menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE, 2003).
a. Kebiasaan Pemberian Makanan
Pemberian makan anak-anak kecil berusia di atas 6 bulan dengan berbagai variasi makanan dalm porsi kecil setiap hari sebagai tambahan air susu ibu (ASI), pemberian makan secara aktif, pemberian makanan selama masa sakit dan penyembuhan serta menangani anak yang memiliki selera makan rendah.
b. Kebiasaan Pengasuhan
Kebiasaan pengasuhan merupakan interaksi positif antara anak dengan pengasuh utama dan pengganti, membantu mengatur perkembangan emosi dan psikologis anak. Kebiasaan positif seperti ini sering melakukan interaksi lisan dengan anak, memberikan dan menunjukan perhatian dan kasih saying kepada anak, adanya pebagian tugas agar pengawasan dan pengasuhan anak berjalan baik. Kebiasaan tersebut dan kebiasaan lain dalam hal pengasuhan anak, merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak yang normal namun sering terabaikan.
c. Kebiasaan Kebersihan
d. Kebiasaan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan
Kebiasaan mendapatkan pelayanan kesehatan sangat berpengaruh besar terhadap peningkatan status gizi anak yang merupakan salah satu faktor positive deviance. Dimana selain memberikan imunisasi lengkap kepada anak sebelum ulang tahun yang pertama, pengobatan penyakit pada masa anak-anak dan mendapatkan bantuan professional pada waktu yang tepat sangat berperan penting untuk menjaga kesehatan anak.
Berbeda dengan pendekatan (perilaku) traditional yang dilakukan selama ini yaitu dilakukannya intervensi gizi yang secara tradisional dimana hanya dengan melakukan penimbangan, penyuluhan dan penyediaan makanan tambahan serta fortifikasi makanan. Dalam hal ini intervensi yang dilakukan hanya mencari masalah dalam masyarakat yang perlu diselesaikan dalam hal untuk peningkatan status gizi masyarakat. Sedangkan untuk saat ini ada pendekatan positive deviance berupaya untuk mencari hal-hal perilaku positif dan kekuatan di dalam masyarakat serta apa yang perlu dikembangkan dari masyarakat.
miskin (kumuh) dimana sebagian besar anak lainnya menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi kurang.
Adanya perbedaan dalam pendekatan ini ada beberapa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada dua pendekatan ini, ada perbedaannya dapat dilihat pada Tabel 2.1. di bawah ini :
Tabel 2.1. Pendekatan Tradisional VS Positive Deviance dalam Intervensi Gizi
Pendekatan Tradisional Pendekatan Positive Deviance Apa saja yang anda butuhkan? Kekuatan apa yang anda miliki? Ada masalah apa? Hal apa yang dapat dikerjakan di sini? Apa yang dapat kami sediakan? Apa sajakah sumber daya yang anda
miliki?
Apa yang kurang dari masyarakat? Hal apa yang baik di dalam masyarak ini? Apa yang kurang di sini? Hal apakah yang dapat dijadikan untuk
dasar membangun?
2.2. Keuntungan Pendekatan Positive Deviance
Beberapa keuntungan pendekatan positive deviance, yaitu (CORE, 2003). a. Cepat, pendekatan ini memberikan solusi yang dapat menyelesaikan masalah
dengan segera.
b. Terjangkau, positive deviance dapat dijangkau dan keluarga tidak perlu bergantung pada sumber daya dari luar untuk mempraktekkan perilaku baru. Pelaksanaannya lebih murah tetapi efektif dibandingkan mendirikan pusat rehabilitasi gizi atau invenstasi di rumah sakit.
c. Partisipatif, partisipasi masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam rangka mencapai keberhasilan pendekatan positive deviance. Masyarakat memainkan peran sangat penting dalam keseluruhan proses dimulai dari menemukan perilaku dan strategi sukses di antara masyarakat sampai mendukung ibu balita sampai kegiatan ini berakhir.
