, kontraksi pertambangan nonmigas disebabkan oleh melambatnya permintaan ekspor batubara dan terhentinya untuk sementara ekspor pertambangan konsentrat mineral terkait kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

Perlambatan di sektor pertambangan berdampak pada penurunan sejumlah sektor lain yang terkait khususnya di beberapa subsektor seperti subsektor alat angkut, mesin dan peralatan. Sektor pertanian juga melambat bersumber dari perlambatan subsektor peternakan, perikanan, dan terbatasnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan (tabama). Di sisi lain, kinerja sektor bangunan melambat seiring dengan investasi bangunan yang melambat terkait kebijakan stabilisasi makroekonomi. Sementara itu, perlambatan di sektor keuangan tercermin pada pertumbuhan kredit bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang melambat sebagai respons kenaikan suku bunga.

Pengaruh signifikan kontraksi ekspor riil terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi juga tergambar pada pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh wilayah. Penurunan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di wilayah yang banyak ditopang sektor pertambangan yakni di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2014 tercatat 4,6% (yoy), menurun tajam dari 6,6% (yoy) pada triwulan IV 2013, sejalan penurunan produksi sektor pertambangan sebagai dampak implementasi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Beberapa daerah di KTI seperti Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Aceh bahkan tumbuh pada kisaran yang rendah (0,6% - 3,3%) (Gambar 1.1). Berbeda dengan KTI, wilayah Jawa dan Sumatera mencatat pertumbuhan di atas pertumbuhan nasional yakni masing-masing 5,8% (yoy) dan 5,4% (yoy). Bahkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta meningkat dari 5,6% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 6,0% (yoy) pada triwulan I 2014. Kenaikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta banyak ditopang kenaikan sektor perdagangan dan sektor pengangkutan, antara lain dipengaruhi penyelenggaran Pemilu legislatif.

%Y-o-Y, Tahun Dasar 2000

2014

I II III IV I

Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan 3.7 3.3 3.3 3.8 3.5 3.3

Pertambangan & Penggalian 0.1 -0.6 2.0 3.9 1.3 -0.4

Industri Pengolahan 6.0 6.0 5.0 5.3 5.6 5.2

Listrik, Gas & Air Bersih 7.9 4.0 3.8 6.6 5.6 6.5

Konstruksi 6.8 6.6 6.2 6.7 6.6 6.5

Perdagangan, Hotel & Restoran 6.5 6.4 6.1 4.8 5.9 4.6

Pengangkutan & Komunikasi 9.6 10.9 9.9 10.3 10.2 10.2

Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan 8.2 7.7 7.6 6.8 7.6 6.2

Jasa-jasa 6.5 4.5 5.6 5.3 5.5 5.8

PDB 6.0 5.8 5.6 5.7 5.8 5.2

Sumber : BPS

2013 S e k t o r

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha Tabel 1.4

(13)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

12 Gambar 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2014

Menggunakan metode perhitungan baru, perekonomian Indonesia masih kondusif dalam penyerapan tenaga kerja.1

Perbaikan indikator tenaga kerja tersebut diperkirakan dipengaruhi permintaan domestik yang masih kuat disertai dengan inflasi yang rendah berdampak (Grafik 1.12). Tingkat pengangguran terbuka di bulan Februari 2014 kembali turun menjadi 5,7%, setelah sempat meningkat di bulan Agustus 2013 sebesar 6,2%. Berdasarkan kualitas tenaga kerja, komposisi jam kerja juga membaik tercermin dari jumlah pekerja penuh waktu yang meningkat mencapai 64,8% dari total pekerja. Sejalan dengan perkembangan tersebut, pangsa kelompok pekerja paruh waktu dan setengah pengganggur menurun secara tahunan. Jika dibandingkan dengan negara kawasan, tingkat pengangguran terbuka Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Korea, dan Tiongkok yang cenderung stabil pada level 3-4%, meskipun masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina (Grafik 1.13).

Grafik 1.12

Pertumbuhan PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran Terbuka

Grafik 1.13

Tingkat Pengangguran Terbuka Beberapa Negara Asia

1 Penghitungan statistik tenaga kerja tahun 2014 mengalami perbaikan yaitu perubahan estimasi

(14)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

13 Neraca Pembayaran Indonesia

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2014 kembali membaik dipengaruhi permintaan domestik yang terkendali dan stabilitas ekonomi yang semakin kuat. NPI triwulan I 2014 mencatat surplus sebesar USD2,07 miliar (Grafik 1.14) ditopang oleh menurunnya defisit transaksi berjalan dan meningkatnya aliran masuk modal asing. Defisit transaksi berjalan triwulan I 2014 tercatat 2,06% dari PDB, menurun dari defisit pada triwulan IV 2013 sebesar 2,12% dari PDB (Grafik 1.15). Sementara itu, aliran masuk modal asing meningkat seiring dengan persepsi positif investor terhadap perbaikan fundamental ekonomi Indonesia. Peningkatan aliran modal asing ini kemudian berkontribusi pada surplus transaksi modal dan finansial sebesar USD7,83 miliar.

Grafik 1.14

Neraca Pembayaran Indonesia

Perbaikan defisit transaksi berjalan terutama dipengaruhi impor yang terkontraksi sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi. Impor nonmigas terkontraksi 5,5% (yoy) antara lain dipengaruhi menurunnya impor bahan baku dan barang modal (Grafik 1.15). Selain itu, impor migas juga terkontraksi lebih dalam (8,6% - yoy) mengikuti pola konsumsi BBM yang lebih rendah di awal tahun. Namun demikian, perbaikan sektor eksternal tertahan karena ekspor juga mengalami kontraksi. Ekspor nonmigas tumbuh negatif (-0,2%) karena melemahnya permintaan global terutama Tiongkok, penurunan harga komoditas global, serta pengaruh temporer kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, sedangkan ekspor migas juga tumbuh negatif (-8,8%) seiring dengan turunnya produksi minyak. Perkembangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan surplus neraca perdagangan barang triwulan I 2014 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan surplus triwulan IV 2013 (Grafik 1.16).

Grafik 1.15 Impor Non Migas

(15)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

14 Defisit transaksi berjalan yang lebih rendah juga dipengaruhi defisit neraca jasa yang menurun. Neraca jasa mencatat defisit yang lebih rendah pada triwulan laporan sebesar USD2,2 miliar dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar USD3,1 miliar (Grafik 1.17). Hal itu disebabkan oleh menurunnya jasa pembayaran pengangkutan (freight) sejalan dengan impor yang turun cukup dalam serta meningkatnya surplus jasa perjalanan (travel) sesuai dengan pola musimannya.

