DAFTAR PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan Ruang Wilayah
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam Pasal 3, ditegaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang..
Ketentuan tersebut merupakan dasar bagi rencana tata ruang wilayah di tingkat Kabupaten/Kotamadya untuk pengaturan pemanfaatan ruang wilayah yang lebih optimal dan berkesinambungan. Rencana umum tata ruang wilayah yang isinya hanya mengatur pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya, kawasan pedesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu, dirasakan oleh masyarakat khususnya petani terutama pemilik lahan belum mewadahi kebutuhannya untuk pengembangan komoditas. Oleh karena itu, dibutuhkan rencana yang lebih khusus dalam hal pemanfaatan ruang untuk pengembangan komoditas tanaman tahunan tersebut.
Rencana yang lebih khusus membutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam hal sifat-sifat lahan, agar masyarakat sebagai pemilik dan pengguna lahan dapat memahami dan mengenal potensi lahan yang dimiliki agar pengembangannya memberikan kontribusi terbaik baik bagi lahan maupun bagi masyarakat. Jika rencana pemanfaatan ruang komoditas tanaman perkebunan tidak mempertimbangkan aspek fisik, sosial dan ekonomi mengakibatkan masyarakat memanfaatkan ruang hanya berdasarkan selera dan keinginan masing-masing ataupun mencontoh keberhasilan petani di daerah lain.
Identifikasi karakteristik lahan diperlukan untuk semua tanaman, karena setiap tanaman memerlukan syarat tumbuh masing-masing. Identifikasi tersebut,
juga dibutuhkan oleh petani agar pengambilan keputusan mengenai jenis tanaman yang akan dikembangkan menguntungkan petani. Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam pemanfaatan lahan, baik untuk keperluan produksi pertanian maupun untuk keperluan lainnya menyebabkan diperlukannya pemikiran yang seksama dalam pengambilan keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas. Sementara itu, tindakan konservasi untuk penggunaan pada masa mendatang juga diperlukan (Sitorus, 1998). Hal tersebut mendorong diperlukannya perencanaan agar pemanfaatan lahan dapat lebih efektif dan efisien.
Pengertian perencaanaan dan pemanfaatan ruang memiliki kesamaan dengan perencanaan tata guna lahan, mengingat penggunaan lahan merupakan bagian dari pemanfaatan ruang. Mengacu pada pengertian tata ruang sebagaimana disajikan pada Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ditegaskan bahwa wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan wadah kehidupan mencakup ruang daratan, ruang lautan, ruang udara termasuk didalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya serta daya, keadaan, sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatannya dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa tata ruang terkait dengan penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaraan kehidupan. Rapoport (1980) mengungkapkan bahwa ruang pada hakekatnya merupakan lingkungan fisik dimana terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah di dalam ruang tersebut. Robert (1992) mengungkapkan bahwa suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola penggunaan lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang.
Penataan ruang wilayah adalah pengaturan penggunaan lahan melalui pengelompokan penggunaan lahan ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari pertimbangan keseragaman fisik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Penataan ruang dimaksudkan untuk membenahi penggunaan lahan yang sedang berjalan dengan tujuan meningkatkan efisiensi sehingga keluaran
9
yang diharapkan adalah yang terbaik dalam dimensi kurun waktu dan ruang tertentu. Dengan demikian secara transparan dalam peta pada skala tertentu dan sesuai dengan kepentingannya, dapat dilihat zonasi lahan menurut peruntukannya, antara lain: kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, pertambakan, permukiman, kawasan industri, kawasan pertambangan, kawasan rekreasi dan pariwisata, kawanan fasilitas umum dan sebagainya (FAO, 1989).
Dalam konteks pengembangan wilayah, pengelolaan secara optimal sumberdaya alam didasarkan pada beberapa kriteria pengembangan yang bersifat fisik dan sosial-ekonomi. Kriteria penilaian aspek sosial-ekonomi dalam optimasi pendayagunaan dan pemanfaatan sumber daya alam dimaksudkan sebagai tolok ukur kelayakan dari segi non fisik bagi kelangsungan suatu usaha pengelolaan sumber daya alam dalam konteks tata ruang di daerah.
