• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

TINJAUAN PUSTAKA

Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon

Dari lima spesies badak di seluruh dunia, badak jawa merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan hanya di Indonesia, tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon Banten. Pada tahun 1999 survei menyatakan keberadaan badak jawa di Vietnam dengan jumlah delapan ekor (Polet et al. 1999), namun saat ini populasi tersebut sudah dinyatakan punah (IRF-WWF 2011). Dengan punahnya populasi badak jawa di Vietnam pada tahun 2011, maka keberlangsungan hidup spesies ini hanya bergantung pada populasi yang ada di Ujung Kulon. Ujung Kulon merupakan kawasan lindung yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1990 dan diberi status sebagai situs warisan dunia (World heritage site) oleh UNESCO di tahun 1992.

Taman Nasional Ujung Kulon memiliki luasan 120,000 hektar yang terdiri dari kawasan darat dan laut, dan 30,000 hektar dari luasan ini merupakan semenanjung yang dihuni oleh badak jawa. Habitat badak di semenanjung Ujung Kulon ini sebagian besar merupakan dataran dengan tingkat kelerengan yang rendah dan ditumbuhi berbagai jenis vegetasi mulai dari hutan bakau, hutan rawa pantai, hutan pantai, hutan sekunder, dan hutan primer (Hommel 1987). Perbatasan antara hutan sekunder dan hutan primer merupakan area yang sangat disukai oleh badak karena area tersebut biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak.

Hommel (1987) juga menyebutkan bahwa tipologi tanah di semenanjung Ujung Kulon ini terdiri dari jenis tanah litosol yang memiliki kemampuan untuk menampung air dan menjadikan daerah ini banyak dipenuhi oleh genangan-genangan air yang digunakan sebagai kubangan oleh banyak satwa, termasuk badak jawa.

Sebagai suatu kawasan lindung dengan status Taman Nasional, Ujung Kulon merupakan tempat perlindungan satwa sekaligus tempat penelitian yang bersifat ilmiah maupun edukasi. Kegiatan wisata yang bertanggung jawab (eko-wisata) merupakan salah satu kegiatan yang diterapkan di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memberikan manfaat ekonomis maupun edukasi kepada masyarakat luas. Untuk memastikan bahwa konservasi badak jawa dapat berjalan selaras dengan penelitian dan wisata, maka pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon dibagi menjadi tiga seksi konservasi dengan pembagian zonasi (zona inti, rimba,

pemanfaatan tradisional, dan zona khusus) dengan pengelolaan berbasis resort agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing seksi dan zona tersebut.

Informasi Umum tentang Badak Jawa

Badak jawa pertama kali dikaji secara ilmiah oleh Desmarest di tahun 1822 dan dikategorikan sebagai spesies Rhinoceros sondaicus (Corbett & Hill 1992) dan merupakan merupakan salah satu spesies langka yang dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah. Menurut Lekagul & McNeely (1977) taksonomi badak Jawa diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata Super kelas : Gnathostomata

Kelas : Mamalia

Super Ordo : Mesaxonia Ordo : Perissodactyla Super famili : Rhinocerotidae Famili : Rhinocerotidae

Genus : Rhinoceros Linnaeus, 1758

Spesies : Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822

Hoogerwerf (1970) menyebutkan bahwa badak Jawa dewasa memiliki ukuran tinggi (dari telapak hingga bahu): 169-175 cm dan panjang badan (dari moncong hingga ujung ekor): 392 cm, dan berat tubuh pada kisaran 2.280 kg. Dibandingkan dengan badak hitam afrika (Diceros bicornis), badak putih afrika (Ceratoterium simum) dan badak india (Rhinoceros unicornis), badak jawa merupakan badak yang tergolong berukuran kecil namun masih lebih besar bila dibandingkan dengan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Badak jawa memiliki tampilan sebagaimana disajikan dalam Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia – Balai Taman Nasional Ujung Kulon (2003).

