• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study on Positive Deviance of Stunting Problems among Under five Children from Poor Family in Bogor City

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study on Positive Deviance of Stunting Problems among Under five Children from Poor Family in Bogor City"

Copied!
332
0
0

Teks penuh

(1)

ERNY ELVIANY SABARUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Masalah Stunting Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2012

Erny Elviany Sabaruddin

(4)
(5)

Problems among Under five Children from Poor Family in Bogor City. Under direction of IKEU TANZIHA and YAYAT HERYATNO.

The objectives of the study was to analyze the Positive Deviance of stunting problems among under-five children in poor family. Design of this research was retrospective study, with 140 samples of under five children aged between 24 and 59 months from poor family in Bogor. Family socio-economic characteristics, maternal characteristics, children characteristics, maternal knowledge of nutrition and health, feeding and health patterns, pregnancy history, birth children history, breastfeeding (consumption of milk) history, children health history, and consumption patterns of children, were the factors analyzed in this study. Data were collected directly through interviews using a questionnaires, then analyzed using chi square and logistic regression. The results showed that factors significantly influence the nutritional status of under-five children in poor family based on the index TB/U are maternal education (OR = 0.236; 95%CI: 0.057–0.973), children health history (OR = 0.328; 95%CI: 0.129–0.835) and maternal employment status (OR= 3.161; 95%CI: 1.087–9.194). In other hands, the logistics regression analysis showed that pregnancy history (OR= 0.385; 95%CI: 0.169-0.879) and environmental sanitation practices (OR= 0.491; 95%CI: 0.243-0.990) were significantly influence of positive deviance. The good habits were significantly owned by group of normal children, among others: mothers who have never experienced a miscarriage, do not consume herbal medicine during pregnancy and regular pregnancy checkups. The house is always cleaned every day before the child is playing, there is the distance between the family house with neighbors, attention to cleanliness of the family toilet after being used.

(6)
(7)

Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA dan YAYAT HERYATNO.

Anak-anak merupakan masa depan bangsa yang sangat penting dalam pembangunan SDM yang berkualitas. Tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Selain masalah gizi kurang dan gizi buruk (underweight) yang didasarkan pada indikator berat badan menurut umur, masalah gizi lain yang perlu mendapat perhatian serius, adalah stunting yang berarti terhambatnya pertumbuhan tubuh. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010 (Kemenkes 2010a), secara nasional terjadi penurunan prevalensi anak balita stunting dari 36,8 persen (2007) menjadi 35,6 persen (2010). Sementara prevalensi anak balita stunting di Jawa Barat berdasarkan umur 24-59 bulan mendekati angka nasional 33,6 persen. Walaupun secara nasional terjadi penurunan, namun perbedaan persentase yang terjadi sangat sedikit dan menurut WHO (1995) dalam Riyadi (2001), prevalensi stunting 30%-39% masih menggambarkan status gizi yang diklasifikasikan dalam masalah gizi tinggi. Pendekatan positive deviance merupakan pemecahan masalah gizi yang berbasis keluarga dan masyarakat, dengan mengidentifikasi berbagai perilaku ibu atau pengasuh yang memiliki anak bergizi baik tetapi dari keluarga kurang mampu dan menularkan kebiasaan positif kepada keluarga lain yang memiliki anak dengan gizi kurang (Zeitlin et al. 1990).

(8)

Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256.414,- dengan jenis pengeluaran proporsi pangan yang masih tinggi (>65%). Keluarga balita normal memiliki persentase tertinggi antara lain pada besar keluarga termasuk kategori keluarga kecil < 4 orang (56,4%), memiliki satu balita (82,9%), umur ibu termasuk dalam golongan dewasa awal (91,4%) dan sebagian besar ibu tidak bekerja (87,1%). Sedangkan keluarga balita stunting memiliki persentase tertinggi antara lain pada umur ayah tergolong dewasa awal (85,7%), lama pendidikan ayah (80%) dan ibu (94,3%) kurang dari 9 tahun, dan tinggi badan ayah (57,1%) dan ibu (90%) berada dibawah standar referensi AKG menurut umur. Sementara seluruh ayah balita memiliki pekerjaan dan sebagian besar sebagai buruh.

Berdasarkan karakteristik ibu, sebagian besar balita normal memiliki ibu dengan 2 orang anak (67,1%) dan tidak memiliki penyakit berat sebelum dan selama masa kehamilan (77,1%). Sementara pada kelompok balita stunting, sebagian besar (85,7%) umur ibu pada saat hamil contoh berada pada kelompok umur 20-40 tahun dan jarak kehamilan antar anak lebih dari 24 bulan (72,9%).

Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran anak. Pada kelompok normal, sebaran data menunjukkan balita laki-laki lebih banyak (51,4%), kecenderungan yang diperoleh berdasarkan penggolongan umur yaitu semakin tinggi umur anak semakin menurun pertumbuhan (stunting). Sementara menurut urutan kelahiran, menunjukkan sebagian besar merupakan anak bungsu baik pada kelompok balita normal (52,9%) maupun stunting (61,4%), selanjutnya diikuti oleh anak sulung dan tengah.

Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu termasuk dalam kategori baik (55,7%), dan persentase tertinggi dimiliki oleh ibu-ibu dari kelompok balita normal (68,6%) dibanding kelompok balita stunting (42,9%).

