Tanaman Kacang Hijau secara Umum
Tanaman kacang hijau termasuk famili Leguminosae yang banyak
varietasnya. Secara morfologi tanaman kacang hijau tumbuh tegak. Batang kacang
hijau berbentuk bulat dan berbuku-buku. Batangnya kecil, berbulu, berwarna hijau
kecoklatan dan kemerahan. Tanaman ini bercabang banyak. Daunnya tumbuh
majemuk dan terdiri dari tiga helai anak daun setiap tangkai. Helai daun berbentuk
oval dengan bagian ujung lancip dan berwarna hijau muda hingga hijau tua. Letak
daun berseling. Tangkai daun lebih panjang daripada daunnya sendiri (Purwono
dan Purnamawati, 2007).
Kacang hijau adalah tanaman tropis dataran rendah yang dapat
dibudidayakan pada ketinggian 5 – 700 m dpl. Produksi kacang hijau menurun di
daerah dengan ketinggian di atas 759 m dpl. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada
suhu udara optimal antara 25 – 27°C. Tanaman kacang hijau cocok ditanam di
daerah yang memiliki kelembaban udara antara 50 – 80%. Selain itu, tanaman ini
memerlukan cahaya matahari lebih dari 10 jam/hari. Daerah yang memiliki curah
hujan 50 – 200 mm/bulan merupakan daerah yang baik untuk budidaya tanaman
ini. Curah hujan tinggi menyebabkan tanaman mudah rebah dan terserang
penyakit (Purwono dan Purnamawati, 2007). Biji kering kacang hijau
mengandung 55-60% karbohidrat dan 23% protein (Rubatzky dan Yamaguchi,
1998).
Pulau Jawa merupakan penghasil utama kacang hijau di Indonesia, karena
memberikan kontribusi 61% terhadap produksi kacang hijau nasional. Sebaran
daerah produksi kacang hijau nasional adalah NAD, Sumatera Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT. Total
kontribusi daerah tersebut adalah 90% terhadap produksi kacang hijau nasional
dan 70% berasal dari lahan sawah. Tantangan pengembangan kacang hijau di
lahan kering adalah peningkatan produktivitas dan mempertahankan kualitas
Toleransi Cekaman Kekeringan
Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat melalui beberapa
mekanisme, yaitu melepaskan diri dari cekaman kekeringan (drought escape)
yaitu tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami stres berat,
dengan berbunga lebih awal atau daun menggulung, bertahan terhadap kekeringan
dengan tetap mempertahankan potensi air yang tinggi dalam jaringan atau yang
biasa dikenal sebagai mekanisme menghindar dari kekeringan (drought avoidance) dan bertahan terhadap kekeringan dengan potensi air jaringan yang
rendah (Turner dalam Aryati, 2011).
Pengujian benih terhadap cekaman kekeringan dilakukan dengan cara
simulasi kondisi kekeringan menggunakan Polyethylen Glycol (PEG). Simulasi
cekaman kekeringan banyak dilakukan dengan menggunakan larutan osmotikum
yang dapat mengontrol potensial air dalam media tanaman. Asay dan Johnson
(1983) menyatakan bahwa simulasi cekaman kekeringan dengan menggunakan
larutan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap
cekaman kekeringan serta tidak bersifat racun bagi tanaman. Polyethylen Glycol
menyebabkan penurunan potensial air secara homogen sehingga dapat digunakan
untuk meniru besarnya potensial air tanah (Michel dan Kaufman, 1973).
Keunggulan sifat PEG tersebut memungkinkan PEG dapat digunakan sebagai
alternatif dalam seleksi genotip jagung fase vegetatif dengan media pasir (Chazen
dan Newman, 1994) dan jagung kondisi kekeringan pada fase perkecambahan
(Ogawa dan Yamauchi, 2006).