d. Asli, Karena solusi sudah di tempat tersebut, maka kemajuan dapat dicapai secara cepat tanpa banyak menggunakan analisi atau sumber daya dari luar. Pendekatan tersebut dapat diterapkan secara luas karena perilaku positive deviance selalu ada hampir di seluruh masyarakat.
f. Secara budaya dapat diterima, Karena pendekatan ini didasarkan pada perilaku setempat yang diidentifikasikan dalam konteks social, etnik, bahasa dan agama di setiap masyarakat, maka per defenisi hal ini sesuai dengan budaya setempat. g. Berdasarkan Perubahan Perilaku, pendekatan ini tidak mengutamakan perolehan
pengetahuan, namun ada tiga langkah proses perubahan perilaku yang termasuk di dalamnya, yaitu: penemuan (penyelidikan PD), demonstrasi (Kegiatan Pos Gizi), dan penerapan (kegiatan pos gizi di rumah.
2.3. Kemiskinan
Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas. Chambers (dalam Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
1. Kemiskinan absolut, kondiai dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
3. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
4. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan. Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a. Kemiskinan alamiah, berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
Menurut Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.
Menurut Sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan (Suryawati, 2005).
Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang. Seseorang yang memiliki pendapatan kurang dari US$ 1 per hari masuk dalam kategori miskin (Suryawati, 2005). Oleh karena itu, untuk memahami kemiskinan, penting diperhatikan lokalitas yang ada pada masing masing daerah, yaitu kemiskinan tingkat local yang ditentukan oleh komunitas dan pmemrintah setempat. Indikator kemiskinan berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin pada aspek kegiatan ekonomi dapat ditinjau dari sumber penghasilannya.
kehidupan manusia. Faktor kemiskinan seringkali diduga penyebab masyarakat kurang gizi, Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, fakta yang lebih kuat menyatakan bahwa ternyata masyarakat kita belum sepenuhnya memahami gizi dengan benar, ada kesan bahwa gizi itu barang mewah yang mahal dan orang miskin tidak akan mampu menyediakannya. Jelas ini adalah opini yang salah dan berakibat fatal. Salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi ini adalah perilaku masyarakat yang dapat membuat struktur keluarga terpecah (pekerja migrasi, perceraian dll) yang pada akhirnya membuat anak terlantar dan menjadi kurang gizi.
2.4. Status Gizi
Status gizi diartikan sebagai keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman, 2002: 88). Status gizi adalah hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk kedalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut(Supariasa, 2002:88). Hal ini menunjukan bahwa status gizi merupakan gambaran kondisi tubuh seseorang atau sekelompok masyarakat.
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif (Supariasa, 2001).
Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan (Depkes, 2002).
pendek, sedangkan untuk nilai Berat badan per umur (Bb/Tb) dapat dilihat dikategorikan 4 bagian yaitu gemuk, normal, kurus dan kurus sekali. Untuk penjelasan lebih rinci dapat dilihat dalam tabel 2.2. di bawah ini:
Tabel 2.2. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita) Indikator Status Gizi Z – Score (SD) Berat Badan menurut Umur
(BB/U), untuk menilai status gizi secara umum dan bersifat kronis, yang berhubungan dengan
>-2SD sampai > +2SD < -2SD sampai > 3SD < -3SD
Tinggi badan menurut Umur (TB/U) untuk mengukur perubahan yang terjadi pada waktu lampau
Normal
Pendek (Stunted)
>2SD <-2SD
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) untuk menilai keadaan gizi saat ini.
