• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 5 1 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Hutan Rakyat

2. 1. 1. Pengertian Hutan Rakyat

Hutan secara singkat dan sederhana didiefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Dalam buku Dictionary of Forestry yang diedit oleh John A. Helms (1998), Hutan adalah suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beragam ciri-cirinya seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur dan proses-proses yang terkait dan umumnya mencakup padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan dan satwa liar

Hutan rakyat dalam pengertian menurut perundang-undangan (lihat UU No. 5/1967 dan penggantinya, UU No. 41/1999), adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (biasa disebut masyarakat hukum adat).

Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya, diantaranya: 1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat ha atau kurang sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa atau bahkan melebihinya.

2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.

3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model ini jarang disebut sebagai hutan rakyat dan umumnya dianggap terpisah. Awang et

al (2001) menyarankan agar pengertiaan hutan rakyat diartikan sebagai hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat, baik pada lahan individu, komunal, lahan adat maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai tanaman keras, non-kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan dan barang-barang serta jasa rekreasi.

Selanjutnya Supriadi dalam Awang (2002) menyatakan bahwa pola pengembangan hutan rakyat dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: A. Pola Swadaya

Hutan rakyat pola swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendir. Melalui pola ini masyarakat akan didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembangunan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis dari kehutanan. Hutan rakyat akan diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyarakat yang secara hidrologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan.

B. Pola Subsidi (Model Hutan Rakyat)

Hutan rakyat pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat, diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyrakat secara hidrologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kemampuan.

C. Pola Kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat)

Hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan intensif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan.

Dengan adanya beberapa cara pengembangan hutan rakyat dan dengan lebih intensifnya pengelolaan dengan cara yang lebih sustainable dengan daya dukung potensi sumberdaya hutan rakyat, kinerja pengusahaan, dinamika lingkungan dan faktor-faktor lainnya diharapkan hutan rakyat dapat menjadi suatu

unit bisnis startegis yang mampu mempertahankan keberlangsungan produksi dan pengusahaanya dengan tetap memprioritaskan kelestarian hutannya.

2. 1. 2. Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia

Pemakaian kayu sengon yang agak berarti terjadi pada tahun 1951, ketika Wijnhamer seorang arsitek Belanda membangun stadium pacuan kuda di Bogor dengan menggunakan kayu sengon yang diawetkan seluruhnya (Djajapertjunda, 2003).

Di Indonesia hutan rakyat sudah banyak sejak tahun 1930-an, berupa hutan-hutan yang dihadiahkan oleh VOC kepada pengikut-pengikutnya yang berjasa. Kemudian hutan-hutan ini banyak mengalami kerusakan akibat perang. Kerusakan tersebut berulang kembali ketika pendudukan tentara Jepang dimana terjadi penebangan untuk memenuhi kebutuhan perang. Usaha perbaikan timbul setelah penyerahan kedaulutan tahun 1950. Gerakan-gerakan penghutanan kembali pada tanah yang gundul dianjurkan dimana-mana. Tahun 1952 di Jawa lahir gerakan Karangkitri yaitu gerakan yang dipelopori DinasPertanian Rakyat untuk menanami tanah kosong seperti tegakan dan sebagainya oleh rakyat atau pemiliknya dengan tanaman hutan yang bertujuan untuk melindungi tanah terhadap erosi. Sebagai hasil dari gerakan ini timbul hutan rakyat seperti yang terdapat di Jawa Barat (Ahmad, 1961 dalam Wahyuningsih, 1993).

Usaha-usaha penghutanan tanah milik berlangsung khususnya di Jawa barat. Tahun 1972 lahir gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang) yang menginstruksikan penanaman jenis-jenis pohon jeunjing, turi, manii, tanaman buah-buahan dan jenis-jenis kayu industri lainnya (Lembaga Penelitian IPB, 1990)

