• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

Positive Deviance

Positive Deviance digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi kurang (Zeitlin et al 1990).

Positive Deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara- cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan yang menguntungkan sebagai inti program positive deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE 2003).

Adanya pengaruh perilaku terhadap masalah gizi, memerlukan pengamatan untuk mengetahui perilaku seperti apa, yang diperlukan untuk menanggulangi masalah gizi pada anak. Salah satu bentuk pengembangan perilaku dalam penanggulangan masalah gizi adalah positive deviance yang telah dilakukan di Jakarta, Bogor, dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak usia 6 – 17 bulan berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapatkan senyum dari ibu,

keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapatkan perhatian orangtua (Jahari et al 2000).

Status Gizi

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi panganan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2004). Status gizi adalah tanda- tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat terutama digambarkan oleh status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan, dimulai pada wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah (Gibson 2005).

Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menyatakan bahwa penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan hal yang sama yakni penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (LIPI 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kesadaran gizi, persediaan pangan, daya beli masyarakat dan kesehatan individu, yang saling tidak dapat terpisahkan. Unicef (1998) menyatakan bahwa status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsung dan determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya adalah kemiskinan.

Sementara WHO mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi seperti infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga, ketersediaan pangan serta penghasilan rumah tangga. WHO melihat bahwa status gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah dimasyarakat (kurang pendidikan, pengetahuan, ketrampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan, pola asuh anak yang kurang baik, pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak terpenuhi sehingga pemberian makan tidak seimbang yang pada akhirnya terjadilah status gizi kurang (Suryono & Supardi 2004).

Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Cara yang paling umum dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan adalah pengukuran antropometrik. Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan per Umur (BB/U); Tinggi Badan per Umur (TB/U); Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB); Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U); Indeks Massa Tubuh (IMT); Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur; Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul (Depkes 2005). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).

Alat ukur. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui berat badan yaitu ada 2 macam timbangan yaitu tipe Salter spring balance (timbangan gantung) dan tipe Bathroom scale. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui panjang/tinggi badan yaitu Baby length board (untuk bayi) dan Vertical measures (microtoise). Untuk mengukur lingkar lengan atas (LILA) dengan menggunakan pita ukur non- elastis, sebagai alternatif bila tidak memungkinkan mengukur berat badan dan tinggi badan .

Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan

Nilai Individu Subjek Nilai Median

Analisis hasil pengukuran antropometri. Ada tiga cara yang biasa digunakan, antara lain :

1. Nilai Skor-Z atau SD

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai nilai SD atau skor-Z di bawah atau di atas nilai mean atau median rujukan. Dikatakan gizi normal, bila antara -2SD sampai +2SD. Gizi kurang, bila <-2SD. Dan gizi lebih, bila >+2SD.

WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Dengan ambang batas (cut off points), yaitu : - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 11% dari median BB/U

- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 10% dari median BB/TB - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 5% dari median TB/U Rumus perhitungan z-skor, adalah:

Z-skor =

2. Nilai persen terhadap nilai median

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai persen dari nilai median rujukan, yaitu hasil analisis: Gizi baik, bila 90% median TB-U mendekati nilai -2SD, 80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 80% median BB-U mendekati nilai -2SD. Gizi kurang, bila 71%-80% median TB-U mendekati nilai -2SD, 71%-80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 61%-70% median BB-U mendekati nilai -2SD. Rumus perhitungan yang digunakan adalah:

X 100% 3. Nilai persentil

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai posisi individu dalam sebaran populasi rujukan. Dikatakan normal, bila antara persentil 5 dan 95. Kurang, bila kurang persentil 5. Dan Lebih, bila lebih persentil 95.

Status Gizi diukur dengan BB/U atau TB/U atau BB/TB dikatakan normal apabila angka atau nilai z-skor terletak antara -2 SD sampai 2 SD dari nilai median standar WHO. Status gizi dikatakan kurang, apabila nilai ketiga jenis ukuran diatas kurang dari -2 SD atau di bawahnya. Nilai tersebut menjadi buruk, apabila nilainya berada di bawah dari -3 SD. Sebaliknya apabila nilai z-skor di atas 2 SD maka disebut gizi lebih (gemuk) dan diatas 3 SD dikatakan gemuk sekali (Soekirman 2000).

Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran fisik dari waktu ke waktu yang merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mengikuti perjalanan waktu (Jahari 2002). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan berat (gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh) (Tanuwijaya 2003).

Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan jenis kelamin, yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat- obatan dan penyakit (Supariasa 2002).

a. Genetik

Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak secara langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa system biologis yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan

mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia (Bogin 1999).

b. Lingkungan

Lingkungan biofisik dan psiko-sosial merupakan faktor yang mempengaruhi individu setiap hari dan sangat berperan penting dalam menentukan tercapainya potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (2004) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal.

Lingkungan Pra Natal

Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir, antara lain seperti :

a) Gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.

b) Mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang, dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat- obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah.

c) Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada pertumbuhan janin adalah somatotropin, yang disebut juga hormon pertumbuhan. Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatik terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi oleh hormon ini. Growth hormon merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan, dan aktivitasnya meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.

d) Stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga dapat menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah (BBLR).

Lingkungan Post Natal

Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh.

c. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler (Jellife 1989).