Gemuk
<-2SD Sampai > -3SD 2SD Sampai +2SD < -3SD
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :920/ Menkes/ SK/ VIII/ 2002
Tabel 2.3. Kebaikan dan Kelemahan Indeks Antropometri
Indeks Kebaikan Kelemahan
BB/U Baik untuk status gizi akut/ kronis Berat badan dapat berfluktuasi
Sangat sensitive terhadap perubahan kecil
Umur sering sulit ditaksir dengan tepat TB/U Baik untuk menilai gizi di masa lampau
Ukuran panjang dapat dibuat sendiri Murah dan mudah dibawa
Tinggi badan tidak BB/TB Tidak memerlukan data umur
Dapat membedakan proporsi badan
Membutuhkan 2 Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :920/ Menkes/ SK/ VIII/ 2002
2.5. Pengukuran Status Gizi secara Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros, artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Jadi dapat ditarik pengertian antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit.
dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002). Ada beberapa indeks antropometri yang umum dikenal, yaitu:
a. Berat badan menurut umur (BB/U) b. Tinggi badan menurut umur (TB/U)
c. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
d. Lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U), (Supariasa, 2002:56-59)
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: usia, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit.
Faktor usia sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan usia akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan usia yang tepat. Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1980), batasan usia digunakan adalah tahun usia penuh (Completed Year).
terhadap tinggi badan (quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat berdiri dilakukan dengan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm.
Supariasa (2002) mengatakan, untuk mendapatkan data antropometri yang baik harus dilakukan sesuai dengan standar prosedur pengumpulan data antropometri. Tujuan dari prosedur standarisasi adalah memberikan informasi yang cepat dan menunjukkan kesalahan secara tepat sehingga perubahan dapat dilakukan sebelum sumber kesalahan dapat dipastikan. Penyelia mempelajari hal-hal apa yang perlu diperhatikan untuk menjamin presisi dan akurasi pengukuran dan ketrampilan apa yang perlu diberikan.
2.6. Masalah Gizi
Gizi mempunyai peran besar dalam daur kehidupan. Setiap tahap daur kehidupan terkait dengan satu set prioritas nutrien yang berbeda. Semua orang sepanjang kehidupan membutuhkan nutrien yang sama, namun dalam jumlah yang berbeda. Nutrien tertentu yang didapat dari makanan, melalui peranan fisiologis yang spesifik dan tidak tergantung pada nutrien yang lain, sangat dibutuhkan untuk hidup dan sehat (Kusharisupeni, 2007).
Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi makro adalah masalah yang terutama disebabkan oleh kekurangan atau ketidak seimbangan asupan energy dan protein (KEP). Bila terjadi pada anak balita akan menyebabkan marasmus, kwasiorkhor, atau marasmik-kwasiorkhor, dan selanjutnya akan mennggangu pertumbuhan anak untuk selanjutnya. Kelompok rentan gizi adalah suatu kelompok di dalam masyarakat yang paling mudah menderita gangguan kesehatannya atau rentan karena kekurangan gizi. Kelompok-kelompok rentan gizi ini terdiri dari :
a. Kelompok bayi, umur 0-1 tahun.
b. Kelompok di bawah lima tahun (balita): 1-5 tahun. c. Kelompok anak sekolah, umur 6-12 tahun.
d. Kelompok remaja, umur 13-20 tahun. e. Kelompok ibu hamil dan menyusui.
Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa masalah gizi di Indonesia, masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah tingkat social ekonomi keluarga (Depkes, 2002). Krisis ekonomi yang terjadi semenjak tahun 1997 di Indonesia memiliki dampak yang sangat berpengaruh terhadap penambahan jumlah keluarga miskin dengan daya beli yang rendah, sehingga member dampak terhadap penurunan kualitas hidup keluarga dan meningkatkan jumlah anak anak yang kurang gizi.
Hasil penelitian Jahari, et al (2000) dalam Turnip, F (2008) bahwa adanya pengaruh perilaku terhadap masalah gizi, memerlukan pengamatan untuk mengetahui perilaku seperti apa, yang diperlukan dalam menanggulangi masalah gizi pada anak. Salah satu bentuk pengembangan perilaku dalam penanggulangan masalah gizi adalah Positive deviance yang telah dilakukan di Jakarta, Bogor dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak usia 6 – 17 bulan, berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak anak yang selalu diupayakan untuk mengonsumsi makanan, mendapatkan respon ketika berceloteh, selalu mendapatkan senyum dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapatkan perhatian orang tuanya.