Gagasan pembentukan hutan rakyat dalam hal ini hutan rakyat

Paraserianthes falcataria pernah dicetuskan oleh salah seorang rimbawan pada tahun 1950 untuk memenuhi kebutuhan akan kayu pulp dari pabrik kertas Notog (Nariodirejo, 1959 dalam Wahyuningsih, 1993). Sebagai informasi pada akhir tahun 2005 hutan rakyat di wilayah kabupaten Lumajang sendiri seluas 41.431,45 ha, yang didominasi tegakan pohon sengon seluas 12.470,86 ha (30,1%) (Dinas Kehutanan Lumajang, 2006)

2. 1. 3. Manfaat Hutan Rakyat

Menurut Djajapertjunda (2003), karena hutan rakyat adalah hutan, sama halnya seperti hutan-hutan lainnya yang tanamannya terdiri atas pohon sebagai jenis utamanya, maka perannya pun tidak banyak berbeda, yaitu:

1. Ekonomi, untuk memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat. 2. Sosial, dalam membuka lapangan pekerjaan.

3. Ekologi, sebagai penyangga kehidupan dalam mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan sebagai prasarana untuk memelihara kualitas lingkungan hidup (penyerap karbon dioksida dan produsen oksigen). 4. Estetika, berupa keindahan alam.

5. Sumber, merupakan sumberdaya alam untuk ilmu pengetahuan, antara lain Ilmu Biologi, Ilmu Lingkungan dan lain-lain.

Menurut Simon (1995), hutan rakyat akan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk yang bertempat tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Pembangunan hutan tanaman rakyat akan melibatkan seluruh penduduk disekitarnya, sehingga akan memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan waktunya secara maksimal.

Menurut Andayani (2005), pengusahaan sengon yang dilakukan petani melalui pola agroforestry ternyata sesuai dengan keinginan petani, karena melalui pola tersebut pemilik lahan akan memperoleh pendapatan usaha secara rutin setiap periode tertentu dan memberikan keuntungan finansial yang signifikan, meskipun dihitung berdasarkan tingkat bunga pasar yang berlaku.

2. 1. 4. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Hardjanto (2000) mengemukakan ciri-ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut:

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total

2. 1. 5. Penyebaran Hutan Rakyat

Hutan rakyat banyak dijumpai di pulau Jawa. Hal ini dibuktikan bahwa sekitar 50% dari luas hutan rakyat di Indonesi berada di pulau Jawa (Tabel 1).

Tabel 1 Luas hutan rakyat per provinsi berdasarkan alokasi sumber dana

No Provinsi

HR HR HR HR HR

Jumlah (Ha) Swadaya Subsidi KUHR DAK DR Gerhan

(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)

1 NAD 16.563,40 6.763,20 2.226,00 2.295,32 3.000,00 30.847,92 2 Sumut 45.692,10 1.075,00 677,00 280,00 8.480,00 56.204,10 3 Sumbar 38.993,80 0,00 0,00 80,00 14.682,00 53.755,80 4 Riau 10.337,00 0,00 600,06 719,00 7.375,00 19.031,06 5 Jambi 5.591,00 1.110,00 0,00 488,00 2.475,00 9.664,00 6 Sumsel 12.489,25 7.670,00 6.137,95 85,00 5.100,00 31.482,20 7 Bangka Belitung 0,00 0,00 0,00 0,00 645,00 645,00 8 Bengkulu 3.349,00 62,50 0,00 340,00 1.000,00 4.751,50 9 Lampung 225,50 100,00 0,00 0,00 13.700,00 14.022,50 10 DKI Jakarta 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Jabar 86.900,74 15.012,00 12.521,40 1.538,00 50.552,00 166.524,14 12 Banten 8.861,00 0,00 1.150,66 0,00 9.600,00 19.611,66 13 Jateng 174.127,59 44.351,19 4.796,43 5.313,20 97.143,00 325.729,41 14 DIY 26.760,70 14.154,00 0,00 411,70 13.690,00 53.016,40 15 Jatim 84.738,07 18.980, 7.005,83 1.660,00 100.987,00 213.371,65 16 Bali 6.610,24 3.582,50 0,00 155,00 2.730,00 13.077,74 17 NTB 8.610,58 1.405,00 1.000,58 0,00 5.350,00 16.366,16 18 NTT 147.300,00 8.595,00 0,00 0,00 5.850,00 161.745,00 19 Kalbar 4.419,00 85,00 0,00 300,00 6.780,00 11.584,00 20 Kalteng 10.054,00 0,00 0,00 495,00 5.000,00 15.549,00 21 Kalsel 94.271,50 705,00 0,00 3.080,00 10.380,00 108.436,50 22 Kaltim 8.424,00 0,00 650,00 0,00 2.700,00 11.774,00 23 Sulut 4.481,00 33,00 350,00 25,00 3.500,00 8.389,00 24 Gorontalo 14.071,00 0,00 150,00 0,00 4.238,00 18.459,00 25 Sulteng 8.049,55 100,00 0,00 300,00 3.550,00 12.099,55 26 Sultra 705,00 450,00 0,00 725,00 3.100,00 4.980,00 27 Sulsel 134.962,25 6.856,39 3.520,00 308,00 18.937,00 164.583,64 28 Malut 0,00 0,00 0,00 0,00 4.650,00 4.650,00 29 Maluku 0,00 0,00 1.000,00 0,00 2.900,00 3.900,00 30 Papua 9.180,00 0,00 0,00 219,70 1.255,00 10.654,70 31 Irian Jaya Barat 2.960,00 0,00 0,00 0,00 550,00 3.510,00 Jumlah 966.722,27 131.090,53 41.785,91 18.917,92 409.899,00 1.568.415,63 Sumber : Data dan Potensi Hutan Rakyat, Direktorat Bina Usaha Perhuanan Rakyat, Ditjen RLPS, 2004