Di masa lampau badak jawa menghadapi tekanan berupa perburuan dan gangguan langsung dari masyarakat karena waktu itu mereka dianggap sebagai “hama” yang mengganggu lahan perkebunan masyarakat. Hal ini terjadi karena badak jawa memiliki preferensi makanan yang merupakan tumbuhan semak dan perdu yang banyak ditemukan di lahan pertanian masyarakat. Badak jawa yang dahulu tersebar di pulau Jawa, Sumatera, bahkan sampai ke Indocina populasinya makin terdesak dan badak jawa terakhir di pulau Sumatera ditembak mati di Palembang sekitar tahun 1920an dan badak jawa terakhir di luar Ujung Kulon ditembak di daerah Garut pada tahun 1930an. Sejak itu, badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten dan di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Namun, populasi badak jawa di Vietnam telah dinyatakan punah pada pertengahan tahun 2010 sehingga nasib keberlangsungan spesies ini hanya ada pada populasi di Indonesia. Walaupun perburuan sudah tidak ada lagi, saat ini populasi badak Jawa masih menghadapi tantangan yang dapat membahayakan kehidupan mereka.

Sebagaimana dihadapi oleh berbagai spesies badak di seluruh dunia, badak Jawa juga menghadapi risiko infeksi penyakit dan/atau gangguan kesehatan baik yang diakibatkan oleh agen infeksius maupun non-infeksius. Fisiologi dan kesehatan pada spesies badak ini adalah aspek yang belum banyak dipelajari sampai saat ini. Walaupun telah ada beberapa individu badak yang pernah dipindahkan dari alam dan ditempatkan di kebun binatang sekitar tahun 1800an (Newton 1874; Rookmaaker 1982; Rookmaaker 2005, Reynolds 1961), belum pernah ada catatan mengenai

kerentanan satwa ini terhadap cekaman dan risiko kematian akibat tekanan dan/atau proses pemindahannya dari habitat alami. Ilmu biomedis hewan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari aspek fisiologis, kesehatan, dan juga kemungkinan perlakuan untuk mencegah gangguan kesehatan pada spesies langka ini. Penelitian dititik beratkan pada kajian tingkat stres, toksisitas, dan analisis risiko akibat asupan nutrisi dan konsumsi jenis pakan alami tertentu bagi badak jawa yang tersedia di habitatnya. Sebagai hewan yang hidup liar, badak jawa sangat bergantung pada ketersediaan pakan di habitatnya, oleh karena itu, disamping perburuan, faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan ketersediaan pakan merupakan penyebab kepunahan satwa ini dari berbagai habitat historisnya seperti di Borneo (Cranbrook & Piper 2007), Kamboja (Poole & Duckworth 2005), Malaysia (Kloss 1927), dan juga di Pulau Jawa (Scheltema 1912; Walcott 1914).

Sejak tahun 60an pemantauan badak sudah banyak dilakukan oleh beberapa pihak dengan menggunakan metode yang sederhana seperti penghitungan jejak, penggunaan kamera dan video otomatis, sampai metode yang lebih rumit yaitu telaah genetika, jenis, dan komposisi pakan dari feses. Identifikasi individu badak dengan kamera otomatis juga memungkinkan penghitungan estimasi jumlah individu dengan metode mark-recapture, analisis komposisi populasi, nisbah kelamin, dan juga perhitungan untuk menduga pertumbuhan populasi dengan adanya kelahiran individu- individu baru (Hariyadi et al. 2008). Secara holistik, interaksi badak dengan komponen lainnya dalam ekosistem juga telah dipelajari. Berdasarkan salah satu kajian yang pernah dilakukan diperoleh data bahwa ada persaingan ruang antara banteng (Bos javanicus) dan badak yang mengakibatkan keterbatasan akses badak ke daerah-daerah tertentu (YMR 2002). Kajian palatabilitas tumbuhan pakan yang dilakukan oleh berbagai peneliti yang menginventarisir sekitar 94 jenis tumbuhan yang menjadi konsumsi harian badak jawa, namun kajian lain menunjukkan bahwa pertumbuhan dan dominasi sejenis palma (Arenga obtusifolia) mengancam ketersediaan jenis-jenis tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak tersebut (Putro 1997; YMR 2004). Jika antara hasil pengamatan dan penelitian terdahulu dibandingkan dengan keberhasilan badak jawa untuk bertahan hidup sampai saat ini, badak jawa dikenal sebagai satwa yang tangguh dan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jumlah populasi yang sangat sedikit. Diet utama yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan semak memberi nutrisi yang memadai untuk bertahan dari berbagai tekanan, termasuk juga tekanan dari penyakit. Berdasarkan

penggalian informasi dari masyarakat di sekitar zona penyangga Taman Nasional Ujung Kulon, berbagai jenis tumbuhan pakan badak telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber obat tradisional yang memiliki khasiat sebagai anti inflamasi, antipiretika, antiseptik, dan juga sebagai obat untuk memperlancar proses persalinan.