2.7. Determinan Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Anak
Masalah gizi merupakan masalah kesehatan yang sangat berkaitan terhadap masalah social, ekonomi, budaya, lingkungan, pendidikan dan pola asuh dari keluarga. Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait secara garis besar disebabkan oleh :
a. Penyebab Langsung
Kekurangan makanan dan penyakit, secara lansung dapat menyebabkan gizi kurang, atau anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya kan menderita gizi kurang. Di sisi lain, anka yang tidak memperoleh cukup makanan, akan mengalami penurunan daya tahan tubuh , sehingga akan mudah terserang penyakit. Tidak tersedianya makanan yang sangat adekuat terkait lansung dengan kondisi ekonomi. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makanan yang merupakan akar dari kemiskinan yang menjadi dari masalah gizi buruk.
b. Penyebab Tidak Langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung gizi kurang, yaitu: 1. Ketahanan pangan yang kurang memadai
2. Pola pengasuhan anak yang kurang memadai
Pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap kondisi gizi anak, karena anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, akan memperoleh gizi lebih baik dibandingkan dengan yang diasuh orang lain. Stiap keluarga dan masyarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik, baik secara fisik, mental dan social.
3. Pelayanan Kesehatan dan lingkungan yang kurang memadai
System pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, maka makin banyak keluarga yang memanfaatklan pelayanan kesehatan. Tetapi apabila tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga sanagat rendah dapat dipastikan kalau ekonomi keluarganya juga rendah, sehingga akan berefek pada tingkat ketahanan pangan keluarga dan kurang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan sehingga timbul masalah gizi buruk.
Gambar 2.1. Model Konseptual UNICEF
Sumber: Patrice L. Engle, et al., Care n Nutrition, Concept and Measurement, 1997.
Gambar di atas dapat kita lihat bahwa dengan adanya sumber daya yang berpotensial dalam suatu lingkungan masyarakat akan sangat mempengaruhi kebijakan ekonomi, ideology maupun politik yang ada. Dengan adanya sumber daya yang potensial ini akan menciptakan sumber daya dengan adanya control dari pihak
Kelangsungan hidup Anak
Pertumbuhan dan Perkembangan
Asupan Gizi Kesehatan
Ketahanan Pangan di
Keluarga
Kepedulian terhadap
anak-anak dan Perempuan
Pelayanan Kesehatan dan
Lingkungan
Sumber daya Manusia, Ekonomi dan Organisasi
SUMBER DAYA POTENSIAL Struktur Politik dan Ideologi
PENDIDIKAN
keluarganya masing masing, sehingga mampu memperoleh pendidikan yang tinggi yang menciptakan ketahanan pangan di keluarga, adanya pemanfaatan fasilitas kesehatan. Dari hal ini maka asupan gizi si anak dapat terpenuhi dan derajat kesehatan masyarakat yang tercapai secara optimal. Sehingga hal ini yang membuat masalah gizi dapat terselesaikan dengan menurunnya angka gizi buruk di masyarakat.
RURAL URBAN
Gambar 2.2. Pengembangan dari Model Pengasuhan Anak
Sumber: Patrice L. Engle, et al., Care n Nutrition, Concept and Measurement, 1997. Asupan gizi
d k t
Kesehatan
Perilaku Pengasuhan:
Perhatian bagi perempuan
Pemberian ASI / Makanan
Stimulasi psikososial dan kognitif
Praktek Hygiene
Praktek Kesehatan di rumah
Penyimpanan
Kontrol terhadap sumber daya
Beban kerja/ waktu yang tersedia
Sumber-sumber yang tersedia Kelansungan hidup anak
Pertumbuhan Perkembangan
Pengembangan dari model pengasuhan anak yang dikembangkan oleh Engle, et al., dapat dilihat dari perilaku pengasuhan yang dilakukan pengasuhan secara khusus untuk perempuan, pemberian ASI dan makanan kepada anak, pengasuhan psikologis, praktek kesehatan di dalam rumah, serta penyiapan dana penyimpanan makanan yang merupakan perilaku pengasuhan yang lebih ditekankan dalam konsep UNICEF sebelumnya. Untuk sumber daya yang tersedia dimana dilakukan pengembangan dimana lebih menekankan sumberdaya pangan/ ekonomi, pengembangan sumber daya untuk pengasuhan dan sumber daya kesehatan. Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Arimond, M. et al., (2002) dalam Lubis, R. (2005), dimana kunci praktik pengasuhan dibagi menjadi 6 (enam) katergori yaitu: perawatan wanita hamil, pemberian Air Susu Ibu ( ASI) dan makanan, pengasuhan psikologis, penyiapan makanan dan penyimpanan makanan, praktik hygiene dan pengasuhan anak selama sakit.