2.2. Konsep Kelas Kesesuaian Lahan
Kelas menurut pengertian yang umum adalah pengelompokan suatu obyek berdasarkan suatu kesamaan dan memisahkan obyek yang tidak sama. Hal senada diungkapkan dalam FAO (1976), yang menyatakan bahwa kelas merupakan teknik informasi untuk secara sistimatis menamai obyek yang dikelaskan dan menunjukkan hubungan-hubungan diantara mereka.
Tujuan dan keperluan mendasar dari klasifikasi yaitu untuk memberikan pengelompokan yang sahih bagi aktivitas ilmiah yang sedang dilakukan dan untuk dapat menysusun secara umum tentang obyek yang dikelaskan (FAO, 1976). Lebih lanjut diungkapkan bahwa kegunaan kelas dalam evaluasi lahan dan pengelolaan lahan adalah untuk mengumpulkan informasi, mengorganisasikan dan mengkomunikasikannya untuk keperluan pengambilan keputusan. Pengkelasan penting dilakukan, dalam usaha untuk mengerti dan mengelola sumberdaya lahan, karena kelas dapat menciptakan keteraturan dari data yang akan diinterpretasi serta mengurangi jumlah menjadi lebih kecil dari jumlah total obyek melalui pembentukan kelas-kelas.
Pengertian kesesuaian lahan diungkapkan oleh Djaenuddin (2000), yang menyatakan bahwa kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, misalnya lahan sesuai untuk irigasi, tambak, pertanian
tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim. Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau komoditas tertentu yang produktif. Sedangkan lebih jauh pengertian klasifikasi lahan diungkapkan oleh Hardjowigeno (1999). Menurutnya, pengertian kesesuaian lahan fisik adalah kesesuian lahan yang didasarkan atas faktor-faktor fisik, tanpa memperhatikan factor ekonomi. Sedangkan kesesuaian lahan ekonomi adalah kesesuaian lahan yang didasarkan atas faktor-faktor fisik dan pertimbangan biaya (biaya dan keuntungan).
2.2.1. Kesesuaian Lahan Tanaman Kakao
Soenaryo et al. (1989) menyatakan bahwa tanaman kakao merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis di Amerika Selatan. Untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, tanaman kakao menghendaki lahan dengan keadaan tanah dan iklim tertentu. Iklim yang sesuai untuk tanaman kakao adalah iklim dengan curah hujan cukup dan hujan yang terdistribusi merata sepanjang tahun (curah hujan rata-rata antara 1500 - 2500 mm/tahun), dengan bulan kering kurang dari 3 bulan/tahun, suhu rata-rata antara 15ºC - 30ºC, tidak ada angin yang bertiup kencang (Soenaryo et al. 1989). Siregar et al. (2002) mengatakan bahwa sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman kakao adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan, temperatur, dan sinar matahari menjadi bagian dari faktor iklim yang menentukan. Demikian juga faktor fisik dan kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar menyerap hara, menentukan kesesuaian bagi tanaman kakao.