Penggunaan larutan PEG 6000 sebagai simulasi cekaman kekeringan
dengan berbagai level tekanan osmotik memberikan respon yang berbeda antar
varietas ditinjau dari variabel daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor
dan panjang akar. Penelitian Aryati (2011) menyatakan bahwa PEG 6000
bertekanan osmotik -2 bar merupakan level yang tepat untuk mengidentifikasi
toleransi benih padi terhadap cekaman kekeringan. Tiap komoditas memiliki level
tekanan osmotik yang berbeda terhadap cekaman kekeringan. Seleksi in vitro
untuk mendapatkan sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan telah dilakukan
pada kacang hijau (Gulati dan Jaiwal dalam Yunita, 2009) serta telah digunakan
osmotik -0.5 bar, -2 bar, -5 bar dan -10 bar yang ditanam dalam media pasir
(Zayed dan Zeid, 1997), identifikasi somaklonal beberapa varietas padi tahan
kekeringan (Lestari dan Mariska, 2006) serta seleksi genotipe kacang hijau
terhadap cekaman kekeringan pada tekanan osmotik -3 bar (Dutta dan Bera,
2008).
Vigor Benih dan Pengujian Vigor Benih
Menurut Sadjad et al.(1999) vigor benih dapat didefinisikan sebagai
kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi yang tidak optimum atau
suboptimum. Benih yang vigor akan menghasilkan tanaman di atas normal jika
ditumbuhkan pada kondisi optimum. Karena kondisi alam/lapangan tidak selalu
optimum, maka benih yang vigor sangat diharapkan. Benih vigor yang mampu
menumbuhkan tanaman normal pada kondisi suboptimum dikatakan memiliki
Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT).
Menurut Copeland dan McDonald (2001) terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi vigor benih. Faktor yang pertama yaitu faktor genetik benih
meliputi tingkat kekerasan benih, vigor tanaman induk, daya tahan terhadap
kerusakan mekanik dan komposisi kimia benih. Faktor yang kedua yaitu faktor
lingkungan selama perkembangan benih yang meliputi kelembaban dan kesuburan
tanah serta pemanenan benih dan faktor yang ketiga yaitu faktor lingkungan
penyimpanan yang mencakup waktu penyimpanan, lingkungan penyimpanan
(suhu, kelembaban dan persediaan oksigen) dan jenis benih yang disimpan.
Menurut Sadjad et al. (1999) kekuatan tumbuh benih di lapangan selain
ditentukan oleh faktor benihnya juga ditentukan oleh faktor dari luar benih,
misalnya oleh penyakit, kesuburan lahan, kondisi kurang suplai air ataupun
kelebihan air.
Pengujian vigor benih sangat diperlukan untuk mengetahui kualitas benih
yang akan digunakan. Uji vigor benih merupakan metode pengujian untuk
mengevaluasi vigor benih. Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa
metode uji benih yang dapat diterapkan harus memenuhi beberapa syarat
Dayaber k ec amb ah Da yabe rk ecam ba h
objektif, dapat dikembangkan dan berkorelasi dengan pertumbuhan benih di
lapang.
Controlled deterioration test (CDT) atau uji pengusangan cepat terkontrol
merupakan metode pengujian vigor benih untuk mengetahui kualitas benih yang
akan digunakan. Metode CDT menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan
kadar air benih diketahui dengan jelas dan terkontrol selama penderaan. Kadar air
awal benih dikendalikan dan disesuaikan ke tingkat yang sama sebelum terkena
suhu tinggi dalam water bath (Rodo dan Filho, 2003). Metode CDT membutuhkan
waktu, kadar air dan suhu pengusangan yang berbeda-beda antar komoditas. Uji CDT menggambarkan proses kemunduran suatu lot benih. Kadar air, suhu dan
lama penderaan yang sering digunakan dalam metode CDT adalah 20% dengan
suhu 45°C dan periode penderaan 24 jam. Tiap komoditi memiliki perlakuan
kadar air, suhu dan lama penderaan yang berbeda dalam metode CDT (Powell dan
Mattews dalam Aryati, 2011). Lama penderaan
Sumber: Powell and Matthews dalam Aryati, 2011.
Lama penderaan Lama penderaan
Gambar 1. Teori dasar proses kemunduran benih pada CDT.