Jenis-jenis Cekaman

Berdasarkan rentang waktu pemaparannya, cekaman dapat dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu: cekaman akut yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat dalam hitungan detik sampai sekitar 60 menit (Figueiredo et al. 2003) dan cekaman kronis yang berulang setiap hari selama 5 hari (Melia & Duman 1991) sampai waktu yang lebih lama (mingguan, bulanan, tahunan) seperti yang dialami oleh badak di kebun binatang yang mengalami cekaman kronis akibat pengandangan dan kunjungan wisatawan (Carlstead & Brown 2005). Kedua jenis cekaman ini memberikan respons berupa peningkatan aktifitas adrenal korteks yang ditunjukkan dengan adanya peningkatak sekeresi hormon glukokortikoid (Barja et al. 2007) pada berbagai hewan termasuk badak (Turner Jr et al. 2002; Menargues et al. 2008). Selain kadar hormon glukokortikoid, cekaman akut dan kronis menimbulkan reaksi yang berbeda pada metabolisme dan sistem pertahanan tubuh hewan. Selain profil hormon dari kelas glukokortikoid, Davis et al. (2008) menyatakan bahwa profil hematologi khususnya netrofil dan limfosit merupakan indikator akan adanya cekaman pada hewan-hewan vertebrata.

Cekaman Akut

Cekaman akut menimbulkan respons yang spesifik berupa aktifitas pada aksis HPA (Hipotalamus-pituitari-adrenal korteks) yang berujung pada sekresi hormon glukokortikoid (Figuireido et al. 2003). Cekaman akut juga memicu sistem kekebalan tubuh untuk bekerja lebih baik dengan cara mendistribusikan lekosit dari darah ke kulit seperti yang ditunjukkan Dhabhar (2000). Mekanisme ini merupakan kerja hormon cekaman serupa dengan mekanisme bertahan atau lari (fight or flight) yang terjadi saat terjadi cekaman akut dan berpotensi untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, terutama yang masuk melalui jaringan perifer seperti kulit. Selain distribusi lekosit, reaksi sistem pertahanan tubuh terhadap cekaman akut juga termasuk distribusi sel Natural Killer (NK) yang senyawa kimianya berfungsi sebagai

pembunuh bagi agen-agen asing yang masuk ke dalam tubuh. Sel-sel NK ini berkurang di dalam darah dan paru-paru, namun jumlahnya tidak berkurang di limpa (Kanemi et al. 2005).

Cekaman Kronis

Dhabhar (2000) menunjukkan bahwa cekaman kronis memberikan respons berupa pengurangan distribusi lekosit dari kulit kembali ke dalam darah, hal ini merupakan kebalikan dari respons yang ditunjukkan oleh adanya cekaman akut. Figuireido et al. (2003) menunjukkan bahwa cekaman kronis juga menghasilkan respons berupa sensitisasi aksis HPA terhadap sumber cekaman (biasanya terjadi pada cekaman yang sama dan berulang). Sensitisasi seperti ini merupakan contoh bahwa cekaman kronis dapat memicu dan mempertahankan perubahan pada beberapa proses biokimia yang berujung pada implikasi klinis (Melia & Duman 1991). Perubahan parameter fungsi-fungsi hormonal, sistem pertahanan tubuh, metabolisme, dan sistem kardio vaskular akibat adanya cekaman kronis dapat dirumuskan menjadi sebuah indeks yang dikenal dengan indeks beban allostatic yang dapat menunjukkan kemungkinan cekaman kronis tersebut mendorong terjadinya penyakit (Juster et al. 2009).

Penyakit-penyakit pada Badak

Selain suspect antraks pada kasus kematian badak jawa di tahun 1980an, informasi mengenai agen infeksius yang mengancam kehidupan badak jawa belum dapat diketahui dengan pasti. Salah satu telaah yang pernah dilakukan pada badak jawa adalah telaah endoparasit yang menemukan berbagai parasit cacing (Strongyloides spp, Bunostomum spp, Trichostrongylus spp, Fasciola spp, Schistosoma spp) dan protozoa (Balantidium spp, Entamoeba spp, Cryptosporidium spp, Cycloposthium spp) dalam feses badak (Tiuria et al. 2006). Sebagai pembanding, beberapa penyakit yang mungkin menyerang badak di populasi alaminya terdiri dari: penyakit darah (parasit protozoa Theileria sp dan Trypanosoma sp), penyakit infeksius (bakteri, fungi, virus), penyakit parasitik (helminth), penyakit reproduksi (brucellosis, vibriosis), luka, leptospirosis (Jessup et al. 1992), infeksi Cowdria sp (Kock et al. 1992), dan defisiensi nutrisi dalam kasus translokasi/pemindahan badak (Clausen 1981; Jonyo 2003).