Penentuan Riwayat kehamilan ibu meliputi jenis persalinan, tempat persalinan, komplikasi persalinan, riwayat persalinan, pemeriksaan kesehatan serta makanan dan minumam yang dikonsumsi selama kehamilan. Sebagian besar riwayat kehamilan ibu termasuk dalam kategori baik (75,7%), dan tertinggi berada pada kelompok balita normal (84,3%) daripada kelompok balita stunting (67,1%). Penentuan riwayat kelahiran anak meliputi panjang dan berat badan, sumber informasi saat lahir serta riwayat penyakit bawaan yang dimiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar riwayat kelahiran contoh berada pada kategori kurang baik (50,7%), dan paling banyak terjadi pada kelompok balita normal (54,3%) dibanding kelompok balita stunting (47,1%).

Penentuan riwayat konsumsi ASI contoh meliputi pemberian kolostrum, ASI eksklusif, makanan-minuman saat lahir, MP-ASI serta pemberian susu formula. Sebagian besar riwayat konsumsi ASI berada pada kategori baik (75,7%) dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (77,1%) daripada kelompok stunting (74,3%).

(9)

Penentuan pola asuh kesehatan meliputi praktek perawatan diri anak dan praktek sanitasi lingkungan. Praktek perawatan diri balita termasuk kategori baik (65%), dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (67,1%) dibanding kelompok stunting (62,9%). Sebagian besar praktek sanitasi lingkungan balita termasuk kategori baik (60%), dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal (68,6%) dibanding kelompok stunting (51,4%).

Penentuan riwayat kesehatan balita meliputi sebaran kejadian diare, ISPA, dan penyakit lain yang pernah diderita contoh selama tiga bulan terakhir. Sebagian besar riwayat kesehatan balita berada pada kategori sakit (pernah terkena penyakit infeksi) (77,9%), dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita stunting (85,7%) dibanding kelompok normal (70%).

Pola konsumsi makan merupakan berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh setiap orang dan keragaman makanan balita pada penelitian ini masih kurang, sebagian besar terdapat pada kelompok ≤ 3 jenis kelompok makanan (88,6%), dan tertinggi berada pada kelompok balita stunting (94,3%). Sementara keragaman menu makanan tinggi ( ≥ 6 jenis kelompok makanan) berada pada kelompok balita normal (2,9%).

(10)
(11)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(12)
(13)

PADA KELUARGA MISKIN DI KOTA BOGOR

ERNY ELVIANY SABARUDDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Gizi Masayarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

NIM : I 151090061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Ikeu Tanziha, MS Ketua

Yayat Heryatno, SP, MPS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSc, PhD

Tanggal Ujian:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(16)
(17)

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 ini adalah tentang Kajian Positive Deviance Masalah Stunting Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS dan Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Camat Bogor Barat, Kota Bogor yang telah memberikan izin untuk dapat melaksanakan penelitian, serta berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung di tempat penelitian yang telah memberikan kontribusi bagi penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun semoga bermanfaat untuk semua.

(18)
(19)

merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara pasangan suami isteri Bapak Sabaruddin Buyung (Alm.) dan Ibu Saodah Marasabessy.

(20)
(21)

DAFTAR

ISI

Karakteristik Anak Balita ... 23

(22)
(23)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting

dan wasting ... 12 2 Anjuran jumlah porsi untuk balita menurut kecukupan energi ... 43 3 Pengkategorian dan skala pengukuran variabel penelitian ... 54 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga ... 64 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengeluaran, jenis pengeluaran

serta proporsinya ... 65 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu ... 68 7 Rata-rata tinggi badan dan z skor TB/U berdasarkan umur, jenis

kelamin dan urutan anak dalam keluarga ... 70 8 Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berdasarkan kelompok balita ... 72 9 Sebaran contoh berdasarkan riwayat kehamilan ibu, kelahiran anak,

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

(28)
(29)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Anak-anak merupakan masa depan bangsa yang sangat penting dalam pembangunan SDM yang berkualitas. Masalah anak sangat perlu mendapat perhatian khusus dalam keluarga ataupun masyarakat, karena anak merupakan sumberdaya manusia potensial yang akan mewarisi nilai-nilai dalam keluarga sekaligus sebagai cikal bakal penerus bangsa. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Sedangkan, secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya, dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi maka dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional yang secara perlahan akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita serta rendahnya umur harapan hidup (BAPPENAS 2007).

Sejak lahir hingga berusia lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya. Masa lima tahun pertama merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun intelegansinya sehingga masa ini perlu mendapatkan perawatan dan perlindungan yang intensif (Agoes & Poppy 2003).

Selain gizi kurang dan gizi buruk, masih banyak masalah yang terkait dengan gizi yang perlu perhatian lebih, diantaranya yaitu stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh. Stunting adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur diukur dengan standar deviasi dengan referensi WHO (Depkes 2009). Stunting pada masa anak-anak dapat mengakibatkan gangguan perkembangan kognitif dan terhambatnya perkembangan mental dan motorik (Hautvast et al. 2000).

(30)

prevalensi anak balita stunting di Jawa Barat berdasarkan umur 24-59 bulan mendekati angka nasional 33,6 persen. Walaupun secara nasional terjadi penurunan, namun perbedaan persentase yang terjadi sangat sedikit dan menurut WHO (1995) dalam Riyadi (2001), prevalensi stunting 30%-39% masih menggambarkan status gizi yang diklasifikasikan dalam masalah gizi tinggi.

Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan (Depkes 2009). Secara umum tingkat kemiskinan nasional cenderung terus menurun selama periode 1976-1996 namun krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 mengakibatkan peningkatan secara drastis jumlah orang Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan dan hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan metode penghitungan kemiskinan. Pada tahun 1998, tingkat kemiskinan melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 24,2 persen, namun demikian pada tahun 2010 tingkat kemiskinan berhasil diturunkan menjadi 13,3 persen sebesar 31,02 juta orang. Jumlah penduduk Jawa Barat yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 11.27 juta orang berada di bawah angka nasional (BAPPENAS 2010). Dan pendapatan kota Bogor dibawah garis kemiskinan sebesar Rp. 256.414, - (BPS 2011).

Secara nasional prevalensi penyebaran balita stunting berdasarkan segmentasi ekonomi, sebanyak 43,1 persen balita stunting terdistribusi pada populasi keluarga sangat miskin (kuintil 1) 38,9 persen miskin (kuintil 2) 34 persen keluarga sederhana (kuintil 3) 30,7 persen keluarga menengah (kuintil 4) dan keluarga tidak miskin (kuintil 5) 24,1persen. Penurunan prevalensi sesuai dengan peningkatan tingkat pendapatan keluarga namun kecenderungan lain yang terjadi yaitu prevalensi balita pendek di pedesaan lebih tinggi (39,9%) dibandingkan diperkotaan (31,4%) (Kemenkes 2010a).

(31)

asuh, status kesehatan yang berpengaruh terhadap status gizi balita khususnya pada keluarga miskin.

Pendekatan positive deviance merupakan pemecahan masalah gizi yang berbasis keluarga dan masyarakat, dengan mengidentifikasi berbagai perilaku ibu atau pengasuh yang memilki anak bergizi baik tetapi dari keluarga kurang mampu dan menularkan kebiasaan positif kepada keluarga lain yang memiliki anak dengan gizi kurang. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, melalui penelitian ini dikaji secara mendalam berbagai faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting balita pada keluarga miskin.

Perumusan masalah

Dari uraian di atas maka ada beberapa permasalahan yang ingin diketahui dan dianalisis melalui penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah :

1. Bagaimana karakteristik keluarga miskin yang mempunyai masalah stunting dan tidak stunting (normal) pada keluarga miskin.

2. Bagaimana pengetahuan gizi dan kesehatan ibu balita stunting dan normal pada keluarga miskin.

3. Bagaimana riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI dan riwayat kesehatan balita stunting dan normal pada keluarga miskin

4. Bagaimana pola asuh makan dan pola asuh kesehatan balita stunting dan normal pada keluarga miskin

5. Bagaimana pola konsumsi balita stunting dan normal pada keluarga miskin 6. Bagaimana hubungan resiko stunting dengan karakteristik balita, karakteristik

sosek keluarga, karakteristik ibu, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan dan kesehatan, riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI, riwayat kesehatan, dan pola konsumsi balita.

(32)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai faktor positive deviance stunting balita usia 24-59 bulan pada keluarga miskin. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik balita, ibu, dan sosial-ekonomi keluarga balita stunting dan normal.

2. Mengidentifikasi pengetahuan gizi dan kesehatan ibu balita stunting dan normal.

3. Mengidentifikasi riwayat kehamilan ibu, kelahiran, konsumsi ASI dan kesehatan balita stunting dan normal

4. Mengidentifikasi pola asuh makan dan pola asuh kesehatan balita stunting dan normal

5. Mengidentifikasi pola konsumsi balita stunting dan normal

6. Menganalisis hubungan resiko stunting dengan karakteristik balita, sosial ekonomi keluarga, karakteristik ibu, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan dan kesehatan, riwayat kehamilan, kelahiran, konsumsi ASI, riwayat kesehatan, dan pola konsumsi balita.

7. Mengkaji faktor-faktor yang merupakan positive deviance masalah stunting pada balitadi keluarga miskin.

Manfaat penelitian

(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Positive Deviance

Positive Deviance digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi kurang (Zeitlin et al 1990).

Positive Deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan yang menguntungkan sebagai inti program positive deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE 2003).

(34)

keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapatkan perhatian orangtua (Jahari et al 2000).

Status Gizi

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi panganan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2004). Status gizi adalah tanda-tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat terutama digambarkan oleh status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan, dimulai pada wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah (Gibson 2005).

Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menyatakan bahwa penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan hal yang sama yakni penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (LIPI 2004).

(35)

Sementara WHO mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi seperti infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga, ketersediaan pangan serta penghasilan rumah tangga. WHO melihat bahwa status gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah dimasyarakat (kurang pendidikan, pengetahuan, ketrampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan, pola asuh anak yang kurang baik, pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak terpenuhi sehingga pemberian makan tidak seimbang yang pada akhirnya terjadilah status gizi kurang (Suryono & Supardi 2004).

Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Cara yang paling umum dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan adalah pengukuran antropometrik. Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan per Umur (BB/U); Tinggi Badan per Umur (TB/U); Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB); Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U); Indeks Massa Tubuh (IMT); Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur; Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul (Depkes 2005). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).

