• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Susu Kambing

Susu segar didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari ambing sehat yang bersih, diperoleh dengan cara pemerahan yang benar dengan kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah suatu apapun dan tidak mendapat perlakuan apapun, kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI 01- 3141-1998). Susu merupakan cairan dalam bentuk emulsi berwarna putih yang berasal dari hasil pemerahan hewan menyusui yang dapat diminum dan digunakan sebagai produk pangan yang aman untuk dikonsumsi.

Sifat kimia susu kambing meliputi kadar lemak, kadar protein, kadar laktosa, kadar abu, bahan kering tanpa lemak (BKTL) serta total bobot kering (BK) diperlihatkan pada Tabel 2.1, komposisi kimia susu kambing bila dibandingkan dengan domba, sapi dan manusia diperlihatkan pada Tabel 2.2, dan sifat fisik susu kambing dan susu sapi diperlihatkan pada Tabel 2.3. Menurut Thai Agricultural Standar (2008) sifat kimia susu kambing diklasifikasikan dalam tiga kriteria, yaitu kualitas premium, baik dan standar seperti diperlihatkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.1 Komposisi susu kambing

Lemak Protein Laktosa Abu BKTL BK

Sumber ---(%)---

4.21 3.52 4.27 0.86 8.79 13.00 Blakely dan Blade (1991) 4.21 3.75 4.76 0.82 9.33 13.54 Devandra dan Burns (1994) 4.10 3.60 4.70 0.80 9.10 13.20 Fox (2003) 4.50 2.90 4.10 0.80 8.70 13.20 Chandan et al. (2007)

Energi total yang terkandung dalam susu kambing sebanyak 50% berasal dari lemak dan masing-masing 25% dari laktosa dan protein sedangkan proporsi dalam susu manusia adalah 55% dari lemak, 38% dari laktosa dan hanya 7% dari protein (Devendra dan Burn 1994).

Tabel 2.2 Perbandingan komposisi susu kambing dengan susu domba, sapi dan manusia

Komposisi Kambing Dombaa Sapi Manusia

Lemak (%) BKTL (%) Laktosa (%) Protein (%) Kasein (%) Albumin, globulin (%) Non-protein – N (%) Abu (%) Kalori/100 ml 3.8 8.9 4.1 3.4 2.4 0.6 0.4 0.8 70 7.9 12.0 4.9 6.2 4.2 1.0 0.8 0.9 105 3.6 9.0 4.7 3.2 2.6 0.6 0.2 0.7 69 4.0 8.9 6.9 1.2 0.4 0.7 0.5 0.3 68

Sumber : Posati dan Orr (1976); Jennes (1999); Larson dan Smith (1974); Haenlein dan Caccese (1984)

a Anifantakis et al. (1980)

Tabel 2.3 Sifat fisik susu sapi dan susu kambing

Sifat Susu Sapi a) Susu Kambing b)

Bobot jenis (g/cm3) 1.0231-1.0398 1.029-1.039

Viskositas (cP) 2.0 2.12

Konduktivitas (Ώ-1 cm-1) 0.0040-0.0055 0.0043-0.0139 Titik beku (oC) -0.530 sampai -0.570 - 0.540 sampai -0.573

pH 6.65-6.71 6.50-6.80

a)

Jennes et al. (1974)

b)

Juarez dan Ramos 1986

Tabel 2.4 Komposisi susu kambing

Keterangan Premium Baik Standar

Protein (%) >3.70 >3.40-3.70 3.10-3.40

Lemak (%) >4.00 3.50-4.00 3.25-3.50

Bobot kering (%) >13.00 >12.00-13.00 11.70-12.00

Sumber : Thai Agricultural Standar (2008)

Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa susu kambing memiliki nilai nutrisi yang tinggi karena sifat metaboliknya yang unik sehingga dapat dikonsumsi manusia dengan baik. Karakteristik susu kambing adalah : (1) warnanya lebih putih; (2) globula lemak lebih kecil dan beremulsi dengan susu; (3) lemak susu kambing lebih mudah dicerna (4) susu kambing mengandung

vitamin dalam jumlah memadai atau berlebih, kecuali vitamin C, D, piridoksin dan asam folat. Blakely dan Blade (1998) mengatakan susu kambing memiliki perbedaan karakteristik dibandingkan dengan susu sapi, yaitu warna lebih putih, lemaknya lebih mudah dicerna, curd proteinnya lebih lunak sehingga memungkinkan untuk dibuat keju yang spesial, mengandung mineral (kalium, fosfor, vitamin A, vitamin E dan B komplek) yang tinggi dan aman dikonsumsi penderita alergi terhadap susu sapi.