Sedangkan menurut Djaenuddin et al. (2000) suhu yang sesuai untuk tanaman kakao berkisar antara 20 sampai 30ºC, dengan curah hujan berkisar antara 1500 sampai 4000 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun. Tanaman ini toleran terhadap curah hujan yang sedikit, asalkan tanah selalu dalam kondisi lembab (rejim kelembaban tanah udik). Sedangkan persyaratan kebutuhan tanah adalah sebagai berikut: tanah dalam (kedalamannya minimum 50 cm), konsistensi gmbur (lembab), permeabilitas sedang, drainase baik, tingkat kesuburan variasi, tekstur bervariasi. reaksi tanah (pH) berkisar antara 5,0 – 8,2
11
(yang optimum antara 6,0 – 7,0). Lebih lanjut Djaenuddin et al. (2000) mengungkapkan persyaratan penggunaan lahan komoditas kakao sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kakao (Theobroma cacao) (Djaenudin, 2000)
Kualitas lahan/
Karakteristik lahan
Kelas Kesesesuaian Lahan
S1 S2 S3 N Temperatur (t) Temperatur rerata (ºC) 25-28 20 - 25 28 – 32 - 32 – 35 < 20 > 35 Ketersediaan air (w) Curah hujan (mm) 2000-3000 1500 - 2000 2500 – 3000 1250 - 1500 3000 – 4000 <1250 >4000 Lamanya masa kering (bln)
Kelembaban (%) 1 - 2 40 - 65 2 - 3 65 – 75 35 – 40 3 – 4 75 – 85 30 – 35 > 4 > 85 <30
Ketersediaan oksigen (o)
Drainase Baik, agak
baik
agak terhambat Terhambat, agak cepat Sangat terhambat, sangat cepat Media Perakaran (r) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) +dengan sisipan/pengkayaan Kematangan h, ah, s < 15 > 100 < 60 < 140 saprik + h, ah, s 15 – 35 75 – 100 60 – 140 140 – 200 saprik hemik + Ak, sh 35 – 55 50 – 75 140 – 200 200 – 400 hemik fibrik + k > 55 < 50 > 200 > 400 fibrik Retensi hara (n) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) > 16 > 35 6,0 – 7,0 > 1,5 < 16 20 - 35 5,5 – 6,0 7,0 – 7,6 0,8 – 1,5 - < 20 < 5,5 > 7,6 < 0,8 - Toksisitas (x) Salinitas (ds/m) < 1,1 1,1 – 1,8 1,8 – 2,2 > 2,2 Sodisitas (s) Alkanitas/ESP (%) - - - - Bahaya sulfidik (b) Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 - 125 60 - 100 < 60
Bahaya Erosi (e)
Lereng (%) Bahaya erosi < 8 sr 8 - 16 r - sd 16 - 30 B > 30 sb Bahaya banjir (f) Genangan FO - F1 > F2 Penyiapan lahan (p) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) < 5 < 5 5 - 15 5 – 15 15 - 40 15 – 25 > 40 > 25 Keterangan :
Tekstur : sh = sangat halus; h = halus; ah = agak halus; s = sedang; ak = agak kasar; Simbol kualitas lahan dimodifikasi penulis
Bahaya erosi : sr = sangat ringan; r = ringan; sd = sedang; b = berat; sb = sangat berat Sumber : Djaenudin (2000)
Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan tanaman kakao yang disajikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengaruh iklim dan komponen fisik dan kimia tanah sangat menentukan dalam menilai berkembangnya tanaman kakao yang memadai. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kakao sebagaimana disajikan pada Tabel 2 menjadi acuan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao dalam penelitian ini.
2.2.2. Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa pada suatu lahan sangat tergantung pada berbagai persyaratan tumbuh dan kondisi wilayah. Rustharmin et al. (1993) mengungkapkan bahwa keberhasilan usaha pengembangan kelapa di daerah baru sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik lingkungan fisik (iklim dan tanah), maupun sosial ekonomi. Iklim dan tanah adalah faktor yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan produksi tanaman. Iklim adalah faktor yang sulit untuk dirubah sehingga yang dapat dilakukan sehubungan dengan pengembangan kelapa di suatu daerah adalah penyesuaian jenis tanaman dengan keadaan iklim daerah yang bersangkutan.