(36)

Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan

Nilai Individu Subjek Nilai Median

Analisis hasil pengukuran antropometri. Ada tiga cara yang biasa digunakan, antara lain :

1. Nilai Skor-Z atau SD

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai nilai SD atau skor-Z di bawah atau di atas nilai mean atau median rujukan. Dikatakan gizi normal, bila antara -2SD sampai +2SD. Gizi kurang, bila <-2SD. Dan gizi lebih, bila >+2SD.

WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Dengan ambang batas (cut off points), yaitu : - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 11% dari median BB/U

- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 10% dari median BB/TB - 1 SD unit (1 Z-skor) ± 5% dari median TB/U Rumus perhitungan z-skor, adalah:

Z-skor =

2. Nilai persen terhadap nilai median

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai persen dari nilai median rujukan, yaitu hasil analisis: Gizi baik, bila 90% median TB-U mendekati nilai -2SD, 80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 80% median BB-U mendekati nilai -2SD. Gizi kurang, bila 71%-80% median TB-U mendekati nilai -2SD, 71%-80% median BB-TB mendekati nilai -2SD, dan 61%-70% median BB-U mendekati nilai -2SD. Rumus perhitungan yang digunakan adalah:

X 100%

3. Nilai persentil

(37)

Status Gizi diukur dengan BB/U atau TB/U atau BB/TB dikatakan normal apabila angka atau nilai z-skor terletak antara -2 SD sampai 2 SD dari nilai median standar WHO. Status gizi dikatakan kurang, apabila nilai ketiga jenis ukuran diatas kurang dari -2 SD atau di bawahnya. Nilai tersebut menjadi buruk, apabila nilainya berada di bawah dari -3 SD. Sebaliknya apabila nilai z-skor di atas 2 SD maka disebut gizi lebih (gemuk) dan diatas 3 SD dikatakan gemuk sekali (Soekirman 2000).

Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran fisik dari waktu ke waktu yang merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mengikuti perjalanan waktu (Jahari 2002). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan berat (gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh) (Tanuwijaya 2003).

Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan jenis kelamin, yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-obatan dan penyakit (Supariasa 2002).

a. Genetik

(38)

mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia (Bogin 1999).

b. Lingkungan

Lingkungan biofisik dan psiko-sosial merupakan faktor yang mempengaruhi individu setiap hari dan sangat berperan penting dalam menentukan tercapainya potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (2004) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal.

Lingkungan Pra Natal

Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir, antara lain seperti :

a) Gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.

b) Mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang, dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah.

(39)

d) Stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga dapat menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah (BBLR).

Lingkungan Post Natal

Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh.

c. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler (Jellife 1989).

Pertumbuhan pada usia 2 tahun pertama dicirikan dengan pertambahan gradual baik pada kecepatan pertumbuhan linier maupun laju pertambahan berat badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai dengan pertumbuhan cepat (spurt of growth) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia 2 tahun, kemudian pada usia 2 tahun hingga 5 tahun pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dibandingkan ketika masih bayi, walaupun pertumbuhan terus berlanjut dan akan mempengaruhi ketrampilan motor, sosial, emosional dan perkembangan kognitif (Seifert & Hoffnung 1997).

(40)

Pertumbuhan pada masa kanak-kanak adalah proses yang relatif stabil. Pertumbuhan ponderal yang dilihat dari kenaikan berat badan rata-rata pada 6 bulan pertama naik sebesar 0,5-1,0 kg per bulan dan kenaikan pada 6 bulan kedua berkisar dari 0,35-0,50 kg per bulan. Sementara selama tahun kedua, angka penambahan berat badan sekitar 0.25 kg per bulan dan pada usia 10 tahun kenaikan berat badan sebesar 2 kg per tahun. Pertumbuhan linier yang dilihat dari

pertambahan panjang badan hingga tahun pertama kehidupan bertambah 50 persen dari panjang badan lahir dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun

keempat. Hingga usia 4 tahun, wanita tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan pria dan keduanya kemudian tumbuh dengan laju rata-rata 5-6 cm per tahun sampai munculnya masa pubertas (Jellife 1994). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Jahari 2002).

Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)

Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei.

(41)

Pada keadaan Stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Kemenkes 2010a).

Gangguan tumbuh kembang dapat dicegah dan diperbaiki melalui: perbaikan konsumsi, suplemen dan penyuluhan gizi, peningkatan kualitas pola asuh, pelayanan kesehatan dan pencegahan terhadap infeksi sesuai dengan kerangka UNICEF (1998).

Kemiskinan dan Masalah Gizi

Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai dengan persepsi dirinya. Kebutuhan tersebut mencakup berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian kemiskinan

menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi di Indonesia, sehingga pemecahannya memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Untuk penanggulangan kemiskinan, maka seluruh unsur bangsa harus ikut serta memberikan perhatian terhadap kemiskinan, tidak hanya pemerintah semata (BPS 2011).

Berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan, dan tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar nasional cocok untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan budaya cukup beragam. Indonesia mengenal tiga model untuk mengukur tingkat

„kemiskinan‟. Ketiga model tersebut memiliki cara pandang dan lingkup

(42)

Model Tingkat Konsumsi

Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun.

Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Pada tahun 1984 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perhitungan jumlah dan persentase penduduk miskin dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey sosial ekonomi nasional). BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Dari sisi akurasi, survey BPS memiliki kaidah-kaidah statistik yang harus dijalankan dalam survey dan pengolahan data. Sehingga secara metodologi statistik, lebih dapat dipertanggung jawabkan. Dari sisi fleksibilitas standar, model BPS lebih fleksibel dalam penilaian dengan dasar penilaian berdasarkan „Garis

Kemiskinan‟ yang ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional maupun tingkat propinsi.

Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain sebesar $1 atau $2 Amerika Serikat per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan internasional yang seringkali menggunakan cara ini, dengan menyusun indikator tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran.

Model Kesejahteraan Keluarga

(43)

Keluarga untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1) Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll.; 2) Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, dll.; 3) Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), sejahtera I (miskin), II, III dan III plus. 4) Data individu, seperti nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll.

Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat Nasional. Dilakukan secara rutin setiap tahun, sehingga digunakan untuk program-program pemberian bantuan bagi keluarga dan penduduk miskin.

Model Pembangunan Manusia

Pendekatan Pembangunan Manusia dipromosikan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara. Pemerintah Indonesia lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) turut mengembangkan model ini. HDR yang pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut sebagai "Pembangunan Manusia Seutuhnya". Laporan terakhir adalah laporan tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002.

(44)

tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi. Sumber data yang digunakan adalah survey dan sensus yang dibuat oleh BPS. Namun demikian, laporan Pembangunan Manusia sangat terbatas hanya tiga tahun sekali dan skala survey umumnya tingkat propinsi yang ditingkatkan sampai kabupaten.

Penilaian kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan model tingkat konsumsi berdasarkan BPS menggunakan „Garis kemiskinan‟ untuk menghitung pengeluaran penduduk dan rumah tangga meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Selanjutnya penduduk dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk tidak miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan. Garis kemiskinan kota Bogor, menurut BPS (2011) yaitu Rp. 256.414,-.

Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat.

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU RI 1992). Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari anak yang peranannya penting dalam tumbuh kembang anak.

(45)

ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi keluarga tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa 2002):

a. Keadaan penduduk suatu masyarakat b. Keadaan keluarga.

c. Tingkat pendidikan orang tua d. Keadaan rumah

Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi : a. Pekerjaan orang tua.

b. Pendapatan keluarga. c. Pengeluaran keluarga.

d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim.

Dalam penelitian ini, karakteristik keluarga yang diuraikan antara lain umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga.

Umur Orang Tua. Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998).

(46)

sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (BPS 2007, diacu dalam Khomsan 2007).

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Madanijah (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga.

Pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan anak, namun melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas dan efisiensi penjagaan kesehatan, peningkatan pengasuhan, karakteristik keluarga, peningkatan nilai dan tingkat kesukaan dalam keluarga (Atmarita 2004). Status pendidikan keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan sulit meyakini pentingnya pemenuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat 2004).

(47)

Keluarga yang mempunyai banyak anak akan menimbulkan banyak masalah bagi keluarga tersebut, jika penghasilan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam penelitian di Indonesia membuktikan, jika keluarga mempunyai anak hanya tiga orang, maka dapat mengurangi 60% angka kekurangan gizi anak balita. Keluarga/ibu yang mempunyai banyak anak juga menyebabkan terbaginya kasih sayang dan perhatian yang tidak merata pada setiap anak (Almatsier 2004). Jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil dan jumlah anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga besar, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil (Berg 1986).

Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam satu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak (Khomsan 2007). Selanjutnya hasil penelitian Suradi dan Chandradewi (2007) menunjukkan semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka ibu mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau.

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga. Pekerjaan atau mata pencaharian berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan akan terkait dengan faktor-faktor lain seperti kesehatan. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Harper, Deaton & Driskel 1986).

(48)

Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk-pauk akan meningkat pula mutunya. Meningkatnya pendapatan keluarga akan diikuti perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Keluarga yang berpenghasilan rendah, menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan. Pada kondisi pendapatan yang rendah orang tidak memikirkan kualitas makanan yang dikonsumsi.

Tinggi Badan Orangtua. Tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor dalam melihat tinggi badan anak. Bock (1986) dalam Bogin (1999), melakukan penelitian secara longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major genetik component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang.

Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang anak adalah genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang faktor lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan dibandingkan dengan faktor genetik. Anak-anak di negara maju badannya lebih tinggi dan besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara miskin lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari suku atau ras yang sama (Jahari 1988).

Karakteristik Ibu

(49)

kehamilan. Selain itu, penyakit yang diderita ibu pada masa perencanaan kehamilan akan mempengaruhi keadaan bayi yang dilahirkan.

Kebijakan dalam Program KB Nasional dilakukan melalui „Reproduksi Sehat‟ diharapkan bahwa perempuan tidak hamil dan melahirkan sebelum usia 20 tahun dan sesudah usia lebih dari 30 tahun. Jarak yang aman untuk hamil dan melahirkan adalah usia 20–30 tahun dengan jarak melahirkan yang aman dari anak yang satu ke anak berikutnya adalah 3-5 tahun, sehingga diharapkan selama masa suburnya wanita hanya melahirkan dua orang anak saja dan maksimalnya adalah tiga orang (Saputra 2009). Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan anemia. Hal ini disebabkan belum pulihnya kondisi ibu dan pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal tetapi tubuh sudah harus memenuhi kebutuhan gizi janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang memiliki jarak kelahiran kurang dari dua tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita anemia (Wibowo & Basuki 2006).

Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa makin muda atau makin tua usia ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta anaknya. Bila seorang ibu telah melahirkan anak lebih dari empat orang anak, maka resiko ibu dan anaknya makin besar pada setiap kelahiran berikutnya. Taylor dalam penelitian di Thailand tahun 1970 menyebutkan bahwa ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang melahirkan di bawah 20 tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34 tahun (Saputra 2009). Walaupun demikian, hasil penelitian Ventura et al. (1997), usia ketika orang tua memulai keluarga telah berubah selama beberapa dekade terakhir di Amerika Serikat, dengan peningkatan substantial angka kelahiran pada wanita berusia 30 sampai 40 tahun dan penurunan angka kelahiran pada wanita yang berusia 20 sampai 29 tahun (Wong 2008).

UU No 10 tahun 1992 menginsyaratkan agar keluarga-keluarga di Indonesia mempunyai anak yang ideal. BKKBN sendiri sebagai pengelola dan pelaksana

Program KB menetapkan motto ”dua anak lebih baik”. UU NO 10 tahun 1992

(50)

penduduk, namun juga menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera. Melalui Program KB setiap pasangan bisa merencanakan kehidupan dengan lebih baik,

sehingga dengan motto ”dua anak lebih baik” setiap rumah tangga bisa mendidik serta memberi nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Jumlah anak yang sedikit dapat mendorong kesehatan penduduk perempuan sehingga memiliki waktu yang lebih untuk berkontribusi baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat (Saputra 2009).

Konsumsi makanan yang rendah disebabkan oleh adanya penyakit terutama penyakit infeksi saluran pencernaan. Disamping itu jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga (Supariasa 2002). Selanjutnya penelitian Wyon dan Gordon tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari 2 tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan menurun dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009). Jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dan jarak anak yang terlalu dekat berhubungan erat dengan beban pekerjaan rumah tangga dan juga berpengaruh terhadap kemampuan fisiologis tubuh ibu menyediakan nutrisi bagi bayinya. Hasil penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan status gizi terhadap fertilitas menunjukkan bahwa bayi yang mempunyai saudara kandung dengan jumlah yang sedikit, status gizinya lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mempunyai saudara kandung dalam jumlah yang lebih banyak (Zeitlin et al. 1990).

(51)

pada anak yang mempunyai adik baru dengan perbedaan usia sekitar 3 tahun atau lebih. Namun, temuan tersebut tidak konsisten (Wong 2008).

Karakteristik Anak Balita

Karakteristik anak adalah segala hal yang melekat pada diri anak, baik fisik maupun non fisik. Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran anak (Hurlock 1997).

Jenis kelamin anak akan mempengaruhi bagaimana orangtua memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi kebebasan oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003).

Umur anak mempengaruhi kuantitas waktu ibu untuk pengasuhan. Diatas umur dua tahun anak makin mandiri dan mempunyai jaringan sosial yang lebih luas dan ketergantungan dengan ibu mulai berkurang (Hurlock 1997). Hasil penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur anak dengan status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al. (2009) prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan.

Urutan kelahiran anak mempengaruhi ibu dalam pengasuhan. Anak tunggal, anak pertama dan anak bungsu biasanya akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dibandingkan dengan anak lainnya (Maulani 2002). Anak tengah menurut Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, jarang dipuji, menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang tua, dan lebih dituntut untuk berkompromi dan beradaptasi. Penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting pada anak balita.

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui (Winkel 2007).

(52)

konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007).

Pengetahuan tentang gizi akan membantu dalam mencari berbagai alternatif pemecahan masalah kondisi gizi keluarga. Untuk menanggulangi kekurangan konsumsi yang disebabkan oleh daya beli yang rendah, perlu diusahakan peningkatan keluarga dengan memanfaatkan pekarangan sekitar rumah (Sediaoetama 2006). Dewasa ini, pemberian atau penyajian makanan keluarga di kota masih kurang mencukupi. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau sudah mengkonsumsi makanan pokok (Kartasapoetra 2005).

Menurut Suhardjo (2005) bahwa peningkatan pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari atas tiga kenyataan, yaitu:

1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2) Setiap orang hanya akan cukup gizi yang diperlukan jika makanan yang

dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.

3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Penelitian Mariani (2002), menemukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk lebih memilih makanan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian Martianto et al. (2008), pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu.

(53)

dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.

Pengetahuan gizi seseorang dapat diukur dengan cara melakukan tes bentuk objektif. Menurut Syah (2002), bentuk tes objektif adalah tes yang jawabannya dapat diberi skor secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Tes objektif ini ada lima macam yaitu tes benar salah, tes pilihan berganda (Multiple choice), tes pencocokan, tes isian dan tes perlengkapan. Khomsan (2007) mengemukakan bahwa untuk mengukur pengetahuan gizi seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk pertanyaan pilihan ganda (Multiple choice). Dan pengkategorian dalam pengetahuan gizi berdasarkan penetapan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen.

Masa Kehamilan

Kehamilan merupakan masa yang penting karena masa ini mempengaruhi kualitas anak yang akan dilahirkan. Pemeliharaan kehamilan dimulai dari perencanaan menu yang benar (Paath 2005).