Gambar 1 merupakan modifikasi proses kemunduran benih pada metode CDT yang telah dikembangkan oleh Powell dan Matthews. Titik A, B dan C pada
Gambar 1 (a) merupakan kondisi vigor awal lot benih. Ketiga titik berada pada
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lot B dan C. Ketiga lot benih mengalami
penurunan vigor yang signifikan ketika diberi stres CDT dengan kondisi yang
tepat seperti terlihat pada Gambar 1 (b). Nilai vigor ketiga lot benih berubah dan
berada pada selang yang sangat lebar seperti yang terlihat antara lot A dengan lot
C ketika benih didera selama periode tertentu yang tepat sesuai dengan spesies
yang digunakan. Lama penderaan merupakan faktor utama yang menyebabkan
perbedaan tingkat vigor benih (Powell dan Matthews dalam Aryati, 2011).
Hasil penelitian metode CDT lainnya telah banyak dilaporkan. Kacang hijau
merupakan tanaman legum. Metode CDT juga telah dilakukan pada legum lainnya
seperti pada Phaseolus vulgaris dengan kondisi CDT suhu 40°C, kadar air 20%
dan lama penderaan 48 jam untuk mengevaluasi vigor beberapa benih Phaseolus vulgaris (Santos et al., 2003), pada kedelai dengan kondisi CDT suhu 41°C dan
lama penderaan 72 jam untuk menguji ketahanan benih kedelai terhadap deraan
cuaca di lapang (Changrong et al., 2007). Metode CDT dengan kondisi yang
berbeda juga dilakukan pada kedelai yaitu dengan kondisi suhu 45°C, kadar air
15% dan lama penderaan 24 jam untuk menguji vigor benih terhadap salinitas
(Reninta, 2012). Metode CDT dengan kadar air 20% dan lama penderaan 48 jam
merupakan kondisi yang sesuai untuk menguji vigor kekuatan pada benih padi
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih
Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB Darmaga pada bulan Februari –
April 2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi lima lot benih kacang
hijau yaitu varietas Walet, varietas Sriti, varietas Murai, varietas Kutilang dan
varietas Vima-1 yang diperoleh dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian (Balitkabi), Malang. Bahan lainnya yaitu PEG 6000, aquades, aluminium
foil, kertas stensil, plastik PE dan kertas label.
Alat yang digunakan pada percobaan pertama adalah alat pengecambah
benih tipe 72-1, kuas, gelas piala dan magnetic stirrer. Alat yang digunakan pada
percobaan kedua yaitu oven, neraca digital, desikator, sealer, refrigerator, water bath, alat pengecambah benih IPB tipe 72-1, alat pengepres kertas, pinset dan handsprayer.
Metode Penelitian
Kegiatan penelitian terdiri dari tiga percobaan. Percobaan pertama yaitu
pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap vigor kekuatan
tumbuh benih terhadap kekeringan. Percobaan kedua yaitu pengaruh varietas dan
kondisi CDT (kadar air, suhu serta lama penderaan) terhadap viabilitas. Percobaan
ketiga yaitu uji korelasi antara VCDT pada percobaan pertama dengan VKTkekeringan
pada percobaan kedua.
1. Pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap vigor
kekuatan tumbuh benih terhadap kekeringan
Percobaan ini dilaksanakan di laboratorium yang bertujuan untuk
menentukan toleransi benih beberapa varietas kacang hijau terhadap cekaman
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) faktorial dua faktor dengan tiga ulangan. Faktor pertama terdiri dari lima
lot benih yaitu varietas Walet, varietas Sriti, varietas Murai, varietas Kutilang dan
varietas Vima-1. Faktor kedua adalah tekanan osmotik menggunakan PEG 6000
dengan lima taraf yaitu 0, -0.5, -1, -2 dan -3 bar. Kombinasi dari kedua faktor
menghasilkan 25 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga
menghasilkan 75 satuan percobaan dengan tiap ulangan terdiri dari 50 butir benih.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (Anova) dan pada
perlakuan yang menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap variabel yang
diamati, maka diuji lanjut menggunakan DMRT pada taraf nyata 5%.
2. Pengaruh varietas dan kondisi CDT (kadar air, suhu, serta lama
penderaan) terhadap viabilitas
Percobaan yang dilaksanakan di laboratorium ini bertujuan untuk
mendapatkan kondisi kadar air benih dan lama penderaan yang efektif untuk
menguji vigor benih. Beberapa varietas kacang hijau yang digunakan yaitu
varietas Walet, varietas Sriti, varietas Murai, varietas Kutilang serta varietas
Vima-1. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor. Faktor pertama adalah lot benih dengan
lima taraf yaitu L1, L2, L3, L4 dan L5.