Grafik 1.17 Neraca Transaksi Berjalan

Perkembangan pada sisi transaksi modal dan finansial tetap solid ditopang aliran masuk modal asing yang meningkat. Aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi langsung maupun investasi portofolio pada triwulan I 2014 meningkat didorong oleh positifnya persepsi investor terhadap kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio asing meningkat tajam dari USD1,63 miliar pada triwulan IV 2013 menjadi USD8,51 miliar pada triwulan laporan. Peningkatan tersebut ditopang oleh meningkatnya net beli asing pada instrumen portofolio berdenominasi rupiah (saham dan SUN) (Grafik 1.18). Penerbitan global bond pemerintah senilai USD4,00 miliar juga mendorong peningkatan investasi portfolio. Sementara itu, investasi langsung asing di Indonesia (PMA) tercatat stabil dari triwulan sebelumnya sebesar USD4,53 miliar. Namun, secara neto, transaksi modal dan finansial mencatat surplus yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik 1.19) dikarenakan investasi lainnya yang mencatat defisit yang disebabkan oleh meningkatnya penempatan simpanan swasta domestik di luar negeri.

Grafik 1.18 Aliran Dana Nonresiden

Grafik 1.19

Neraca Transaksi Modal dan Finansial

Dengan perkembangan positif pada NPI tersebut, cadangan devisa Indonesia berada dalam tren meningkat. Pada Maret 2014, cadangan devisa Indonesia tercatat 102,6 miliar dolar dan kembali meningkat menjadi 105,6 miliar dolar AS pada April 2014. Level cadangan devisa pada April 2014 setara dengan 6,1 bulan impor atau 5,9 bulan

(16)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

15

impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Posisi tersebut juga lebih tinggi dibandingkan posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2013 yang hanya mencatat USD99,4 miliar (Grafik 1.20).

Grafik 1.20

Perkembangan Cadangan Devisa

Nilai Tukar Rupiah

Fundamental ekonomi yang membaik dan diikuti penguatan kinerja NPI mendorong nilai tukar rupiah dalam tren menguat pada triwulan I 2014. Pada akhir triwulan I 2014, rupiah menguat 7,13% dibandingkan dengan level pada akhir 2013 dan ditutup di level Rp11.360 per dolar AS pada akhir triwulan (Grafik 1.19). Penguatan tersebut terutama terjadi sejak Februari 2014 sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal asing. Penguatan rupiah juga disertai dengan penurunan volatilitas. Volatilitas rupiah pada triwulan I 2014 turun ke 11,5% dari 15,3% pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.20).

Penguatan rupiah sedikit terkoreksi pada bulan April 2014 karena pengaruh pernyataan The Fed yang lebih hawkish, kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Tiongkok, dan eskalasi ketegangan geopolitik di perbatasan Ukraina-Rusia. Pada April 2014, rupiah ditutup pada level Rp11.562 per dolar AS, melemah 1,74% dibandingkan dengan level akhir Maret 2014. Secara rata-rata, rupiah pada April 2014 tercatat Rp11.439 per dolar AS, melemah 0,17% dari bulan sebelumnya. Pergerakan rupiah tersebut relatif sejalan dengan perkembangan nilai tukar di beberapa negara seperti India dan Tiongkok (Grafik 1.22).

Grafik 1.21

Nilai Tukar Rupiah

Grafik 1.22 Nilai Tukar Kawasan

Volatilitas Harian Rata-rata Volatilitas IDR/USD Harian (sk.kanan)

(17)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

16 Perkembangan nilai tukar rupiah tersebut juga diikuti dengan perkembangan positif pada struktur mikro pasar valas. Volume transaksi valas meningkat selama triwulan I 2014 terutama ditopang oleh semakin aktifnya transaksi valas antarbank serta transaksi dengan pihak nonresiden. Selain itu, Credit Default Swap (CDS) yang terus menurun (Grafik 1.23) serta selisih bid-ask rupiah yang menipis sehingga menunjukkan kondisi pasar valas domestik yang semakin likuid (Grafik 1.24)

Grafik 1.23

VIX & CDS

Grafik 1.24

Selisih Bid-Ask Rupiah

        

Inflasi

Perkembangan inflasi triwulan I 2014 dan April 2014 juga memperkuat gambaran bahwa proses penyesuaian ekonomi tetap terkendali dan dibarengi stabilitas ekonomi yang terjaga. Inflasi pada triwulan I 2014 dan April 2014 berada dalam tren menurun sehingga diperkirakan dapat mendukung pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni pada kisaran 4,5+1%. Inflasi pada triwulan I 2014 tercatat 7,32% (yoy), menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu 8,38% (Grafik 1.25). Tren penurunan Inflasi masih berlanjut pada April 2014 yang mencatat deflasi sebesar 0,02% (mtm) atau inflasi sebesar 7,25% (yoy).

Tren penurunan tekanan inflasi triwulan I 2014 tidak terlepas dari pengaruh penurunan inflasi volatile food. Deflasi pada kelompok volatile food tersebut megakibatkan inflasi volatile food secara tahunan mencapai 7,25% (yoy), turun tajam dibandingkan inflasi triwulan IV 2013 sebesar 11,83% (yoy) (Grafik 1.25). Kondisi ini didukung pasokan yang lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya ketika terjadi kelangkaan beberapa komoditas hortikultura akibat restriksi impor. Kondisi ini juga mengakibatkan bencana alam erupsi gunung berapi dan banjir hanya berdampak yang minimal pada inflasi pangan. Berdasarkan komoditas, penyumbang deflasi pada triwulan I 2014 adalah meningkatnya panen bawang merah dan cabai merah di akhir triwulan I serta melimpahnya pasokan daging ayam dan telur ayam. Sementara itu, penyumbang inflasi pada triwulan ini berasal dari beras, cabai rawit, dan ikan segar.

Pada April 2014, kelompok volatile food kembali mencatat deflasi yang cukup tajam seiring meningkatnya pasokan terkait datangnya musim panen. Deflasi yang tercatat sebesar 1,26% (mtm) (Grafik 1.26) lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata historis selama 10 tahun sebesar 0,36% (mtm). Deflasi disebabkan oleh melimpahnya pasokan bahan pangan karena panen, terutama komoditas beras, bawang merah, cabai merah dan cabai rawit serta aneka sayur. Panen beras sedang berlangsung di beberapa sentra (terutama Sumatera dan Jawa) yang diperkirakan masih akan berlangsung sampai

(18)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

17

dengan 2 bulan ke depan karena pergeseran masa panen akibat banjir di awal tahun. Selain itu, pasokan cabai merah juga meningkat dengan adanya panen di beberapa sentra, seperti Subang, Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi dan Garut) sehingga harga saat ini berada di bawah harga referensi Pemerintah. Bersamaan dengan itu, panen sayur juga terjadi di kawasan Jabodetabek dan Sumatera, khususnya komoditas tomat, kubis, dan wortel.