Pasteurisasi

Susu pasteurisasi adalah susu segar, susu rekonstitusi atau susu rekombinasi yang telah mengalami proses pemanasan pada temperatur 63-66oC minimum selama 30 menit atau pemanasan 72oC minimum selama 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10oC, selanjutnya diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4.4oC. Susu rekonstitusi adalah susu yang diperoleh dari penyatuan kembali bagian-bagian daripada susu yang sudah dipisahkan, sedangkan susu rekombinasi adalah susu yang diperoleh dari kombinasi bahan baku susu segar dengan rekonstitusi.

Tujuan pasteurisasi adalah membunuh bakteri patogen dan non patogen dengan tetap mempertahankan spora bakteri (Fardiaz 1989; Gaman dan Sherington 1992), juga untuk memperpanjang umur simpan susu. Hubbert dan Hagstad (1991) menjelaskan suhu proses pasteurisasi susu berdasarkan rekomendasi Public Health Service (PHS) USA seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5, sedangkan perbandingan komposisi antara susu sapi segar dan susu sapi pasteurisasi diperlihatkan pada Tabel 2.6.

Penentuan waktu dan suhu dimaksudkan untuk dapat membunuh bakteri patogen terutama penyebab tuberkulosis, yaitu Mycobacterium tuberculosis, S. aureus, Salmonella sp, E. coli, Yersinia enterolitica dan Listeria monocytogens

Tabel 2.5 Aplikasi suhu dan waktu pada berbagai proses pasteurisasi Suhu

Waktu (detik) Istilah Umum

o

C oF

63 145 1800 Long Time Holding (LTH)

72 161 15 High Temperature Short Time (HTST)

89 191 1

90 194 0.5

94 201 0.1

96 204 0.05

100 212 0.01

138 286 2 Ultra Hight Temperature (UHT)

Sumber: Hubbert dan Hagstad (1991)

Tabel 2.6 Perbandingan komposisi susu segar dan susu pasteurisasi

Komposisi Susu segar (%) Susu pasteurisasi (%)

Air 87.25 87.31 – 88.61

Protein 3.50 2.73 – 2.90

Lemak 3.80 3.00 – 3.40

Laktosa 4.80 4.80 – 4.91

Mineral 0.65 0.16 – 0.18

Sumber: Muchtadi dan Sugiyono (1992)

Bakteri Patogen

Bakteri pencemar dalam susu dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Keduanya dapat menimbulkan penyakit yang dikenal dengan Tmilkborne diseasesT seperti tuberkulosis, demam tipoid/Ttyphoid

feverT dan bruselosis (Shiddieqy 2009). Menurut USFDA (1999), bakteri patogen

penyebab utama keracunan dikarenakan kemampuannya untuk berpenetrasi, bertahan hidup dan bermultiplikasi pada sel inang di antaranya adalah Salmonella

sp., Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus,

Camphylobacter sp., Shigella sp., Clostridium botulinum dan Escherichia coli. Tingkat bahaya bakteri tersebut bergantung pada beberapa faktor antara lain lingkungan (komposisi makanan, suhu) dan faktor bakteri seperti galur dan jenis toksin (Stewart et al. 2003).

Beberapa bakteri patogen yang berhubungan dengan susu segar antara lain

Staphylococcus, Salmonella serovar dan Y. enterocolitica. Bakteri patogen ini berbahaya bagi wanita hamil, anak-anak, orang tua dan orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Peningkatan sanitasi dan inovasi pasteurisasi mampu meminimalkan resiko infeksi penyakit yang disebabkan oleh susu yang terkontaminasi (Jayarao et al. 2006).