L1 = Varietas Walet L4 = Varietas Kutilang
L2 = Varietas Sriti L5 = Varietas VIMA-1
L3 = Varietas Murai
Faktor kedua adalah perlakuan kondisi tingkat kadar air benih (KA) dan
lama penderaan (P) dengan 16 taraf yaitu: P0, P1, P2, P3, P4, P5, P6, P7, P8, P9,
P10, P11, P12, P13, P14 dan P15, dengan suhu penderaan 45°C.
P0 = KA 20% dan penderaan 0 jam P5 = KA 22% dan penderaan 24 jam
P1 = KA 20% dan penderaan 24 jam P6 = KA 22% dan penderaan 48 jam
P2 = KA 20% dan penderaan 48 jam P7 = KA 22% dan penderaan 72 jam
P3 = KA 20% dan penderaan 72 jam P8 = KA 24% dan penderaan 0 jam
P10 = KA 24% dan penderaan 48 jam P13= KA 26% dan penderaan 24 jam
P11 = KA 24% dan penderaan 72 jam P14= KA 26% dan penderaan 48 jam
P12 = KA 26% dan penderaan 0 jam P15= KA 26% dan penderaan 72 jam
Kombinasi dari kedua faktor menghasilkan 80 perlakuan. Masing-masing
perlakuan diulang sebanyak tiga kali ulangan sehingga total percobaan adalah 240
satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 2 x 25 butir benih.
Model percobaan yang digunakan adalah:
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk (i = 1, 2, 3. j = 1, 2,….n. k = 1, 2, 3. )
Keterangan:
Yijk = Nilai pengamatan pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf ke-i faktor lot
benih dan taraf ke-j faktor kondisi kadar air benih serta periode penderaan
µ = Nilai tengah umum
αi = Pengaruh taraf ke-i faktor lot benih
βj = Pengaruh taraf ke-j faktor kondisi kadar air dan periode penderaan
(αβ)ij= Pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor lot benih dan taraf ke-j faktor
kondisi kadar air benih dan periode penderaan
ρk = pengaruh kelompok ke-k
εijk= Galat percobaan
Uji lanjut yang digunakan terhadap hasil yang berpengaruh nyata adalah Duncans Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.
3. Uji korelasi antara VCDT pada percobaan pertama dengan VKTkekeringan
pada percobaan kedua
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan
antara tekanan osmotik PEG 6000 terpilih dari hasil percobaan pertama dengan
VCDT hasil percobaan kedua, sehingga dapat diketahui keefektifan metode CDT
sebagai indikator dalam menguji ketahanan benih kacang hijau terhadap cekaman
kekeringan.
Berbagai variabel pengamatan hasil percobaan pertama pada tekanan
osmotik PEG 6000 terpilih selanjutnya dikorelasikan dengan VCDT hasil
percobaan kedua. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi
VCDT ditentukan oleh nilai koefisien korelasi. Disamping itu dilakukan juga
analisis regresi linier sederhana dimana variabel VCDT difungsikan sebagai faktor
X dan variabel VKTkekeringan sebagai faktor Y dalam persamaan regresi tersebut.
Persamaan regresi yang digunakan adalah:
Yi = α + βXi
Keterangan:
Yi = Variabel VKT
α = Intersep
β = Kemiringan atau gradient
Xi = VCDT.