Penyakit yang ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang lebih beragam dibandingkan dengan penyakit pada populasi alami dan ini mengakibatkan kerugian material bagi pengelola kebun binatang serta kerugian ekologis berupa berkurangnya jumlah badak akibat kematian. Hal ini disebabkan oleh stress dan kondisi habitat buatan manusia yang berbeda dengan habitat alami badak. Penyakit yang umum ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang antara lain: lingual abscess (Hatt et al. 2004), retak pada kuku, laminitis, chronic foot disease (Jacobsen 2005), lesio pada mata, katarak (Sanborn 1908), aneurism pada arteri koroner (Kock et al. 1991), hemolitik anemia (Jessup et al. 1992), degenerasi/nekrosa dengan fibrosis pada purkinje myokardial (Kock 1996), ulcer pada kornea (Gandolf et al. 1999), dermatitis eksudatif (Völlm et al. 2000), dan leukimia limfoblastik akut (Paglia & Radcliffe 2000). Dari beberapa catatan yang ada, dapat dilihat bahwa penyakit pada badak yang hidup liar berbeda dengan penyakit pada badak di kebun binatang. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pada agen penyebab penyakit, lingkungan, dan juga kondisi fisiologis badak itu sendiri.

Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak muncul jenis-jenis penyakit baru yang menginfeksi manusia maupun hewan termasuk satwa liar. Beberapa contoh dari patogen baru yang muncul adalah: Virus Hendra, Virus Nipah, dan Virus West Nile (Daszak et al. 2004). Bidang medis konservasi ini menjadi bagian penting dalam proses antisipasi penyakit yang dapat muncul dan menginfeksi populasi satwa liar. Infeksi penyakit pada satwa liar akan menambah rumit upaya konservasi beberapa spesies, karena infeksi penyakit ini dapat menyebabkan kematian dan bahkan dapat meningkatkan risiko kepunahan pada spesies-spesies tertentu. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Deem et al. (2001), Wildlife Conservation Society (WCS) telah mengidentifikasi pentingnya bidang medis konservasi ini dan telah mempelopori prosedur pemantauan kesehatan pada beberapa spesies satwa liar seperti: Llama guanaco (Lama guanicoe) dan orangutan (Pongo pygmaeus).

Pengaruh Perubahan Iklim

Iklim pada skala mikro memberikan pengaruh pada fisiologi hewan seperti dipelajari oleh Suprayogi et al. (2006) yang menunjukkan bahwa pola respirasi pada kambing sangat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban udara. Pada skala global, perubahan iklim akan menyebabkan perubahan pada dinamika vegetasi akibat

meningkatnya kadar CO2 di atmosfir dan juga berubahnya keseimbangan air di dalam

tanah (Huxman & Scott 2007). Korelasi antara perubahan iklim dan dinamika vegetasi ditunjukkan pula pada studi yang dilakukan oleh Williams et al. (2002) yang mempelajari perubahan vegetasi dan kondisi atmosferik pada zaman es. Perubahan struktur vegetasi ini dapat menimbulkan berbagai konsekuensi bagi badak jawa, satwa herbivora yang menggantungkan sumber pakan sepenuhnya dari vegetasi yang ada. Perubahan iklim menuju kekeringan seperti ini dapat mengakibatkan perubahan pada jenis-jenis tumbuhan dominan yang kemudian berpotensi pula untuk mengancam keberadaan jenis tumbuhan yang dibutuhkan oleh badak. Apabila jenis tumbuhan pakan badak berkurang akibat perubahan iklim seperti ini, maka defisit pakan akan dialami oleh badak sebagai konsekuensinya. Salah satu contoh kepunahan megaherbivora akibat perubahan iklim adalah kepunahan mammoth di Pulau Wrangle Siberia akibat hilangnya padang rumput serta berbagai tumbuhan yang menjadi bahan makanan mammoth di lokasi tersebut (Martin & Stuart, 1995).