Struktur Sel Bakteri

Bakteri mempunyai ukuran yang bervariasi dengan panjang 0.2 – 60 µm dengan diameter satu hingga beberapa mikron. Kebanyakan bakteri yang menginfeksi manusia mempunyai ukuran panjang 1 – 3 µm (Boyd 1995), morfologi bakteri mempunyai struktur yang tidak sempurna, tidak mempunyai dinding inti (membran nukleus), mitokondria dan retikulum endoplasma (Davis et al. 1976). Struktur sel bakteri diperlihatkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur sel bakteri (http://biobakteri.wordpress.com/2009)

Dinding sel bakteri relatif tebal dan kaku terletak di sebelah luar membran sitoplasma, berfungsi melindungi membran sitoplasma yang rapuh dan menjaga bentuk sel bakteri. Semua dinding sel bakteri mempunyai komponen struktural yang sama dinamakan mukopolisakarida dinding sel yaitu peptidoglikan (muriein) (Moat dan Foster 1988). Komponen dinding sel memberikan kekakuan yang diperlukan untuk mempertahankan keutuhan sel. Peptidoglikan adalah molekul yang sangat besar meliputi seluruh sel, tersusun dari N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta beberapa asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat dan lisin atau asam diamino pimelat (ADP). Asam amino ini menempel pada N-

asetilmuramat yang bisa berbeda untuk setiap organisme. Struktur peptidoglikan ini hanya terdapat pada sel prokariot, N-asetilmuramat tidak pernah ditemukan pada sel eukariot (Fardiaz 1989).

Membran sitoplasma terletak di antara sitoplasma dan dinding sel dengan ketebalan berkisar 7.5 nm (Fardiaz 1989). Membran ini rapuh tepat terletak di bawah dinding sel yang kaku dengan kandungan 8-10% dari bobot kering sel (Volk dan Wheeler 1988). Membran sitoplasma baik pada bakteri Gram positif dan Gram negatif terdiri dari dua lapis lipid (lipid bilayer) disusun dari unsur dasar yang sama yaitu fosfolipid, glikolipid dan bermacam-macam protein (Moat dan Foster 1998). Protein merupakan komponen utama dari dinding sel (60- 80%), yang dikelompokkan menjadi protein periferal (protein dekat membran berikatan secara elektrostatik atau interaksi hidrofobik) dan protein integral (protein yang sebagian melekat pada membran dan sebagian muncul pada permukaan membran (Beuchat 1978). Di dalam membran sel terdapat enzim- enzim yang terlibat dalam pemasangan komponen dinding sel.

Ribosoma merupakan komponen penting untuk proses sintesa protein dalam sel, terdiri 60% RNA dan 40% protein (Fardiaz 1989). Ribosom terletak di dalam sel dan mengisi sitoplasma dengan bobot mencapai 50% dari bobot sel. Kapsul merupakan komponen berlendir yang kompak mengelilingi permukaan sel, jika komponen tersebut tidak terlalu kompak dan mudah lepas disebut lapisan lendir. Kapsul dan lapisan lendir ini terdiri dari polisakarida, polipeptida atau kompleks polisakarida protein. Pembentukan kapsul oleh bakteri dipengaruhi medium pertumbuhan dan kondisi lingkungan. Pembentukan kapsul oleh bakteri dapat meningkatkan ketahanan bakteri terhadap panas, bahan kimia maupun sel fagosit jika sel tersebut masuk ke dalam tubuh (Fardiaz 1989).

Bakteri dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan komposisi dinding sel dan pewarnaan, yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif (Fardiaz 1989). Pemberian zat warna yang sama pada kedua bakteri ini memberikan hasil yang berbeda. Bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif sama-sama diberi zat warna kristal violet, kelebihan zat warna dicuci dengan air kemudian diberi larutan yodium (lugol), kompleks kristal violet dengan yodium yang terbentuk berwarna violet biru. Setelah dilakukan pencucian dengan alkohol, pada Gram

negatif dinding sel menjadi tidak berwarna dan diberi pewarna safranin warnanya berubah menjadi merah sedangkan pada bakteri Gram positif setelah dicuci dengan alkohol tetap berwarna violet biru dengan penambahan safranin dan tidak berpengaruh terhadap warna biru.

Bakteri Gram Positif

Dinding sel bakteri Gram positif (20 – 80 µm) (Volk dan Wheeler 1988), 90% dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan dan sisanya asam teikoat dan asam teikuronat (Roger et al. 1980). Kebanyakan bakteri Gram positif berbentuk kokus (bulat) mengandung lisin sebagai pengganti ADP, sedangkan Gram poistif lainnya mengandung asam amino (Fardiaz 1989). Bakteri S. aureus

rantai peptida yang menempel pada asam muramat adalah L-alanin, D-glutamat, L-lisin dan D-alanin, antar tetrapeptida terdapat ikatan silang yang terdiri 5 unit glisin membentuk jembatan dari D-alanin pada posisi 4 dari suatu tetrapeptida ke asam amino pada posisi 2 atau 3 pada peptida tetangga (Moat dan Foster 1988). Derajat ikatan silang antar peptida pada bakteri S. aureus berdekatan sangat tinggi (100%), berlawanan dengan E. coli derajat silangnya rendah kira-kira 30%. Menurut Franklin dan Snow (1989), dinding sel bakteri Gram positif banyak mengandung asam amino alanin yang bersifat hidrofobik.