Kebutuhan zat gizi. Kebutuhan zat gizi selama kehamilan dapat terpenuhi dari makanan normal yang bervariasi, kecuali kebutuhan akan zat besi. Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam pembentukan darah, yaitu dalam sintesa hemoglobin. Kehadiran protein hewani, vitamin C, zink (Zn), asam folat, dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Namun pada sebagaian menu masyarakat juga mengandung serat dan fitat yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Sediaoetama 1999). Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Menurut Arisman (2004), jika seluruh bahan makanan ini digunakan, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui suplementasi.

(54)

cukup bulan dengan berat badan normal. Selama masa kehamilan metabolisme energi semakin meningkat sehingga kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat pula. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Oleh karena itu kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Lubis 2003).

Kebiasaan – kebiasaaan yang dilakukan saat kehamilan. Pemeriksaan saat hamil merupakan suatu hal yang penting yang harus dilakukan untuk mengetahui kesehatan janin. Menurut Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (Depkes 2005), kunjungan kehamilan atau kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga.

Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7T” yaitu : (Timbang) berat badan;

ukur (Tekanan) darah; ukur (Tinggi) fundus uteri; Pemberian imunisasi (Tetanus Toksoid) TT lengkap; Konsumsi Tablet tambah darah, minimum 90 tablet selama kehamilan; Tes terhadap Penyakit Menular Seksual ; serta Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan.

Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan, melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat dilakukan terminasi (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006), perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan perawatan kehamilan.

(55)

dari bahan-bahan jamu tersebut. Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri yang segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga terjamin kehigienisannya. Sesuaikan dosis pemakaiannya, disertai pemeriksaan antenatal care pada ginekolognya. Selanjutnya Kepala Balitbangkes Depkes, Prof.Dr. Umar Fahmi Achmadi MPH, PhD, jamu merupakan alternatif obat alamiah yang berfungsi untuk menjaga kondisi kesehatan, "Bukan mencegah dan mengobati kemungkinan seseorang terkena penyakit karena yang digunakan untuk mengobati penyakit adalah obat-obatan" (Melindacare 2010).

Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada trimester pertama yang merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan karena pada tersebut janin sedang membentuk organ-organ vital seperti mata, hidung, telinga, pertumbuhan otak, dan lainnya. Kemungkinan pada trimester kedua bisa lebih longgar karena pembentukkan organ-organ janin sudah sempurna, tinggal mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhannya, tapi meskipun demikian harus tetap berhati-hati. Karena terkadang ada jamu yang pedas sehingga membuat perut menjadi mulas. Dikhawatirkan akan mengakibatkan kelahiran prematur (Melindacare 2010).

Umur saat hamil. Sebagian masalah kesehatan adalah berkaitan dengan usia-resiko mengalami masalah kesehatan akan meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Usia mempengaruhi fertilitas (kesuburan), fertilitas mulai menurun saat wanita berusia 20 tahun, menurun dengan cepat setelah anda berusia 35 tahun. Pasangan yang lebih tua dari 35 tahun membutuhkan waktu dua kali lipat dari pasangan yang lebih muda (1,5 sampai 2 tahun). Seorang wanita yang berusia di atas 40 tahun membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mengandung karena ovulasi sudah kurang sering terjadi (Curtis & Asih 2000).

Penyulit pada kehamilan remaja, lebih tinggi dibandingkan „kurun waktu reproduksi sehat‟ antara umur 20 sampai 30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum

(56)

sehingga memudahkan terjadinya: keguguran, persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, keracunan kehamilan (gestosis) dan kematian ibu yang tinggi (Manuaba 1998).

Wanita berusia lebih dari 30 tahun yang hamil sering kali mendapatkan informasi yang lebih baik tentang kehamilannya. Mereka pada umumnya tertarik dengan apa yang sedang terjadi pada diri mereka dan bayi yang sedang tumbuh dalam kandungannya serta berkeinginan untuk merawat kesehatan mereka. Dengan alasan ini, banyak peneliti sekarang berkeyakinan bahwa resiko tidak banyak meningkat hanya karena usia wanita hamil lebih tua. Kebanyakan wanita dapat mempunyai kehamilan dan melahirkan bayi yang sehat pada usia mereka yang memasuki usia 40 tahun, dengan perawatan pralahir yang baik secara signifikan dapat mengurangi komplikasi kehamilan (Curtis & Asih 2000).

Masalah-masalah pada kehamilan. Beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain oleh umur kurang dari 19 tahun, umur di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat, tinggi badan kurang dari 145 cm, kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan (faktor genetik), serta riwayat kehamilan yang buruk disebabkan oleh pernah keguguran, pernah persalinan prematur, lahir mati, riwayat persalinan dengan tindakan, preeklampsia-eklampsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak (Manuaba 1998).

Masalah-masalah yang lebih sering ditemukan dokter pada wanita hamil dengan usia yang lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan yang diperberat oleh diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah plasenta. Wanita yang berusia lebih dari 30 tahun mempunyai kecenderungan tinggi untuk mengalami keguguran, kelahiran dengan abnormalitas genetik dan kromosom. Setelah usia 40 tahun, wanita merasakan ketegangan fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih terganggu oleh wasir, inkontinensia, varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri pinggang (Curtis & Asih 2000).