Hal ini disebabkan karena telah lama dikenal dan dipraktekan oleh masyarakat secara tradisional dan turun temurun. Petani hutan rakyat umumnya telah melakukan kegiatan penanaman di lahan-lahan miliknya. Meskipun luas kepemilikan lahan di Pulau Jawa relatif lebih sempit dibandingkan dengan kepemilikan lahan di luar pulau Jawa, pada kenyataannya kepemilikan lahan rata- rata di pulau Jawa berkisar antara 0,25-1 ha per kepala keluarga. Namun demikian, hampir setiap KK di pulau Jawa mempunyai hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena lokasi penanaman hutan rakyat di Jawa dilakukan di lahan- lahan pekarangan, kebun, talun, tegalan dan lain-lain.

2. 1. 6 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)

Pohon jenis sengon memiliki sebaran alami di daerah tropis diantaranya adalah Maluku, Papua Nugini, kep.Solomon dan Bismark. Merupakan species pionir, terutama di hutan hujan dataran rendah sekunder atau hutan pegunungan rendah. Tumbuh dari hutan pantai sampai ketinggian 1600 mdpl, optimum 0-800 mdpl. Dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab dengan curah hujan 200-2700 mm/th dengan bulan kering sampai 4 bulan. Dapat ditanam pada lahan yang tidak subur tanpa dipupuk tetapi tidak tumbuh subur pada lahan berdrainase jelek. Salah satu species yang paling cepat tumbuh di dunia yaitu mampu tumbuh hingga 8 m/tahun dalam tahun pertama penanaman species ini juga memerlukan cahaya pada pertumbuhannya.

Pohon jenis sengon adalah poho berukuran sedang hingga besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak memiliki banir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15 – 25 helai daun.

Pohon berukuran sedang sampai besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15 – 25 helai daun. Pohon jenis sengon memiliki kelas kuat kayu tingkat 5 (tidak kuat) dan kelas awet

kayu 5 (tidak awet). Sehingga kayu jenis ini tidak dapat digunakan untuk kayu pertukangan khususnya kuda-kuda karena tidak memiliki kekuatan untuk menopang beban.

2. 2. Konsep Kelestarian

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan, dalam pasal 10 (1) dinyatakan bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sementara dalam pasal 23, dinyatakan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dengan adanya kedua pasal ini, menyatakan bahwa tujuan pengelolaan hutan adalah untuk mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.