Bakteri Gram positif mengandung asam teikoat yang tidak terdapat pada bakteri Gram negatif (Moat dan Foster 1988). Asam teikoat mencakup semua polimer yang mengandung gliserol yang terdapat pada dinding sel, membran dan kapsul. Asam teikoat ini bermuatan negatif yang dapat mempengaruhi muatan pada permukaan sel (Volk dan Wheeler 1988).

Bakteri Gram Negatif

Dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai susunan kimia yang lebih rumit daripada Gram positif. Dinding selnya berlapis-lapis dengan lapisan peptidoglikan hanya 5-20% dari dinding sel, lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz 1989).

Bagian luar peptidolikan terdapat lapisan dinding sel yang kompleks, disebut membran sel (outer membrane) (Boyd 1995). Membran luar ini menempel pada peptidoglikan dan dihubungkan molekul lipoprotein, disusun oleh fosfolipid 20-30%, liposakarida 30% dan protein 40-50%. Rongga antar membran luar dan lapisan peptidoglikan disebut ruang periplasma berisi enzim-enzim periplasma yang tergolong dalam enzim ekstraseluler (Fardiaz 1989), ruang ini merupakan tempat lewatnya bermacam-macam enzim dan protein (Moat dan Foster 1988).

Fosofolipid dari membran luar susunannya mirip dengan membran bilayer

pada membran sitoplasma. Protein yang terdapat pada fosfolipid berupa saluran yang disebut porin, dimana protein ini berfungsi sebagai pengangkut zat makanan (Boyd 1995). Permukaan luar Gram negatif mengandung lemak lebih banyak dibandingkan bakteri Gram positif, dalam bentuk lipopolisakarida yang melekat pada fosfolipid sementara bagian polisakarida muncul pada permukaan sel. Komponen lipid dari lipopolisakarida disebut lipid A yang bersifat toksik (Moat dan Foster 1988).

Salmonella enteridis subsp. Typhimurium

Klasifikasi S. Typhimurium termasuk dalam kTingdom TTTEubacteriaT, filum

TTT

ProteobacteriaT, kelas Gamma ProteobacteriaT, ordo EnterobacterialesT, famili

T

EnterobacteriaceaeT, genus TSalmonellaT, spesies S. enterica, subspesies enteritica, serotipe Typhimurium. Koloni S. Typhimurium pada media Salmonella dan

Shigella Agar dan sel bakteri Salmonella secara mikroskopis diperlihatkan pada Gambar 2.2.

(a) (b)

Gambar 2.2 (a) Koloni S. Typhimurium pada SSA dan (b) sel S. Typhimurium (Todar 2009)

S. Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan bersifat motil dengan flagel peritrikus. Salmonella tidak membentuk spora, tidak berkapsul, bersifat motil (kecuali S. pullorum dan S. gallinarum). S. Typhimurium mempunyai ukuran panjang 2-3 µm dan lebar 0.6-0.7 µm dan mampu tumbuh pada kondisi anaerobik maupun aerobik. Bakteri ini tumbuh pada kisaran suhu 2- 47oC dengan kisaran pH 3.6-9.5 (pH optimum pertumbuhan 6.5-7.5). Nilai aBw

B

optimum untuk pertumbuhan adalah 0.94-0.99. Bakteri ini merupakan bakteri patogen berbahaya, selain dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, juga dapat menyebabkan demam tifus (Fardiaz 1992). S. Typhimurium dengan jumlah 11 000 sel/ml sudah dapat menimbulkan gejala keracunan.

Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus dengan diameter 0.7-0.9 µm, nonmotil, tidak membentuk spora dan fermentatif. Bakteri kokus ini bersifat aerob fakultatif tetapi pada keadaan anaerobik pertumbuhannya sangat lambat (Lay dan Hastowo 1992). Kisaran pH untuk pertumbuhannya di antara 4.2-9.3 dan optimum pada 7.0 (Lopez dan Belloso 2005). Suhu optimum pertumbuhan bakteri ini adalah 35-37oC, suhu minimal 6.7oC dan maksimal 45.5oC (Suriawiria 2005). Bakteri ini hidup pada aw serendah-rendahnya 0.83 hingga lebih dari 0.99 (USFDA 2003).