Pemodelan yang dilakukan oleh Permadi (2008) menunjukkan bahwa perubahan iklim berpotensi untuk merubah semenanjung Ujung Kulon menjadi daerah yang lebih kering dengan ketersediaan air yang terbatas. Pemodelan ini menunjukkan bahwa ada risiko kekeringan yang dapat melanda habitat badak di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon akibat perubahan iklim. Risiko kekeringan merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat bahwa Cameron & Perdue (2005) menunjukkan cekaman kronik yang terjadi pada hewan coba dapat timbul akibat kekeringan atau kelangkaan air (water avoidance stress), dengan demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah ketersediaan air yang lebih sedikit pada musim kemarau akan memberikan suatu tekanan pada badak jawa.

Tanah dan lumpur juga merupakan komponen penting di dalam ekosistem habitat badak karena dari komponen ini badak kerap memperoleh mineral untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sehari-hari. Seperti halnya ingesti pakan dan air, badak jawa memiliki kebiasaan untuk “memakan” lumpur (salt licking) sebelum dan/atau setelah berkubang sebagaimana yang diamati pada beberapa sesi pemantauan perilaku yang dilakukan di Taman Nasional Ujung Kulon (Data Taman Nasional Ujung Kulon & WWF 2010). Kualitas mineral serta kontaminasi yang ada pada tanah/lumpur juga berpotensi untuk memberikan dampak terhadap mekanisme peny rapan nutrien pada badak jawa.

Mekanisme fisiologis terhadap cekaman berupa kekeringan

Ketersediaan air dan aktifitas berkubang pada badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan beberapa syarat penting untuk keberlangsungan hidup badak jawa di habitat alaminya di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Banyak peneliti badak terdahulu (Schenkel, Hoogerwerf, Van Strien, Sajudin, dan Setiawan) mencatat bahwa badak berkubang lebih dari satu kali dalam sehari dan ditambah dengan aktifitas berendam di sungai maupun di laut (pesisir pantai).

Termoregulasi

Aktifitas berkubang ini erat kaitannya dengan upaya termoregulasi yang dilakukan badak untuk menjaga keseimbangan (homeostasis) tubuh mereka. Termoregulasi merupakan suatu proses yang terkait dengan perilaku hewan untuk berusaha mempertahankan suhu tubuh yang optimal. Suhu yang terlalu tinggi akibat proses metabolisme ataupun suhu tubuh yang terlalu rendah akan mengkibatkan ketimpangan dalam berbagai proses fisiologi tubuh hewan (fungsi dan kinerja berbagai protein) yang akhirnya mendorong kondisi yang tidak seimbang dalam fisiologi hewan tersebut. Badak memiliki kulit berlipat dengan lapisan subkutan yang mengandung banyak pembuluh darah. Lipatan kulit dan pembuluh darah tersebut berfungsi dalam proses termoregulasi pada badak (Endo et al. 2009).

Kondisi kulit

Kelembaban kulit pada badak menjamin kecukupan kadar air yang diperlukan untuk menjaga kulit agar dapat mempertahankan struktur dan berfungsi secara optimal. Struktur kulit badak (badak afrika) disajikan pada Gambar 3, sementara gambaran kulit yang tidak normal (mengalami lesio) disajikan pada Gambar 4.

Kekurangan kadar air pada kulit dapat menyebabkan terjadinya lesio berupa retak/celah pada kulit akibat berkurangnya kelenturan kulit saat kelembaban tidak mencukupi. Baron (2006) menjelaskan bahwa lesio ini memberikan stimulasi pada reseptor syaraf pada permukaan kulit yang kemudian mengirimkan sinyal rasa nyeri akibat terjadinya perubahan molekuler pada neuron yang mengakibatkan meningkatnya sensitifitas neuron tersebut. Sensitifitas neuron ini kemudian menghantarkan sinyal rasa nyeri ke bagian hipotalamus pada otak.

Gambar 3. Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari lapisan keratin pada bagian terluar. Pada gambar ini terlihat lapisan keratin mengelupas dan digantikan dengan lapisan yang baru. Sumber: Munson et al. (1998).

Gambar 4. Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar = 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998).

