• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Sektor Informal dan Warung Makan Sederhana

Sektor informal didefinisikan sebagai lapangan kerja atau usaha yang dilakukan tanpa atau tidak terikat surat izin, ketentuan hukum dan tempat. Pengertian sektor informal dapat dilihat berdasarkan lokasi dimana para pelaku ekonomi melakukan kegiatannya (World Bank, 2002). Sedangkan, warung makan sederhana adalah salah satu bentuk usaha dari sektor informal yang bergerak dalam bidang jasa kuliner (BPS,2004). Berikut ini adalah empat kategori sektor informal:

1. Pekerja berbasis rumah tangga (home based worker) yaitu dependent (terkait) dan independent (bebas),

2. Pedagang dan pengecer kaki jalanan/kaki lima (street traders and street vendors),

3. Pekerja musiman pada pembangunan gedung di jalan raya,

4. ”Pekerja diantara rumah dan jalan” seperti pemulung, penjual minyak tanah dan air bersih.

Sektor informal dicirikan sebagai sektor usaha yang berskala kecil, bersifat fleksibel dan mandiri dengan adanya daya tahan untuk tetap eksis dalam berbagai kondisi, karena pada saat perekonomian dalam keadaan suram (resesi), sektor ini tetap eksis. Hal ini disebabkan karena angkatan kerja yang menganggur pada saat resesi akan tertampung pada sektor informal, sebaliknya apabila ekonomi berada pada kondisi cerah, sektor ini dapat berkembang karena dapat menjadi sub

kontraktor bagi pengusaha formal. Contoh, pada saat perekonomian menurun dan banyaknya pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada buruh tetapi sektor ini masih tetap ada, walaupun harga-harga meningkat bahkan dapat menampung tenaga kerja yang terkena PHK.

Pedagang kaki lima (street trading/street hawker) adalah salah satu usaha dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal. Pedagang kaki lima adalah pedagang yang dengan modal relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat. Usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal.

Mayoritas sektor informal hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana ilegal atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya, dikarenakan rendahnya tingkat keuangan dan cara pengelolaan uang. Sehingga kemungkinan untuk mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978)

Dilihat dari aspek ekonomi, karakteristik umum yang melekat pada sektor informal antara lain (Thamrin, 2003):

1. Merupakan usaha perdagangan berskala kecil yang mempunyai keragaman usaha yang cukup luas,

2. Umumnya memiliki modal usaha kecil, 3. Mudah untuk keluar masuk,

4. Tidak memerlukan keterampilan khusus bagi tenaga kerja dan seringkali sumbangan tenaga kerja keluarga yang terlibat tidak diperhitungkan secara ekonomis,

5. Kegiatan usaha perdaganggan ini dapat dikelola oleh satu orang maupun secara group atau usaha keluarga,

6. Dengan rata-rata konsumen berpendapatan menengah kebawah serta mendekati pusat-pusat keramaian, menggunakan teknologi sederhana, 7. Komoditi yang diperdagangkan relatif mudah terjual dan tidak tahan lama.

Umumnya didominasi oleh minuman dan makanan serta ragam komoditas yang diperdagangkan terbatas,

8. Bekerja secara mandiri dan cenderung mempunyai jaringan usaha yang terbatas,

9. Pola usaha yang relatif terbatas, 10.Sederhana dan tradisional,

11.Akses terhadap kredit dan permodalan sangat terbatas dan informal.

Pedagang informal adalah perorangan yang tidak memiliki badan usaha yang melakukan kegiatan perdagangan barang dan atau jasa dalam skala kecil yang dijalankan oleh pengusahanya sendiri berdasarkan azas kekeluargaan (BPS, 2004).

Berdasarkan uraian di atas bahwa pekerja sektor informal bekerja dengan tidak ada ikatan yang mengkoordinir usaha sektor informal ini. Meskipun tidak

memilki izin usaha tetapi sebagai gantinya mereka memiliki kesepakatan dengan pedagang sebelumnya yang menempati tempat tersebut, akan tetapi mereka bekerja dengan secara teratur, baik tempat usaha maupun jam kerja sesuai dengan jenis makanan yang diperdagangkan.

Sektor informal mempunyai potensi yang sangat besar dan dapat dimanfaatkan, seperti pendapat Alma (2004) bahwa mereka tidak dapat dipisahkan dari unsur budaya dan eksisitensinya tidak dapat dihapuskan, dapat dipakai sebagai penghias kota apabila ditata dengan baik, menyimpan potensi pariwisata, dapat menjadi pembentuk estetika kota bila didesain dengan baik. Selanjutnya Alma (2004) mengemukakan bahwa jika pemerintah bersama-sama dengan swadaya masyarakat mampu menata sektor informal, maka dampak positif akan berlipat ganda. Untuk Kota Bogor akan menjadikan kota ini sebagai kota wisata yang lebih maju.