Grafik 1.25

Perkembangan Inflasi Tahunan

Grafik 1.26

Pola Inflasi/Deflasi Volatile Food

Tren penurunan inflasi juga dipengaruhi inflasi inti yang tetap terkendali ditopang moderasi permintaan domestik serta menurunnya ekspektasi inflasi. Ekspektasi inflasi yang menurun tersebut tidak terlepas dari menurunnya dampak lanjutan inflasi volatile food sehingga pada gilirannya menurunkan tekanan inflasi inti. Inflasi inti pada triwulan I tercatat sebesar 4,61% (yoy) menurun dibandingkan Triwulan IV 2013 sebesar 4,98% (yoy). Pada April 2014, inflasi inti relatif stabil mencapai 0,24% (mtm) atau 4,66% (yoy) dari 0,21% (mtm) atau 4,61% (yoy) pada Maret 2014 (Grafik 1.25).

Pengaruh permintaan domestik yang termoderasi terhadap terkendalinya inflasi tergambar pada dekomposisi inflasi inti menjadi inflasi inti kelompok non-traded dan Traded. Inflasi inti kelompok nontraded terlihat menurun di semua kelompok. Kelompok pangan menurun sejalan dengan menurunnya tekanan inflasi volatile food. Inflasi kelompok perumahan juga menurun tidak terlepas dari moderasi permintaan domestik, khususnya terkait perumahan, sejalan kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia termasuk kebijakan LTV (Loan to Value) (Grafik 1.27). Tren penurunan inflasi inti kelompok perumahan juga diperkuat perkembangan harga properti residensial yang juga dalam tren menurun (Grafik 1.28).

Grafik 1.27 Inflasi Inti NonTraded

Grafik 1.28

(19)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

18 Inflasi inti yang terkendali juga tergambar pada kelompok inflasi inti kelompok

traded yang cukup stabil dalam beberapa bulan terakhir. Inflasi kelompok pangan berada dalam tren menurun sebagai dampak lanjutan inflasi volatile food yang juga menurun. Inflasi perumahan juga stabil antara lain sejalan dengan dampak moderasi permintaan. Perkembangan sedikit berbeda ialah inflasi kelompok lainnya yang berada dalam tren meningkat (Grafik 1.29). Kenaikan ini tidak terlepas dari pengaruh dampak rambatan pelemahan nilai tukar rupiah di periode-periode sebelumnya kepada barang-barang berkandungan inpor seperti tercermin pada harga barang-barang kelompok elektronik dan otomotif yang juga berada dalam tren meningkat (Grafik 1.30). Proses kenaikan harga kelompok traded ini pada sisi lain berpengaruh pada menurunnya permintaan impor dan berkontribusi pada menurunnya defisit transaksi berjalan.

Grafik 1.29 Inflasi Inti Traded

Grafik 1.30 Inflasi Barang dengan Import Content Tinggi

Selain karena moderasi permintaan, inflasi inti yang terkendali juga dipengaruhi ekspektasi inflasi yang terjaga. Di pasar barang (dari sisi pedagang eceran maupun konsumen), ekspektasi tekanan harga untuk periode 3 maupun 6 bulan yang akan datang cenderung mengalami perlambatan dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Namun demikian, akibat kuatnya dorongan permintaan menjelang dan selama bulan Ramadhan, menyebabkan masih tingginya level ekspektasi inflasi baik dari sisi pedagang eceran maupun konsumen (Grafik 1.31 dan 1.32).

Grafik 1.31

Ekspektasi Inflasi Pedagang Eceran

Grafik 1.32

Ekspektasi Inflasi Konsumen

(20)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

19

udara. Di sisi lain, dampak penerapan surcharge masih terbatas karena adanya persaingan tarif penerbangan yang menyebabkan belum semua maskapai menerapkan tarif surcharge tersebut.

Pada April 2014, tekanan inflasi administered prices masih terjaga sebesar 0,28% (mtm) atau 17,64% (yoy). Sumber tekanan pada bulan ini berasal dari kenaikan permintaan akibat hari libur nasional (long weekend), kenaikan airport tax di beberapa daerah, dan lanjutan penerapan tarif surcharge oleh maskapai penerbangan2

. Selain itu, kenaikan harga rokok dan bahan bakar rumah tangga turut menyumbang tekanan pada kelompok ini. Sementara itu, koreksi harga terjadi pada tarif kereta api akibat diberlakukannya subsidi PSO per 1 April 2011 (Tabel 1.5).

Tabel 1.5 Penyumbang Inflasi Administered Prices

Tren penurunan inflasi antara lain akibat pengaruh penurunan inflasi volatile food

juga tergambar pada inflasi secara spasial. Deflasi di kawasan Jawa dan Sumatera yang merupakan sentra produksi bahan pangan berkontribusi mendorong penurunan inflasi di periode laporan. Panen beras dan beberapa komoditas hortikultura yang berlangsung di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyebabkan terjadinya deflasi yang cukup besar di dua daerah tersebut. Selanjutnya, berbagai daerah di Sumatera mencatat terjadinya deflasi karena koreksi harga holtikultura dan melimpahnya produksi sayuran. Sebaliknya, Jakarta dan mayoritas wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih mencatatkan inflasi. Sebagai contoh, inflasi pada komoditas aneka cabai tercatat cukup tinggi di Gorontalo dan Maluku (Gambar 1.2).

Gambar 1.2. Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm)

2

(21)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

20 Perkembangan Moneter

Perkembangan suku bunga dan uang beredar masih sesuai dengan kebijakan moneter ketat yang ditempuh Bank Indonesia. Selama triwulan I 2014, suku bunga PUAB dan suku bunga perbankan cenderung meningkat. Peningkatan suku bunga ini, di tengah moderasi pertumbuhan ekonomi, kemudian mendorong pertumbuhan uang beredar untuk terus melambat.