Djaenudin et al. (2000) mengungkapkan bahwa rerata temperatur tahunan yang dikehendaki berkisar antara 20 sampai 35ºC. Curah hujan minimum yang dikehendaki adalah sekitar 1000 mm/tahun, sedangkan yang optimal adalah 1000 sampai 5000 mm/tahun, serta toleran terhadap curah hujan > 3.800 mm/tahun. Bulan kering harus kurang dari 3 bulan dengan kelembaban sedikitnya 60%. Sedangkan persyaratan kebutuhan tanah adalah sebagai berikut: kedalaman minimum 50 cm, konsistensi gembur (lembab), permeabilitas sedang, drainase baik, reaksi tanah (pH) berkisar antara 4,5 – 8,5 (optimum antara 5,5 – 7,0).
Persyaratan penggunaan lahan untuk kelapa lebih lanjut diungkapkan oleh Djaenuddin (2000) sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
13
Tabel 3. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kelapa (Cocos nicifera) (Djaenudin, 2000)
Kualitas lahan/
Karakteristik lahan S1 Kelas Kesesesuaian Lahan S2 S3 N
Temperatur (t)
Temperatur rerata (oC) 25-28 28-32 23-25 32-35 20-23 >35 <20 Ketersediaan air (w) Curah hujan (mm)
Lamanya masa kering (bln) Kelembaban (%) 2000-3000 0 - 2 > 60 3000-4000 1300<2000 2 - 4 50 - 60 4000-5000 1000-<1300 4 - 6 < 50 <1000 >5000 > 6
Ketersediaan oksigen (o)
Drainase Baik,
agak baik
agak terhambat Terhambat, agak cepat Sangat terhambat, sangat cepat Media Perakaran (r) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) +dengan sisipan/pengkayaan Kematangan h, ah, s <15 >100 <60 <140 saprik + h, ah, s, ak 15 – 35 75 – 100 60 – 140 140 – 200 saprik hemik + sh 35 – 55 75 – 100 140 – 200 200 – 400 hemik fibrik + k > 55 < 50 > 200 > 400 Fibrik Retensi hara (n) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) - > 20 5,2 – 7,5 > 0,8 - < 20 4,8 – 5,2, 7,5 – 8,0 < 0,8 - < 4,8 > 8,0 - Toksisitas (x) Salinitas (ds/m) < 12 12 - 16 16 - 20 >20 Sodisitas (s) Alkanitas/ESP (%) - - - - Bahaya sulfidik (b) Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 - 125 60 - 100 < 60
Bahaya Erosi (e)
Lereng (%) Bahaya erosi < 8 8 – 16 r - sd 16 – 30 b > 30 > sb Bahaya banjir (f) Genangan FO - F1 > F2 Penyiapan lahan (p) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) < 5 < 5 5 -15 5 -15 15 - 40 15 - 25 > 40 > 25 Keterangan :
Tekstur : sh = sangat halus (tipe liat 2:1); h = halus; ah = agak halus; s = sedang; ak = agak kasar; + = gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral. Bahaya erosi : sr = sangat ringan; r = ringan; sd = sedang; b = berat; sb = sangat berat.
Simbol kualitas lahan dimodifikasi penulis
Sumber : Djaenudin (2000)
Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan tanaman kelapa yang diungkapkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengaruh iklim dan komponen fisik dan kimia tanah sangat menentukan dalam menilai kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa.
Kriteria kesesuaian lahan tanaman kelapa sebagaimana disajikan pada Tabel 3 akan menjadi acuan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan tanaman kelapa dalam penelitian ini.
2.3. Kesesuaian Lahan Ekonomi dan Analisis Usahatani
Perhitungan aspek ekonomi pada pengembangan tanaman kakao dan tanaman kelapa tidak dapat diabaikan, mengingat pendapatan seorang petani sangat penting. Siregar et al, (1988) mengungkapkan bahwa biaya usaha tani kakao pada umumnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu biaya sarana/prasarana produksi dan biaya tenaga kerja. Pada usaha tani kakao, biaya sarana/prasarana produksi meliputi pembelian bibit kakao, stum lamtoro, pupuk dan obat-obatan, peralatan yang diperlukan serta peralatan lainnya. Adapun biaya tenaga kerja meliputi biaya pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, penyerbukan, penanaman, maupun biaya tenaga kerja lainnya. Manfaat yang dihasilkan dari usaha tani kakao adalah berupa panen buah kakao, yang selanjutnya diolah menjadi biji kakao kering. Tanaman kakao lazimnya dapat dipanen pertama kali pada umur tanam tahun ke empat dan akan mengalami peningkatan produksi setiap tahun, apabila didukung dengan sistem pemeliharaan yang baik.