Prinsip kelestarian hasil (Sustained Yield Principles) sudah lama dianut dalam pengusahaan hutan produksi. David dan Johnson (1987) dalam Suhendang (1993) mengatakan bahwa prinsip ini mulai dianut dan diterapkan sejak manusia mulai memikirkan keadaan masa depannya. Sementara menurut Departemen Kehutanan (1997), prinsip ini mulai dianut sejak dikeluarkannya Ordonansi Hutan oleh Raja Louis XIV di Perancis pada tahun 1669. Pada awalnya, konsep kelestarian hasil ini muncul dalam kegiatan pengusahaan hutan untuk keperluan produksi yaitu produksi kayu pada khususnya. Namun dalam pengembangannya, konsep ini berkembang sejalan dengan nilai manfaat hasil hutan bukan kayu, baik yang bersifat tangible maupun intangible. (Suhendang 1993)

Lestari secara sederhana, menurut Poerwardaminta (1976) dalam Winarno (1997) berarti tetap selama-lamanya, sementara kelestarian berarti keadaan yang tetap atau tidak berubah-ubah. Sementara, menurut Society of American Foresters (1958) dalam Meyer et al (1961), kelestarian hasil didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu kegiatan pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu produksi yang berkelanjutan, yang dilakukan dengan tujuan agar suatu keseimbangan antara pertumbuhan dan pemanenan dapat tercapai sesegera mungkin, dimana kelestarian ini dapat diperoleh dalam unit tahun maupun dalam unit periode waktu yang lebih lama. Agar kelestarian hasil ini dapat tercapai, maka menurut Meyer et al (1961) hasil periodik atau hasil

tahunan yang diekstrak haruslah ditentukan melalui suatu cara yang terbaik sehingga tidak menyebabkan terjadinya suatu pengurangan/penipisan actual growing stock yang tersedia. Hal ini, dengan kata lain berarti bahwa growing stock yang tersedia harus selalu mendekati keadaan normal, sehingga berkemampuan untuk memproduksi hasil yang diinginkan secara memadai. Meskipun demikian, yang patut diperhatikan adalah bahwa yang disebut keadaan normal (volume normal) dari suatu tegakan akan bervariasi. Variasi ini antara lain tergantung dari sistem silvikutur yang diterapkan serta pada besarnya ukuran dan kualitas rata-rata dari kayu yang ingin dihasilkan (Meyer et al, 1961).

Menurut Meyer et al (1961), suatu kelestarian hasil mensyaratkan adanya tiga hal berikut:

1. Fasilitas transportasi yang memadai, yang mampu membuat setiap bagian dari hutan yang dikelola dapat diakses dengan baik, baik saat sekarang maupun selama periode yang dibutuhkan.

2. Adanya penerapan sistem silvikultur yang mampu memastikan bahwa produk yang dihasilkan oleh hutan yang bersangkutan memadai dan dapat masuk ke pasar yang tersedia.

3. Adanya pasar yang secara ekonomi memadai untuk dapat menjamin tertampungnya hasil produksi tanpa disertai adanya fluktuasi yang tidak semestinya.

Menurut Davis (1966), produktivitas hutan yang lestari dapat dilihat dari dua segi. Yang pertama adalah sebagai kontinuitas pertumbuhan dan yang kedua adalah sebagai kontinuitas dari hasil kontinuitas pemanenan. Dari kedua pengertian ini, kontinuitas dari hasil adalah pengertian yang diambil untuk pengertian kelestarian. Karena pengaturan hasil secara lestari tidak selalu mengharuskan adanya pertumbuhan yang baik, meskipun hal ini adalah merupakan keharusan dalam jangka waktu pengusahaan hutan yang relatif lama.

Menurut Osmaston (1968) dalam Winarno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian hutan antara lain adalah:

1. Regenerasi (permudaan atau penanaman), yang di dalamnya termasuk usaha pengendalian bibit serta pemeliharaan.

3. Usaha peningkatan atau perbaikan, yang di dalamnya termasuk pencegahan terhadap hama penyakit, gulma dan perlindungan.

Osmaston (1968) dalam Winarno (1997) juga menyatakan bahwa kelestarian hasil memiliki beberapa tipe, yaitu:

1. Hasil Integral (Integral Yeild), yang berada pada tegakan yang seumur dan saat pemanenan dan penanaman dilakukan bersamaan.