Pasar Uang Antar Bank pada triwulan I 2014 ditandai oleh meningkatnya suku bunga PUAB O/N yang disertai menurunnya volume PUAB. Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N pada triwulan I naik menjadi 5,88% dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,83%. Dengan perkembangan ini, spread suku bunga PUAB O/N terhadap DF O/N menyempit menjadi 13bps dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat 19bps. Sementara itu, rata-rata volume PUAB menurun menjadi Rp10,2 triliun dari Rp10,6 triliun pada triwulan sebelumnya. Perkembangan pada April 2014 menunjukkan bahwa rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N cenderung stabil pada level 5,87% (Grafik 1.33). Pada periode yang sama, rata-rata volume PUAB total sedikit meningkat menjadi Rp11,7 triliun dari Rp11,5 triliun yang tercatat pada Maret 2014 seiring meningkatnya kebutuhan likuiditas perbankan (Grafik 1.34). Meskipun demikian, keketatan likuiditas terindikasi mereda terlihat dari spread PUAB terhadap tenor O/N dan spread max-min yang relatif menurun dibandingkan kondisi bulan sebelumnya.

Grafik 1.33 Suku Bunga PUAB O/N

Grafik 1.34

Suku Bunga PUAB O/N & Vol DF O/N

Tren peningkatan suku bunga PUAB juga diikuti oleh suku bunga perbankan. Pada satu sisi, suku bunga deposito 1 bulan naik 7 bps ke level 7,99% dari 7,92% yang tercatat pada akhir triwulan IV 2013. Sementara, suku bunga simpanan berjangka panjang mengalami kenaikan yang lebih tinggi tercermin dari rata-rata tertimbang suku bunga deposito yang sudah naik hingga 38 bps selama triwulan I 2014. Pada sisi lain, rata-rata tertimbang suku bunga kredit meningkat 17 bps menjadi 12,56% dari 12,39% (Grafik 1.35). Berdasarkan jenis penggunaannya, suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) tercatat naik 25 bps menjadi 12,37% sedangkan suku bunga KI dan KK masing-masing naik 18 bps dan 8 bps menjadi 12,00% dan 13,21%. Dengan perkembangan ini maka spread antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan melebar tercermin pada suku bunga kredit dan suku bunga deposito 1 bulan yang melebar menjadi 457 bps dari 447 bps (Grafik 1.36). 3 4 5 6 7 8 9  3  4  5  6  7  8  9 Jan ‐ 10 Ap r ‐ 10 Ju l ‐ 10 Oc t ‐ 10 Jan ‐ 11 Ap r ‐ 11 Ju l ‐ 11 Oc t ‐ 11 Jan ‐ 12 Ap r ‐ 12 Ju l ‐ 12 Oc t ‐ 12 Jan ‐ 13 Ap r ‐ 13 Ju l ‐ 13 Oc t ‐ 13 Jan ‐ 14 Ap r ‐ 14

rPUAB O/N rLending rate rDF O/N rBI Rate

% %  ‐  20  40  60  80  100  120 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0

Jan‐12 Apr‐12 Jul‐12 Oct‐12 Jan‐13 Apr‐13 Jul‐13 Oct‐13 Jan‐14 Apr‐14

Vol DF O/N (RHS) Vol PUAB O/N (RHS) rBI Rate rPUAB O/N rDF O/N

Rp T %

Avg Vol DF: Rp 85.0T

RRT Vol PUAB : Rp 11.7T

rPUAB : 5.87%

(22)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

21 Grafik 1.35

Suku Bunga KMK, KI dan KK

Grafik 1.36

Spread Suku Bunga Perbankan

Peningkatan suku bunga perbankan dan berlanjutnya moderasi permintaan domestik kemudian berpengaruh pada menurunnya likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2). Pada triwulan I 2014, pertumbuhan M2 melambat menjadi 10,0% (yoy) dari 12,7% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan komponennya, melambatnya pertumbuhan M2 bersumber baik dari komponen Uang Kuasi dan komponen M1 seiring penurunan giro rupiah (Grafik 1.37 dan Grafik 1.38).

Grafik 1.37

Pertumbuhan M2 dan Komponennya

Grafik 1.38

Pertumbuhan M1 dan Komponennya

Berdasarkan faktor yg mempengaruhi, perlambatan pertumbuhan M2 terutama terjadi pada Aktiva Dalam Negeri Bersih/Net Domestic Asset khususnya berupa penurunan pertumbuhan kredit dan operasi keuangan Pemerintah yang kontraktif. Pada akhir triwulan I 2014, penyaluran kredit3

tercatat tumbuh sebesar 19,1% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan IV 2013 yang sebesar 21,4% (yoy). Selain itu, melambatnya pertumbuhan M2 juga dipengaruhi oleh operasi keuangan pemerintah yang mengalami kontraksi sejalan dengan masih rendahnya realisasi belanja pemerintah pada triwulan I 2014 (Grafik 1.39).

3 Perhitungan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 19,1% (yoy) pada triwulan I 2014

menggunakan konsep moneter yaitu pinjaman rupiah dan valas yang diberikan oleh Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (tidak termasuk Pemerintah Pusat). Sementara itu, pertumbuhan kredit menggunakan konsep perbankan pada triwulan I 2014 tercatat sebesar 19,4% (yoy). Kredit menurut konsep perbankan adalah pinjaman rupiah dan valas yang diberikan Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (termasuk Pemerintah Pusat) dan bukan penduduk. 11 12 13 14 15 16 17 Ja n ‐ 08 Ma r ‐ 08 Me i ‐ 08 Jul ‐ 08 Sep ‐ 08 No p ‐ 08 Ja n ‐ 09 Ma r ‐ 09 Me i ‐ 09 Jul ‐ 09 Sep ‐ 09 No p ‐ 09 Ja n ‐ 10 Ma r ‐ 10 Me i ‐ 10 Jul ‐ 10 Sep ‐ 10 No p ‐ 10 Ja n ‐ 11 Ma r ‐ 11 Me i ‐ 11 Jul ‐ 11 Sep ‐ 11 No p ‐ 11 Ja n ‐ 12 Ma r ‐ 12 Me i ‐ 12 Jul ‐ 12 Sep ‐ 12 No p ‐ 12 Ja n ‐ 13 Ma r ‐ 13 Me i ‐ 13 Jul ‐ 13 Sep ‐ 13 No p ‐ 13 Ja n ‐ 14 Ma r ‐ 14

Sb. Kredit Sb. Kredit Modal Kerja Sb. Kredit Investasi Sb. Kredit Konsumsi

%

Data Per Mar 2014

13.21 12.56 12.37 12.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 5 7 9 11 13 15 Jan ‐ 05 Ju l ‐ 05 Jan ‐ 06 Ju l ‐ 06 Jan ‐ 07 Ju l ‐ 07 Jan ‐ 08 Ju l ‐ 08 Jan ‐ 09 Ju l ‐ 09 Jan ‐ 10 Ju l ‐ 10 Jan ‐ 11 Ju l ‐ 11 Jan ‐ 12 Ju l ‐ 12 Jan ‐ 13 Ju l ‐ 13 Jan ‐ 14

Spread‐rhs Sb Kredit Sb Dep 1 bln BI rate Sb LPS

%

Selisih rKredit ‐rDepo1: 

457 bps

%

(23)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

22 Grafik 1.39.

Pertumbuhan M2 dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Industri Perbankan

Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga ditopang oleh industri perbankan yang solid sehingga mendukung proses moderasi pertumbuhan ekonomi. Risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar di industri perbankan masih tetap terkendali. Selain itu, ketahanan industri perbankan juga terpelihara, ditopang oleh modal yang masih kuat.