Pelaksanaan
1. Pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap vigor
kekeringan
Tahap awal dari percobaan ini adalah dengan menanam benih pada
substrat kertas stensil. Sebelumnya substrat dilembabkan dengan larutan PEG
6000 menggunakan kuas dan volume PEG 6000 pada setiap substrat sama
jumlahnya. Kertas stensil yang digunakan dalam setiap gulungan sebanyak lima
lembar dengan masing-masing lembar kertas stensil membutuhkan 6 ml larutan
PEG 6000. Tingkat tekanan osmotik PEG 6000 terdiri dari lima taraf 0, -0.5, -1, -2
dan -3 bar. Rumus perhitungan tekanan osmotik PEG 6000 menurut Michel dan
Kaufmann (1973) adalah sebagai berikut:
s = - (1.18 x 10-2)C – (1.18 x 10-4)C2 + (2.67 x 10-4)CT + (8.39 x 10-7)C2T
Keterangan:
s = tekanan osmotik larutan (bar)
C = konsentrasi PEG 6000 dalam gram PEG/kg H2O
T = suhu ruangan (°C)
Metode yang digunakan untuk mengecambahkan benih adalah metode uji
kertas digulung didalam plastik (UKDdp) dan selanjutnya dimasukkan ke dalam
2. Pengaruh varietas dan kondisi CDT (kadar air, suhu, serta lama
penderaan) terhadap viabilitas
Tahap awal dari pelaksanaan penelitian ini adalah membuat lot benih dari
kelima lot benih yang digunakan sesuai perlakuan dengan cara meningkatkan
kadar air dari setiap lot benih. Masing-masing lot benih ditingkatkan kadar airnya
menjadi 20%, 22%, 24% dan 26%. Berat benih dengan kadar air yang
dikehendaki diperoleh dengan menggunakan rumus:
W2 = x W1
Keterangan:
A = Kadar air awal dari benih ( % )
W1 = Berat awal benih yang telah diketahui (g)
B = Kadar air yang dikehendaki ( % )
W2 = Berat benih dengan kadar air yang dikehendaki (g)
Benih dimasukkan dalam alumunium foil dan ditambahkan aquades sesuai
perlakuan kadar air benih dengan rumus:
Aquades yang ditambahkan = W2-W1
Benih dalam alumuniun foil yang telah memiliki berat yang sesuai
dimasukkan ke dalam refrigerator bersuhu 4°C dan didiamkan semalaman, agar
benih berimbibisi dan diperoleh benih dengan tingkat kadar air yang diinginkan
sesuai perlakuan. Benih yang telah berkadar air sesuai perlakuan dimasukkan
dalam water bath bersuhu 45°C selama 0, 24, 48 dan 72 jam. Benih kemudian
diuji dengan metode uji kertas digulung dalam plastik (UKDdp) kemudian
dimasukkan dalam alat pengecambah benih (tipe IPB 72-1).
3. Uji korelasi antara VCDT dengan VKTkekeringan
Hasil pada percobaan pertama dan percobaan kedua diuji korelasi dengan
analisis korelasi sederhana antara VKTkekeringan dengan VCDT dan juga diuji
menggunakan analisis regresi linier sederhana. Tingkat hubungan antara
VKTkekeringan dengan VCDT ditentukan oleh nilai koefisien korelasi (r) dan didukung
VKTkekeringan (%) = +
KA (%) = ‐
Pengamatan
Pengamatan pada percobaan pertama dan kedua di laboratorium dilakukan
terhadap beberapa variabel yaitu:
1. Vigor benih setelah cekaman kekeringan (VKTkekeringan). Pengamatan terhadap
kecambah normal pada pengamatan hari kelima dan ketujuh (ISTA, 2010).
otal benih ang ditanam X 100%
VKTkekeringan = % kecambah normal setelah pada kondisi cekaman kekeringan
KN I = Kecambah normal pada pengamatan pertama yaitu hari kelima
KN II = Kecambah normal pada pengamatan pertama yaitu hari ketujuh
2. Viabilitas benih sesudah penderaan (VCDT). Pengamatan terhadap kecambah
normal pada pengamatan hari kelima dan ketujuh (ISTA, 2010).
VCDT (%) = X 100%
VCDT = % kecambah normal setelah CDT
KN I = Kecambah normal pada pengamatan pertama yaitu hari kelima
KN II = Kecambah normal pada pengamatan pertama yaitu hari ketujuh
3. Kecepatan tumbuh (KCT)
Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap pesentase kecambah normal dibagi
nilai etmal. Nilai etmal kumulatif dimulai dengan waktu pengamatan dan
dihitung dengan rumus penentuan kecepatan tumbuh (Sadjad et al., 1999).
KCT =
KCT = kecepatan tumbuh (%/etmal)
N = persentase kecambah normal setiap waktu pengamatan
tn = waktu akhir pengamatan
t =etmal (jumlah jam saat dari tanam dibagi 24 jam)
4. Penetapan kadar air (KA)
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode langsung yaitu menggunakan
oven suhu rendah pada suhu 103±2ºC selama 17 jam. Rumus perhitungan
kadar air (ISTA, 2010).