Pertumbuhan S. aureus dipengaruhi oleh kondisi yang bervariasi, namun secara umum pertumbuhan terjadi pada suhu 7-47.8oC dan enterotoksin diproduksi pada suhu antara 10oC dan 46oC dengan suhu optimum 40-45oC (Jay 2000). Konsentrasi S. aureus sekitar 107 cfu/g dalam bahan pangan dapat memproduksi cukup enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan.

S. aureus dalam susu segar dan produk pangan dapat menyebabkan toxic shock syndrome sebagai akibat dari keracunan pangan. Staphylococcal enterotoxin (SE) merupakan agen yang menyebabkan sindrom keracunan dalam makanan baik pada manusia maupun hewan (Dinges et al.2000).

Jumlah sel yang diperlukan oleh bakteri S. aureus untuk dapat menghasilkan racun enterotoksin yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 cfu/g (Jay et al. 2005). Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi S. aureus

yang diperlukan untuk menghasilkan toksin yang cukup serius adalah 5 x 106 cfu/g dimana toksin yang dihasilkan tersebut bersifat tahan panas. Jumlah enterotoksin yang dapat menyebabkan penyakit serius adalah apabila dikonsumsi sebanyak 1 mg/g. Menurut USFDA (1999), bila jumlah bakteri S. aureus telah mencapai 105 cfu/g akan dihasilkan toksin sebanyak < 1 mikro gram yang merupakan jumlah batas aman sehingga tidak menyebabkan terjadinya penyakit.

Escherichia coli

E. coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang, termasuk dalam famili enterobakteria, anaerobik fakultatif, cenderung bersifat patogen bagi hewan dan manusia, tidak membentuk spora, fermentatif serta biasanya motil (Lay dan Hastowo 1992). E. coli berukuran 1.1-1.5 x 2.0-6.0 µm (Rhea 2008), motil, hidup secara anaerobik fakultatif, cenderung bersifat patogen bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Kisaran suhu pertumbuhan E. coli adalah antara 10-40oC dengan suhu optimum 30oC. Kisaran pH antara 7.0-7.5 dengan nilai aw minimum untuk pertumbuhan adalah 0.96. Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas sehingga inaktif pada suhu pasteurisasi 70 sampai 80oC (Fardiaz 1992).

E. coli merupakan agen penyakit pada hewan yang peka yaitu hewan menyusui dan hewan muda terutama yang berumur kurang dari satu minggu.

E. coli mempunyai habitat normal yang berada di saluran pencernaan hewan berdarah panas dan biasa digunakan sebagai indikator kualitas air. Mikroorganisme ini dapat ditemukan di tumbuhan, tanah dan air, saluran pencernaan hewan, produk-produk hewani dan makanan siap saji yang ditangani secara langsung (Barbosa-Cánovas et al. 1999).

Ultraviolet (UV)

Aplikasi UV pada produk bahan pangan merupakan salah satu teknik iradiasi non pengion. Iradiasi adalah proses aplikasi radiasi energi pada produk bahan pangan. Menurut Maha (1985), iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah, sedangkan Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa iradiasi adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan pangan dengan menggunakan sumber radiasi buatan.

Cahaya UV mempunyai panjang gelombang antara 100 sampai 400 nm, dimana UV-A (315 – 400 nm) yang dapat mengakibatkan perubahan warna pada kulit menjadi hitam yang disebut dengan “tanning”, UV-B (280 – 315 nm) yang menyebabkan kulit terbakar dan sering digunakan untuk penyinaran penyakit kanker, UV-C (200 – 280 nm) yang disebut wilayah germicidal yang efektif untuk inaktivasi bakteri dan virus, serta UV-vakum (100 – 200 nm) yang dapat diserap oleh semua bahan dan dapat diteruskan hanya pada kondisi vakum (Koutchma et al. 2009). Kisaran panjang gelombang 253-264 nm merupakan panjang gelombang yang mempunyai efek puncak germisidal yang dikenal sebagai spektrum germisidal, diperlihatkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kelompok kisaran radiasi UV (Atilgan 2007)

Sumber cahaya UV umumya digolongkan dalam tiga tipe yaitu: a) Low Pressure (LP); b) Low Pressure High Output (LPHO); dan c) Medium Pressure