Faktor lain yang cukup menentukan diungkapkan oleh Soenaryo et al.
(1989), yang menyatakan bahwa persiapan lahan merupakan faktor penting dalam budidaya kakao, karena tanaman kakao muda perlu mendapatkan perlindungan dari sinar matahari yang berlebihan dan angin. Tanaman kakao muda yang kurang mendapat perlindungan terhadap sinar matahari dan angin akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan akan mengalami kematian. Oleh karena itu, tanpa persiapan lahan (naungan sementara) yang baik penanaman kakao dapat mengalami kegagalan.
Persiapan lahan untuk tanaman kakao dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik guna menghasilkan produksi yang baik. Sebagai bagian dari perencanaan usaha tani pada setiap luasan lahan areal tanaman akan dilakukan penyusunan farm budget, tujuannya adalah untuk mengevaluasi taksiran biaya maupun manfaat yang akan dihasilkan selama perkiraan umur tanaman tersebut.
15
Hal lain yang turut berpengaruh dalam analisis usaha tani adalah taksiran kredit. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan permodalan guna membiayai usaha tani sebelum berproduksi. Pemberian kredit permodalan tersebut didasarkan pada pertimbangan kelayakan usaha tani dari petani. Siregar et al. (2002) mengungkapkan bahwa dalam menentukan besarnya pemberian bantuan kredit tersebut, pihak perbankan akan memilih beberapa alternatif, yakni bantuan kredit pada tahun pertama, kedua, maupun tahun selanjutnya. Disamping itu, bantuan kredit yang diberikan hanya untuk pemeliharaan saja ataupun untuk seluruh investasi usaha tani kakao.
Bantuan kredit permodalan usaha tani dalam penelitian ini diasumsikan dimulai sejak lahan dibuka sampai dengan tanaman kakao tersebut menghasilkan. Siregar et al. (2002) mengungkapkan bahwa langkah selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah mengadakan evaluasi tingkat kelayakan proyek usaha tani kakao berdasarkan kriteria investasi, yang meliputi net present value (NPV),
benefit cost ratio B/C ratio dan internal rate return IRR.
Disamping faktor fisik sebagaimana diungkapkan di atas, faktor sosial ekonomi juga sangat menentukan upaya penentuan kesesuaian lahan. Rossiter et al. (1994) mengemukakan bahwa kesesuaian secara ekonomik ditentukan oleh aspek atau faktor yang berkaitan dengan parameter ekonomik (input dan ouput) yang dibedakan atas 5 kelas, yaitu: (i) kelas 1, sangat sesuai (S1), penggunaannya sangat menguntungkan; (ii) Kelas 2, cukup sesuai (S2), penggunaannya cukup menguntungkan; (iii) Kelas 3, sesuai marjinal (S3), penggunaannya marginal menguntungkan; (iv) Kelas 4, tidak sesuai secara ekonomik (N1), penggunannya memungkinkan tetapi tidak menguntungkan untuk saat ini; dan (v) Kelas 5, tidak sesuai permanen, secara ekonomik (N2) penggunaannya tidak memungkinkan, dan kelas ini secara fisik berasal dari kelas N.
Rossiter et al. (1994) lebih lanjut mengungkapkan bahwa evaluasi lahan kuantitatif (ekonomik) sangat tergantung pada 1) Gross Margin (GM); 2) Net
Present Value (NPV); 3) Benefit Cost Ratio (BCR); 4) Internal Rate of Return
(IRR). Kecuali untuk GM, matriks yang lain tergantung pada discount rate atau bunga bank yang berlaku.