Model konseptual yang diuraikan menurut UNICEF kemudian dikembangkan oleh Zeitlin untuk keluarga miskin, yang akhirnya menjadi konsep Positive Deviance. Dalam konsep Zeitlin ini ditemukan 4 (empat) faktor yaitu karakteristik orang tua dan keluarga, karakteristik anak, kearifan orangtua dalam mengasuh anak dan status gizi.
2.8. Landasan Teori
Menurut Zeitlin et al (1990), faktor-faktor yang ada di dalam konsep positive deviance terbagi kedalam 4 (empat) faktor yang saling berkaitan seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.3. Model Konseptual Zeitlin et al (1990)
Sumber : Zeitlin, M., Hossein, G., and M. Mansour. Positive Deviance in Child Nutrition, 1990. dalam Lubis, R. (2005).
Karakteristik orang tua dan keluarga Faktor stress dalam kehidupan orang tua Struktur keluarga dan
status sosio-ekonomi
Karakteristik anak - Umur
- Jenis kelamin - Urutan kelahiran - Berat badan lahir dan
umur gestasi - Jumlah dan umur
saudara
Status kesehatan dan gizi anak: Perilaku Orang Tua dalam
mengasuh anak:
Pengetahuan, Sikap dan Perilaku tentang:
- Kesehatan dan Gizi - Perkembangan Mental
Empat faktor yang termasuk di dalam positive deviance menurut Zeitlin adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik Orang Tua dan Rumah Tangga
Karakteristik status kesehatan dan status gizi orang tua merupakan faktor yang terdiri dari umur, jenis kelamin, antropometri, konsumsi makanan di rumah tangga dan konsumsi ibu. Dalam karakteristik status kesehatan orang tua tidak hanya memperhatikan kesehatan Ibu saja, namun juga terhadap kesehatan ayahnya dimana kesehatannya yang meliputi kebiasaan merokok, dan pengguna alkoholisme akan memperburuk kondisi ekonomi keluarga. Umur ibu dan riwayat kesehatan reproduksi ibu akan mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dalam mengasuh anak. Jika usia ibu lebih tua maka pengasuhan yang diberikan kepada anaknya kan lebih baik karena pengalaman yang dimilikinya, namun memiliki waktu yang sangat sedikit untuk mengasuh anak.
Pendidikan terdiri dari lama pendidikan, buta huruf, kemampuan kognitif, pemegang kendali rumah tangga, indikator psikosomatik, kontak dengan dunia luar, dan jaringan soail. Setiap faktor ini dapat mempengaruhi pengetahuan, skap dan perilaku orang tua dalam mengasuh anak. Tingkat pendidikan orang tua yang tinggi akan meningkatkan kemampuan ibu untuk menghadapi pemikiran baru. Dalam hal media elektronik dapat menjadi sumber informasi tentang pengasuhan anak.
dalam Lubis, R. (2005) bahwa kejadian-kejadian tertentu yang dapat menimbulkan stress, dapat mempengaruhi kemampuan, karakter maupun suasana hati orang tua dalam memberikan pengasuhan yang baik, yang dilakukan di chili bahwa ibu dari anak dengan status gizi kurang merasa kurang puas dengan kehidupan keluarganya. Struktur rumah tangga dan kondisi sosial ekonomi keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang diberikan kepada anak yang meliputi pendapatan, besar dan jumlah anggota keluarga , pekerjaan rumah tangga dan lain-lain.