(MP). Tipe lampu UV didasarkan pada tekanan gas merkuri ketika lampu UV

Gambar 2.4 Skematik (a) lampu UV tipe LP; (b) LPHO dan (c) MP (Koutchma et al. 2009)

UV-C sering digunakan secara komersial untuk disinfektan partikel penyaring udara dan dekontaminasi permukaan setelah pembersihan. Cahaya UV

memiliki sifat kedalaman penetrasi yang rendah sehingga UV lebih cocok digunakan pada perlakuan permukaan. Penggunaan UV diijinkan di beberapa negara untuk aplikasi pada produk makanan, tetapi dapat dengan mudah menyebabkan perubahan warna dan off flavor (cita rasa yang menyimpang) jika penggunaan dosis dan lama perlakuan yang tidak tepat (Koutchma et al. 2009).

Permasalahan Iradiasi Pangan

Permasalahan yang menyangkut kesehatan pada produk pangan yang diiradiasi adalah permasalahan tentang gizi, mikrobiologis, toksikologi dan persepsi masyarakat.

(a)

(b)

a) Aspek Gizi

Masalah gizi produk pangan yang diiradiasi adalah kekhawatiran adanya perubahan kimia yang mengakibatkan penurunan nilai gizi, menyangkut perubahan komposisi protein dan vitamin (Glubrecht 1987). Aplikasi dosis iradiasi hingga 1 kGy pada produk tidak menimbulkan perubahan yang nyata, sedangkan pada dosis 1-10 kGy, bila udara pada saat iradiasi dan penyimpanan tidak dihilangkan, mengakibatkan penurunan beberapa jenis vitamin. Kondisi iradiasi yang tepat, tidak menyebabkan perubahan nilai gizi pada produk pangan, terutama makronutrisi seperti karbohidrat, lemak dan protein (Purwanto dan Maha 1993).

b) Aspek Mikrobiologis

Masalah yang mungkin ditimbulkan dari aplikasi iradiasi pada produk pangan adalah sifat resistensi atau efek mutagenik dan peningkatan patogenitas mikroorganisme (WHO 1991; Simatupang 1983).

c) Aspek Toksikologi

Iradiasi pada produk pangan yang mengandung air menyebabkan ionisasi dari bagian molekul-molekul air dengan pembentukan hidrogen dan radikal hidroksil yang sangat reaktif. Radikal-radikal ini berperan terhadap pengaruh biologis iradiasi pengion. Kekhawatiran ini terjawab berdasarkan penelitian yang dilakukan dan tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa makanan iradiasi berbahaya bagi kesehatan konsumen. Pakar FAO, WHO IAEA pada tahun 1981 yang tergabung dalam JECFI (Joint Expert Committee on Food Irradiation) memberikan rekomendasi yang menyatakan bahwa semua jenis bahan pangan yang diiradiasi sampai batas 10 kGy adalah aman dikonsumsi (Hasbullah 2011). d) Faktor Persepsi Masyarakat

Proses iradiasi dilaksanakan dengan melewatkan/pemaparan pangan pada radiasi ionisasi dalam jumlah dan waktu yang terkontrol. Proses ini tidak akan meningkatkan tingkat radioaktivitas pangan. Gelombang energi yang dilepas selama proses dapat mencegah pembelahan mikroorganisme penyebab pembusukan bahan pangan seperti bakteri dan jamur melalui perubahan struktur molekul (Hasbullah 2011). Persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam proses

pengolahan pangan dengan iradiasi adalah energi yang digunakan tidak boleh menyebabkan terbentuknya senyawa radioaktif pada bahan pangan (Sofyan 1984). Setiap jenis bahan pangan memerlukan dosis khusus untuk dapat dicapai hasil yang diinginkan, jika dosis radiasi yang digunakan kurang dari dosis yang diperlukan, efek yang diinginkan tidak tercapai, sebaliknya jika dosis yang diberikan berlebihan, bahan pangan akan rusak sehingga tidak dapat diterima konsumen. Iradiasi pangan merupakan proses yang aman dan telah disetujui lebih kurang dari 50 negara di dunia dan telah diterapkan secara komersial selama puluhan tahun di USA, Jepang dan beberapa negara Eropa (Hasbullah 2011). Berdasarkan kondisi di atas maka persepsi masyarakat terhadap produk pangan iradiasi yang dianggap berbahaya bagi kesehatan menjadi terpatahkan.