(57)

lebih komplikasi. Terdapat hubungan yang bermakna anatara komplikasi kehamilan (gabungan dari beberapa keluhan selama kehamilan) dengan komplikasi persalinan. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki resiko untuk mengalami komplikasi persalinan sebesar 2,9 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Senewe & Sulistiyowati 2004).

Riwayat Kelahiran

Berat dan panjang lahir menentukan status gizi dan pertumbuhan linier di masa mendatang (Schimdt et al. 2002). Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Sinaga (2011), panjangbayi lahir merupakanpengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Namun, masih jarang panjang bayi lahir dikaitkan sebagai manifestasi dari keadaan gizi pada masa kehamilan. Istilah panjang dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak terlentang. Pengukuran panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi.

Berdasarkan Kemenkes (2010b), panjang bayi lahir normal adalah 48-52 cm dan berdasarkan kurva pertumbuhan National Center for Helath Statistics (NCHS) bayi akan mengalami penambahan panjang sekitar 2,5 cm setiap bulannya. Selanjutnya menurut Sinaga (2011), penambahan panjang akan berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20 tahun.

Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g, sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth (<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (intrauterine).

(58)

tinggi badan ibu yang pendek, defisiensi gizi mikro, Ibu hamil dengan usia muda, menderita penyakit infeksi atau malaria selama hamil, dan merokok. Hal serupa diungkapkan dalam penelitian Sistiarani (2008) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR diantaranya anemia dan kualitas pelayanan antenatal. Berdasarkan Kemenkes (2010a), kejadian BBLR di Indonesia masih mencapai angka 11,1%.

Riwayat Pemberian ASI

Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang paling tinggi, bila dinyatakan dalam satuan berat badan, karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu) karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Selain itu, tidak ada susu buatan manusia yang dapat memberikan perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum (Krisnatuti & Yenrina 2000).

ASI memiliki banyak keuntungan bagi bayi. Ramaiah (2006) mengungkapkan bahwa didalam ASI terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi sehingga mengurangi resiko berbagai jenis kekurangan zat gizi. Selain steril dan mudah diberikan, ASI juga selalu berada pada suhu yang paling cocok bagi bayi karenanya tidak memerlukan persiapan apapun bila dibutuhkan segera oleh bayi. ASI memiliki faktor pematangan usus yang melapisi bagian dalam saluran pencernaan dan mencegah kuman penyakit serta protein berat untuk terserap ke dalam tubuh. ASI juga menolong pertumbuhan bakteri sehat dalam usus yang disebut Lactobacillus bifidus yang dapat mencegah bakteri penyakit lainnya sehingga mencegah diare. Laktoferin yang dikombinasikan dengan zat besi di dalam ASI dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit.

(59)

biaya kesehatan masyarakat, dan mengurangi pencemaran lingkungan akibat gangguan plastik sebagai bahan peralatan susu formula (Depkes 2002a).

ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli 2000). Penelitian Chantry et al. (2006) menyebutkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh memiliki resiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang diberi ASI kurang dari enam bulan. Selanjutnya penelitian Utomo (2009) menunjukkan prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan 1,84 kali lebih banyak pada anak yang riwayat pemberian ASI tidak eksklusif dibandingkan anak yang diberi ASI secara eksklusif.

Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, pada usia 6–9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan gangguan pencernaan, timbulnya gas, konstipasi dll. Tubuh bayi belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat kelahiran dan setelah 3-4 bulan kemudian jumlahnya meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa. Amilase, enzim yang diproduksi oleh pankreas belum mencapai jumlah yang cukup untuk mencernakan makanan kasar sampai usia sekitar 6 bulan. Dan enzim pencerna karbohidrat seperti maltase, isomaltase dan sukrase belum mencapai level orang dewasa sebelum 7 bulan. Bayi juga memiliki jumlah lipase dan bile salts dalam jumlah yang sedikit, sehingga pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa sebelum usia 6-9 bulan (Anonim 2008).

Gambar

Tabel 2. Anjuran jumlah porsi untuk balita menurut kecukupan energi
Gambar 1. Faktor penyebab masalah gizi
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3. Cara penarikan sampel penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel dependen adalah status stunting anak, sedangkan variabel independen adalah faktor anak (usia, jenis kelamin, status penyakit infeksi yang diderita, asupan

Setelah dilakukan uji analisis multivariat terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi ( stunting ) pada anak usia sekolah, dari 9 variabel ada 4 variabel

10 Positive deviance adalah suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat yang

Pendapatan keluarga, pola makan dan penyakit infeksi merupakan faktor-faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian gizi kurang pada anak usia 2-5 tahun di Kota

Kebiasaan merokok keluarga serumah, penggunaan obat nyamuk bakar, status gizi dan kepadatan hunian merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia

1) Hasil penelitian pada responden dengan suplementasi zinc menunjukkan bahwa sebagian besar balita mengalami kenaikan status gizi (yang semula berstatus gizi

Penelitian Sandjaja (2000) tentang Penyimpangan Positif (Positive Deviance) Status Gizi Anak Balita Dan Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terjadinya Gizi Kurang Pada

Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuhan dan Konsumsi Makanan dengan Status Gizi Anak Dibawah Dua tahun Baduta pada suku Bajo dan Suku Tolaki Sulawesi Tenggara.. Tesis tidak