b. Perilaku Orang Tua dalam Mengasuh Anak
Green (1980) menyatakan bahwa masalah perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu: faktor yang mempermudah (predispossing factors), mencakup : pengetahuan, sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal hal yang berkaitan dengan kesehatan, system nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi dan sebagainya: faktor pendorong (enabling factors) meliputi ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, di mana fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau mendukung terwujudnya perilaku kesehatan: dan faktor ketiga berupa faktor penguat (reinforcing factors) meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan juga sikap dan perilaku dari petugas kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2003) pengaruh pengetahuan terhadap perilaku dapat
bersifat langsung maupun melalui perantara sikap. Suatu sikap belum otomatis terwujud
(praktek) diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Perilaku
kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, sistem seseorang terhadap sakit atau penyakit adalah cara manusia
merespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan, mempersepsi tentang suatu
stimulus rangsang proses stimulus reaksi tingkah laku (terbuka) sikap (tertutup) penyakit
yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun secara aktif (praktik) yang dilakukan
sehubungan dengan penyakit tersebut.
Perilaku kesehatan di bidang kesehatan menurut Azwar (1995) dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: a) Latar belakang: latar belakang seseorang yang meliputi norma -
norma yang ada, kebiasaan, nilai budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku dalam
masyarakat, b) Kepercayaan: dalam bidang kesehatan, perilaku seseorang sangat
dipengaruhi oleh kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan. Kepercayaan yang
dimaksud meliputi manfaat yang akan didapat, hambatan yang ada, kerugian dan
kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit, c) Sarana : tersedia atau tidaknya
fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan d) Cetusan seseorang
yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang baik dan bertempat tinggal dekat
dengan sarana kesehatan, bisa saja belum pernah memanfaatkan sarana kesahatan
tersebut. Suatu ketika orang tersebut terpaksa minta bantuan dokter karena mengalami
perdarahan ketika melahirkan bayi kejadiaan itu dapat memperkuat perilaku orang
tersebut untuk memanfaatkan sarana kesehatan yang sudah ada.
ASI dan juga peranan ibu dalam memberi pola asuh dalam mengatur pola makan anak. Perkembangan mental dan perilaku ibu terdiri dari dari pengetahuan tentang tingkat perkembangan anak , sikap terhadap anak, interaksi orang tua terhadap anaknya. Pengetahuan dan perilau ibu terhadap pola asuh anak akan mempengaruhi mental dan perilaku anak, maka untuk itu orang tua perlu memberikan pengasuhan yang adekuat agar pertumbuhan anak yang optimal.
c. Karakteristik Anak
Karakteristik anak terdiri dari umur dimana usia anak yang dihitung dari tanggal lahirnya hingga tanggal pengamatan yang dilakukan kemudian di konverikan kedalam bulan, jenis kelamin, berat badan lahir, umur gestasi yang dilihat dari berapa usia anak sampai lahir selama di kandungan ibu , jumlah dan umur saudaranya, dan hal ini yang akan mempengaruhi status gizi anak.
d. Status Kesehatan dan Gizi Anak
2.9. Kerangka Konsep
Variabel Dependen
Variabel antara
Variabel Independen
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Faktor-faktor yang dipelajari dalam studi positive deviance ini terdiri dari variable independen yang terdiri dari karakteristik orang tua dan rumah tangga dan karakteristik anak yang akan mempengaruhi perilaku orang tua dalam mengasuh anak dimana variable ini yang akan berpengaruh terhadap variable dependennya yaitu status gizi anak yang berasal dari keluarga miskin yang mempunyai status gizi baik yang akan diteliti. Penelitian dalam studi positive deviance ini akan menganalisa variable yang paling dominan yang akan mempengaruhi status gizi anak usia 0-24