Pertumbuhan kredit masih dalam tren melambat sejalan dengan moderasi permintaan domestik. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pada akhir triwulan I 2014 kredit tumbuh 19,1% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan IV 2013 yang sebesar 21,4% (yoy) (Grafik 1.40). Perlambatan kredit utamanya disumbang oleh perlambatan Kredit Modal Kerja (KMK), yang memiliki pangsa hingga 48% dari total kredit, menjadi 16,3% (yoy) dibandingkan akhir triwulan sebelumnya 20,2% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) tercatat menurun masing-masing menjadi 33,5% (yoy) dan 13,0% (yoy) dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 34,3% (yoy) dan 13,8% (yoy). Secara sektoral, perlambatan kredit dikontribusi oleh perlambatan di sektor-sektor utama seperti perdagangan dan industri pengolahan. Pertumbuhan kredit pada sektor-sektor tersebut melambat menjadi masing-masing 23,5% (yoy) dan 25,5% (yoy) dari 28,6% (yoy) dan 29,3% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.41).

Grafik 1.40. Pertumbuhan Kredit Menurut Penggunaan

Grafik 1.41. Pertumbuhan Kredit Menurut Sektor Ekonomi

5 6 7 8 9 10 11 12 ‐10 ‐3 4 11 18 25 32 39 Jan ‐ 08 Mar ‐ 08 Me i ‐ 08 Ju l ‐ 08 Sep ‐ 08 No p ‐ 08 Jan ‐ 09 Mar ‐ 09 Me i ‐ 09 Ju l ‐ 09 Sep ‐ 09 No p ‐ 09 Jan ‐ 10 Mar ‐ 10 Me i ‐ 10 Ju l ‐ 10 Sep ‐ 10 No p ‐ 10 Jan ‐ 11 Mar ‐ 11 Me i ‐ 11 Ju l ‐ 11 Sep ‐ 11 No p ‐ 11 Jan ‐ 12 Mar ‐ 12 Me i ‐ 12 Ju l ‐ 12 Sep ‐ 12 No p ‐ 12 Jan ‐ 13 Mar ‐ 13 Me i ‐ 13 Ju l ‐ 13 Sep ‐ 13 No p ‐ 13 Jan ‐ 14 Mar ‐ 14

Total KMK KI KK BI Rate (RHS)

% yoy % 

(24)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

23 Pada akhir triwulan I 2014, pertumbuhan DPK juga melambat sejalan dengan kenaikan suku bunga dan perlambatan ekonomi. DPK4

tumbuh 10,3% (yoy), lebih rendah daripada pertumbuhan akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 13,0% (yoy). Perlambatan DPK ini terjadi pada seluruh jenis simpanan. Deposito tumbuh melambat menjadi 12,3% (yoy) dari 13,9% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Sementara itu, tabungan dan giro masing-masing tumbuh 10,2% (yoy) dan 6,2% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan Desember 2013 yang sebesar 12,4% (yoy) dan 12,2% (yoy) (Grafik 1.42).

Grafik 1.42. Pertumbuhan DPK

Di tengah tren moderasi permintaan domestik, ketahanan perbankan terkait unsur permodalan perbankan masih meningkat dan dibarengi risiko kredit yang terjaga.

Pada Maret 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi sebesar 19,83%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Angka ini juga meningkat dibandingkan dengan CAR akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 18,36%. Kondisi ini mencerminkan daya tahan perbankan yang masih kuat untuk mengatasi tekanan dan gejolak termasuk berlanjutnya tren kenaikan suku bunga. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di level 2,00% (Tabel 1.6).

Tabel 1.6 Kondisi Umum Perbankan

4 Perhitungan pertumbuhan DPK sebesar 10,3% (yoy) pada triwulan I 2014 menggunakan konsep

moneter yaitu simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas, pada Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep moneter tidak termasuk simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk. Sementara itu, DPK menurut konsep perbankan pada triwulan I 2014 mencatat pertumbuhan sebesar 11,56% (yoy). DPK menurut konsep perbankan adalah simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas, pada Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep perbankan meliputi pula simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk.

Indikator

Utama Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar

Total Aset (T Rp) 4,313.8 4,367.8 4,418.7 4,461.8 4,510.3 4,581.1 4,737.3 4,717.0 4,817.8 4,954.5 4,880.5 4,888.8 4,933.0 DPK (T Rp) 3,243.1 3,299.4 3,349.7 3,374.4 3,392.9 3,440.2 3,526.2 3,520.9 3,563.4 3,664.0 3,594.7 3,603.6 3,618.1 Kredit * (T Rp) 2,768.4 2,824.2 2,887.5 2,959.1 3,021.1 3,067.4 3,147.2 3,159.5 3,214.4 3,292.9 3,258.4 3,267.8 3,306.9 LDR* (%) 85.36 85.60 86.20 87.69 89.04 89.20 89.25 89.74 90.21 89.70 90.65 90.68 91.40 NPLs Bruto* (%) 1.97 1.96 1.95 1.88 1.87 2.00 1.86 1.91 1.88 1.77 1.90 1.99 2.00 CAR (%) 18.92 18.61 18.39 17.98 17.95 17.90 18.00 18.36 18.60 18.36 19.63 19.78 19.83 NIM (%) 5.41 5.42 5.41 5.43 5.46 5.50 5.48 5.50 5.51 4.89 4.11 4.12 4.28 ROA (%) 2.99 2.92 2.96 2.98 3.00 3.00 3.01 3.03 3.04 3.08 2.85 2.74 2.94 * without channeling

(25)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

24 Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara

Perbaikan fundamental ekonomi meningkatkan optimisme investor yang kemudian mendorong perbaikan kinerja pasar saham. IHSG pada triwulan I 2014 mencapai level 4.768,28 (28 Maret 2014) atau naik 11,6% (qtq) dibandingkan level triwulan IV-2013 yang sebesar 4,274,18. Kinerja IHSG tercatat di atas kinerja bursa saham Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Indeks sempat mencapai level tertinggi sepanjang 2014 sebesar 4.878,64 (14 Maret) meski kemudian terkoreksi ke level 4.698,97 (20 Maret). Perkembangan April 2014 menunjukkan penguatan di bursa saham masih berlanjut. Pada April 2014, IHSG mengalami peningkatan sebesar 1,5% menjadi sebesar 4.840,15 dibandingkan bulan Maret 2014 yang sebesar 4.768,28. Penguatan IHSG tersebut lebih tinggi daripada yang terjadi di bursa saham Vietnam dan Malaysia (Grafik 1.43). Sektor pertambangan mengalami penguatan terbesar dengan naik 7,0% diikuti sektor pertanian yang menguat 6,2%. Sektor lainnya menguat di kisaran 1,5-2,9% kecuali sektor industri dasar, aneka industri dan properti yang mengalami pelemahan (Grafik 1.44).