Keterangan :
M1 = berat wadah
M2 = berat wadah + benih sebelum dioven
M3 = berat wadah + benih setelah dioven
5. Indeks vigor (IV)
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah kecambah normal pada hitungan
pertama (first count) yaitu pada hari ke-5.
IV = x 100%
6. Panjang akar (PA)
Diukur mulai dari ujung akar hingga pangkal akar dengan satuan centimeter
pada pengamatan hari ketujuh terhadap kecambah normal.
7. Panjang hipokotil (PH)
Diukur mulai dari pangkal akar hingga pangkal kotiledon dengan satuan
centimeter pada pengamatan hari ketujuh terhadap kecambah normal.
8. Berat kering kecambah normal
Kecambah normal tanpa kotiledon di oven selama 3 x 24 jam dengan suhu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi UmumPengujian benih ditujukan untuk mengetahui mutu atau kualitas dari suatu
lot benih. Kondisi awal benih dari semua lot benih sebelum digunakan memiliki
rata-rata daya berkecambah diatas 90% dan kadar air 8%. Keterangan lebih
lengkap tentang daya berkecambah dan kadar air awal benih dapat dilihat di
Lampiran 1. Lot benih yang digunakan memiliki umur panen yang relatif sama
agar kondisi vigor awal benih juga sama sebelum mendapat perlakuan cekaman.
Pengujian benih pada kondisi cekaman kekeringan dilakukan dengan
menggunakan Polyethylen glycol (PEG) dengan bobot molekul 6000 dan tingkat
tekanan osmotik yaitu 0 bar, -0.5 bar, -1 bar, -2 bar dan -3 bar. Pengujian benih
menggunakan PEG 6000 harus dihitung dengan teliti. Perhitungan kebutuhan
PEG 6000 untuk membuat berbagai tingkat tekanan osmotik dapat dilihat pada
Lampiran 2. Pada proses pengujian masih ditemukan serangan cendawan pada
benih. Serangan cendawan semakin banyak pada tingkat tekanan osmotik yang
lebih tinggi.
Penentuan kadar air benih dari suatu lot benih sangat penting untuk
dilakukan karena laju kemunduran suatu benih dipengaruhi pula oleh kadar airnya
(Sutopo, 2004). Benih sebelum digunakan untuk controlled deterioration test
dinaikkan kadar airnya sesuai dengan perlakuan. Suhu water bath yang digunakan
adalah 45°C dan selalu dijaga kondisinya selama proses penderaan berlangsung.
Kondisi kadar air benih rata-rata setelah dikeluarkan dari water bath cukup sesuai
dengan kadar air perlakuan yang diinginkan. Keterangan lebih lengkapnya dapat
dilihat di Lampiran 3 dan 4.
Keadaan benih setelah perlakuan menggambarkan vigor benih setelah
perlakuan. Benih tidak berkecambah terutama pada tingkat kadar air yang
semakin tinggi (KA 24% dan 26%) dan lama penderaan yang semakin lama (48
jam dan 72 jam). Benih mengalami proses pembusukan dan strukturnya menjadi
lembek, hal tersebut menandakan bahwa benih mulai kehilangan viabilitas dan
Pengaruh Varietas dan Tekanan Osmotik PEG 6000 terhadap Vigor
Kekeringan
Hasil analisis ragam dari perlakuan pengaruh varietas dan tekanan osmotik
PEG 6000 terhadap variabel persentase kecambah normal (%KN), kecepatan
tumbuh (KCT), indeks vigor (IV), panjang akar (PA), panjang hipokotil (PH) serta
bobot kering kecambah normal (BKKN) menunjukkan respon yang beragam
(Tabel 1).