Nilai produktivitas pada masing-masing kelas kesesuaian lahan antara satu kelas dengan kelas lainnya sangat berbeda, mengingat faktor kendala dan hambatan pada masing-masing kelas lahan juga berbeda. FAO (1983); Wood dan Dent (1983) mengungkapkan bahwa produktivitas untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan, yaitu untuk kelas S1 mencapai > 80% dari produksi optimal, S2 antara 60 sampai 79%, S3 antara 40 sampai 59%, dan yang tidak sesuai secara ekonomik (N), produktivitasnya hanya mencapai < 40%.
Penilaian evaluasi lahan berdasarkan aspek sosial-ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain input dan output produksi. Input merupakan semua faktor biaya yang turut menentukan proses produksi, sedangkan output merupakan hasil proses produksi berupa produksi dengan harga produksi yang menghasilkan pendapatan bagi petani. Lebih jauh, evaluasi lahan ekonomik diungkapkan oleh Hendrisman et al. (2002) bahwa matriks input bagi setiap Tipe Penggunaan Lahan menyangkut: sewa lahan; tenaga kerja (pengolahan lahan, pembibitan, pemeliharaan dan panen); benih bibit; keperluan pupuk; air; insektisida/pestisida/herbisida; biaya transportasi; dan biaya pemasaran. Keluaran (output) adalah produksi utama dan produksi sampingan yang dihitung harga jualnya, walaupun produksi tersebut digunakan untuk keperluan sendiri, misalnya jerami yang dikembalikan ke tanah sebagai pupuk.
2.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Dengan memahami pengertian kesesuaian lahan yang diungkapkan di atas dan untuk menilai apakah suatu jenis tanaman perennial sesuai untuk digunakan pada satuan lahan tertentu, perlu dilakukan evaluasi terhadap satuan lahan tersebut. FAO (1976) mengungkapkan bahwa pengertian evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk satu penggunaan tertentu, seperti untuk budidaya padi, jagung dan sebagainya. Sedangkan evaluasi kemampuan lahan sering dinyatakan dalam hubungan dengan pembatas-pembatas negatif yang dapat menghalangi beberapa atau sebagian penggunaan lahan yang sedang dipertanyakan/ dipertimbangkan.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa dalam menginterpretasikan peta tanah dalam hubungannya dengan kesesuaian tanaman dan tindakan pengelolaan yang
17
diperlukan, evaluasi lahan sangat tergantung dari informasi-informasi yang diperoleh dari survei tanah tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan survei tanah yang mencakup kondisi fisik dan kondisi kimia tanah di wilayah penelitian.
Prosedur evaluasi lahan diungkapkan oleh FAO (1976). Kegiatan utama dalam evaluasi lahan adalah sebagai berikut :
1. Konsultasi pendahuluan: meliputi pekerjaan-pekerjaan persiapan antara lain penetapan yang jelas tujuan evaluasi, jenis data yang akan digunakan, asumsi yang digunakan dalam evaluasi, daerah penelitian, serta intensitas dan skala survai.
2. Penjabaran (deskripsi) dari jenis penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan dan persyaratan-persyaratan yang diperlukan.
3. Deskripsi satuan lahan (land mapping units) dan kemudian kualitas lahan
(land qualities) berdasarkan pengetahuan tentang persyaratan yang diperlukan
untuk suatu penggunaan lahan tertentu dan pembatas-pembatasnya.
4. Membandingkan jenis penggunaan lahan dengan tipe-tipe lahan yang ada. Ini merupakan proses penting dalam evaluasi lahan, di mana data lahan, penggunaan lahan dan informasi-informasi ekonomi dan sosial digabungkan dan dianalisis secara bersama-sama.