Estimasi Dosis UV

Dosis UV adalah hasil perkalian intensitas dengan waktu kontak (mJ/cm2). Dosis UV-C yang umum digunakan untuk menginaktivasi mikroorganisme diperlihatkan pada Tabel 2.7. Sedangkan Energi yang dibutuhkan (dosis UV) untuk menginaktivasi mikroorganisme sebesar 90% dan 99 % diperlihatkan pada Lampiran 2.1

Tabel 2.7 Aplikasi dosis UV-C (mJ/cm2) pada berbagai mikroorganisme Jenis mikroorganisme D10 UV Dosis (mJ/cm2) Enteral bacteria

Cocci dan micrococci Spora Virus Ragi Fungi Protozoa Alga 2-8 1.5 – 20 4 – 30 5 – 30 2.3 – 8 30 – 300 60 -120 300 – 600 Sumber : Koutchma et al. (2009)

Model sederhana yang digunakan untuk mengestimasi dosis UV adalah menggunakan model radial (Koutchma et al. 2009), dengan nilai  sebagai nilai koefisien absorbsi diperlihatkan pada Tabel 2.9.

r L r e e x r P I     2 ) ( ………. (2.1)

Keterangan: I(r) adalah intensitas lampu UV (mW/cm2) pada jarak radial dari lampu (cm), PL adalah daya lampu UV yang dipancarkan per unit panjang reaktor yang terkena lampu (mW/cm), r adalah jarak radial cairan dari lampu UV (cm), α adalah koefisien absorbsi sinar UV

pada cairan bahan pangan (cm-1)

Tabel 2.8 Koefisien penyerapan bahan pangan cair pada UV-C 254 nm Bahan pangan cair Nilai α (cm-1

) Air suling Air minum Sirup jernih Anggur putih Anggur merah Bir Sirup gelap Susu 0.007 – 0.01 0.02 – 0.1 2 – 5 10 30 10 – 20 20 – 50 300

Sumber : Guerrero-Beltrán dan Barbosa-Cánovas (2004)

Model Mekanisme Inaktivasi Mirkoorganisme pada UV

Perlakuan sinar UV umum digunakan untuk menginaktivasi mikroorganisme dari bahan pangan cair seperti jus, cuka apel dan susu. Aplikasi metode UV tidak menyebabkan sifat organoleptik dan sifat nutrisi bahan pangan berubah (Binstsis

et al. 2000).

Mekanisme inaktivasi mikroorganisme oleh sinar UV dengan cara merusak asam nukleat sehingga mencegah replikasi mikroorganisme. Inti sel dikomposisi oleh rantai ganda DNA, yang diperlukan untuk sintesis ribosomal, transfer dan massengger RNA, yang bertanggungjawab pada proses sintesis dalam sel. DNA dan RNA merupakan polimer yang panjang terdiri dari kombinasi empat nukleotida. Nukleotida DNA tersusun atas pirimidin, purin, adenin dan guanidin, timin dan sitosin. Nukleotida RNA terdiri atas purin, adenin, guanin dan pirimidin, urasil dan sitosin. Asam nukleat merupakan untaian ganda dengan nukleotida rantai satu komplementer dengan lainnya. Adenin berpasangan dengan timin dalam DNA dan berpasangan dengan urasil pada RNA, sementara guanidin berpasangan dengan citosin. Ikatan yang membentuk kedua pasangan adalah ikatan hidrogen. Setiap nukleotida bisa pecah menjadi dua bagian yaitu gula phospat dan basa nitrogen. Mekanisme inaktivasi UV terhadap DNA dan RNA menghasilkan dimmer pirimidin seperti diperlihatkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur DNA yang pecah karena terpapar sinar UV (Koutchma et al. 2009)

Gambar 2.6 Efek sinar UV-C pada DNA (Atilgan 2007)

Asam nukleat mengabsorbsi sinar UV pada kisaran panjang gelombang 200 hingga 310 nm, akan mengganggu struktur DNA dan RNA yang mendorong terjadinya kerusakan yang diawali dengan pembentukan dimmer pirimidin, yaitu dengan membentuk ikatan antara pasangan timin atau sitosin-pirimidin yang berdekatan pada untai DNA atau RNA yg sama. Dimmer ini mencegah mikroorganisme bereplikasi sehingga tidak aktif dan tidak mampu menginfeksi.

Dokumen terkait