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh varietas dan tekanan
osmotik PEG 6000 serta interaksi keduanya terhadap variabel yang
diamati Variabel
Varietas Tekanan Interaksi
(L) osmotik (K) (L x K) KK (%) Pr > F Pr > F Pr > F %KNt <0.0001** <0.0001** 0.0006** 9.03 KCT (%/etmal) t <0.0001** <0.0001** 0.0008** 12.95 IV (%) t <0.0001** <0.0001** <0.0001** 8.74 Panjang Akar (cm) t 0.0023** <0.0001** 0.0386* 11.27 Panjang Hipokotil (cm) t 0.1338tn <0.0001** 0.0372* 8.03 BKKN (g) t <0.0001** <0.0001** 0.0012** 6.94
Keterangan : **) berpengaruh n ata p≤ 0.01 ; *) berpengaruh nyata; p≤ 0.05 ; tn= tidak
nyata; KK= Koefisien keragaman ; %KN= persentase kecambah normal;
KCT=Kecepatan tumbuh; IV= indeks vigor; BKKN= Bobot kering kecambah
normal; t ) data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+0.5)1/2
Faktor varietas menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap
variabel %KN, KCT, IV, PA serta BKKN namun pada variabel panjang hipokotil
tidak berpengaruh nyata. Faktor tekanan osmotik PEG 6000 menunjukkan
pengaruh sangat nyata terhadap semua variabel yang diamati. Hasil analisis
statistik menunjukkan adanya interaksi antara varietas dengan tekanan osmotik
PEG 6000 terhadap variabel pengamatan. Pada variabel %KN, KCT, IV dan
BKKN menunjukkan pengaruh yang sangat nyata, sedangkan pada variabel PA
dan PH interaksi keduanya nyata. Pengaruh interaksi varietas dan tekanan osmotik
Tabel 2. Interaksi varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap
beberapa variabel yang diamati
Varietas Tekanan osmotik PEG 6000
0 -0.5 -1 -2 -3
---Persentase Kecambah Normal---
Walet 95.33 a 96.00 a 84.00 a 36.67 dc 1.33 e
Sriti 99.33 a 96.00 a 92.67 a 46.00 bcd 2.00 e
Murai 98.67 a 92.00 a 70.00 ab 26.00 d 1.33 e
Kutilang 98.67 a 91.33 a 57.33 abc 20.00 d 0.00 e
Vima-1 87.33 a 40.00 dc 19.33 d 0.00 e 0.00 e
---Kecepatan Tumbuh (%/etmal)---
Walet 31.50 ab 22.94 cd 15.69 ef 5.81 hi 0.19 j Sriti 32.32 a 24.21 cd 17.22 def 7.13 hi 0.29 j Murai 31.99 ab 20.77 de 11.78 gf 3.83 i 0.19 j Kutilang 31.61 ab 19.26 de 9.69 gh 3.17 i 0.00 j Vima-1 29.00 abc 8.10 h 3.24 i 0.00 j 0.00 j ---Indeks Vigor (%)--- Walet 94.67 a 77.33 ab 43.33 c 5.33 e 0.00 f Sriti 99.33 a 84.67 a 48.67 bc 3.33 ef 0.00 f Murai 98.67 a 79.33 a 20.00 d 0.00 f 0.00 f Kutilang 98.00 a 67.33 abc 16.67 d 4.00 e 0.00 f Vima-1 87.33 a 27.33 d 4.67 e 0.00 f 0.00 f ---Panjang Akar (cm) --- Walet 12.4 a 11.9 ab 11.9 ab 8.4 abc 3.2 dc Sriti 12.2 ab 10.8 ab 11.1 ab 10.8 ab 0.0 d Murai 12.8 a 11.2 ab 12.0 ab 10.3 ab 0.0 d Kutilang 12.7 a 11.2 ab 10.4 ab 6.9 abc 0.0 d Vima-1 12.3 ab 9.4 ab 6.1 bc 0.0 d 0.0 d ---Panjang Hipokotil (cm) --- Walet 12.0 a 5.0 c-f 4.2 c-f 2.6 f-h 0.7 hi Sriti 11.1 a 7.9 a-c 4.2 c-f 4.2 c-f 0.0 i
Murai 11.1 a 7.6 a-c 5.7 b-e 2.9 a-g 0.0 i
Kutilang 10.4 ab 6.7 a-d 4.6 c-f 1.5 gh 0.0 i
Vima-1 11.8 a 8.2 a-c 4.9 d-f 0.0 i 0.0 i
---BKKN (g) ---
Walet 1.27 b 0.68 def 0.57 efg 0.11 j 0.01 j
Sriti 1.34 ab 1.06 bc 0.44 efg 0.18 ij 0.00 j