Grafik 1.43. IHSG dan Indeks Bursa Global April 2014

Grafik 1.44. Indeks Sektoral April 2014

Perbaikan kinerja pasar saham tidak terlepas dari pengaruh perilaku investor asing. Selama triwulan I-2014, investor asing membukukan net beli lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya seiring dengan positifnya kondisi global dan optimisme investor terhadap perekonomian domestik. Pada triwulan I 2014, investor asing mengalami net beli sebesar Rp24,62 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-2014 yang mengalami net beli sebesar Rp11,11triliun. Sampai dengan triwulan I-2014 posisi kepemilikan saham oleh non residen sebesar 64% dan lokal sebesar 36%. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa selama April 2014, investor asing masih melanjutkan tren positif bulan-bulan sebelumnya dengan membukukan net beli sebesar Rp8,67 triliun (Grafik 1.45).

(26)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

25 Penguatan di pasar saham juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Selama triwulan I-2014, yield SBN menurun 40,22 bps menjadi 7,89% dibandingkan triwulan IV-2013 yang sebesar 8,29%. Yield jangka pendek, menengah dan panjang menurun masing-masing sebesar 31,55 bps, 40,08 bps dan 52,07 bps menjadi sebesar 7,31%, 7,93% dan 8,56%. Pada April 2014, yield SBN kembali menurun 2,35 bps dibandingkan yield bulan sebelumnya sehingga menjadi 7,86% (Grafik 1.46). Yield jangka pendek dan menengah turun masing-masing sebesar 2,35 bps dan 4,82 bps menjadi 7,28% dan 7,89%. Sementara itu, yield jangka panjang meningkat sebesar 2,57 bps menjadi 8,59%.

Sejalan dengan situasi di pasar saham, penguatan pasar SBN juga didukung oleh berlanjutnya tren pembelian oleh investor asing. Selama triwulan I-2014, investor asing membukukan net beli sebesar Rp37,08 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-2013 yang membukukan net beli sebesar Rp29,69 triliun. Selama triwulan I-2014, kepemilikan SBN oleh perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank mengalami peningkatan, sementara kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia menurun. Investor asing cenderung melakukan pembelian SBN di tenor pendek dan menengah. Dengan perkembangan tersebut, porsi kepemilikan asing di SBN meningkat menjadi 32,56% dibandingkan akhir triwulan IV-2013 yang sebesar 31,54%.

Perkembangan April 2014 menunjukkan tren pembelian oleh investor asing masih berlanjut. Selama April 2014, investor asing masih membukukan net beli sebesar Rp16,10 triliun, meningkat dibandingkan kondisi bulan sebelumnya yang mencatat net beli sebesar Rp15,77 triliun (Grafik 1.47). Pada periode yang sama, kepemilikan SBN oleh perusahaan asuransi dan Bank Indonesia mengalami peningkatan, sementara kepemilikan oleh dana pensiun dan bank menurun. Dengan perkembangan tersebut, kepemilikan investor asing di SBN pada April 2014 tercatat sebesar 33,50%, meningkat dibandingkan kondisi bulan Maret 2014 yang sebesar 32,56%. Pembelian oleh investor asing umumnya terjadi pada tenor pendek dan panjang.

Grafik 1.46. Perubahan Yield

Bulanan (mtm)

Grafik 1.47.Yield SBN dan Net Jual/Beli Asing Bulanan

Pembiayaan Non Bank

(27)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

26

dimana sampai dengan Maret 2014 tercatat enam perusahaan telah melakukan initial public offering (IPO) dari total 13 perusahaan yang direncanakan IPO pada tahun ini.

Perkembangan pada April 2104 menunjukkan bahwa total pembiayaan melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes, promissory notes dan instrumen keuangan lainnya mencapai Rp2,8 triliun atau tumbuh negatif -0.69% (yoy), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 0.18% (yoy). Berdasarkan komponennya, pembiayaan nonbank pada April 2014 didominasi oleh obligasi yakni sebanyak Rp1,9 triliun.

Tabel 1.7. Pembiayaan Non Bank

Sumber: OJK, BEI, diolah

Perkembangan Sistem Pembayaran

Perkembangan sistem pembayaran di kelompok uang tunai secara umum sejalan dengan perkembangan ekonomi domestik. Rata-rata harian Uang Kartal yang Diedarkan (UYD) pada triwulan I-2014 adalah sebesar Rp450,0 triliun atau tumbuh 13,2% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 13,4% (yoy). Penurunan ini tidak terlepas dari pengaruh menurunnya permintaan uang sejalan moderasi pertumbuhan ekonomi (Grafik 1.48).

Grafik 1.48 Perkembangan UYD (yoy)

Di tengah tren perlambatan UYD tersebut, Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan kelayakan uang yang beredar. Dalam kaitan dengan upaya ini, selama triwulan I 2014, sejumlah 1,3 miliar lembar/keping Uang Tidak Layak Edar (UTLE) senilai Rp28,6 triliun telah dimusnahkan dan diganti dengan uang rupiah yang layak edar. Jumlah pemusnahan UTLE tersebut lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2013 yang tercatat sebesar 1,7 miliar lembar/keping atau senilai Rp41,3 triliun. Hal ini terjadi karena

Rp Triliun

TW I TW II TW III TW IV Total TW I TW II TW III TW IV Total Jan Feb Mar Apr TW I Total

Non Bank 13.6 47.3 10.8 37.2 108.9 16.3 58.3 3.6 34.7 112.9 3.4 4.9 5.9 2.8 14.1 16.9

Saham 2.4 5.6 1.8 11.2 21.0 2.8 29.3 2.8 22.7 57.5 2.7 0.0 1.2 0.4 4.0 4.3

w/o Emiten Sektor Keuangan 0.0 2.3 0.7 0.0 3.1 0.3 6.0 1.2 9.1 16.6 0.4 0.0 0.0 0.0 0.4 0.4