ILO dalam Tjiptoherijanto (1982) lebih menekankan pada ciri-ciri yang membedakan sektor formal dan informal dengan mengajukan tujuh ciri utama sektor informal yaitu:

1. Mudah dimasuki oleh siapa saja, 2. Menggunakan sumberdaya setempat,

3. Usaha yang dilakukan umumnya dimiliki keluarga, 4. Beroperasi dalam skala kecil-kecilan,

5. Bersifat padat karya dan menggunakan teknologi yang sudah disesuaikan dengan kondisi setempat,

7. Pasar yang dihadapi tidak diatur oleh pemerintah dan sangat kompetitif. Ketujuh ciri pembeda sektor informal dari sektor formal tersebut di atas sering digunakan oleh peneliti-peneliti dalam membuat berbagai kriteria sektor informal di berbagai negara. Hidayat (1978) membedakan sektor informal dalam sebelas ciri sebagai berikut:

1. Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas/kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

2. Pada umumnya tidak memiliki ijin usaha,

3. Pola usahanya tidak teratur baik lokasi maupun jam kerjanya,

4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini,

5. Unit usaha mudah keluar dan masuk dari satu subsektor ke subsektor lainya,

6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif,

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil sehingga skala usaha juga relatif kecil,

8. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal,

9. Pada umumnya bekerja sendiri atau hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak dibayar,

10.Mereka bermodal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi,

11.Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah serta sebagian kecil masyarakat golongan menengah.

Dengan karakteristik tersebut di atas maka dapat dilihat perbedaan antara sektor Informal dengan sektor formal seperti yang tercantum pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbedaan Antara Sektor Formal dan Sektor Informal Karakteritik Sektor Fomal Sektor Informal

Modal Teknologi Organisasi Kredit Serikat buruh Bantuan Pemerintah Hubungan dengan desa

Sifat wiraswasta

Persediaan barang Hubungan kerja majikan

Relatif mudah diperoleh Padat modal

Birokrasi

Dari lembaga keuangan resmi

Sangat berperan penting Untuk kelangsungan usaha

Hanya satu arah untuk kepentingan sektor formal

Sangat tergantung dari perlindungan pemerintah atau impor

Jumlah besar dan kualitas baik Berdasarkan kontrak kerja Sukar diperoleh Padat karya Menyerupai organisasi keluarga

Dari lembaga keuangan tak resmi

Tidak berperan Tidak ada

Saling menguntungkan

Berdikari

Jumlah kecil dan kualitas berubah

Berdasarkan asas saling percaya

Sumber : Hidayat (1978)

Hal yang serupa yang diungkapkan oleh Todaro (1994) tentang karakteristik pekerjaan di sektor informal, antara lain:

1. Sektor informal mampu menciptakan surplus yang menjadi pendorong ekonomi perkotaan,

2. Sektor informal menyerap sebagian kecil modal dari modal yang diperlukan sektor formal untuk mempekerjakan sejumlah orang yang sama,

3. Sektor informal memberi latihan kerja dan magang dengan biaya yang sangat murah,

4. Sektor informal menciptakan permintaan atas tenaga kerja semi terlatih dan kurang ahli yang jumlahnya secara absolut atau relatif terus meningkat dan tidak mungkin terserap oleh sektor formal,

5. Sektor informal lebih banyak dan mudah menerapkan teknologi tepat guna dan memanfaatkan segenap sumberdaya lokal sehingga alokasi sumberdaya lebih efisien,

6. Sektor informal memegang peranan dalam daur ulang bahan-bahan limbah. Sektor informal memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan bagi penduduk miskin yang kebanyakan terpusat di sektor informal.

Lebih lanjut Todaro (1994) mengatakan bahwa sektor informal tersebut perlu dilembagakan atau diakui keberadaannya dan semua jasanya secara pantas, untuk selanjutnya dipromosikan sebagai salah satu sumber utama lapangan kerja dan pendapatan bagi angkatan kerja di perkotaan. Dari hasil penelitiannya dikatakan bahwa sektor informal telah membuktikan kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja paling tidak telah menyerap sekitar 50 persen angkatan kerja di perkotaan. Lebih dari itu, bila sektor informal berkembang terlampau besar maka kondisi lingkungan akan makin buruk yang tentu saja akan mengganggu kenyamanan masyarakat, mendorong semakin banyaknya pemukiman kumuh, lingkungan berpendapatan rendah yang dipadukan dengan kualitas pelayanan umum yang buruk akan dapat mengakibatkan berbagai permasalahan baru.

Dokumen terkait