Kekurangan kadar air pada kulit mengakibatkan kondisi kulit kurang fleksibel/elastis sebagai stimulus bagi sekumpulan sel-sel syaraf yang dikenal dengan istilah neuron pada permukaan kulit yang berfungsi sebagai reseptor mekanis. Woolf & Mannion (1999) menjelaskan bahwa stimulus seperti ini mengakibatkan buka tutup kanal ion yang menyebabkan perubahan kadar ion Na++ dan Cl--pada lingkungan ekstrasel dan intrasel karena adanya aliran ion masuk ataupun keluar. Lebih lanjut Stuart et al. (1997) menjelasakan bahwa perbedaan ion seperti ini (depolarisasi) mengakibatkan terjadinya perubahan resting potential (-70 mV) menjadi action potential yang menjalar sepanjang neuron. Karena adanya insulasi myelin bagian akson pada sel neuron, maka “lompatan” elektrik action potential ini terjadi pada node of Ranvier yang tidak terlapisi oleh myelin. Node of Ranvier merupakan satu bagian dari jaringan syaraf vertebrata berbentuk nodus (simpul) yang tidak terlindungi oleh lapisan insulasi myelin sehingga memungkinkan bagi aliran ‘listrik’ ringan untuk melompat dari satu nodus ke nodus berikutnya. Lompatan elektrik seperti ini memungkinkan action potential untuk menjalar sepanjang serabut syaraf (axon) menuju ujung neuron yang dikenal sebagai bagian pre synaptic. Bagian ini

mengandung rongga di dalam sel yang disebut vesikula berisi zat-zat kimia yang dikenal dengan istilah neurotransmitter yang terbentuk dari senyawa asam amino ataupun mono-amina. Sinapsis yang merupakan jembatan antar serabut syaraf dari sel syaraf perifer seperti ini terdapat di bagian dorsal horn pada tulang belakang atau di dalam sistem susunan syaraf pusat. Action potential yang mencapai bagian ini kemudian memicu pergerakan vesikula ke arah membran sel, peleburan vesikula pada membran yang mengakibatkan terlepasnya neurotransmitter ke celah synapse (synaptic cleft) untuk mempengaruhi kerja neuron berikut (neuron post-synaptic).

Nyeri pada kulit akibat kekeringan berbeda dengan rasa nyeri akut yang memberikan stimulus dalam intensitas tinggi (seperti tusukan dan panas) yang ditanggapi oleh neuron A-delta, nyeri pada kulit akibat kekeringan terjadi pada neuron tipe C dalam intensitas rendah yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman pada badak, namun tidak cukup kuat untuk memicu refleks otot. Proses komunikasi antar neuron pada synapse tidak menimbulkan reaksi adrenergik yang mengakibatkan kontraksi otot, tapi menghantarkan signal nyeri dari saraf perifer ke susunan syaraf pusat dengan bantuan neurotransmitter (Woolf & Mannion 1999). Neurotransmitter asetilkolin pada neuron post-synapse melekat pada reseptor asetilkolin yang ada pada membran sel. Melekatnya asetilkolin menyebabkan terbukanya kanal ion Na++ yang mengakibatkan depolarisasi pada neuron pada susunan syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya action potential yang menjalar pada susunan syaraf pusat menuju sistem korteks pada otak (untuk persepsi) dan berlanjut ke sistem limbik (untuk respons).

Pada sistem korteks, impulse dari syaraf pusat yang menghantarkan sinyal nyeri dari syaraf perifer bekerja pada bagian sebelum sambungan (pre-synapse) dengan mengeluarkan neurotransmitter (serotonin) yang berfungsi untuk merekam (proses memori) rasa ketidaknyamanan akibat kekeringan yang terjadi pada bagian kulit. Dalam kondisi seperti ini, bila badak menemukan kubangan dan/atau sumber air untuk melembabkan kulitnya maka stimulus pada reseptor mekanis pada kulit akan berkurang. Sel reseptor akan kembali ke resting potential dan berhenti mengirimkan sinyal nyeri/ketidaknyamanan ke otak. Di otak, serotonin akan mempelajari asosiasi antara kegiatan berkubang atau berendam dengan hilangnya rasa ketidaknyamanan. Hal ini kemudian membentuk pola perilaku terkait dengan pengurangan rasa nyeri dan ketidaknyamanan pada kulit dengan berkubang dan berendam. Selain serotonin, dalam proses interaksi yang rumit neurotransmitter dopamin bekerja dan

menimbulkan rasa nyaman sebagai bagian dari “imbalan” kegiatan berkubang dan berendam. Perilaku berkubang merupakan suatu dampak reflektif dari adanya nyeri