Obligasi 9.6 41.0 7.1 20.1 77.7 12.7 27.7 0.3 9.9 50.5 0.0 4.8 3.7 1.9 8.5 10.5

w/o Emiten Sektor Keuangan 8.3 26.2 4.8 14.4 53.7 9.9 13.5 0.0 7.5 30.8 0.0 3.2 3.2 0.4 6.4 6.8

MTN dan Promissory Notes + NCD 1.6 0.8 1.9 5.9 10.1 0.8 1.3 0.6 2.2 4.9 0.6 0.1 0.9 0.5 1.6 2.1

w/o Emiten Sektor Keuangan 1.3 0.1 0.6 0.1 2.1 0.7 1.3 0.1 1.1 3.2 0.6 0.0 0.6 0.3 1.2 1.5

2013 2014

2012

16.3%17.4% 18.2%

16.8% 14.2%

16.6%16.1%16.4%15.6%

12.7% 11.1%

13.4%13.2%

0% 2% 4% 6% 8% 10% 12% 14% 16% 18% 20%

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I

2011 2012 2013 2014

Rp triliun

(28)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

27

pada periode perayaan Natal dan liburan akhir tahun lalu, Bank Indonesia banyak mengedarkan uang tunai berkualitas baik yang kemudian kembali ke Bank Indonesia pada periode laporan, sejalan dengan arus balik dana perbankan, dalam kondisi masih layak edar.

Sejalan dengan perkembangan sistem pembayaran kelompok tunai, transaksi sistem pembayaran non tunai juga melambat sejalan moderasi perekonomian domestik. Selama triwulan I-2014, volume transaksi sistem pembayaran non tunai tercatat Rp1.065 juta atau tumbuh 17,24% (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 25,69% (yoy) (Tabel 1.8). Namun demikian, nilai transaksi sistem pembayaran non tunai secara total cenderung stabil dengan tumbuh sebesar 29,99% (yoy) (Tabel 1.9). Perlambatan utamanya terjadi pada kelompok Alat Pembayaran Menggunakan Kartu seperti kartu kredit dan kartu ATM yang tercatat tumbuh melambat baik secara volume maupun nilai.

Tabel 1.8 Perkembangan Volume Sistem Pembayaran Non Tunai

Kendati volume transaksi mengalami perlambatan, sistem pembayaran non tunai tetap dapat berjalan lancar menopang kegiatan ekonomi. Ketersediaan sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sebagai setelmen dana, BI-SSSS sebagai setelmen surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia, serta SKNBI mencapai 100% pada triwulan I-2014. Transaksi yang aman dan lancar juga terjadi pada Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) seperti kartu ATM, kartu ATM/debet, kartu kredit dan uang elektronik yang tidak mengalami gangguan signifikan selama triwulan I-2014.

Tabel 1.9 Perkembangan Nilai Sistem Pembayaran Non Tunai

Volume (Ribu)

2012 2014

Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I

BI‐RTGS       4,719.10       4,250.03         4,499.0       4,263.5       4,621.0        4,171.3 BI‐SSSS       39.14       34.16       34.2       28.5       35.1        36.2

Kliring     28,193.28     24,341.27       25,946.4       26,270.7       27,751.1        25,179.2

Debet     10,585.89     10,615.23       10,902.1       10,596.9       10,504.3        10,012.1

Kredit     17,607.39     13,726.04       15,044.2       15,673.8       17,246.7        15,167.1

APMK  816,490.61  849,409.97     917,524.3         945,361.6     1,037,011.3       998,153.6

Kartu Kredit     56,786.93     56,667.47       59,557.7       61,329.4       61,543.9        59,160.3

Kartu ATM dan ATM/Debet  759,703.68  792,742.50     857,966.6         884,032.2         975,467.4       938,993.3

Uang Elektronik     30,875.31     30,728.04       34,259.6       35,850.1       37,063.1        37,924.3

Total  880,317.45  908,763.47     982,263.4     1,011,774.4     1,106,481.6          1,065,464.6

Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai 2013

Nilai (triliun Rp)

2012 2014

Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I

BI‐RTGS     19,972.81     18,778.31       21,410.4       26,369.5       24,403.8        23,817.8 BI‐SSSS       5,456.24       4,939.05         5,299.7       8,259.9       8,233.4        7,173.6 Kliring       573.89       547.87       605.7       680.8       708.0        667.8

Debet       397.99       394.76       414.8       421.2       425.6        399.1

Kredit       175.90       153.11       190.8       259.6       282.4        268.7

APMK       871.72       917.78       989.6       1,039.4       1,073.9        1,077.3

Kartu Kredit       52.47       51.44       55.2       57.1       59.6        56.9

Kartu ATM dan ATM/Debet       819.24       866.34       934.4       982.4       1,014.3        1,020.5

Uang Elektronik       0.65       0.59        0.7        0.9        0.7        0.7 Total     26,875.31     25,183.59       28,306.1       36,350.5       34,419.8        32,737.2

(29)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

28

PROSPEK PEREKONOMIAN

Bank Indonesia memperkirakan ke depan stabilitas ekonomi tetap terjaga dan ditopang penyesuaian perekonomian yang masih terkendali. Pertumbuhan ekonomi

2014 diperkirakan mencapai 5,1-5,5%, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi

sebelumnya 5,5-5,9%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh kinerja ekspor yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya akibat dampak kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah serta pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan harga komoditas global yang lebih lemah dari proyeksi semula. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,4-5,8%, meskipun lebih rendah dari proyeksi semula 5,8-6,2%. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi tersebut, inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5+1%. Pada tahun 2015, kebijakan moneter yang terukur dan didukung koordinasi dengan kebijakan Pemerintah diperkirakan dapat kembali mendorong inflasi menurun di kisaran 4,0+1%.

Proses penyesuaian ekonomi yang terkendali diharapkan dapat turut mendorong prospek defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan kredit 2014 ke level yang sehat bagi perekonomian secara keseluruhan. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit diperkirakan tetap berada pada kisaran 15-17% pada tahun 2014 sehingga konsisten dengan upaya mengarahkan ekonomi menjadi lebih sehat dan seimbang. Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap dapat ditekan di bawah 3,0% dari PDB, meskipun pada triwulan II dan III 2014 diperkirakan meningkat sesuai pola musiman. Peningkatan defisit pada triwulan II dan III 2014 tersebut antara lain dipengaruhi peningkatan impor menjelang puasa dan hari raya serta repatriasi pendapatan dan pembayaran bunga, meskipun secara keseluruhan tahun 2014.

Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko yang dapat meningkatkan tekanan pada stabilitas ekonomi dan mengganggu upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke level yang sehat. Dari global, risiko berkaitan dengan potensi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi untuk meningkatkan kembali defisit transaksi berjalan. Risiko ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed juga mendapat perhatian karena dapat mengganggu prospek penanaman modal asing. Dari domestik, risiko yang perlu mendapat perhatian ialah potensi tekanan harga terkait tekanan penyesuaian administered prices dan peningkatan harga pangan akibat efek tunda banjir dan dampak El Nino yang dapat menyebabkan musim kemarau di beberapa daerah.

Prospek Perekonomian Global

Sesuai proyeksi sebelumnya, pemulihan ekonomi global diperkirakan masih berlanjut, namun dengan perkembangan yang tidak merata. Pertumbuhan ekonomi global 2014-2015 diperkirakan masih sama dengan proyeksi sebelumnya sebesar 3,6% pada 2014 dan 3,9% pada 2015. Pertumbuhan tersebut didukung perkembangan ekonomi negara-negara maju yang membaik sejalan dengan masih berlanjutnya stimulus moneter, sementara tekanan fiskal relatif mereda. Namun, pemulihan ekonomi tersebut

(30)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

29

tidak terjadi secara merata. Perkembangan ekonomi negara berkembang berisiko lebih rendah disebabkan, antara lain akibat rebalancing ekonomi Tiongkok, pelemahan harga komoditas, pengetatan kebijakan moneter. Perkembangan ekonomi Tiongkok ini perlu mendapat perhatian karena dapat mempengaruhi perekonomian negara perkembangan secara keseluruhan. Meskipun tidak merata, prospek perekonomian global yang membaik pada gilirannya diprakirakan akan menaikkan volume perdagangan dunia. Volume perdagangan dunia di tahun 2014 diperkirakan sebesar 3,8%.

[image:30.595.158.548.314.527.2]

Peta pemulihan perekonomian global diperkirakan banyak diwarnai oleh kondisi AS dan Eropa yang terus membaik. Indikator AS terus menunjukkan perbaikan didukung oleh kinerja sektor manufaktur sehingga pertumbuhan AS dinilai masih sesuai dengan perkiraan. Sama dengan proyeksi sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS 2014 diperkirakan sebesar 2,8% pada 2014 dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 3,0%. Sementara itu pertumbuhan Eropa diperkirakan lebih baik yakni 1,0% lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 0,9%, antara lain, akibat indikator manufaktur Perancis yang mulai membaik. Namun, pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan 1,5%, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 1,7% (Tabel 2.1).

Berbeda dengan prospek negara maju, pertumbuhan ekonomi Tiongkok di 2014 dan 2015 diperkirakan

tumbuh sedikit lebih

rendah dari perkiraan

sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi

tahun 2014

diperkirakan 7,4%, lebih rendah dibandingkan proyeksi Bank Indonesia sebelumnya yakni 7,5% (Tabel 2.1)5

. Penurunan permintaan di Tiongkok dipengaruhi realisasi PDB Tiongkok pada triwulan I-2014 yang menurun sejalan dengan indikator indeks produksi dan investasi aset tetap yang berada pada tren menurun, meskipun proses perlambatan tersebut tidak terjadi secara hard landing. Negara berkembang lainnya juga sedikit menurun baik karena faktor gejolak politik/ekonomi (Rusia, Argentina, dan Thailand), maupun harga komoditas yang masih negatif.

Sejalan dengan prospek ekonomi Tiongkok, prospek harga komoditas diperkirakan juga tidak sebaik perkiraan sebelumnya, meskipun tetap lebih baik dari kondisi tahun 2013. Prospek yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya ini antara lain terkait adanya peningkatan pasokan karet dari Thailand dan Malaysia. Selain itu, harga batubara juga masih melemah akibat meningkatnya pasokan terutama oleh AS terkait upaya konversi energi dari batubara ke shale gas menyebabkan ekspor batubara dari AS bertambah sehingga meningkatkan pasokan batubara internasional. Di sisi lain, permintaan batubara menurun terkait ekonomi Tiongkok yang melambat. Sementara itu, harga minyak diprakirakan masih dalam tren menurun enambahan supply terutama dari negara-negara non-OPEC antara lain terkait adanya infrastruktur baru dan eksplorasi teknologi baru (shale gas). Namun, potensi kenaikan dalam jangka pendek dapat saja terjadi khususnya harga

5 Angka proyeksi ekonomi global Bank Indonesia sebelumnya lihat Laporan Perekonomian Indonesia

2014 yang terbit pada 2 April 2014.

2014 2015

PDB Dunia 3,0 3,6 3,9

Negara Maju 1,3 2,2 2,3

Amerika Serikat 1,9 2,8 3,0

Kawasan Eropa -0,4 1,0 1,4

Jepang 1,5 1,5 1,0

Negara Emerging Market dan berkembang 4,7 5,0 5,4

Tiongkok 7.7 7,4 7,3

India 4,6 5,4 6.4

Negara Emerging Market Lainnya 3.1 3.6 4.1

2013 Proyeksi

(31)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

30

minyak akibat ketegangan politik di Ukraina, yang dapay mendorong harga minyak lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Pengaruh perekonomian global yang tidak sekuat perkiraan, khususnya terkait kondisi ekonomi

Gambar

Tabel 1.3 Perkembangan Operasi Keuangan Pemerintah
Grafik 1.8Grafik 1.9
Grafik 1.12Grafik 1.13
Grafik 1.14
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dongkelsari Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten bupaten Sleman Provinsi DIY adalah stres sedang yaitu 30 responden (69,8 %) dan kejadian. hipertensi 20 responden

Jadi budaya organisasi akan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan melalui kepuasan kerja sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Mustika dan

Berdasarkan pengamatan Saudara, apakah ada dokumen penawaran yang sudah dibuka oleh Pokja Pengadaan, tetapinilai penawarannya tidak dibacakan?.

Hasil yang diperoleh tersebut menunjukan bahwa nilai signifikan sebesar 0,000 < alpha 0,05 maka keputusannya adalah Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat

Berdasarkan hasil refleksi terhadap proses pembelajaran pada siklus I maka pada siklus II disusun skenario Model pembelajaran kooperatif tipe tutor sebaya dengan

Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara

Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan oleh Abiddin (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara proses belajar, mentoring, dan

Fourth, the AF should establish a rated force developmental plan that cross-flows rated officers into RPA (similar to Air Mobility Command’s Phoenix Reach program), and continue