5. Hasil dari butir 4 adalah kelas kesesuaian lahan 6. Penyajian dari hasil-hasil informasi
Skema enam kegiatan utama dalam evaluasi lahan tersebut disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema kegiatan-kegiatan dalam evaluasi lahan (FAO, 1976) dalam Hardjowigeno (1999)
Dalam penelitian ini, evaluasi lahan dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip evaluasi lahan berdasarkan berbagai pertimbangan, termasuk didalamnya pertimbangan fisik, sosial ekonomi, lingkungan dan penggunaan teknologi yang ada. Prinsip utama yang digunakan dalam proses evaluasi lahan FAO, (1976) dirinci dibawah ini:
1. Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan macam/jenis penggunaan lahan tertentu. Prinsip ini penting karena penggunaan yang berbeda memerlukan syarat yang berbeda.
2. Evaluasi lahan membutuhkan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan masukan yang diperlukan.
3. Diperlukan pendekatan multidisiplin dari para ahli ilmu-ilmu alam, teknologi penggunaan lahan, ekonomi, sosiologi, dan lainnya.
4. Evaluasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi-kondisi fisik lahan, kondisi ekonomi daerah yang diteliti dan kondisi nasional.
KONSULTASI PENDAHULUAN - Tujuan
- Data dan Asumsi - Rencana evaluasi JENIS PENGGUNAAN LAHAN
- Secara Umum - Secara Terperinci SATUAN PETA TANAH (LAHAN) SYARAT-SYARAT MASING-MASING PENGGUNAAN LAHAN KUALITAS LAHAN MEMBANDINGKAN SYARAT- SYARAT PENGGUNAAN LAHAN
DENGAN KULAITAS LAHAN
- Pembandingan
- Analisis Sosisal Ekonomi - Pengaruh Terhadap Lingkungan
KELAS KESESUAIAN LAHAN PENYAJIAN HASIL - Peta
19
5. Kesesuaian didasarkan atas penggunaan yang lestari. Aspek kerusakan atau degradasi lingkungan diperhitungkan pada saat menilai kesesuaiannya agar jangan sampai menyebabkan kerusakan lingkungan dikemudian hari meskipun dalam jangka pendek usaha tersebut sangat menguntungkan. 6. Evaluasi melibatkan pembandingan lebih dari satu jenis penggunaan lahan.
2.5.Sistem Otomatisasi Evaluasi Lahan (ALES)
Automated Land Evaluation System (ALES) adalah sebuah metode
evaluasi lahan yang dikembangkan oleh Rossiter (1997). Mekanisme kerja evaluasi lahan menggunakan ALES disajikan pada Gambar 4 di bawah dengan mengacu pada langkah ke 7 sampai ke langkah 11
Dari Gambar 4 diatas ditunjukkan bahwa program ALES dimulai dari langkah ke (7) yakni memasukkan data dan peta pada karakteristik lahan. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan langkah ke (8) yaitu membangun model untuk evaluasi lahan, langkah ke (9) menghitung evaluasi; langkah ke (10) kalibrasi hasil, dan langkah ke (11) mempresentasikan hasil evaluasi.
Hendrisman (2000) mengungkapkan bahwa pengolahan data digunakan dalam Model ALES menggunakan metode kerja dan langkah sebagai berikut : 1. Menentukan Tipe Penggunaan Lahan (Land Utilization Type = (LUT), yaitu
jenis penggunaan lahan yang dirinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk daerah yang mempunyai sifat-sifat fisik dan sosial ekonomi tertentu (FAO, 1976).
2. Menentukan Persyaratan Penggunaan Lahan = PPL (Land Use Requirement = LURs), yaitu sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh suatu lahan agar Tipe Penggunaan Lahan (TPL) yang diterapkan pada lahan tersebut dapat berhasil dengan baik dan lestari. PPL selalu dikaitkan dengan TPL sehingga dalam PPL di samping menyangkut persyaratan pertumbuhan tanaman juga menyangkut pengelolaan, konservasi/ lingkungan.
Gambar. 4. Outline of the evaluation processs (Rossiter, 1997)
(1)
Identify Decision Makers, Objectives, & Means of Implementation