2. Hasil yang terputus-putus (Intermitten Yield), yang berada pada tegakan yang terdiri dari beberapa kelas umur, dimana saat penanaman dan penebangan dilakukan pada interval waktu yang tertentu.

3. Hasil Tahunan (Annual Yield), yang merupakan sistem yang banyak digunakan dan pada sistem ini selalu ada bagian tegakan yang siap untuk ditebang setiap tahunnya.

Menurut Suhendang (1993), perlu dipahami bahwa konsep kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak dan ada pada unsur kenisbian di dalamnya. Salah satu sumber kenisbian ini antara lain adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah berupa luas, ukuran volume kayu, nilai uang atau jumlah batang pohon serta juga metode pengaturan hasil yang digunakan. Dalam hal ini, tidak ada jaminan bahwa pemakaian salah sastu ukuran hasil ataupun pemakaian salah satu metode pengaturan hasil akan memberikan tingkat kelestarian yang sama bila diukur oleh ukuran atau metode lainnya. Oleh karena itu, pemilihan ukuran dan metode pengaturan hasil yang akan dipakai merupakan hal yang sangat mendasar dalam upaya pengusahaan hutan produksi dengan prinsip kelestarian hasil agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

2. 3. Pengaturan Hasil

Pengaturan hasil merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh kelestarian hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1997) pengusahaan hutan memiliki beberapa sifat khas yang membedakannya dengan jenis pengusahaan ataupun bentuk pemanfaatan lahan yang lainnya. Sifat tersebut yaitu bahwa pengusahaan hutan pada umumnya memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan, selain itu juga dalam pengelolaannya selalu didasarkan pada asas kelestarian sumberdaya. Kedua sifat inilah yang

menurut Departemen Kehutanan (1997), metode pengaturan hasil yang ada pada umumnya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:

1. Metode pengaturan hasil berdaasarkan volume 2. Metode pengaturan hasil berdasarkan riap.

Sementara, menurut Osmaton (1968) dalam Permana (2003), metode pengaturan hasil dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Berdasarkan luas. Metode ini dapat dikendalikan melalui teknik silvikultur atau pengaturan tebangan, daur dan sebaran kelas umur, serta kelas-kelas pengembangan atau perlakuan.

2. Berdasarkan volume dan atau berdasarkan riap. Rumus pengaturan hasi yang dipakai disini antara lain rumus Austria, rumus Hundeshugen serta rumus Von Mantel.

3. Berdasarkan jumlah dan ukuran pohon. Rumus yang dipergunakan di sini adalah rumus Brandis.

Dalam menentukan atau mengatur seberapa banyak hasil hutan yang dapat diambil, maka seorang manajer perlu mempertimbangkan beberapa prinsip berikut (Davis, 1966) :

1. Tujuan Manajemen. Termasuk di dalam prinsip ini antara lain tujuan dan kebijakan operasional yang dianut, jumlah income yang diharapkan, ketergantungan antar tahapan pemrosesan tanaman sehingga menjadi bahan baku, serta batas kontinuitas operasi atau pengusahaan yang diharapkan.

2. Ketersediaan Pasar bagi berbagai jenis kayu yang dihasilkan. Prinsip ini melibatkan baik kondisi pasar saat ini maupun kondisi pasar masa depan dalam hubungannya dengan ketersediaan kayu.

3. Kebutuhan dan urgensi sistem silvikultur yang diterapkan. Prinsip ini antara lain mencakup macam metode permudaan yang paling sesuai untuk diaplikasikan, kondisi tegakan yang ada dilihat dari sisi umur, penyakit atau hama yang menyerang, serta dari sisi persediaan/stock, serta keadaan urgensi hutan yang dikelola yang antara lain disebabkan oleh badai, kebakaran ataupun penyebaran penyakit yang meluas.

5. Masalah tingkat kelestarian hutan yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa dalam menentukan jumlah hasil yang boleh diambil harus sesuai dengan kapasitas produksi dari hutan yang bersangkutan. Bahkan jika memungkinkan, pengaturan ini harus dapat meningkatkan kualitas tegakan.

III. METODE PENELITIAN

Dokumen terkait