Pertumbuhan pada usia 2 tahun pertama dicirikan dengan pertambahan gradual baik pada kecepatan pertumbuhan linier maupun laju pertambahan berat badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai dengan pertumbuhan cepat (spurt of growth) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia 2 tahun, kemudian pada usia 2 tahun hingga 5 tahun pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dibandingkan ketika masih bayi, walaupun pertumbuhan terus berlanjut dan akan mempengaruhi ketrampilan motor, sosial, emosional dan perkembangan kognitif (Seifert & Hoffnung 1997).

Proses pertumbuhan anak berlangsung pada sel, organ dan tubuh. Pertumbuhan tersebut terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia (bertambahnya jumlah sel), hyperplasia dan hipertropi (bertambahnya ukuran dan kematangan sel). Selanjutnya, setiap organ atau bagian tubuh lain mengikuti pola pertumbuhan yang berbeda dalam setiap tahapan tersebut (Anwar 2002).

Pertumbuhan pada masa kanak-kanak adalah proses yang relatif stabil. Pertumbuhan ponderal yang dilihat dari kenaikan berat badan rata-rata pada 6 bulan pertama naik sebesar 0,5-1,0 kg per bulan dan kenaikan pada 6 bulan kedua berkisar dari 0,35-0,50 kg per bulan. Sementara selama tahun kedua, angka penambahan berat badan sekitar 0.25 kg per bulan dan pada usia 10 tahun kenaikan berat badan sebesar 2 kg per tahun. Pertumbuhan linier yang dilihat dari

pertambahan panjang badan hingga tahun pertama kehidupan bertambah 50 persen dari panjang badan lahir dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun

keempat. Hingga usia 4 tahun, wanita tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan pria dan keduanya kemudian tumbuh dengan laju rata-rata 5-6 cm per tahun sampai munculnya masa pubertas (Jellife 1994). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Jahari 2002).

Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)

Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei.

Tabel 1 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting Klasifikasi Berat Masalah Gizi Prevalensi Underweight (%) Prevalensi Stunting (%) Prevalensi Wasting (%) Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi <10 10-19 20-29 ≥30 <20 20-29 30-39 ≥40 <5 5-9 10-14 ≥15

Pada keadaan Stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Kemenkes 2010a).

Gangguan tumbuh kembang dapat dicegah dan diperbaiki melalui: perbaikan konsumsi, suplemen dan penyuluhan gizi, peningkatan kualitas pola asuh, pelayanan kesehatan dan pencegahan terhadap infeksi sesuai dengan kerangka UNICEF (1998).

Kemiskinan dan Masalah Gizi

Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai dengan persepsi dirinya. Kebutuhan tersebut mencakup berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian kemiskinan menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak- hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi di Indonesia, sehingga pemecahannya memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Untuk penanggulangan kemiskinan, maka seluruh unsur bangsa harus ikut serta memberikan perhatian terhadap kemiskinan, tidak hanya pemerintah semata (BPS 2011).

Berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan, dan tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar nasional cocok untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan budaya cukup beragam. Indonesia mengenal tiga model untuk mengukur tingkat „kemiskinan‟. Ketiga model tersebut memiliki cara pandang dan lingkup pengertian yang berbeda (Cahyat 2004), antara lain :

Model Tingkat Konsumsi

Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun.

Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Pada tahun 1984 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perhitungan jumlah dan persentase penduduk miskin dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey sosial ekonomi nasional). BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Dari sisi akurasi, survey BPS memiliki kaidah-kaidah statistik yang harus dijalankan dalam survey dan pengolahan data. Sehingga secara metodologi statistik, lebih dapat dipertanggung jawabkan. Dari sisi fleksibilitas standar, model BPS lebih fleksibel dalam penilaian dengan dasar penilaian berdasarkan „Garis Kemiskinan‟ yang ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional maupun tingkat propinsi.

Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain sebesar $1 atau $2 Amerika Serikat per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan internasional yang seringkali menggunakan cara ini, dengan menyusun indikator tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran.

Model Kesejahteraan Keluarga

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survei yang digunakan yaitu keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan

Keluarga untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1) Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll.; 2) Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, dll.; 3) Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), sejahtera I (miskin), II, III dan III plus. 4) Data individu, seperti nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll.

Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat Nasional. Dilakukan secara rutin setiap tahun, sehingga digunakan untuk program-program pemberian bantuan bagi keluarga dan penduduk miskin.

Model Pembangunan Manusia

Pendekatan Pembangunan Manusia dipromosikan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara. Pemerintah Indonesia lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) turut mengembangkan model ini. HDR yang pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut sebagai "Pembangunan Manusia Seutuhnya". Laporan terakhir adalah laporan tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002.

HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir. Berisikan penjelasan tentang empat index yaitu Index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas

tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi. Sumber data yang digunakan adalah survey dan sensus yang dibuat oleh BPS. Namun demikian, laporan Pembangunan Manusia sangat terbatas hanya tiga tahun sekali dan skala survey umumnya tingkat propinsi yang ditingkatkan sampai kabupaten.

Penilaian kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan model tingkat konsumsi berdasarkan BPS menggunakan „Garis kemiskinan‟ untuk menghitung pengeluaran penduduk dan rumah tangga meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Selanjutnya penduduk dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk tidak miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan. Garis kemiskinan

Dokumen terkait